Cahaya mentari berpendar menghangatkan mayapada, menembus celah-celah dedaunan, memaksa burung yang terlelap, agar segera berkicau. Menyanyikan sebuah kidung tentang perjuangan. Menghibur seorang gadis untuk mengais rezeki.
Pukul enam tiga puluh, Laila sudah berada di tempat kerjanya, dia terus berdo'a agar hari pertamanya bekerja, berjalan lancar.
Gedung tempatnya bekerja, terlihat megah. Laila berdecak kagum memandangi bangunan yang berbentuk persegi panjang berwarna biru.
Laila bertemu dengan team leader-nya, seorang laki-laki sedikit tambun berusia sekitar 25-an, ia memberikan pengarahan pada sekitar tiga puluh cleaner. Sebagai anggota baru Laila mendapat penjelasan dari pria bernama Teguh itu. Teguh, dengan percaya dirinya menjelaskan job desk yang tak jauh dari dusting (ngelap), glasscleaning (bersihin kaca), sweeping (nyapu) dan moping (ngepel) pada Laila .
Laila mendapat tugas membersihkan lantai empat, gedung bertingkat lima tersebut. Perusahaan ini milik seorang miliader yang perusahaan-perusahaannya banyak tersebar dalam bidang; retail, properti dan pangan.
Menjelang siang, pekerjaannya baru selesai tiga perempatnya, ternyata sangat melelahkan. Luasnya area yang harus Laila bersihkan, membuatnya sedikit kelelahan dan terengah-engah. Walaupun Laila terbiasa bekerja berat di kampung, namun bekerja naik turun tangga, menyapu, melap dan mengepel seluruh ruangan yang luas, membuatnya kewalahan juga. Mungkin ia hanya belum terbiasa saja.
Awal bekerja, Laila sangat lambat dan keteteran, ia merupakan yang terakhir menyelesaikan pekerjaannya, di saat rekan-rekannya sudah beristirahat, Laila masih sibuk dengan gagang pelnya. Pekerjaannya pada akhirnya dapat selesai juga. Laila duduk sebentar untuk beristirahat, ia melihat Yani yang lewat di depannya membawa secangkir kopi.
"Laila, sini deh!" Suara Yani yang cempreng memanggil, melambaikan tangannya.
"Ada apa, Mbak?" tanya Laila, lalu berdiri mendekati Yani.
"Kamu tahu gak?"
"Gak tahu."
"Iihh ... makanya dengerin dulu."
Laila nyengir, perasaan dari tadi ia mendengarkan.
"Tahu, gak? Bos kita itu, guuuaanteeeeng ... banget, mirip artis Rey Mbayang, suaminya Dinda Hauw, itu loh!" katanya histeris, sebelah tangannya mencubit pipi Laila.
"I-iya tapi ngomong-ngomong pipi aku sakit."
"Hehe ... ma'af saking senengnya, siapa tahu dia masih jomblo," oceh Yani sambil nyengir kuda, memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Kalau jomblo, emang kenapa, Mbak?"
"Ya, ampuun ... kamu gak pengen, apa?"
"Pengen, gimana?"
"Ya ... jadi gebetannya, gituh!"
Laila tersenyum. Mau jomblo atau punya istri gak ngaruh juga bagi karyawan seperti dirinya. Laila tak pernah berkeinginan, untuk menikah dengan orang kaya, pikirnya mustahil saja, dirinya yang miskin dapat bertemu dengan orang-orang yang di luar jangkauannya. Sebetulnya ia ingin membantah perkataan Yani, namun tak ia ucapkan, jangan sampai ia menjadi manusia toxic merusak kebahagiaan Yani, yang dengan mengkhayal saja, bisa sebahagia itu.
"Kopinya, Mbak. Gelasnya miring, hampir aja tumpah, entar kerjaanku nambah lagi, tahu!" Laila membetulkan letak tangan Yani yang memegeng gelas kopi.
"He ... sorry, jangan ngambek atuuh ...!" ucap Yani, nyengir. Mengangkat tangan satunya dengan lambang peace.
Yani sosok yang menyenangkan, pembawaannya ceria dan pintar membuat cair suasana. Badannya berisi dengan pipi tembam menggemaskan, tapi wajahnya imut dan cantik. Sekamar dengan Yani, Laila sejenak melupakan berbagai kesusahannya.
Tiba-tiba seseorang berjalan dengan tergesa, tanpa memperhatikan lantai yang masih basah. Laila lupa memasang papan peringatan. Tanpa ampun laki-laki dengan perawakan tinggi itu jatuh terpeleset dan membentur Laila, sehingga mereka berdua sama-sama terjungkal.
