***Aku Martin Dailuna, seorang pengusaha yang banyak disegani, yang memiliki segalanya, segala hal yang kuinginkan, apapun yang kuinginkan akan aku dapatkan, dan harus aku dapatkan.
Walau hal yang kuinginkan mengandung dosa yang mungkin akan meleburkan aku ke dalam api, yang membakar setiap pecahan diriku hanya karena hal yang kuinginkan adalah yang terlarang.Dalam setiap hariku, setiap detik nafasku, aku menemukan seorang pria yang membosankan dalam diriku, seorang pria pengecut yang bersembunyi di balik jas kebesarannya dan takut menunjukan sisi lainnya. Lalu dia datang, yang membuatku terpaksa menunjuka sisi gila yang sudah lama tersembunyi. Dia yang menghilangkan rasa pengecut, dan ambisiku kemudian meningkat untuk memiliki segalanya, apapun itu, yang kuinginkan akan menjadi milikku. Aku pria yang mungkin bisa terlihat hina. Aku yang mungkin kehilangan sisi takutku, karena seorang gadis yang mencintai putraku, yang membuatku harus bersaing dengan putraku sendiri. Aku Martin Dailuna, yang bediri tepat di hadapan surga dunia namun tanpa sadar akan membawaku ke dalam neraka***.Martin terlihat sibuk memainkan jemarinya di atas keyboard laptop miliknya, lalu kemudian terlintas dalam benaknya lantunan musik biolayang dimainkan oleh Andira. Lantunan musik indah yang kini sedang bermain dalam benak Martin Dailuna, begitu indah, membuat Martin tanpa sadar tersenyum, mata lelahnya berhenti menatap layar laptop, seakan hatinya telah dihiasi oleh bunga-bunga indah yang ditabur oleh tangan lembut milik Andira.Dia kemudian menarik kacamatanya keluar dari tatapannya, dan menatapa ke arah jendela yang menampakkan pemandangan langit biru yang dihiasi dengan bangunan pencakar langit.Martin kemudian berdiri dan berjalan pelan ke arah jendela, menatap seekor merpati sedang mematuk-matuk sesuatu yang berasal dari luar jendela Martin. Pria yang sekarang tak lagi mengenakan kacamata itu kemudian melihat betapa banyak makanan yang sudahdikumpulkan oleh merpati itu, namun hanya dia yang menikmatinya, dan tanpa memedulikan makanan miliknya merpati itu terbang bebas, bersama seekor merpati lain yang tiba-tiba datang kepadanya. Mungkin merpati itu adalah seokor betina yang memberi senyum pada merpati jantang dan membawanya pergi ke kehidupan bebas.Busa dilihat senyum tipis terlintas di bibir Martin melihat pemandangan burung merpati itu.Asik memandang dua ekor merpati terbangbebas bersama tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangannya."Hm, masuk!" ucap Martin saat mendengarketokan pintu dari luar.Martin berbalik dan melihat, Nadira putrinya sudah berdiri di depannya."Nadira?" Martin, terlihat kerutan di dahinya."Hai Pa," balas Nadira dengan senyum dibibirnya.Martin berjalan ke kursinya dan duduk di sana.Dia bertanya-tanya kenapa Nadira harusdatang ke kantornya."Ngapain ke kantor Papa?" tanya Martin."Uang aku udah habis Pa, aku mau minta uang, aku juga mau beli ponsel baru karena ponselku udah tua, dan ada ponsel keluaran terbaru, jadi aku mau beli Pa," ucap Nadira, senyum manismasih terlihat di wajahnya.Martin menghela nafas, lalu berkata,"Bukankah Papa memberimu uang jajangseminggu yang lalu, dan kau minta lagi. Dan Papa mau lihat ponselmu!" Martin menjulurkan tangannya tanda meminta ponsel milik Nadira.Nadira menatap mata Martin dan memberikan ponsel miliknya. Martin kemudian melihat ponsel milik Nadira yang masih utuh dan terlihat baik-baik saja. "Tidak! Papa tidak akan memberikan mu uang untuk membeli ponsel, Papa hanya akan memberikan mu uang jajang, ok?" ucap Martin sambil berdiri dan mengambil uang di dalam brangkas yang berada tepat di belakang kursi Martin. Pria itu memang menyimpanu angannya di brangkas miliknya sendiri, dia punya dua brangkas uang, pertama di ruangan kerjanya di kantor dan di ruangan kerjanya di rumah.Martin memencet kode kombinasi, yang tak
