Share

Mona Mengamuk

Tok ...

Tok ...

Bergegas aku menuju ruang tamu hendak membukakan pintu yang diketuk berulang kali dengan begitu kasar. Sepertinya yang sedang mengetuk pintu itu sedang dalam kondisi marah. Aku jadi takut sendiri.

"Mona." aku terpana melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

Dengan gerakan kasar ia mendorong bahuku dan melenggang masuk ke dalam tanpa kupersilakan.

"Ada apa?" tanyaku ikut duduk di hadapannya.

"Kembalikan uang yang dikirimkan Bang Agam." ucapnya datar tanpa basa basi.

Aku diam dan menaikkan sebelah alis serta memberikan tatapan merendahkan untuknya. Jangan mentang-mentang ia istri Bang Agam sekarang bisa seenaknya padaku.

"Kenapa kamu diam? sini, kembalikan uang yang dua hari lalu ditransfer Bang Agam." suaranya meninggi.

"Itu jatah Delima." jawabku santai.

"Itu uang suamiku, seharusnya kamu jangan jadi benalu." Mona semakin ngegas.

"hahaha ..." aku justru memperkeraskan tawa menangkapi kemarahan Mona.

"Dasar perempuan gila." desisnya masih bisa tertangkap telinga.

"Lebih gila mana sama orang yang merebut suami sepupunya sendiri?" tanyaku dengan senyum manis menghias di wajahku yang kubuat agar terlihat sedang meremehkannya.

"Sakit jiwa karena ditinggalkan, kasihan ..." Mona masih tidak mau kalah mengeluarkan kalimat sinisnya.

"Biasanya ya ..., ini biasanya loh. Hanya pemulung yang suka pada barang bekas."

Tawaku pecah setelah mengeluarkan pernyataan itu. Kulirik Mona dengan ujung netraku yang sedikit berembun akibat tertawa, tampak wajahnya semakin gusar menahan amarah.

Aku berhenti tertawa dan menatap sinis pada Mona. Kamu dan Ibumu telah lama memusuhiku, maka sekarang aku pun bisa melakukan hal yang sama, Mona. Jangan dipikir karena aku miskin aku tidak berani.

"Aku datang kemari bukan untuk berdebat denganmu. Aku datang kemari untuk meminta kembali uang suamiku." ucapan Mona mulai melunak.

"Apa perlu kutegaskan sekali lagi? Suami yang kau rebut dariku itu adalah ayahnya Delima, anakku. Paham?" emosiku meledak juga.

"Pergi kamu dari sini!" aku berdiri sembari mengarahkan telunjuk ke arah pintu.

"Ini rumah kakekku, suka-suka aku dong mau tetap di sini atau pulang." jawabnya santai.

Sepertinya Mona sengaja memancing kemarahanku sedari tadi. Aku duduk kembali setelah menghela napas berat. Meredakan emosi yang sempat menguasai hati.

Mona diam sambil matanya jelalatan memandangi seisi rumah. Aku juga diam memperhatikan gerak perempuan itu.

"Mana Delima?" tanyanya memecah ketegangan.

"Bukan urusanmu." jawabku ketus.

"Ingat ya, jika kamu masih mendekati suamiku, akan kubuat hidupmu menderita." ucap Mona tiba-tiba sambil berdiri.

"Dan, satu lagi. Kamu harus tahu diri. Ini rumah kakekku, seharusnya kamu tidak berhak tinggal di rumah ini." ia menunjuk-nunjuk wajahku dengan telunjuknya.

Kutarik tangannya, lalu kuturunkan dengan hempasan kasar.

"Rumah ini milikku. Kakek sudah menghibahkannya untukku sebelum Kakek meninggal." ucapku dengan mendelikkan mata ke arahnya, tidak mau kalah.

"Kau merebut yang seharusnya menjadi milik kami. Sekarang terima lah aku merebut suamimu." ujar Mona lagi dengan tertawa berderai sebelum akhirnya ia keluar dan pergi dari sini.

Aku menutup pintu kasar sepeninggal Mona. Tubuhku ambruk menyandarkan punggung di belakang pintu. Air mata yang sedari tadi memang sudah siap terjun bebas melimpah ruah sekarang.

Apa karena rumah ini, Mona mengupayakan berbagai cara membuat Bang Agam menceraikanku? Mengapa sereceh itu alasannya? Jika ia meminta baik-baik mungkin masih bisa dimusyawarahkan.

Wak Djalil punya banyak usaha. Hidup mereka lebih dari kata berkecukupan. Bahkan kedua adik lelaki Mona seorang kuliah di luar pulau ini.

"Mamak Kenapa?" Delima muncul dari pintu samping. Ia baru saja pulang dari rumah Mak Jannah, tetangga sebelah yang sudah menganggap Delima seperti cucunya sendiri.

Kurentangkan tangan tanda meminta dipeluk Delima. Ia mendekat dan langsung menghambur ke pelukanku. Delima ada kekuatan dan memeluknya serta menghidu aroma tubuhnya cukup untuk menjadi suplemen penyemangat hidup.

***

"Bang, Mona tadi pagi datang kemari." ucapku mengadukan pada Bang Agam melalui saluran telepon.

"Hah? Ngapain dia datang ke situ?" Bang terdengar kaget dengan pemberitahuanku.

"Dia marah dan meminta kembali uang yang Abang transferkan untuk Delima." jawabku.

"Kamu kembalikan?" tanya Bang Agam.

"Nggak lah, enak saja. Itu kewajiban Abang menafkahi Delima." ucapku penuh penekanan pada kata kewajiban.

"Bagus lah." jawab Bang Agam.

Aku merasa sepertinya Bang Agam tersenyum karena nada suaranya seperti orang yang merasa lega.

"Abang lelah menghadapi sikap Mona selama ini." ucap Bang Agam lagi. Kali ini suaranya sedikit terdengar putus asa.

Aku seperti ingin terpingkal mendengarkan keluhan Bang Agam. Sepertinya ia salah tempat curhat. Masa' curhat tentang istri yang sekarang pada mantan istri. Itu sungguh menggelikan.

"Memangnya Mona kenapa Bang?" seketika rasa kepo-ku meronta.

"Sudah lah Dek, nggak usah dibahas. Delima sudah tidur kah?" Bang Agam mengalihkan pembicaraan.

"Sudah." jawabku sambil mengangguk meski tak terlihat oleh Bang Agam.

"Oh ya Dek, jika menelepon dan Abang menjawab 'iya, sebentar saya ke sana.' itu berarti Abang sedang bersama Mona ya. Nanti biar Abang yang telepon balik." ucap Bang Agam hati-hati.

Kali ini aku tidak bisa lagi menahan tawa. Aku tergelak mendengar kode yang diberikan Bang Agam itu.

Setelah mengakhiri pembicaraan telepon dengan Bang Agam, muncul sebuah ide gila di kepala. Bagaimana jika aku terus mendekati Bang Agam agar rumah tangganya dengan Mona menjadi hancur. Ada Delima yang bisa digunakan sebagai alasan.

Seketika senyumku merekah. Ayo, Mona kita bermain-main sejenak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status