"Apa? Koma?"
"Iya.""Kok Ibu tahu?""Saya dulu kerja di rumah itu saat si Nenek masih menempati."Jadi, tentang rumor itu, sudah tak asing lagi di lingkungan ini? Bahkan mungkin semua orang di sini tahu tentang cerita orang di rumah bercat hijau itu."Kalau boleh tahu, memang komanya sudah lama, Bu?" tanyaku lagi. Sepertinya, si Ibu tipe-tipe orang yang suka bergosip, makanya gampang sekali dikorek informasinya. Tak sia-sia aku datang ke sini."Lumayan. Mungkin tiga tahun yang lalu? Kabarnya cucunya itu, Pak Haris, sudah menikah di kecamatan sana. Tempat tinggal kedua orang tuanya. Yah, Ibu sih ngebayangin jadi istrinya aja. Pasti sakit banget kalau tahu kenyataan itu. Suaminya malah mengurus mantan tunangannya yang koma di sini setiap sebulan selama seminggu."Tiga tahun? Itu artinya, ketika Mas Haris mengambil sebuah foto bersama perempuan muda itu. Tiba-tiba saja, hatiku merasa sakit. Ah, beginikah rasanya tahu jika bukanlah kita yang di hati suami melainkan orang lain?Jadi benar, jika seminggu yang dijadikan alasan dinas itu, merupakan kunjungannya ke sini? Menjenguk tunangannya itu? Jika ia memang masih mencintai tunangannya, kenapa harus menikahiku? Toh bukan aku yang memintanya."Neng, kenapa?""Oh, nggak papa, Bu. Terus kalau Pak Haris gak di sini, sama siapa dong itu yang koma?""Ada perawatnya. Dua orang."Aku mengangguk. Setelahnya aku menyuap lagi nasi dan menghabiskannya. Tak ada tanda-tanda Mas Haris ke sini atau pun di sini karena rumah itu sepi. Sebaiknya aku ke rumah Kalisa mumpung suaminya lagi ada dinas di tempat orang tuanya, di Sulawesi."Assalamu'alaikum," ucapku sambil mengetuk pintu rumah Kalisa."Wa'alaikum salam. Arumi!" Kalisa memelukku. Kami sudah lama tak bertemu. Saat pernikahanku, dia sedang berada di Sulawesi karena adik iparnya juga menikah di bulan yang sama denganku."Kangen," ucapku sambil menahan tangis."Sama. Kok mau nangis gitu? Kangen banget sama gue?"Aku terbahak, lalu mengusap air mata yang hampir saja turun. Bukan. Ini bukan air mata rindu, tapi air mata menyesakkan. Sungguh sakit hatiku saat mengetahui kenyataan ini semua."Are you okay?""Yes," jawabku sambil berusaha tersenyum.Namun, Kalisa mengeluarkan jurus andalannya. Ia terus menatap mataku, hingga akhirnya aku tak tahan dan menangis tersedu-sedu di depannya."Yah, gue tahu ada yang nggak beres sama lu.""Sakit, Lis.""Kita ke kamar dulu. Nanti kamu ceritain."Aku mengangguk, lalu mengikutinya menuju kamar. Sungguh, hari ini begitu melelahkan. Mendengar dengan telinga sendiri, bagaimana kenyataan itu? Tapi, apa sebaiknya aku membuktikannya sendiri? Mengingat jika ini hanya mendengar dari orang yang pernah bekerja di sana."Nih, minum."Kiambil gelas berisi air putih hangat yang disodorkan oleh Kalisa. Sahabatku itu memang tahu pasti, kebiasaanku ketika panik dan bingung seperti ini."Sekarang jelaskan, ada apa?"Aku pun menceritakan semuanya. Mulai dari aku yang mendapat buku diary milik Mas Haris dulu, sampai tadi yang mendengar cerita versi ibu warung nasi. Kalisa beberapa mengucapkan kata sabar sambil menepuk pundakku."Aku tahu mungkin saat ini kata sabar tak bisa membuatmu tenang. Tapi, salat lah. Adukan semua pada Allah. Ini sudah mau jam setengah 5, sudah saat ashar?"Aku menggeleng. Aku bahkan lupa salat dzuhur. Ya Allah, ampuni lah hambamu ini! Sungguh besar dosaku, mengejar fakta namun melupakan pencipta-Nya. Ampuni hamba!Aku berjalan mengambil wudhu di belakang, lalu mulai melaksanakan salat dzuhur terlebih dahulu dengan membaca niat, lalu melaksanakan salat ashar setelahnya.Kuangkat tanganku tinggi. Mulai berdo'a pada Allah."Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Ampuni lah telah melalaikan salat. Beri hamba kekuatan, ya Allah! Semoga semua ini segera terkuak. Hamba benar-benar ingin semuanya terbongkar. Tolong ya Allah, lancarkan lah semuanya. Aamiin."Selesai salat, aku diajak makan oleh Kalisa. Sambil ia melontarkan beberapa guyonan. Namun sayang, semuanya tak bisa menghibur. Aku tahu jika ia melakukan ini semua supaya aku tertawa, maka aku tertawa meski terdengar sumbang."Terus, Haris ada ngehubungi elu?" tanya Kalisa."Belum, Kal. Dari kemarin sejak sampai. Dia bahkan gak ngasih kabar.""Kok bisa, sih? Apa dia lupa?"“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas