259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
***"Jangan sok peduli! Jangan berlagak layaknya seorang istri shalehah! Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan pernah membuatku jatuh cinta sedikitpun terhadapmu!" desis laki-laki bermanik hazel yang kini tengah menggulung lengan kemejanya di hadapanku.Tanganku yang semula cekatan menyiapkan makan malam serta air minumnya berhenti seketika. Setelah kata-kata tajam yang dilayangkan pria di hadapanku itu terasa menusuk hati. Lagi dan lagi.Aku berdehem pelan kemudian menegakan tubuh yang terduduk di kursi makan saat ini."Lalu kamu pikir, aku akan mengemis cintamu? Aku akan menghamba untuk bisa mendapatkan cinta yang kamu miliki?" tanyaku pada laki-laki yang menjadi lawan bicaraku saat ini.Laki-laki itu mendecih. Laki-laki bermanik hazel dengan garis wajah tegas dan rahang yang kokoh. Tatapannya tajam bak elang yang siap menerkam mangsa.Apalagi saat berbicara denganku. Selalu ketus dan kata-katanya selalu tajam bak belati. Seakan aku ini adalah kelinci kecil yang rapuh dan begitu mem
**Meninggalkan ruang makan, kini aku sudah masuk ke kamar. Di mana si kembar tertidur dengan pulas di dalam box kayu yang sama.Kututup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. Aku menempelkan punggung di balik daun pintu. Memejamkan netraku demi menguatkan hati.Jika bukan karena si kembar. Aku tidak akan kuat sampai detik ini. Si kembar lah, obat yang menetralisir racun dari ucapan menusuk di relung hati ini setiap harinya.Saat membuka mata, aku melihat kartu undangan tergeletak di atas meja penyimpanan samping lemari.Aku menjauh dari daun pintu. Lalu mengambil kartu undangan tersebut, dan mulai membacanya.Ternyata undangan acara family gathering di perusahaan tempat Yuda bekerja. Acara diadakan di ballroom hotel mewah di pusat kota ini.Di situ tertulis, jika undangan ditujukan pada kepala divisi keuangan dan juga istri. Artinya, undangan untuk Yuda dan tentunya aku.Karena kantor tempat Yuda bekerja sudah mengetahui kabar kematian Khanza, dan pernikahan Yuda denganku yang dige
***Pintu ballroom tempat berlangsungnya acara terbuka lebar.Akan tetapi Yuda tak membawaku masuk. Tangannya masih melingkari pinggangku. Dia membawaku, setengah menyeret lebih tepatnya, ke arah teras samping hotel yang sepi, menghadap ke arah luar.Dia menghempas pegangan tangannya di pinggangku. Berganti merangkul pundakku cukup keras"Jaga sikap! Di sini, kamu dipandang sebagai istriku. Istri seorang kepala divisi! Sekali pun aku memang tidak mencintai kamu. Tapi semua tahu kamu istriku sekarang. Bersikaplah seakan hubungan kita baik-baik saja!" desisnya tepat di telingaku.Aku menyentak pundak yang dirangkulnya, tetapi Yuda menahannya kuat. Aku menatapnya sengit. Yuda pun tak kalah tajam menatapku."Egois!" tukasku dengan nada menekan."Aku tidak perduli. Aku hanya menjaga nama baik. Cukup dengan mendiang Khanza, aku sering melihatnya begitu akrab dengan lawan jenis, dan itu membuat hatiku teriris. Sekarang kamu berbalik! Pegang tanganku dan bersikap seperti istri sesungguhnya!"