Dinda terkejut melihat kedatangan Luis yang tiba-tiba. "Dasar wanita gila!"
"Keluar kau!" teriak Dinda pada Luis. Ia kesal diganggu. Kesempatannya untuk merasakan privasi bersama Roy jadi hangus begitu saja.
"Kubilang keluar!" Dinda menjerit. Bukannya malu, ia bahkan tak berniat menutupi tubuhnya bahkan hanya dengan seutas benang pun itu.
"Boss! Bangunlah! Apa Anda sudah gila? Sadar Boss... sadar!" Luis terus saja berusaha menyadarkan Roy.
Biarlah Tuannya akan memarahi dirinya sebab dengan sangat lancang berani berbuat kasar pada Roy. Luis benar-benar tak akan diam melihat Bossnya yang hampir saja dinodai wanita gila seperti Dinda.
Melihat Roy masih terdiam saja, Luis memutuskan untuk menyiram wajah Roy dengan segelas air yang tersedia di atas nakas.
"Sadarlah Boss!" teriak Luis. Roy tersentak, seolah kesadarannya datang kembali dan membuat dia bertanya-
"Cepat katakan! Apa kau yang menyembunyikan Geraku?" Roy menggoyang-goyang tubuh Dewi, melupakan rasa jijiknya akan menyentuh wanita itu. Dewi menggeleng santai. "Sama sekali tidak, Roy. Lagian siapa wanita itu hingga membuatmu sampai sekacau ini? Pasti hanya seorang wanita biasa, bukan?" "Kenapa kau berbuat kasar padaku, Roy?" Dewi menatap Roy nyalang sembari memegang pipi kirinya. "Kau pantas mendapatkan itu!" "Ya, karena apa? Kau main kasar saja. Orang tuaku saja tidak pernah seperti itu," Dewi meringis sambil mengelus lembut pipinya yang memerah. "Karena kau sudah dengan sangat berani mengatai Geraku! Sekali lagi kau katakan, aku tak akan segan-segan menyiksamu tanpa ampun," Roy benar-benar geram karena Dewi. Di tengah kondisinya yang sedang mabuk, emosinya menjadi sulit terkendali. Dewi tertawa sinis melihat Roy. "Hm, lalu Geramu suci. Begitu? Tahu darimana kau anak orang suci? Tak masuk akal!"
Gera menghela napas berat."Iya, wanita yang malam itu bergumul dengan Roy ketika aku mengambil ponselku yang tertinggal di ruangannya." Luis terdiam. Seolah dia sudah menemukan titik terang dari masalah Roy dan Gera. "Jadi ini yang membuatmu menghilang dan Roy jadi kacau?" Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "No, Luis! Aku hanya takut jika aku tetap di sana dan bekerja untuk Roy, itu akan merusak hubungannya dengan wanita itu. Aku tak mau di cap sebagai penganggu." "Gera, tidak ada wanita dalam hidup Roy selain kamu! Aku mengenal dia lebih dari kamu, Ge. Dan wanita itu, dia hanya pengacau. Dia sama sekali tak diharapkan oleh Roy. Percayalah!" Sedikit terkejut Gera mendengar cerita Luis. Bagaimana ia bisa menjadi satu-satunya wanita untuk Roy? Rasanya tidak mungkin. "Ini benar. Kau cemburu pada wanita itu," tuduh Luis membuat Gera menatapnya tajam. "Big no, Luis. Jangan menggodaku.
"Selamat pagi, Pak." Gera tampil formal saat datang ke kantor. Ia tak sabar untuk mengetahui pekerjaan apa yang akan Roy tugaskan untuknya. "Hai, Ge! Thanks atas formalitasnya," timpal Roy gemas. "Jadi gini, karena sekarang saya akan memberi kamu tugas, jadi kita tetap profesional. Tapi akan ada saatnya ketika saya membutuhkan kamu hanya sebagai Gera. Bukan asistenku," Gera mengangguk mengerti apa yang dimaksud Roy. Beberapa jam Roy habiskan untuk mengajarkan Gera apa tugasnya. Untung saja Gera merupakan lulusan dengan prestasi yang sangat memuaskan. Jadi, tidak terlalu ribet untuk mengajarinya sesuatu yang baru. "Jika ada yang membuatmu bingung, tolong bertanyalah!" "Baik, Pak." Sejujurnya Gera bingung kenapa Roy berubah drastis seperti ini. Apa karena gertakannya kemarin? Ah, rasanya tidak akan mungkin. Mengingat Roy adalah B
"Sudahlah, Ge. Masuklah ke ruanganmu. Tidak penting siapa dia. Kau hanya menambah beban pikiranmu saja. Lagian kau tak perlu memikirkan hal seperti ini. Just enjoy it!" Gera tersenyum. Ternyata masih ada segelintir orang yang mau berbaik hati menyemangatinya. Namun hatinya tetap tak bisa tenang. Ia terus saja memikirkan siapa orang yang sudah menyebarkan berita seperti itu."Heh, ternyata wanita bayaran Boss sudah datang," ujar Dinda saat Gera melewatinya. Langkah Gera terhenti mendengar itu. "Bisa kau ulangi kalimatmu tadi?""Wanita bayaran Boss sudah datang. Apa kau tersinggung? Itu kenyataannya, bukan?" Ternyata masuk kantor tanpa Roy akan berakibat seperti ini. Hatinya sangat ngilu. Belum setengah jam ia menginjakkan kakiny
"Dinda, segera masuk ke ruangan saya!" Roy memanggilnya melalui telepon kantor. Sementara Dinda, ia tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana konsekuensinya? Sebelumnya dia dihukum dengan cara yang terbilang enak bagi dirinya. Walaupun ia digilir oleh beberapa anak buah Roy. "Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan ketika berada dalam ruangan. Bukannya Roy menjawab, ia menatap tajam. Matanya menusuk berusaha masuk ke dalam mata Dinda. Mata itu seakan dipenuhi kabut amarah. "Roy, ini tak perlu,"Gera berusaha membujuk Roy agar tidak memperpanjang masalah. "Kau tak perlu takut, Ge. Biarkan Roy yang mengurus wanita kurang ajar itu," ujar Clay sembari memegang pundak Gera yang bergetar karena terisak. "Sayang, kau tak perlu takut. Aku di sini. Wanita rendahan seperti dia yang berusaha menyiksamu?" Gera bukannya takut pada Dinda. Hanya saj
Pagi ini Roy sangat sibuk karena akan ada rapat besar di kantornya. Gera pun ikut sibuk membantu. Roy sudah memecat Dinda kemarin. Ia tak mau membuat Gera semakin tertekan kalau saja ia jadi menghukum Dinda."Maaf membuatmu repot, Ge. Dinda sudah kupecat kemarin. Aku tidak mau dia melukaimu lagi," Gera terenyuh mendengar apa yang Roy katakan."Kasihan dia, Roy. Kenapa harus kau pecat?" Sebenarnya Gera juga kesal dengan wanita itu. Entah karena apa. Tetapi masih ada rasa kasihan dalam diri Gera. Ia tidak sejahat itu untuk bahagia melihat orang lain kesusahan.Roy menyilangkan lengannya ke depan. "Aku tidak hanya memecatnya. Tapi aku juga memblacklist nama dia di beberapa perusahaan besar di kota ini. Dia sudah berani menentangku, jadi sekarang nikmatilah akibatnya," ujar Roy santai."Kau sangat tega, Roy." &
"Apa yang ingin kau beritahu padaku, Clay?" tanya Gera saat mereka makan siang. Clay memicingkan mata menatap Gera. "Wow, sepertinya ada yang semangat banget hari ini. Udah dapet asupan, Bun?" goda Clay membuat Gera tersipu malu. "Clay, ayolah. Jangan menggodaku! Cepat katakan apa yang ingin kau beritahu. Waktu kita mepet loh ini," desak Gera sekaligus mengalihkan pembicaraan. "Oke... Jangan marah." "Ge, ini tentang Dinda. Dan kamu nggak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritakan sekarang," ujar Clay serius. Gera dibuat semakin penasaran. Refleks, ia mendekatkan wajahnya kepada Clay. "Kemarin, dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, aku nekat ikutin Dinda waktu pulang kerja." "Terus?" tanya Gera semakin penasaran. "Dan ya Tuhan, dia ternyata main sihir-sihiran gitu... Aku inget betul cerita kamu waktu dianiaya sama Dinda waktu itu, kamu bilang nggak bisa ngelawan atau pun berontak sedikit pun, k
Mendengar nama itu membuat Gera lemas tak berselera. Gera menggeleng lemah. "Tidak. Sudah lumayan lama berhenti." "What? Kenapa, Ge? Aku kira kalian baik-baik saja," ujar Alvin. Gera nampak ragu. Tetapi ia ingin sekali mengeluarkan cerita itu untuk didengar oleh Alvin. Ia lelah memendamnya sendiri. Dan mungkin ini saatnya ia berbagi. "Adit selingkuh. Dan aku mergokin dia melakukan hal menjijikkan," tutur Gera. "Tunggu, maksud kamu, dia meniduri wanita lain?" tanya Alvin semakin penasaran. Gera mengangguk. "Ya. Aku hancur saat melihat bagaimana dia bersatu dengan Andin. Penuh peluh dan menjijikkan," Air mata lolos dari mata Gera. "Andin? Teman baik kamu dulu?" tanya Alvin lagi. Gera mengangguk. "Gila si Adit. Kamu jangan nangis, Ge. Kamu sudah mengambil keputusan yang sangat tepat dengan meninggalkan dia." Gera sekali lagi mengangguk lemas