Share

Jalan Bersama

Penulis: Digoda Sabang
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-28 09:44:50

Tok ...

Tok ...

Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.

Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur.

"Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu.

"Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?

Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu.

"Bang."

"Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya.

"Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.

Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan ludah. Ah, iya, ini kan juga menu sarapan kesukaannya.

Sepertinya rencanaku beberapa waktu lalu bisa mulai dijalankan hari ini. Tak perlu diundang, target datang sendiri. Aku terkikik dalam hati.

"Abang sudah sarapan?" tanyaku hati-hati supaya jangan terkesan terlalu antusias menyambut kedatangannya.

"hmm ..."

"Belum ya, Bang?" aku memotong suara Bang Agam yang ragu-ragu.

"Sarapan di sini aja ya!" ucapku sambil berlalu ke dapur.

Setelah semuanya siap, aku memanggil Delima dan Ayahnya yang sedang bermain di depan telivisi. Pagi-pagi begini Delima memang jatahnya nonton aneka kartun yang tayangnya pagi.

"Asik, disuapin Ayah lagi." seru Delima kegirangan.

Hampir saja aku tersedak. Kebahagiaan yang dipertontonkan Delima saat ini sangat dalam mengiris hati. Kasihan sekali kamu Nak, menerima sebuah suapan dari Ayah kandungmu saja kamu sudah membuatmu sangat bahagia begini. Langka untukmu, padahal persoalan biasa saja bagi anak-anak beruntung di luar sana yang memiliki orangtua lengkap. Maafkan Mamak, yang tidak berjuang mempertahankan milik kita.

Aku menyeka air yang mulai mengembun di sudut mata sebelum Bang Agam dan Delima melihatnya.

"Masakanmu tidak pernah berubah Dek, masih enak seperti dulu." komentar Bang Agam setelah ia menghabiskan nasi gorengnya.

Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis saja. Lalu bangkit membersihkan meja makan.

"Ayah kenapa sudah tidak tinggal bersama Ima dan Mamak lagi?"

Pertanyaan Delima terdengar saat aku sedang mencuci piring-piring kotor. Kuhentikan kegiatanku, dan memasang telinga menunggu jawaban Bang Agam.

"Ayah sedang ada kerjaan besar, nanti kalau kerjaan Ayah selesai, Ayah tinggal lagi sama Ima, ya?!"

Ah, berapa ribu kebohongan lagi yang harus diterima Delima, baik dari lisanku, lisan Ayahnya maupun lisan Mak Jannah yang teramat sangat menyayangi Delima acap kali Delima bertanya padanya.

Selesai membersihkan dapur aku ikut bergabung bersama Delima dan Ayanya yang sedang bermain masak-masakan.

"Ada apa Abang datang kemari pagi-pagi begini?" tanyaku pelan, agar Delima tidak terlalu menangkap obrolan kami.

Bang Agam merogoh saku celananya, mengeluarkan amplop putih dan menyerahkannya padaku.

"Ini biaya untuk Delima dan kamu Dek." ucapnya setelah amplop itu aku terima.

"Aku?" kuperjelas ucapannya.

"Iya." Bang Agam mengangguk.

"Kamu tidak perlu mencari kerja, tetap lah seperti ini, menjaga Delima dua puluh empat jam." lanjutnya.

"Tapi, menafkahiku bukan kewajibanmu lagi Bang. Aku tidak ingin Mona datang ke sini dan mengamuk lagi ..."

"Anggap saja Abang yang membayarmu untuk menjaga Delima." Bang Agam memotong kalimatku yang belum selesai terucap.

"Mulai hari ini, Abang akan datang sendiri mengantarkan uang itu setiap bulan, tidak Abang transfer lagi ya." Lanjut Bang Agam lagi.

Aku mengangguk saja. Sebenarnya ini bagus untuk tujuanku membalas Mona, tetapi entah kenapa sudut hatiku yang lain seperti menolaknya.

"Ayah, kita udah lama nggak jalan-jalan, sekarang ke gamezone yuk!" ajak Delima tiba-tiba memutus pembicaraan kami.

"Ayah banyak kerja Nak, jangan sekarang ya?" aku menyela cepat.

"Iya, kita pergi sekarang ya?!" ucap Bang Agam pada Delima yang disambut lompatan girang Delima.

"Tapi Bang ..." aku mendelikkan mata.

"Siap-siap sana, kita pergi sekarang."

Aku menarik napas dan menghembuskannya sebelum kemudian membawa Delima mandi dan berganti pakaian.

"Aku tidak ikut Bang, kalian berdua saja." ucapku mengantar Delima ke depan.

"Kalau Mamak nggak ikut, kita nggak jalan 'kan Ima?" Bang Agam justru berbicara pada Delima untuk memperdengarkan padaku.

"Iya Mak, ayo cepetan ganti baju." Delima mulai merengek dengan menarik-narik daster panjang yang kukenakan.

Tanpa bicara hanya mengangguk saja aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap.

***

"Kita makan bakso itu mau?" tawar Bang Agam pada Delima setelah ia menaiki hampir semua permainan di gamezone.

Sudah pasti Delima mengangguk. Dulu, setiap kali kami kemari memang selalu makan di Mister Bakso itu, nama gerai bakso di Mall ini.

"Oh, begini kelakuan kamu ya, Bang?" Sebuah suara mengangetkan aku, Delima dan Bang Agam yang sedang menyantap bakso.

"Mona." aku terhenyak.

Bang Agam langsung berdiri dari duduknya. Suara Mona barusan mengundang perhatian orang-orang yang juga sedang menikmati makanan di gerai ini.

"Katanya pergi pagi-pagi karena mau ke toko, ada barang yang baru masuk. Ini apa, hah?" teriak Mona lagi.

Aku sedikit gemetar karena malu luar biasa. Bukan hanya pengunjung di gerai ini saja yang memperhatikan, tetapi pengunjung Mall lainnya yang lewat sini dan mendengarkan teriakan Mona ikut berhenti.

"Sengaja Abang bohongi aku biar bisa pergi berduaan sama perempuan ini kan?" Mona masih tidak mau diam meski sudah diminta berhenti oleh Bang Agam.

Aku langsung mendekap Delima yang tampak juga ketakutan. Jika bukan sedang di tempat umum begini, sudah pasti kutampar perempuan kurang ajar itu.

"Dek, pulang sendiri bisa 'kan?" tanya Bang Agam sembari meletakkan tiga lembar uang seratusan di atas meja dan menarik paksa lengan Mona.

Sepeninggal mereka, bisik-bisik orang yang menonton entah apa. Yang pasti aku malu sekali, seolah aku pelakor yang berselingkuh dengan suami orang. Tak terasa air mata mulai menetes.

"Mak, kenapa Tante Mona membentak Ayah? dan kenapa Ayah justru ikut pergi dengan Tante Mona?"

Kembali aku merangkul Delima. "Habiskan baksonya Sayang, kita pulang sekarang!" kuciumi puncak kepala Delima.

Kalau tadi mungkin aku masih ragu-ragu mengganggu rumah tangga Mona dan Bang Agam, sepertinya sekarang tekad itu semakin kuat. Kamu boleh membenciku Mona, tapi tindakanmu mempermalukanku meninggalkan kesumat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Silaturrahmi Ke Rumah Mona

    "Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mona Bertingkah Lagi

    Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mengunjungi Ibu

    "Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Syarat Arumi

    "Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Ngopi Bareng Agam

    "Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Pernikahan Adam (2)

    Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status