Sejenak tatapan mereka bersirobok, tubuh Laila menegang kaku, sepenggal pahatan keindahan lukisan Tuhan terpampang di hadapannya. Masya Allah ... alis yang tebal hitam, mata yang tajam bagai tatapan elang, hidung kecil dan mancung, rahang yang kokoh dan ....
"Astaghfirullah ...." Laila tersadar dari keterpanaanya. Ia mendorong lelaki yang sejenak membuatnya bagai terhipnotis. Membawa Laila terseret ke dalam sebuah pusaran khayalan. ‘Ya Allah … ma’afkan aku. Aku gak sengaja, menatap wajahnya.’ Laila merasa bersalah. Betapa bodohnya … baru pertama kerja, sudah membuat kesalahan.
Lelaki dengan potongan rambut model low fade itu terlihat dingin dan tampan, sorot matnya tajam. Ia mengenakkan jas warna hitam, kemeja berwarna biru, celana model flood pants atau high water berwarna abu tua menghiasai tubuh proporsionalnya.
"Kamu?!" tunjuknya tepat di hidung Laila. Tangannya mengepal dan hidungnya mendengkus kesal.
"Ma'af, Pak. Tolong jangan marah ya ... ini cleaning service baru di sini, jadi dia belum tahu kerjaannya." Yani yang ikutan panik mencoba menenangkan Arsen, nama bosnya itu.
"Siapa kamu?" hardiknya. Matanya melotot tepat di hadapan Yani.
"Eh, siapa ... eh, siaapaa ...." Yani mendadak latah karena dibentak orang ganteng.
Laila terkekeh, merasa lucu melihat Yani yang ketakutan. Fatalnya, kekehan Laila, semakin membuat Arsen murka.
"Kamu kenapa malah tertawa, ada yang lucu, hah?!"
"Ma'af Tuan, eh ... ma'af, Pak." Laila tak kalah kagetnya, mendapat bentakan Arsen, ia meremas jari jemarinya tanda sedang panik, lalu menundukkan kepala, menatap lantai yang masih basah.
"Lain kali kalau mau ngepel dipasang papan peringatannya. Jangan teledor! Kamu bisa mencelakai orang lain, ingat itu" hardiknya lagi, membuat Laila semakin mengkeret.
Hari pertama kerja sudah membuat kesalahan, hati Laila sedikit menyesal, mengapa dirinya bisa seceroboh itu. Jangan sampai Ia dipecat, gara-gara kesalahnnya ini. Gak lucu rasanya, hari pertama bekerja langsung kehilangan pekerjaan.
"Kali ini kamu kuma'afkan, lain kali kalau berbuat kesalahan lagi ... saya tak segan memecat kamu, paham?!" Arsen membentak lagi.
“Pa-paham, Pak.”
Walaupun terlihat marah dan kesal. Dalam hati, Arsen tertawa melihat Laila yang mengkeret ketakutan. Kemarahannya sebenarnya hanya pelariannya dari rasa malunya. Wibawanya runtuh, gara-gara terpeleset dan menimpa gadis si cleaning service.
Dengan tubuh masih gemetar, Laila mengangguk, ia tak berani mengangkat kepalanya. Perasaannya campur baur, antara malu, takut dan kesal. Kesal karena dimarahi di hadapan banyak orang. ‘Sama sekali gak mirip Rey Mbayang, yang ada mirip monster.’
Setelah laki-laki itu berlalu dari hadapan Laila dan Yani. Orang-orang yang melihat kejadian tadi, ikut berlalu. Yani menghibur Laila, agar tak menangis. Laila berusaha sekuat tenaga agar tak meneteskan air mata. Ia tersenyum semanis mungkin.
“Makasih, ya, Mbak. Entah jadi apa rasanya, kalau Mbak Yani gak belain aku. Serem amat, tuh orang, Mbak. Galak, nyebelin lagi. Ganteng dari mananya, coba.” Laila masih menyimpan rasa kesal dan menumpahkannya pada Yani.
“Ya ampun, La. Dia tuh tetep aja ganteng. Mau marah, kek! Mau kaya monster, kek! Wajahnya makin cool tahu!”
“Terserah, Mbak Yani ajalah. Bagiku dia jelek, wee ….”
Laila berpamitan pada Yani, ia segera merapikan peralatan kerjanya dan mengembalikannya ke gudang. Ia menarik nafas panjang, hari-hari kedepannya tak akan mudah, ini hanya permulaan saja. Kalau dalam olahraga, mungkin disebut pemanasan, agar selanjutnya terbiasa dan tidak terlalu mengejutkan.
