Share

Bab 2

Kulangkahkan kaki menuju rumah Bunda, lalu masuk ke dalam kamarku setelah mengambil ayam goreng yang tengah dimasak oleh Bunda. Kuangkat kasur dan mengambil diary usang itu.

Sebelum membukanya lagi, kulafalkan bismillah dan berdo'a semoga tak ada hal lain yang membuatku sakit hati.

Kubuka lembar berikutnya. Tertulis tahun 2015 saat Mas Haris masih berstatus mahasiswa di universitas indonesia, bersamaku meski beda jurusan.

Di sana, tertulis Mas Haris begitu mengagumi wanita yang rambut hitamnya selalu tergerai. Aku terkesiap. Rambut hitamnya tergerai? Sementara aku sendiri, selalu mengenakan hijab setelah lulus SD dulu.

Makin membaca, makin kurasakan keanehan di dalamnya. Nama tempat liburan, cafe, taman, bahkan tempat makan pinggir jalan yang sering kami kunjungi, tertulis di sana.

G*la!

Mas Haris, apa-apaan kamu? Bahkan di tahun segitu kami belum pernah bertemu, karena kami bertemu di akhir tahun dua ribu dua puluh.

"Rum?"

"Ya, Bun?"

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah."

Aku pun keluar dan menemui Bunda yang tengah berdiri di depan pintu. Tatapannya begitu khawatir. Mungkin takut terjadi apa-apa denganku.

"Kamu sehat kan, Nduk?" tanya Bunda.

"Bun, tenang saja. Arum sudah dewasa," ucap Ayah sambil menaruh jaketnya di kursi makan.

"Tapi, Yah..."

"Ayah benar, Bun. Arumi sudah dewasa. Seandainya ada apa-apa dan Arum sudah nggak kuat buat memikulnya sendiri, pasti nanti cerita kok ke Bunda," ucapku sambil tersenyum dan melangkah mendekati Ayah yang sudah mengambil nasi beserta lauk pauknya.

"Wih, ada tumis kangkung."

Bunda menggelengkan kepala saat melihatku mulai makan dengan lahapnya.

"Bunda khawatir dari kemarin karena ada yang berbeda dari kamu. Ingat, ya, kalau ada apa-apa, cerita ke Bunda."

"Siap, Bos!"

"Haris sudah berangkat?" tanya Ayah.

Aku mengangguk karena mulutku penuh dengan makanan. Kuambil satu ayam goreng yang tersisa di piring.

"Jadi nanti nginep di sini, kan? Kaya biasa?"

Aku terdiam. Haruskah aku menginap di sini? Atau di rumah Ibu mertua dan mencari tahu lebih dalam tentang Arumi ini.

"Nggak, Bun. Arum mau menginap di rumah Ibu, sekalian mantau rumah yang besok bakal di bongkar dan dibangun ulang itu."

"Bilang sama mertuamu, kalau butuh apa-apa, ke toko aja. Minta sama Aron, dan ambil apa saja boleh. Ayah nggak mau kejadian kaya waktu itu, pas mertuamu renovasi dapur, Ayah kirim semen sepuluh sak tapi malah dibalikin."

"Iya, Yah."

Lalu kami sarapan bersama, dalam diam seperti biasa. Otakku dipenuhi oleh misteri tentang si Arumi ini. Selesai makan, aku gegas masuk ke kamar, dan merebahkan di ranjang yang sudah tiga bulan ini kutinggalkan.

Kuambil ponsel, lalu membuka akun sosial mediaku dan mengetik nama wanita itu. Arumi Putri Nadir. Saat terbuka, ada lima akun dengan nama yang sama. Kubuka semua, namun di antara ke lima akun itu, tak ada satu pun yang mengindikasi bahwa salah satunya punya wanita itu.

Kenapa seakan menjadi misteri begini? Minimal ada foto saat mereka bersama dulu, namun ini sama sekali tak ada. Jika hanya salah tulis nama, mungkin aku bisa memaklumi, mengingat kami dekat pun baru setahun belakangan ini sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

"Apa aku ke rumah Ibu saja?" Aku bermonolog.

Setelah menimbang baik atau tidaknya, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di sana. Tentu saja dengan izin Mas Haris dan memanggil ojek online karena ternyata kunci kendaraan kami dibawa semua olehnya.

Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, akhirnya aku sampai di rumah yang memiliki halaman luas itu. Beberapa orang mulai sibuk membawa hasil panen berupa beras menuju pick up, mungkin akan dibawa ke gudang penyimpanan yang baru.

"Apakah tak apa-apa jika aku tinggal di sini?" gumamku.

"Arumi!"

Aku menoleh, ternyata Ibu memanggil sambil melambaikan tangan. Kudekati beliau dan mencium takzim tangannya.

"Haris baru bilang kalau kamu akan ke sini," ucap Ibu, canggung. Padahal biasanya tak begini.

"Kamu istirahat dulu di kamar Hana, biar kamar Haris, Ibu bersihkan dulu."

"Nggak papa, Bu. Biar Arumi saja," ucapku.

"Nggak. Kamu di kamar Hana dulu."

Kamar itu memang sudah lama juga tak ditempati, mengingat Mas Haris dulu hidupnya ngekost dekat kantor dan hanya pulang setiap sabtu dan minggu saja. Sementara aku pun baru empat kali ke sini, itupun jarang sekali lama-lama di kamar karena Mas Haris selalu mengajakku duduk di ruang tamu. Sudah seperti tamu.

Aku jadi penasaran, ada apakah di dalam kamar itu?

--

"Bu, yakin nggak butuh bantuan?" tanyaku sambil melongok ke kamar Mas Haris sewaktu bujang dulu.

"Arumi, kan sudah Ibu bilang, lebih baik kamu di kamar saja," ucap Ibu yang seperti terkejut melihatku datang.

"Sudah, Bu, tak apa. Lebih baik Arumi saja yang bebenah, Ibu istirahat." Mau tak mau aku menarik lengan Ibu dan mengajaknya keluar. Setelah Ibu berhasil keluar, segera kututup dan kukunci.

Aku menghela napas lega. Akhirnya, aku bisa leluasa di kamar ini. Kamar yang seakan penuh misteri. Tak kupedulikan Ibu yang berteriak dari luar. Ini bukan saatnya cari muka, tapi cari kebenaran. Bisa mati penasaran aku kalau semua tak terbongkar.

Kugeledah seluruh isi lemari, namun hanya berisi baju-baju lama Mas Haris, juga sepatu. Aku beralih ke laci, namun tak ada apa-apa. Masa iya, kamar Mas Haris sebersih ini? Apa Ibu sudah memindahkannya?

Saat hendak menutup lemari, mataku terpaku pada selembar foto yang jatuh. Mungkin saat aku menggeledah isi lemari ini, sehingga aku tak sadar jika ada benda yang jatuh.

Kuambil foto itu, lalu kuperhatikan. Sebuah foto berisi seorang lelaki dan perempuan muda. Mas Haris dan perempuan yang entah siapa? Apakah dia Arumi? Kubalik foto itu, namun hanya ada tanggal yang tertulis.

17 Januari 2019. Ini dua bulan sebelum aku dekat dengan Mas Haris. Apakah saat itu mereka masih berhubungan?

"Arumi, buka, Nak! Kalau tidak, Ibu akan adukan pada Haris."

Setelah mengantongi foto itu, aku segera membuka pintu dan memegang tangan Ibu.

"Bu, maaf."

"Kamu ini kenapa, Rum? Nggak biasanya begini."

"Lagian, Ibu kenapa seakan nggak memperbolehkan Arumi untuk masuk ke sini? Mas Haris pun demikian. Gimana Arum nggak curiga, Bu?"

"Ya kan, Ibu hanya menuruti Haris. Supaya kamu nggak terlalu capek. Sudah, kamu istirahat saja."

"Tapi, Ibu jangan adukan hal tadi, ya, sama Mas Haris?" pintaku.

Ibu terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk dan aku keluar dari kamar menuju kamar Hana. Gadis itu masih di sekolahnya, sehingga aku bebas mengunci kamar itu.

Kupandangi foto di genggaman, kenapa seperti banyak misteri? Ada apa dengan sikap Ibu dan Mas Haris? Kenapa mereka seperti menyembunyikan sesuatu? Apakah gara-gara perempuan di foto ini? Atau jangan-jangan, aku hanya dijadikan pelampiasan saja?

Kring!

Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku. Panggilan video dari Mas Haris. Bukankah seharusnya dia sedang di dalam pesawat? Kok, dia bisa menelepon?

"Halo, Mas," ucapku begitu wajah tampan Mas Haris memenuhi isi layar.

"Kamu sudah sampai, Rum?" tanya Mas Haris.

"Sudah. Lagi tiduran di kamar Hana. Kamu itu terlaluan loh, Mas."

"Keterlaluan? Memangnya kenapa?" tanyanya dengan wajah sedikit terkejut.

"Masa iya, kamu ngelarang aku untuk membersihkan kamarmu, sementara kamu suruh Ibu untuk membersihkannya? Nanti kalau Ibu marah, bagaimana?"

"Oh, tenang aja. Ibu nggak bakal marah."

"Tapi kan aku nggak enak. Oh iya, bukannya seharusnya kamu ada di pesawat, Mas? Kok malah nelepon?"

"Oh, iya, pesawatnya delay satu jam."

Aku hanya menganggukan kepala, sementara Mas Haris malah melirik ke sana dan ke mari, kenapa dengannya?

"Katamu di bandara, kok kaya tenang amat situasinya? Padahal bandara itu tempat tersibuk loh, Mas. Gak ada sepinya," tanyaku.

Nah, kelabakan, kan? Mau alasan apa kamu, Mas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status