Share

Realistis

Peristiwa terpelesetnya Arsen menjadi buah bibir para karyawan, ada beberapa pasang mata yang menyaksikan bagaimana Arsen terpeleset. Wajah mereka memerah karena menahan tawa. Bahkan ada yang lari cekikikan ke kamar mandi.

Arsen terkenal sebagai sosok yang dingin dan kejam, tak segan ia menghukum atau memecat karyawan yang membuatnya murka.

Sebagian ada yang bersorak gembira melihat bos sombong dan menyebalkan itu mendapat karma, akibat sering membentak dan memecat anak buahnya sesuka hatinya.

Sebagian ada yang berterima kasih pada Laila, karena sudah membuat orang nomer satu di kantor mereka itu malu.

Teguh bukannya menegur Laila, ia malah berniat mentraktirnya dengan semangkuk bakso.

Bukan tanpa alasan kenapa Teguh melakukan hal itu, dulu saat ia pertama kali bekerja menjadi cleaning service, ia pernah sakit hati oleh Arsen, ia dihukum mengepel lima lantai gedung ini sendirian. Hampir seharian tanpa istirahat dan makan, kalau bukan butuh pekerjaan, tak sudi rasanya bekerja dalam tekanan.

Karena hal sepele dan bukan murni kesalahnnya, tunangan Arsen menabrak dirinya, hingga ember yang dibawanya tumpah, membasahi pakaian wanita modis dan 'cetar' bernama Heralin itu.

"Makasih ya, La, kamu sudah membalaskan sakit hatiku," katanya, dengan wajah sumringah.

Laila garuk-garuk kepala tak gatal melihat ke-absurd-an para karyawan yang menurutnya aneh ini. Mengapa harus berterima kasih untuk keteledorannya?

"Aku traktir bakso, ya, atau batagor, mie ayam, sate?" katanya lagi. Teguh terus mengikuti Laila kemana pun ia pergi.

"Jangan mau, La. Modus itu mah." Agus teman seprofesi Laila yang berasal dari Ciamis berseru mencorongkan tangan di depan mulutnya.

"Ma'af, Pak. Saya lagi puasa, lain kali saja," tolak Laila halus.

"Jangan panggil pak, dong ... memang wajah saya tua banget, ya?"

"Lalu harus saya panggil apa?" ucap Laila, yang lama-kelamaan merasa kesal juga.

"Terserah Laila, panggil mas boleh, panggil abang juga boleh, asal jangan panggil yayang saja, karena kita belum jadian," ucapnya menyebalkan.

"Iya, Bang. Ma'af saya permisi dulu." Laila segera pamit, karena risih dengan sikap Teguh yang terus menatapnya, disertai sikap yang cengengesan. Membuat Laila sebal.

Pekerjaannya berakhir di jam empat sore, segera ia berkemas, membereskan peralatan tempurnya, memastikan semuanya beres dan rapi, lalu ia mengganti pakaian dan bersiap pulang.

Ia sudah menghafal rute tempatnya bekerja ke tempat kos-kosannya, hanya naik angkot satu kali saja. Jarak kantornya tak terlalu jauh, jadi ia bisa sedikit menghemat ongkos.

Malamnya selepas shalat maghrib dan berbuka puasa. Laila membaca Al-Qur'an dan mengulang hafalannya. Yani belum pulang, katanya mau jalan-jalan sebentar melihat suasana kota Tangerang di malam hari. Cuci mata di mall.

Laila meraih ponsel polyphonic seharga dua ratus ribuan miliknya, bendanya yang paling berharga. Ia kangen berat mendengar suara ibu dan adik-adiknya.

"Assalamualaikum, Kak ..." suara Rosma, di balik telepon.

"Wa'alaikumsalaaam, apa kabar, Ros? ibu dan Nisa?"

"Alhamdulillah, sehat semua, Kak. Ibu juga sehat, sudah tidur, katanya capek, tadi habis nyuci."