luput dari pandangan Nadira."Papa pelit!" ucap Nadira saat sudahmendapatkan uang jajang namun takmendapatkan uang untuk membeli ponsel."Lain kali Papa akan beri, tapi tidak sekarang ok," ucap Martin, kembali duduk di kursinya dan kembali mengetik keyboard laptopnya.***Aku ibarat burung merpati itu yang memiliki berjuta-juta kekayaan, namun hanya satu yang diinginkan, terbang bebas bersama sang kekasih lalu meninggalkan segala sepi yang merontah-rontah.***Ya dia tahu siapa yang membawa Andira, dan anehnya sesuatu menjadi lebih muda baginya, tak ada pengawal sementara Martin memegangi senjata api di tangannya walau dia terlihat terluka di kepala, dan beberapa darah yang mengalir di tangannya, ya sebelum Ibrahim berhasil dijatuhkan oleh Martin, Ibrahim berhasil menyerang Martin dengan irisan balok yang membuatnya terluka. Di sisi yang lain, Martin membuka satu-persatu pintu ruangan yang ada di labirin, sampai akhirnya dia tidak menemukan pintu apa pun, hanya dinding kasar di sekelilingnya, dan yang membuatnya merasa bingung adalah di mana semua orang? Martin tak menemukan siapa pun, tapi dia bisa melihat tanda ayang dia tahu bahwa yang melakukannya pasti Nigel, untuk menjebak Martin, walau Martin paham akan jebakan itu, dia tetap mengikuti pola petunjuk yang dia tidak tahu akan membawa dia ke mana, hanya saja tak ada pilihan lain. "Martin." Langkah kaki Martin terhenti, dia mendengar sesuatu, di belakang, di depan, di samping, lalu s
Rasa lemas menjalar di sekujur tubuh Martin, dia tidak menyangka bahwa Nigel akan sejauh ini, gadis yang selalu bersamanya yang Martin pikir Litzia telah menjadi gadis yang penting bagi Nigel ternyata saat mencoba membalas dendam dan ambisi gadis itu tidak lain hanyalah sekedar hiburan bagi Nigel. Mata Martin redup, dia kebingungan bagaimana harus merespon apalagi rasa panas dikarenakan cahaya lampu yang langsung mengarah kepadanya membuatnya merasa terganggu. Dia meremukkan rambut-rambut nya yang kusut, dan saat mencoba untuk fokus, dia menemukan sesuatu berada di tangan Litzia, gadis itu menggenggam sesuatu, Martin yang merasa apa yang digenggam Litzia penting langsung meraih tangan gadis itu dan membuka telapaknya, di sana terletak kertas yang mungkin berisikan informasi. Tulisan yang Martin tahu bukanlah milik Litzia melainkan milik Nigel, ya jelas kertas dengan tinta yang ditulis Martin dan berisikan, "Putramu dan Andira selanjutnya, oh ya astaga kau tidak akan menemukan putra
Bibir Martin terbuka, dia merasa heran siapa yang mungkin yang telah membukakan pintu untuknya, dan kenapa pintu ini bisa terbuka sendiri. Sia menelan saliva berkali-kali tapi dia tidak bisa diam, ya dia tidak seharusnya seperti ini, dia mengepalkan tangan dengan kemarahan yang luar biasa, pada Nigel, Ibrahim dan sedikit rasa kecewa dan kebencian terhadap Andira, atau dia sedang berusaha untuk membenci gadis itu. Tapi sebelum semua itu harus diselesaikan olehnya, dia berusaha untuk menemukan putranya terlebih dahulu, di mana Raisi, dan kenapa semuanya terlihat kacau, kenapa Tidka ada penjaga dan pintu ruangannya sendiri, sel yang dia miliki sendiri yang seharusnya menjadi tempat dia tertahan kini terbuka. Tapi semua itu tidak penting, Martin dia mencoba untuk melangkah pergi, tetapi dia tidak dengan tangan kosong, di dalam saku-saku celananya dia menyimpan pecahan beling yang dia hancurkan sebelumnya dan akan menjadikannya sebagai pertahanan atau cara untuk melawan. Sayangnya dia
