Hamparan lampu kota yang menyala di mana-mana seakan menjadi saksi kesuraman hati Gera. Air matanya belum juga bisa berhenti keluar.
"Leon." Pria itu memperkenalkan dirinya walaupun tidak ada jawaban sama sekali dari Gera. Tapi entah kenapa, dia sangat khawatir pada Gera. Terlebih kakinya sekarang sedang terluka.
Leon mengajak Gera untuk pulang dengan mengantarnya menggunakan jasa taksi yang sudah tersedia di sekitar sana. "Aw!" Gera memekik saat mencoba berjalan. Tak tahan melihatnya, Leon mencoba menggendong Gera walaupun beberapa kali wanita itu menolak keras. Gera masih sadar akan posisinya sebagai istri Roy. Tapi kakinya terasa sangat sakit bahkan sebelum diajak berjalan. Dengan sangat terpaksa dia menerima bantuan Leon, si bule tampan ini. Ia harus mempercayainya, karena tidak ada orang yang bisa ia tanyakan di sini. Untung saja Gera ingat alamat rumah Nek Rita.
Sepanj
"Di mana pun di dunia ini, tidak ada seorang istri yang suka melihat suaminya bersentuhan mesra dengan wanita lain. Walaupun hanya jalinan pertemanan saja. Kau gila! Bodoh!" bentak Luisa lagi. Roy menunduk melihat wajah damai istrinya. "Kau bahkan tak mau melihat saat dia berkali-kali memanggilmu. Bisa kau ingat bagaimana sakitnya dirimu saat Gera hilang dari kehidupanmu? Belajarlah dari sana. Aku berani menjamin, tidak akan ada wanita yang kau temui seperti Gera di dunia ini!" "Luisa, sudah Nak. Tenanglah." Rita datang dan memeluk Luisa. "Istirahatlah! Kau pasti lelah," suruh Rita diangguki Luisa. "Roy, duduk dan dengarkan Nenek." Roy mengangguk dan segera duduk di samping Gera. Terdengar helaan panjang dari mulut wanita usia senja itu sebelum mulai berbicara. "Roy, terkait kondisi Gera, tadi dokter menjelaskan pada Nenek bahwa kaki istrimu bukan hanya terkili
"Ge, kau akan pulang bersamaku setelah kau pulih nanti," ujar Roy lagi. Ia masih mempertahankan sikap sabarnya. "Kubilang tidak ya tidak! Urus saja Liramu itu! Aku tidak penting untukmu," bentak Gera marah. Air matanya tak bisa ditahan lagi. "Ge, dia hanya temanku. Maaf atas sikapku yang membuatmu marah dan kecewa. Aku salah. Maafkan aku, sayang," kata Roy lembut. "Pergi, Roy!" Gera menggeram. Luisa memberi isyarat agar Roy segera pergi dari sini sebelum membuat kondisi Gera semakin parah. "Pergi!" pekik Gera lagi. Roy menunduk dan berlalu pergi dari ruangan Gera. Ia sangat terpukul dengan penolakan dari Gera. Iya, ini memang salahnya. Tidak adil jika Roy terlalu menuntut Gera. Rita menyusul Roy di luar. Menepuk pundaknya lembut. "Nenek percaya, kau pasti bisa. Kuatkan keyakinanmu, sayang. Percaya pada Nenek." "Gera sangat marah pada Roy, Nek. Dia sangat benci melihat Roy di dekatnya," lirih Roy. "Aduh... Cucu Nenek yang tegas itu kema
"Pa, ada yang perlu Papa bicarakan?" tanya Roy agak canggung. David tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat agar Roy duduk di sofa di depannya. "Maaf Papa sudah menganggu istirahatmu, Roy. Kau pasti sangat kelelahan." Roy mengangguk mengerti akan apa yang Papa mertuanya ini katakan. David menghela napas pelan. "Apa yang terjadi antara kalian di Rio? Luisa tidak mau memberitahu Papa, tapi malam itu Papa tidak sengaja mendengar Luisa yang terisak dan berbicara pada seseorang. Dia menyebut nama Gera dan mengumpat sembari menyebut namamu. Sebenarnya apa yang terjadi, Roy? Papa sangat cemas. Maaf, bukan maksud Papa untuk ikut campur dalam rumah tangga kalian. Papa hanya ingin tahu." "Maafkan Roy, Pa. Ini semua salah Roy. Ada kesalahpahaman diantara kami, yang membuat Gera dan Roy bertengkar," terang Roy jujur. Papa mertuanya hanya mengangguk dan menghela napas berat. "Satu hal yang Papa minta dari kamu, Roy. Jaga Gera sebaik mungkin. Papa salah besar tidak pernah bi
