Share

Bab 3

"Mas?"

"Eh, ya?"

"Kamu lagi di mana sebenarnya? Jujur aja."

"A-aku lagi di toilet, Rum. Kebelet. Sudah dulu, ya. Mau selesai, nih."

Baru hendak buka suara, Mas Haris malah mematikan telepon. Gimana nggak makin dibikin curiga? Kamu kenapa sih, Mas?

"Mbak? Kok dikunci?" Terdengar suara Hana dari luar.

"Sebentar."

Aku berjalan untuk membuka pintu, lalu gadis itu memelukku erat.

"Akhirnya, Mbak nginep, kan?"

"Iya, Hana. Kok kamu sudah pulang? Padahal belum dzuhur."

"Iya, cuma extra pelajaran aja."

Aki ber-oh ria. Gadis itu langsung ganti baju, sementara aku masih menatap layar. Mas Haris tak mengirimkan pesan apapun lagi.

"Kenapa, Mbak? Kangen sama Mas Haris?"

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Tunggu! Bisakah aku mengorek informasi dari Hana? Apakah gadis itu mengenalnya? Jika diingat, ini kejadian lima tahun lalu, berarti dia masih kecil, dong, ya? Mengingat saat ini dia baru kelas 1 SMA.

"Han, kamu pernah kenal dengan yang namanya Arumi juga?" tanyaku.

"Arumi?"

"Iya."

"Kenal."

Hatiku berdebar saat Hana mengucapkan hal demikian. Hana mengenalnya? Siapa dia?

"Maksudku, orang yang pernah berpacaran sama Mas Haris."

"Iya, Mbak, kenal lah, masa nggak."

"Siapa?"

"Ya kan Mbak! Masa lupa sama nama sendiri?"

"Oh, iya." Aku menghela napas. Sepertinya Hana belum mengenal Arumi yang lain. Yah, jalanku satu-satunya adalah bertanya pada Mas Haris atau pada Ibu.

"Mbak? Kok ngelamun? Ada apa, sih sebenarnya?"

"Eh? Oh, nggak papa kok, Han. Ya sudah, makan siang dulu, gih. Mbak juga mau duduk di depan."

Hana mengangguk, kemudian berjalan ke depam. Rasanya aneh terlalu lama di rumah mertua. Pasalnya kami biasa ke sini hanya satu atau dua jam saja.

Saat di depan, banyak tetangga sedang beraktifitas. Duduk bersama sambil ngerujak, ada yang sedang mengambil ranting-rantinng di sebelah rumah Ibu mertua.

"Kamu istrinya Haris, ya?" Seorang perempuan mendekat, lalu duduk di sampingku.

"Iya, Mbak. Saya, Arumi."

"Walah, ini yang namanya Arumi? Dulu, haris sering banget ceritain kamu. Katanya, dulu kalian sempat pisah ya karena kamu harus melanjutkan kuliah di luar kota?"

Aku tertegun. Kuliah di luar kota? Kapan aku melakukannya? Karena memang aku hanya kuliah di sini saja, di Bogor.

"Gina, ngapain kamu?" tanya Ibu.

"Lagi ngobrol sama Arumi lah, Bu. Cantik ya orangnya, pantas dulu Haris kalau ceritain dia sambil senyum-senyum sendiri. Oh iya, aku ini sahabatnya Haris."

Aku menatap Ibu yang salah tingkah. Lalu masuk ke dalam tanpa menanggapi ucapan Gina tadi.

"Kamu, berteman sama Mas Haris sudah lama?"

"Sudah lah. Bisa dibilang dari orok. Kami sekolah bareng sampai SMA. Kentel banget sahabatan kami dulu. Tapi pas kuliah, dia pindah ke Bogor kota tempat neneknya. Pulangnya seminggu sekali. Ya kalau pulang, kegiatannya ceritain kamu terus. Kamu sudah lama hijrah? Dulu padahal Haris bilang, rambutmu sangat indah."

Aku semakin pusing mendengar celotehan Gina. Sebaiknya, aku harus segera mencari kebenaran tentang ini semua. Mas Haris harus menjelaskan padaku jika nanti ia pulang dari Kalimantan.

--

Malam hari.

Aku mendapat pesan dari Kalisa, teman kuliah sekaligus sahabatku. Ia kini tinggal di kota, mengikuti suaminya sehingga kami jarang bertemu.

[Aku lagi di cafe sama suami. Dan kami melihat lelaki seperti suamimu ada di sini.]

Di bawahnya ada sebuah foto seorang lelaki memakai kemeja berwarna biru laut. Aku terdiam. Ini kemeja milik Mas Haris, karena aku sendiri yang menyiapkannya.

Dilihat dari bentuk tubuhnya, ini memang suamiku meski aku hanya melihat dari belakang.

Bukannya Mas Haris ada di Kalimantan? Kenapa ia ada di Bogor kota? Apa dia ada di rumah neneknya? Tapi, kenapa ia berbohong?

Aku segera keluar kamar, menghampiri Ibu dan Lina yang tengah menonton televisi. Sementara Hana tengah sibuk belajar karena sebentar lagi akan ada lomba matematika, katanya.

"Bu?"

"Iya, Rum? Ayo duduk."

Aku mengangguk, kemudian duduk di sebelah mertuaku.

"Ibu, boleh Arum minta alamat neneknya Mas Haris yang di kota?"

Ibu sampai tersedak saat aku menanyakannya. Udah fix, ada yang benar-benar tak beres! Perasaanku tak mungkin salah.

--

Remot yang ditangan Ibu mendadak jatuh, sementara Lina langsung menghentikan kunyahannya. Padahal di dalam mulutnya penuh dengan makanan. Ada apa kah?

"Bu?"

"Eh, iya?"

"Kok melamun?"

"Oh, nggak. Kaget aja Ibu, tiba-tiba kamu meminta alamat nenek yang di kota. Memang kenapa?"

"Nggak papa, Bu. Lusa niatnya Bunda mau mengajak Arum ke kota, jadi biar sekalian main. Kan sekalian silaturahmi."

Ibu nampak gugup, begitupun dengan Lina. Sepertinya, gadis itu mengetahui tentang Arumi lain yang pernah singgah di hidup Mas Haris.

"Nggak papa kalau nggak boleh, Bu."

"Boleh, Kok. Ibu cuma kaget aja kamu tiba-tiba alamat nenek. Besok Ibu kasih, ya? Sekarang Ibu mau salat isya dulu. Sekalian udah ngantuk."

Ibu berdiri, aku bisa melihat matanya mengedip pada Lina dan berakhir dengan gadis itu pun pamit salat. Setelahnya, mereka berdua masuk ke dalam kamar Ibu. Apakah akan salat di sana? Padahal di dekat dapur ada mushola kecil.

Aku menganggukkan kepala sendiri, lalu mulai tersenyum kecut. Sudah fix, jika di sini Mas Haris mungkin bersekongkol dengan Ibu dan juga Lina, namun tidak dengan Hana. Apakah aku bisa mempercayai gadis yang baru masuk SMA itu? Atau lebih baik kusimpan saja semuanya sendiri?

Aku pun bangkit dan berjalan menuju belakang untuk salat isya, setelah sebelumnya menutup pintu kamar yang terbuka. Dalam sujudku, aku menangis. Aku bingung dengan semua kejadian ini. Ada apa dengan keluarga suamiku? Siapakah Arumi Putri Nadir itu? Ada hubungan apa?

"Ya Allah, beri lah hamba petunjuk. Siapa Arumi yang lain itu? Dan kenapa, setiap tempat yang kami jadikan langganan makanz nongkrong, atau pun membeli belanjaan, selalu sama dengan isi diary Mas Haris yang sudah usang itu? Tolong, Allah. Hanya kepada-Mu lah, hamba meminta. Aamiin."

Selesai salat, aku mengambil air minum, dan menatap pada pintu kamar Ibu yang sedikit terbuka. Mungkin, salah satu dari mereka mengecek aku yang masih berada di luar atau tidak?

Kutaruh gelas di atas meja, lalu mendekat pada pintu yang terbuka itu.

"Bagaimana, Bu? Kenapa Mbak Arumi tiba-tiba pengen tahu alamat rumah nenek? Bukanya dia sekarang ditempatkan di sana?" Terdengar suara cemas Lina.

Dia? Dia siapa? Jadi, ada yang menempati rumah Nenek Mas Haris?

"Cepat kamu telepon Haris, dan segera pindahkan dia ke hotel atau cari kost-kostan lain. Ibu tak mau, Arumi tahu semuanya sebelum kita mencapai tujuan."

Tubuhku menegang, apa maksudnya ini? Tujuan? Tujuan apa? Lalu, dia siapa? Kenapa harus dipindahkan karena tahu aku akan ke sana? Dan lagi, Mas Haris berarti benar-benar ada di kota. Dia tak ke Kalimantan. Apakah selama ini dia selalu membohongiku begini? Mengingat setiap sebulan sekali ia pasti akan mengunjungi cabang perusahaan yang di Kalimantan.

Tiba-tiba, dadaku nyeri, otakku beku. Apa yang selanjutnya harus kulakukan? Aku segera berjalan menuju meja makan dan meminum lebih banyak. Aku memang begini jika panik. Dalam benak muncul begitu banyak kemungkinan. Allah!

Prang!

Tanpa sadar, gelas yang berada dalam genggaman pun terjatuh. Aku terkejut, kemudian langsung mengambil plastik dan membersihkannya.

Terdengar suara pintu dibuka. Hana, Lina, dan Ibu keluar. Mereka menghampiriku dan memasang wajah panik. Jika Hana mungkin aku belum paham, tapi Ibu dan Lina, penuh kepalsuan.

"Kamu nggak papa, Rum?"

"Kak, nggak papa?"

Aku mengangguk, melihat mereka malah ingin membuatku menangis. Kutekan telapak tangan pada serpihan gelas, hingga darah keluar dan mengucur deras.

"Hiks!" Aku, menangis. Bukan karena sedih, namun bingung karena sama sekali tak tahu dengan drama apa yang keluarga suamiku ini lakukan.

Hana membalut lukaku dengan perban, meski aku mengatakan tak apa-apa. Ada ketulusan di mata gadis itu, dan itu membuatku nyaman.

"Mbak mikirin apa, sih?"

Aku menggeleng. Sebaiknya jangan pernah kukasih tahu, lebih baik kupendam sendiri saja.

Selesai membalut lukaku, mereka semua pergi dari kamar. Meski Ibu dan Lina sesekali melirik ke sana ke mari, mungkin takut jika ada barang yang tertinggal.

Kurebahkan tubuh di atas ranjang, lalu membuka kembali buku diary Mas Haris. Kubuka lembar selanjutnya, lalu jatuh lah sebuah foto. Foto keluarga ini, rupanya. Semua tersenyum manis, hingga mataku tertuju pada satu orang.

Aku berpikir sejenak, apakah Gina bisa membantuku mendapatkan alamat neneknya Mas Haris?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Farrel Bagus
mantapbagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status