*****
Peristiwa terpelesetnya Arsen menjadi buah bibir para karyawan, ada beberapa pasang mata yang menyaksikan bagaimana Arsen terpeleset. Wajah mereka memerah karena menahan tawa. Bahkan ada yang lari cekikikan ke kamar mandi.Arsen terkenal sebagai sosok yang dingin dan kejam, tak segan ia menghukum atau memecat karyawan yang membuatnya murka.Sebagian ada yang bersorak gembira melihat bos sombong dan menyebalkan itu mendapat karma, akibat sering membentak dan memecat anak buahnya sesuka hatinya.Sebagian ada yang berterima kasih pada Laila, karena sudah membuat orang nomer satu di kantor mereka itu malu.Teguh bukannya menegur Laila, ia malah berniat mentraktirnya dengan semangkuk bakso.Bukan tanpa alasan kenapa Teguh melakukan hal itu, dulu saat ia pertama kali bekerja menjadi cleaning service, ia pernah sakit hati oleh Arsen, ia dihukum mengepel lima lantai gedung ini sendirian.
Puluhan hari sudah terlewati, waktu berlalu menyisakan rindu, betapa keindahan dunia fana ini menyilaukan mata, tak ingin para pecintanya meninggalkan kesenangan ini.Apakah begitu kiranya? Tak merasakan berlalunya hari dan waktu, karena terlalu menikmati hidup di atas bumi ini. Dunia semakin tua. Perputaran waktu semakin cepat. Perasaan masih pagi, tahunya sudah malam. Begitu pula sebaliknya.Namun tidak bagi Laila, ia merasa waktu hanya berjalan seperti jarum pendek pada jam dinding di dalam kosannya, atau seperti lansia yang sedang meniti anak tangga, lambat!Itu tak lain, karena ia memendam rindu. Serasa ingin segera merengkuh wanita yang sudah melahirkannya, ingin bersimpuh di pangkuannya, ingin dibelai, ingin dipeluk karena sentuhannya adalah kekuatan. Sosok wajah sendu, bersahaja dan penuh kerutan itu tak lekang dari ingatannya. Ia sungguh merindu.Laila patut bersyukur bisa berhasil melalui h
"Kenapa sendalnya kamu lepas? Ini mall, Neng. Bukan masjid!" Arsen menahan tawa, melihat Laila melepas sandalnya dan masuk melewati pintu otomatis. Beberapa orang menoleh dan ikut menertawakan Laila.Laila menahan malu, wajahnya memerah bak kepiting rebus, padahal ia tahu kalau masuk ke dalam mall tak perlu lepas sandal, entahlah pikirannya sedang tak fokus.Laila membalikkan tubuhnya, setengah berlari keluar mall untuk memakai sandalnya kembali, kembali beberapa pasang mata memperhatikannya, ada yang menutup mulutnya cekikikan. Sisanya cuek dan tak mau tahu."Bikin malu aja!" Arsen menggerutu."Jangan dimarahin Mas, kasihan," kata seorang ibu pada Arsen. "Sabar ya neng. Pembantu baru, ya? Baru datang dari kampung?" tanyanya lagi, ditujukan pada Laila.Laila tak menjawab, hanya tersenyum miris, lalu menggaruk kepala yang tak gatal.“Kaihan atuh, Mas. Orang kampung, baru ke mall mungkin. Jangan dimarhi, ya. Walaupun dia pembantu Mas.”Wajah Laila memerah, ia benar-benar malu. Arsen han
Laila terlihat sangat bahagia, Rosma mengabarinya jika uang yang ia transfer telah diambil. Uang LKS sudah dibayar, listrik juga sudah lunas. [Ka, hari ini kita makan enak. Alhamdulillah ... ibu masak ayam goreng, sayur bayam dan sambal tomat, terima kasih uangnya, ya. Semoga rezekinya berkah. Kakak sehat terus. Ibu pesan, Kakak jaga diri baik-baik disana.] Laila membaca pesan Rosma berulang kali, ada sensasi hangat menelusup di sela-sela hatinya. Rasa bahagia membuncah mengetahui keluarganya makan ayam, sama seperti dirinya. Awalnya ia sempat ragu, ketika hendak memakan ayam pemberian Arsen, namun karena cacing-cacing di perutnya sudah berdemo, ia terpaksa makan dengan mata berkaca-kaca. [Alhamdulillah ... Kakak senang dengarnya, Ros. Oya, jika butuh bantuan, misalnya mengangkat galon atau gas, kamu bisa minta tolong wa Dirman, jika kamu gak kuat.] Laila membalas SMS Rosma, ia merasa bersala
