Sebelum menjawab, mereka saling menatap satu sama lain. "Kami keluarga Lea, dok. Apakah dia baik-baik saja?" Roy secepatnya menjawab, membuat anggota keluarganya bernapas lega.
"Tidak terjadi hal-hal yang berbahaya. Hanya saja dia membutuhkan istirahat untuk memulihkan luka sobek yang ada pada lengannya. Satu jam lagi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat," jawab dokter. Semua yang ada di sini bernapas lega karena mengetahui Leana tidak apa-apa.
Saat ini Lea sudah berada di ruang rawat khusus, karena Roy tidak mau Lea terganggu oleh pasien lain jika dipindahkan ke ruangan biasa. Reno juga datang dengan wajah yang tidak bisa digambarkan. Roy yang menangkap keanehan itu segera bertanya pada Reno. "Ada apa?"
"Roy, tadi siang aku mencari tahu perihal gadis ini. Dan aku sangat terkejut mengetahui kebenaran tentangnya. Kau juga pasti akan terkejut," tutur Reno membuat Roy semakin penasaran.
"Memangn
Gera semakin bingung dengan tingkah aneh Roy yang mulai menidurkan tubuhnya di atas ranjang dengan alat USG di sebelahnya. "Biar aku saja yang mengoles gel itu untuk istriku," pinta Roy tegas. Dokter hanya bisa mengangguk kaku, mau menolak rasanya tidak berani jika melihat bagaimana tegas dan tegangnya wajah seorang Aroy. "Anda bisa mulai." Roy mempersilahkan dokter untuk memeriksa istrinya. Gera hanya bisa pasrah menuruti kemauan Roy. "Selamat, Pak. Istri Anda sedang mengandung dan sudah masuk usia 4 Minggu." Mendengar itu, Gera menutup mulutnya kaget. Sedang Roy tak bisa menyembunyikan wajah senangnya. Andai saja di rumah, ia pasti sudah melompat dan memburu istrinya dengan ganas. Gera menatap dalam suaminya yang kini juga sedang menatapnya. Roy mengangguk meyakinkan Gera dengan senyum bahagia yang terpampang tanpa henti di wajahnya. "Batasi pekerjaan berat, dan usahakan untuk tidak terlalu b
Setelah berpikir beberapa saat, Ray akhirnya bersuara. "Izinkan kami berunding dulu, Pa. Akan ada banyak pertimbangan dari Ray, Rio, juga Rico. Bukannya menolak secara halus... hanya saja kami butuh waktu untuk berpikir dengan matang. Baru setelah itu Ray akan memberitahu Papa dan Mama keputusannya bagaimana." Gera dan Roy hanya mengangguk mengiyakan keputusan putra-putra mereka. Roy juga tidak mau egois, dia harus lebih bijak untuk memikirkan kebutuhan dan kemauan anak-anaknya. "Oke. Tentu saja tidak apa-apa. Kalian bebas berpendapat bagaimana. Papa hanya menyarankan pada kalian untuk melanjutkan bisnis keluarga. Karena seperti yang kalian tahu, jika bukan kalian, tidak ada lagi pewaris dalam keluarga kita." Gera tersenyum lembut dan mengelus punggung tangan suaminya pelan. Mengisyaratkan untuk sedikit bersabar dengan apa yang triplet putuskan. "Papa kalian benar. Hanya kalian harapan keluarga Raya.
Roy terus saja mengutuk dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa istri tercintanya. Bagaimana bisa ia tidak merasakan sedikit pun firasat buruk? Berkali-kali ia membenturkan kepalanya dengan cukup keras. Tangis yang ia tahan cukup membuat dadanya terasa sesak. Tenggorokannya pun terasa seperti tercekik. "Papa... di mana Mama?" Triplets datang masih dengan tubuh basah oleh keringat. Seakan tak mampu berbicara, Roy hanya bisa menggeleng tanpa mengangkat kepalanya. Anak-anaknya yang melihat itu segera memeluk Roy yang terus saja membenturkan kepalanya. "Jangan menyakiti diri sendiri, Pa. Mama bisa marah nanti," kata Rico. "Papa harus kuat. Dengan begitu Mama pun juga akan ikut kuat, tentu saja little baby juga akan ikut kuat. Kami bersama Papa," hibur Ray berusaha tegar. Roy terus saja menggeleng keras dalam pelukan anak-anaknya. "Papa yang menyeb
Sepulang dari piknik, Rico masih bingung harus meminta maaf dari Lea dengan cara apa. Tentu saja Gera menyadari itu. "Sayang, ada apa dengan Rico? Dia terlihat tidak bersemangat." Bahkan Roy juga menyadarinya. Gera tersenyum lembut, "Biasa... permasalahan anak muda. Persis seperti kita dulu," ujar Gera tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Sebagai seorang lelaki, Roy hanya manggut-manggut mencoba mengerti suasana hati anaknya. Entah dorongan darimana, Gera merasa harus membantu Rico. Kasihan dia, kondisinya sekarang membuat Gera teringat akan Roy yang dulu. Roy yang dingin dan tegas, tetapi lemah jika sudah berurusan dengan cinta. "Roy, aku akan pergi belanja sebentar. Tolong temani Geeta," pinta Gera sembari meraih tas belanjaan. "Pergilah bersama seseorang. Jangan menyetir sendiri!" "Tidak, Roy. Aku bisa. Dan tolong, aku lebih ny
Petaka! Gera terkejut saat mendapati Roy sudah ada di sana dan pastinya memperhatikan semuanya sejak tadi."R—Roy... sejak kapan kau di sini?" tanya Gera kikuk."Sejak tadi. Aku sengaja tidak turun untuk memperhatikan setiap gerak-gerikmu bersama pria asing itu.""Rupanya takdir mempertemukan kalian lagi. Atau jangan-jangan...""Roy, sudahlah. Jangan berpikir aneh. Aku hanya tidak sengaja bertemu dengannya di supermarket. Lalu apa salahnya?" Dengan lembut Gera berusaha membela diri. Dia tidak mau membuat Roy tersinggung apalagi sampai emosinya terpancing. Roy tersenyum, senyuman yang tak bisa diartikan. Gera sedikit takut sekarang. "Tidak ada yang salah, sayang. Hanya saja aku terbakar cemburu melihat bagaimana kedekatanmu dengan pria lain. Terlebih bersama pria asing itu.""Huh... nah, sekarang di sudah pergi. Ayo kita pulang," ajak Gera menggandeng lengan kokoh su
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Ge?" "Hm, Leon. Aku sudah mengantar anak-anak. Mereka akan kembali ke Brazil," jawab Gera sedikit kikuk. "Wow, cool triplets!" Seru Leon. Dia tidak bisa memungkiri pesona anak-anak Gera. Walaupun tidak pernah melihat secara langsung, lewat foto yang Gera perlihatkan beberapa saat lalu membuat Leon langsung berpikir bahwa triplets memanglah trio dengan wajah tampan dan sangat keren. "Kita bisa makan dulu sekarang. Dan kau tidak boleh menolak!" Kata-kata Leon seakan menjadi perintah untuk Gera. Ingin sekali dia menolak, akan tetapi tangan kokoh Leon menggenggam erat pergelangan tangannya hingga terasa sedikit sakit. Tak lama, pria itu menyeret Gera ke cafe terdekat dari tempat mereka. "Kau ingin membalas jasaku, bukan?" Sial! Pria ini menuntut balik, pikir Gera. Dia kira Leon akan melupakan tawaran dirinya unt
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar