Share

Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku
Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku
Penulis: Jingga Rinjani

Bab 1

Diary Usang Milik Suamiku

"Bu, ini buku sekolahnya Mas Haris, ya?" tanyaku saat membuka lemari bufet di rumah mertua.

"Iya, itu buku kuliahnya Haris. Kemarin dipinjam Lina. Tolong taruh lagi di gudang belakang, Rum."

Aku mengangguk, lalu berjalan menuju gudang yang letaknya ada di samping dapur, tempat Ibu tengah memasak kini. Di gudang ini, memang banyak buku-buku bekas sekolahnya Mas Haris, Lina, dan juga Syahana, adik-adik Mas Haris.

Saat hendak berbalik, aku melihat sebuah buku catatan kecil yang terselip di antara buku-buku tulis milik Hana, adik bungsu suamiku.

Apakah ini milik Hana? Ah, rasanya aku tak sopan jika membukanya, kan?

"Ngapain, Rum?" Tiba-tiba, suara Mas Haris mengagetkanku. Pasalnya ia tadi tengah mengantar bapak ke pasar untuk membeli paku. Rencananya, kami akan menempati rumah sebelah, yang sempat menjadi tempat penyimpanan padi.

Mertuaku juragan tanah dan juga pemilik sawah terluas di sini. Jika sudah musim panen, maka makin banyak beras dan juga hasil kebun lain yang akan disimpan di gudang itu.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya gudang itu dipindahkan ke dekat rumah Neneknya Mas Haris, karena lokasinya lebih dekat dengan sawah.

"Rum?"

"Eh? Iya, Mas. Ini lagi ngembaliin buku kamu yang dipinjam oleh Lina."

Mas Haris mengangguk, kemudian mengajakku untuk pulang. Saat ini, kami masih mengontrak di sebelah rumah Bunda, karena belum memiliki modal untuk membangun rumah sendiri.

"Ayo, makan dulu sebelum pulang."

Kami pun makan bersama. Hana memintaku untuk tetap tinggal karena minta diajari untuk make-up esok. Ia baru lulus SMA, sedang masa-masanya senang mengekspresikan diri.

"Nanti, Mbakmu akan ke sini lagi, Han. Kamu tahu sendiri, besok Mas harus pergi dinas luar kota."

"Ah, iya. Lagian Mas dinas terus setiap dua minggu sekali. Bisa-bisanya aku lupa."

Aku tersenyum melihat ke-akraban dua beradik ini. Aku jadi teringat Nadia, adikku yang kini tengah menuntut pendidikan di luar kota melalui program beasiswa. Selesai makan, kami pun pamit pulang. Bapak mengeluarkan beberapa karung beras dan juga singkong.

"Duh, Bu, repot-repot amat."

"Nggak papa. Buat Bunda kamu."

Aku pun mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam mobil.

"Lain kali jangan ke gudang," ucapan Mas Haris membuatku menoleh, saat mobil sudah berjalan. Kenapa ia berkata demikian?

"Maksudku, kamu kan alergi debu. Kalau nanti bersin berkepanjangan gimana? Kan kamu sendiri yang repot," jelasnya sambil menggenggam tanganku.

"Oh, iya, Mas. Tadi cuma bantuin Ibu aja, kok."

Mas Haris tersenyum, tapi entah kenapa, senyum itu malah seakan memberi isyarat bahwa ada yang tengah ia sembunyikan?

Saat sampai rumah, aku lebih dulu ke rumah Bunda, memberikan pemberian Ibu untuk keluargaku.

"Walah, habis panen, Ris?" tanya Bunda saat Mas Haris masuk membawa tiga karung beras.

"Iya, Bunda. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah. Bilang terima kasih sama ibumu, ya! Bunda nggak enak terus-terusan dikasih beginian terus," ucap Bunda malu-malu.

"Nggak papa, Bun. Kata Ibu, daripada beli beras di warung. Ayo pulang, Dek."

"Bentar, Mas, aku kebelet."

Aku pun masuk ke kamar mandi, saat hendak duduk, sebuah buku kecil terjatuh dari saku jaketku. Ah iya, tadi karena terkejut mendengar suara Mas Haris, aku pun tanpa sadar malah meletakkan buku itu di dalam saku.

Namun, apa isinya? Meski tahu ini tak sopan, tapi aku tetap saja penasaran. Bukunya sudah agak usang, mungkin karena terlalu lama disimpan di dalam gudang.

Sebuah tulisan seperti milik Mas Haris langsung terbaca begitu kubuka buku itu. Sebuah puisi, dengan namaku di belakangnya.

Kapan Mas Haris menulis ini semua? Apa saat kami kuliah? Mengingat kami memang satu kampus, meski tak mengenal satu sama lain. Lalu, kami dipertemukan kembali saat sama-sama bekerja di sebuah perusahaan.

Senyumku mengembang saat membaca untaian demi untaian kata yang ditulis oleh Mas Haris. Aku tak tahu, kalau dia secinta ini padaku.

Namun, senyumku memudar saat membaca nama di akhir paragraf.

Arumi Putri Nadir, sementara namaku adalah Arumi Putri Nur Handayani.

Tunggu, kenapa Mas Haris salah menulis namaku? Atau, jangan-jangan ada salah satu mantannya yang memiliki nama sama persis denganku?

--

"Rum, kamu sakit?" Suara Bunda mengejutkanku, hingga membuat diary itu terjatuh.

"Sakit perut, Bun. Tadi makan sambal di rumah Ibu."

"Dibilangin, jangan sering makan sambil. Mbokya tahan kamu itu loh, Rum."

Aku pun segera bangkit setelah berpura-pura menekan tombol siram, lalu keluar setelah memastikan diary itu aman di saku jaketku.

Tapi tunggu! Bagaimana jika Mas Haris menemukannya seandainya kusimpan di rumah nanti? Ah, tidak. Aku harus menyimpannya di tempat yang aman.

Aku pun keluar, lalu tersenyum saat Bunda menatap khawatir padaku.

"Aku nggak papa kok, Bun. Arum ke kamar dulu, ya?"

"Iya."

Setelah memastikannya aman di balik kasur, aku pun keluar. Ternyata Mas Haris tengah mengobrol dengan Ayah yang baru pulang dari toko. Keluarga kami memiliki toko bangunan yang cukup terkenal.

"Kata Bunda, kamu sakit?" tanya Mas Haris.

"Sakit, Nduk?"

"Nggak, kok, Yah, Mas. Cuma sakit perut biasa aja. Ya sudah, pulang yuk, Mas."

Kami pun segera pulang ke sebelah, lalu mengganti baju dengan piyama tidur. Mas Haris menatapku seraya tersenyum. Aku jadi ragu, senyummu itu untukku atau untuk Arum yang lain, Mas?

Aku pun duduk di sampingnya. Seperti biasa, Mas Haris memelukku dalam tidurnya. Dulu, aku merasa nyaman. Namun sekarang, kenapa rasanya begitu berbeda?

"Arumi, kamu benar nggak papa?"

"Aku, Mas?"

"Ya kamu, lagian siapa lagi?" tanyanya seraya menjawil hidungku.

"Hehe, iya juga. Arumi kan nama istrimu ya, Mas. Itu artinya cuma aku. Nggak mungkin kamu punya nama mantan yang sama kaya aku kan, ya?"

Wajah Mas Haris terlihat terkejut, lalu menarik tangan yang menjadi bantalan kepalaku. Aku cukup terkejut melihat perubahannya. Ternyata benar, nama Arumi begitu spesial untuknya.

"Jangan mengada-ada, Dek. Kamu membuatku tersinggung."

"Oh, iya, Mas. Maaf."

Mas Haris berdehem, kemudian keluar kamar. Ingin meminum kopi, katanya. Aneh, bukankah tadi ia yang mengajakku untuk tidur?

Kutatap langit-langit kamar. Kenapa, rasanya aneh? Arumi Putri Nadir. Kenapa, Mas Haris menulis nama itu di akhir paragraf untaian kata yang ia tulis?

--

Esok hari.

Mas Haris nampaknya sudah tak marah lagi. Terbukti pagi ini ia bersikap seperti biasa.

"Kamu kalau mau tidur di rumah Ibu, telepon Lina atau Hana biar dijemput, ya?"

"Aku kan bisa pakai mobil atau motor buat ke sana, Mas."

"No! No! Arumi istri Mas, harus tak boleh lecet sedikitpun."

"Ya kalau sudah takdirnya kecelakaan mah kecelakaan saja, Mas."

"Eh, nggak boleh. Nanti kalau ada apa-apa, kan Mas bisa menyalahkan yang lain," ucapnya seperti biasa.

Sebenarnya, ucapan seperti ini sering ia ucapkan. Dulu, setiap mendengar ini, hatiku terasa berbunga. Tapi kali ini, semua terasa biasa saja. Ada yang berbeda, ada yang berubah.

"Dek?"

"Iya, Mas?"

"Kamu aneh loh, dari kemarin. Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Udah mau berangkat?"

Mas Haris mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya untukku cium. Aku pun melakukannya dan mengantarnya sampai ke depan pintu.

"Ini kartu kredit Mas, kalau mau apa-apa, pakai itu aja, ya? Kali ini dinasnya Mas agak lama. Mungkin sekitar semingguan karena pembukaan cabang baru di luar kota."

Aku mengangguk, kemudian melambaikan tangan saat lelaki itu pergi meninggalkan halaman rumah dengan taksi onlinenya.

Kuhirup udara pagi dengan rakus. Sepertinya aku terlalu banyak bernegatif thinking. Segera kugelengkan kepala, Mas Haris tak mungkin begitu. Ia mungkin salah menulis saja karena dulu kami tak begitu dekat.

Aku segera melakukan pekerjaan rumah, lalu merebahkan diri di sofa depan televisi. Tunggu, jika diingat-ingat, Mas Haris bahkan sampai dua kali salah mengucapkan namaku pas ijab qabul. Ah, iya! Aku baru ingat. Ia pun menyebutkan nama orang lain.

Arumi Putri Nadir binti Nadirun.

Ah, aku benci pikiranku sekarang. Haruskah kuselidiki semua?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Srilestari
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status