Tangis Gera tak kunjung reda. Ia memikirkan anak-anaknya yang menjadi incaran entah siapa itu. Roy juga bingung apa yang harus ia lakukan. Yang jelas, mulai hari ini ia harus memperketat penjagaan. Baik anak-anak, juga rumah. Siang hari setelah rapat, Roy berniat mengunjungi Dewi di penjara. Gera bersikeras ingin ikut kesana. Dia ingin memastikan jika Dewi-lah penyebab semua ini. "Tunggulah di sini sebentar, sayang," bujuk Roy. Namun Gera terus saja menggeleng keras. "Aku ikut, Roy. Kau tidak boleh membantah!" tegas Gera membuat Roy tak bisa berkutik. Polisi memberikan mereka sedikit waktu untuk berbicara dengan Dewi. Beberapa saat kemudian, Dewi datang dengan seringai liciknya. Gera berdiri dengan hati yang bergemuruh marah. Ia tak sabar ingin menjambak wanita sialan ini. "Ada urusan apa kalian mencariku?" tanyanya datar. Ia menatap tajam mata Roy yang saat ini melihatnya d
"Bagaimana bisa kau tidak menemukan pelakunya? Polisi macam apa kau?" bentak Roy sambil menarik kerah baju Reno, polisi yang sempat mengejeknya di rumah tahanan. Reno berusaha menepis tangan Roy yang masih menggenggam kerah kemejanya. "Lepaskan! Siapa kau berani sekali membentakku? Kau bahkan dengan sangat lancang menarik bajuku!" balas Reno marah. "Bagaimana mungkin polisi yang sudah berkiprah bertahun-tahun tidak bisa menemukan pelaku penembakan istriku padahal kalian di satu tempat!" "Itu bisa saja terjadi! Lagipula kau yang membiarkan Gera bermain di taman. Kenapa kau tidak kurung saja peliharaanmu itu?" timpal Reno keras. Roy terdiam mendengar apa yang pria ini katakan. Ia mendekati Reno dengan langkah perlahan. "Berani sekali kau mengatakan istriku sebagai peliharaan!" ujar Roy menggeram. Tubuh Reno sedikit terpental sa
"Katakan secepatnya Luis! Aku sudah tidak sabar." Roy kesal karena Luis masih saja memberinya teka-teki perihal pelaku penembakan Gera. Luis ingin sekali tertawa melihat wajah geram Roy. Tapi ini bukan permainan, ini masalah serius. "Baiklah. Orangnya adalah Reno. Toni punya rekamannya. Saat itu Steve yang menangkap Reno tentunya dengan bantuan mainan listrik andalan kami. Jangan bertanya sekarang, pulanglah sebentar dan Toni akan menceritakan skema permainan polisi licik itu!" terang Luis. Sebelum pulang ia meminta pada Roy untuk mengizinkannya melihat temannya sebentar. "Maaf, aku tidak bisa menjagamu, Ge. Bertahanlah! Banyak orang yang menunggumu di sini. Kami semua merindukanmu," gumam Luis. Ia sangat sedih dan menyesal disaat bersamaan ketika melihat kondisi temannya ini. Mereka harus meluruskan sedikit masalah sekarang. Roy ikut bersama Luis untuk pulang. Ia tak sabar ingin
Kehidupan Gera dan Roy berjalan harmonis. Di mana setiap hari Gera kembali bekerja menjadi sekretaris Roy. Sangat banyak orang yang iri akan posisi juga kedudukan Gera di hati Roy. Tapi tak sedikit juga yang merasa Gera memang pantas mendapatkan itu. Karena selain cantik dan menawan, dia juga merupakan pribadi yang sangat baik dan dermawan. "Sayang, kita akan rapat sebentar lagi. Kau harus makan terlebih dahulu," seru Gera saat masuk ke ruangan Roy. Pria itu melihat istrinya bingung. "Rapat? Aku kira hari ini kosong. Bagaimana dengan anak-anak?" "Aku sudah menelpon Luis untuk menjemput mereka. Sekalian menjemput Clay katanya," jawab Gera. Pria itu menyayangkan agenda mereka setelah ini. Awalnya dia berencana untuk memboyong Gera menuju salah satu hotel untuk menenangkan otak mereka yang akhir-akhir ini dipenuhi pekerjaan. Tapi sayang, semuanya harus berakhir mengecewakan.
Matanya terasa sangat panas karena menampung cairan yang sudah terjun bebas membasahi pipi cantiknya. Mulutnya bergetar menahan tangis. Dengan langkah bimbang Gera menghampiri ranjang tersebut. Kakinya terasa sangat berat tapi harus tetap ia lanjutkan. "R-Roy," lirih Gera dengan suara yang bergetar. Ia menutup mulutnya dan terduduk lemas di lantai kamar hotel tersebut. Ia berteriak dan meraung-raung dalam hati. Tenggorokannya tercekat dan terasa sangat sakit. Berkali-kali dia menggeleng dan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Tidak mungkin itu Roy. Ini salah!" batin Gera sambil menggeleng keras, berusaha menepis kenyataan yang ia lihat saat ini. Dengan lemah ia mencoba berdiri. Tangisnya lagi-lagi pecah saat melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Dia benar-benar tidak percaya. Roy dan Lira sedang tidur berdekatan, dan yang lebih parah mereka tidur dalam keadaan tanpa be