Seketika Ayu menunduk, sementara aku langsung masuk ke dalam rumah. Terlihat Renda yang sedang gemar berjalan ke sana dan ke mari. Ia datang mendekat, dan tersenyum riang. Meski kami jarang bertemu, namun sepertinya Renda bisa mengenaliku karena kami sering melakukan panggilan video. "Halo, Sayang." "Alo," jawab Renda. Gadis yang berumur hampir dua tahun itu sudah pandai berbicara. "Oh, iya, Bu, itu Rumi bawakan kue kesukaan Ibu, sekalian untuk acara malam ini." "Acara?" tanya Ayu. "Iya, malam ini mau ada acara selametan di sini. Kamu, bantuin mereka ya, Yu?" pintaku. "Aku, Mbak?" "Iya, kamu. Kenapa?" "Tapi aku nggak tahu caranya, Mbak." "Tinggal bantuin metik sayuran seperti mau masak biasa kok, gak sulit. Emang kamu nggak pernah masak?" tanyaku. Ayu terlihat salah tingkah. Memang, sedari awal ada yang aneh dengan tingkah Ayu. Ia seakan seperti seorang putri yang tak biasa melakukan apa-apa. Kata Mbok Minah, kemarin pun ia salah ketika menjemur. Bajunya tak dibalik dulu.
Usai dari acara pernikahan teman Mas Kinos, kami langsung pulang. Aku sangat tak nyaman berada di lingkup teman-teman suamiku itu. Meski mereka baik, namun tetap saja aku merasa kurang percaya diri. "Kenapa kamu nggak bisa berbaur dengan temanku, Rum?" tanya Mas Kinos. "Ya gimana, Mas? Temanmu semua memandangku sebelah mata," ucapku sambil memasang sabuk pengaman. "Ck, sudah berapa kali kubilang? Kamu hanya terlalu takut aja. Mereka semua baik. Selama ini, apa pernah mereka menyinggung kekuranganmu?" Deg! Selama ini, Mas Kinos tak pernah membicarakan tentang kekuranganku ini. Jangankan ia yang membicarakan, ketika aku mulai mengeluh dengan keadaanku ini, dia yang paling melarang. Katanya, aku harus bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup. "Kamu pikir, kekuranganku ini karena siapa?" Mas Kinos terdiam. Ya, semua ini kan perbuatannya. Lantas, apakah bisa dibenarkan jika ia malah menghinaku?"Atau jangan-jangan, kamu menikahiku demi menebus rasa bersalahmu, Mas?" tanyaku."J
Kulihat Mas Kinos sedang duduk sambil menggunakan kemeja yang masih keriting belum digosok. Sementara dapur sampai ke ruang makan berantakan. Banyak ait tumpah. Sebenarnya, maduku itu bisanya ngapain, sih? "Mas, kenapa pakai baju itu?" tanyaku. "Mau ada kunjungan dari pusat, dan harus pake kemeja ini. Mbok Minah lagi sakit, jadi aku nggak tega buat nyuruh dia nyetrika." Aku melirik ke dapur, kulihat Ayu sedang sibuk sendiri, sementara di atas meja hanya ada nasi yang lembek dan juga telur dadar setegah gosong. Astaga, Ayu! "Kenapa ga bangunin aku aja sih, Mas? Udah tahu punya bini dua yang berfungsi cuma satu. Satunya lagi fungsinya di malam hari doang," ketusku sambil menatap Ayu dari belakang. Sepertinya wanita itu merasa, lalu menoleh ke padaku. Ia sedikit terkejut mendengarku berbicara, sementara Mas Kinos menyenggol lenganku. "Jangan begitu, nanti Ayu sedih." "Terus aku gimana?" "Mbak, maaf kalau aku ga becus," ucap Ayu sambil mendekat ke arahku. "Ya-" "Ada apa ini?" A
Ayu tampak serius dengan seseorang di seberang sana. Beruntung, mesin uang yang dibelikan Mas Kinos ini mampu membuatku sedikit terhalangi. "Bu, ngapain?" Aku terkejut mendengar suara Mbok Minah, ia tengah berdiri tak jauh dariku dengan koyo yang sudah menempel di kepalanya. "Ssst, sini!" Aku pun menarik lengan Mbok Minah dan menyuruhnya duduk di kursi makan."Sepertinya, ada yang tak beres sama si Ayu. Dia lagi nelepon seseorang, tapi kaya bisik-bisik." "Oh, iya. Mbok juga pernah dengar, Bu. Kayaknya nyebut-nyebut anak, deh," ucap Mbok Minah. "Anak?" Aku mengerutkan kening. Apa yang mereka bahas sampai bawa-bawa anak? Bukankah Ayu ini lajang? "Sedang apa, Mbak?" Aku menoleh, kalu tersenyum kaku padanya. "Mbok, karena Kak Karina di sini, sebaiknya besok kita libur aja, ya? Saya sudah hubungi customer yang pesan besok, dan mengcancelnya. Meski nggak enak.""Siap, Bu Bos." Aku pun tersenyum, kemudian meminum teh yang disiapkan oleh Mbok Minah. "Mbak, kamu benci sama aku, ya?"