Matahari belum menampakkan dirinya. Awan mendung bergelayut, berpegangan erat, bahu membahu menghalangi cahaya sang raja siang. Para petani padi gelisah, mereka telah menggelar gabah, berharap hari ini mengering agar dapat segera digiling.Nelayan yang sedang menata ikan untuk dibuat ikan asin, berkali-kali menengadah berharap secercah cahaya matahari mengeringkan ikan tangkapannya. Jika hujan turun, ikan asin yang dihasilkan kualitasnya akan menurun. Uang yang didapatkan pun akan berkurang.Ibu-ibu rumah tangga yang memiliki bayi dan balita pun tak kalah resahnya, mereka berharap-harap cemas, matahari segera hadir mengeringkan pakaian mereka. Terbayang sudah, pakaian basah dan cucian semakin menumpuk dan pekerjaan rumah tangga yang semakin bertambah.Tak berbeda dengan petani, nelayan dan ibu rumah tangga, Laila pun ikut gelisah, memikirkan pakaian laundry milik pelanggan, yang berderet basah depan kosannya. Semoga sian
[Ka, ibu sakit lagi. Rosma minta tolong pada tetangga, tapi gak ada yang mau bantu, sakitnya ibu demam dan diare, tapi Rosma udah bawa ibu ke puskesmas.] Pesan dari Rosma, malam tadi. Hari ini masih mendung kelabu, sama dengan hati Laila, ia sedih memikirkan keluarganya di kampung. Setelah kepergian Rusmin, kehidupan mereka semakin sulit karena kerap dicurigai dan dijauhi teman maupun tetangga. Uang yang ia miliki tak banyak, pemasukannya berkurang banyak, karena cuaca yang sering mendung ia tak berani mengambil banyak cucian. Sebelum berangkat ke tempat kerjanya ia meminta tolong pada Yani, untuk mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening ibunya, karena Yani bisa menggunakan fasilitas M-banking. Sebagai gantinya Laila memberikan sejumlah uang cash. Laila ingin pulang untuk melihat kondisi ibunya, tapi apa daya, itu tak memungkinkan, orang baru seperti dirinya belum bisa mengajukan cuti. Lai
Kilasan kenangan indah tentang Abizar, kembali hadir menghiasi memori Laila. Lelaki itu memiliki tempat khusus di hatinya, yang tersembunyi dan dalam, sedalam palung Mariana. Laila tak ingin siapa pun mengetahui rahasia hatinya.Laila masih teringat, beribu kenangan dengan Abizar, salah satunya tentang puasa Daud."Mengapa Abang suka puasa?" tanya Laila di suatu senja, saat menunggu adzan Maghrib di teras masjid.Para remaja masjid selalu datang setengah jam sebelum adzan, sambil menunggu waktu shalat, ada yang hanya duduk-duduk saja dan mengulang hafalan, atau sekedar bersenda gurau dengan kawannya. Alangkah indah masa-masa kecil mereka dulu.Saat itu Laila masih kelas enam SD dan Abizar berusia 17 tahun, Laila menganggapnya sebagai lelaki berhati malaikat, disaat lelaki lain teman sebayanya menghinanya, mengolok-oloknya, hanya Abizar yang menjelma menjadi sosok pembelanya.Ia t
"La, ada ojol kirim sesuatu buat kamu." Yani menyodorkan plastik kecil berwarna hitam.Laila menerimanya dengan kening berkerut, ia tak memesan apa pun, mungkin salah orang. Laila mencoba mencari tahu isinya, yang ternyata nasi bungkus."Mbak, aku gak pesan apa-apa, deh. Salah kirim, kali?" ucap Laila, ia ragu barang itu bukan untuknya."Benar, La, itu buat kamu. Abang ojol bilang untuk Alfu Laila, yang namanya Laila, kan cuma kamu. Udah, makan aja. Jangan menolak rezeki!"Laila memebuka isi kantong plastik tersebut, nasi bungkus, yang isinya lumayan besar, ada kerupuk dan buah jeruk juga di dalam kantong kereseknya. Ia juga menemukan tulisan di dalamnya.[Selamat berbuka, makanlah nasi spesial ini, jangan takut! Makanan ini halal untukmu, Laila. AG]"AG? Siapa, ya?" gumam Laila pelan, tapi terdengar oleh Yani."Arsen Guntara!" tebaknya.