Litzia mencoba menyelematkan siapa pun yang bisa dia selamatkan setelah dia berhasil membantu Raisi, yang entah apakah Raisi berhasil keluar dari labirin rumit yang telah dibangun oleh Nigel selama ini atau usaha mereka hanya akan menjadi boomerang. Dia memastikan bahwa Ibrahim mengetahui rencana Nigel untuk menghabisi mereka semua di tempat itu, sehingga mungkin dalam sesaat dia ingin menyelamatkan semuanya, termasuk Andira, tetapi sebelum itu, dia harus memastikan bahwa Martin tiada di tangannya. Di sisi yang lain Litzia, dia membuka pintu demi pintu, labirin yang begitu membingungkan, dia tidak bisa menemukan di mana kamar Martin, atau di mana sel Martin disembunyikan, langkah demi langkah dia berusaha untuk dapatkan hingga akhirnya dia menemukan satu ruangan yang tak terjaga, cukup jauh dan firasatnya berkata, mungkin itu adalah Martin. Langkahnya menuju sel itu cepat, dan menemukan seseorang yang bersandar tanpa semangat hidup duduk di lantai. Litzia hanya dapat melihat pria i
Beberapa Saat Sebelumnya "Pergilah, kau tidak punya waktu, kau harus meninggalkan tempat ini atau Nigel akan menghabisi mu di hadapan ayahmu. Dia akan mempermainkan Malian berdua sebelum akhirnya mengakhiri semuanya." Dia mencoba membuka gelangan borgol di tangan Raisi sementara Raisi yang terlihat dengan wajah berantakan, darah di sisi wajahnya, dan rambut yang terlihat tak terawat itu memandang bingung. "Bagaimana kau mendapatkan kunci itu ... Astaga kau membahayakan dirimu sendiri Litzia." Raisi menghentakkan tangannya seolah menolak bantuan Litzia tapi gadis ini mencoba untuk tetap membantu Raisi. "Kau tidak tahu bahwa Nigel adalah monster dan dia akan menghabisi kalian, kau, Martin, Andira, semuanya, bahkan Ibrahim tangan kanannya sendiri akan mati di sini jika tidak pergi." "Andira?" Raisi menelan saliva, dia gemetar. "Ya." "Tidak." Raisi yang kedua tangannya sudah terbebas dari borgol itu menggelengkan kepala, "Aku tidak mau meninggalkan Andira. Bawa aku padanya dan akan
Semua tampak jelas, Martin melihat segalanya dalam kesunyian yang tak terhentikan, dia merasa bahwa hidupnya akan selalu seperti ini, menderita. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, Andira, tapi dengan biaya sebesar apa? Dan kini, di mana gadis itu? Di mana putranya? Dan demi keinginan yang ia hasratkan semuanya berakhir kacau, dia terjebak di dalam neraka yang abadi. Nigel menghentakkan kepala Martin dan membiarkan dia tergelatak di dalam sana, kini adalah rencana selanjutnya tapi kapan dia akan melakukan rencana selanjutnya? Oh ya dia akan mempermainkan Martin lebih lama, lebih parah, San jauh lebih menyakitkan sebelum pada akhirnya mengakhiri hidup Martin Dailuna. Di sisi yang lain, Ibrahim tak sanggup menahan amarah dendam yang ingin segera mengakhiri hidup Martin, menghancurkan dinasti Dailuna selamanya. Tetapi semua itu berada di tangan Nigel yang memiliki lebih banyak anak buah. "Apa lagi yang kau tunggu?" Ibrahim bertanya, dia tak sanggup menahan diri untuk segera mengakh