Aku melirik ke arah Ayu, ia tengah memasang wajah cemberut dengan tangan mengadah. Persis seperti anak kecil yang tengah meminta uang jajan. "Kamu sudah dapat suamiku, masa mau minta juga apa yang ia kasih untukku?" tanyaku pada Ayu. Seketika ia menunduk, lalu datanglah Kak Karina dari belakang. Kini, aku menatapnya bukan seperti teman lagi, namun sebagai saingan dan juga lawan. "Kamu jangan begitu, Rum. Biar bagaimana pun, Ayu itu istrinya Kinos juga. Sudah, kasihkan dulu jam-nya. Lagian kamu kan nggak ke mana-mana, kalau Ayu nanti bisa nemanin Kinos kalau ke berbagai acara." "Loh, Kak Karina lupa kalau perusahaan Mas Kinos nggak memperbolehkan karyawannya memiliki istri dua?" "Bilang aja kalau dia sudah cerai sama kamu. Beres, kan?" Mataku membeliak mendengar ucapan Kak Karina. Sungguh tak dapat dipercaya! "Kak!" Kak Karina terkesiap, aku dan Mas Kinos teriak bersamaan hingga Mbok Minah pun mendekat. "Kita ini sama-sama perempuan. Kok tega sekali Kakak bilang begitu? Apa ka
Tak kuhiraukan dering panggilan darinya. Namun, entah di panggilan yang ke berapa kali, kuputuskan untuk mematikan ponsel, karena takut supir taksi online merasa terganggu. Setelah tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di rumah Ibu. Aku sempat tertegun sebentar, memantapkan hati untuk masuk ke dalam rumah. Masih pantas kah aku ke sini? Betulkah jalanku ini? Setelah banyak hal jahat yang kulakukan, pantaskah aku menerima kasih sayang keluarga ini lagi? "Ayo, Bu," ajak Mbok Minah. "Apa kita cari kontrakan aja, Mbok? Kayaknya, Rumi nggak pede mau masuk." "Yakin, Bu? Mau cari ke mana? Ibu memang tinggal di sini dulu, tapi apa paham daerah sini?" Benar. Karena keterbatasanku, aku jadi tak pernah berkeliling jauh. Hal ini menyebabkanku teringat pada Mas Kinos. Dasar lelaki tak tahu diri. Sudah dapat wanita sempurna, ia buang aku seenak hatinya. "Kita coba cari dulu, Mbok." Mbok Minah pun mengangguk dan mengajakku pergi. "Rumi!" Dorongan kursi rodaku terhenti, saat terdengar suara
Ibu dan Bapak keluar dari kamar, beliau menghampiri Mas Kinos yang langsung menyalami keduanya. Ibu menyuruhnya untuk masuk, meski bisa kulihat Ibu terlihat keberatan dengan kedatangan lelaki yang berstatus suamiku itu. "Ada apa, Nak Kinos?" tanya Ibu. "Saya ke sini, mau menjemput Rumi, Bu." Ibu dan Bapak menoleh ke arahku, sementara aku menggeleng. Tak ingin lagi rasanya, aku kembali ke rumah itu. Membayangkan serumah dengan Ayu dan Kak Karina, aku sungguh muak. "Kalau mau dijemput begini, kenapa tadi dibiarkan pergi?" tanya Bapak, tajam. Aku bersyukur, memiliki keluarga yang begitu melindungiku. Meski Bapak dulu tak menyukaiku, namun sekarang semua berbeda. "Maaf, Pak. Tadi, saya sedang khilaf." "Nak Kinos, andai tahu begini, dulu saya tak mengizinkan Nak Kinos menikahi Rumi. Dia sudah seperti anak saya sendiri. Kalau disakiti begini, kami juga ikut sakit.""Mohon maaf, Pak, Bu. Saya menyesal. Boleh saya bawa Rumi pulang?" tanya Mas Kinos. "Saya kembalikan ini pada Rumi. Baga
"Ayu hamil, bukankah lebih bagus jika aku pergi? Untuk apa aku di sana?" tanyaku menahan geram. "Tapi Ayu butuh kamu, Dek." "Apa yang bisa diharapkan dari aku? Aku cacat, Mas! Kamu jangan menghinaku, ya!" hardikku setengah berteriak. Tak berselang lama, Rumi datang dan membawaku masuk ke dalam, lalu ia segera keluar lagi. "Sebaiknya kamu pulang saja, Nos! Kamu tak dibutuhkan di sini. Ingat ya, Nos, sudah cukup kamu menyakitinya!" ucap Rumi. "Dia istriku, Rum! Kamu jangan ikut campur. Atau jangan-jangan, kamu masih suka sama aku?" "Cih! Jangan mimpi! Mas Haris jauh lebih baik dari kamu!" Mendengar ucapan Arum, aku tersenyum miris. Benar, Mas Haris jauh lebih baik ke mana-mana. Andai dulu tak ada kecelakaan itu, sudah pasti aku menikah dengan Mas Haris. Ah, mikir apa aku ini?! Mas Haris sudah menikah dengan Arum, sebaiknya aku tak memiliki pemikiran seperti ini! "Sebaiknya kamu pergi, Nos. Nggak ada yang menerimamu." Tak lama kemudian, terdengar deru mobil keluar dari pekarang