"Syukurlah, Kakak lega mendengarnya, kalau kalian baik-baik saja. Bilang ibu, jangan terlalu capek."

"Iya Kak, Rosma bantuin kok! Oya, Kakak tahu, gak? Soraya kuliah di Ciputat?"

"Oya? kamu tahu dari mana?" tanya Laila dengan alis bertaut, tanda berpikir dari mana Rosma dapat kabar tersebut, mengingat mereka tak pernah berani bertanya pada pamannya, tentang anaknya yang bernama Soraya tersebut.

"Wa Dirman dan wa Rodiah, mereka semalam ke sini, katanya mau jodohin kakak sama temannya wa Dirman, juragan kaya raya tapi duda tua."

Laila yang mendengarnya tersentak.

"Trus?"

"Ibu bilang gak bisa, kakak lagi kerja dan akan kuliah dulu, tapi malah diketawain wa Dirman, ibu diejek-ejek, dibilang jangan ngimpi, miskin aja belagu. Emangnya  bisa nguliahin anak. Makan aja susah! Dia malah bangga-banggain Soraya yang keterima kuliah di kedokteran."

Laila, sangat sedih mendengar jawaban ibunya yang masih menginginkan ia kuliah. Walau tak dapat dipungkiri jika dalam hati terdalamnya masih ada terselip harapan untuk meraih impian. Bisa lanjut kuliah, di kampus impian.

“Sabar, ya, Ros. Anggap aja Wa Dirman itu radio butut,” kekeh Laila, mengenyahkan rasa sebak di hatinya. Ibunya pasti terluka mendengar perkataan uwanya itu.

“Iya. Kak. Cuma sedih aja, Sih. Dikit, he ….”

“Bilang sama Ibu, Kakak gak pengen lanjut kuliah. Kakak udah seneng kerja.”

Laila hanya mencoba realistis, bukan ia tak yakin akan kuasa Allah. Untuk saat ini yang paling ia inginkan adalah melihat adik-adiknya selesai mengenyam pendidikan, yang layak. Walau ia harus mengorbankan dirinya sendiri.

Terkadang ia merasa marah dan kecewa akan kemiskinan yang seolah tak bosan beranjak dari sisinya. Jika banyaknya rizqi diperoleh dari banyaknya tenaga yang dikeluarkan, maka pekerjaan dirinya ... harusnya, mendapat rizqi yang lebih banyak.

Sejak di kampung ia sudah terbiasa bangun dini hari, mengurus segala pekerjaan rumah tangga, lalu siangnya bekerja membantu di sawah warga, sorenya menyelesaikan menggosok pakaian milik tetangga.

Tidur menjelang tengah malam, itu dilakukannya setiap hari, tapi penghasilannya tetap tak mencukupi kebutuhan mereka.

Ia teringat pernah bertanya pada ustadzah Mutia, mengapa Allah menciptakan orang miskin yang hidupnya susah, sedangkan di sisi lain Allah menciptakan orang-orang yang bergelimang harta dan hidupnya serba enak dan mudah?

Kata ustadzah Mutia, jika kita hidup di dunia ini serba kekurangan, lalu kita bersabar maka Allah pasti akan memberikan pahala yang setimpal.

"Mau miskin atau kaya, semuanya sudah Allah takdirkan. Satu hal yang pasti, apapun yang kita dapatkan di dunia ini, semuanya ada hisabnya.

"Diibaratkan ada dua orang membeli barang di sebuah supermarket, yang satu belanjaannya banyak hingga satu troli penuh, yang satu lagi cuma membeli air mineral dan sebungkus roti, kira-kira saat membayar di kasir yang paling lama ngitung belanjaannya yang mana?

"Jelas! Yang belanjaannya satu troli yang paling lama perhitungannya. Dia itulah orang kaya, yang dikasih nikmat melimpah sama Allah. Hisabnya di akhirat lama, sebab banyak yang ia nikmati di dunia ini.

"Sedangkan orang miskin, melesat seperti cahaya hisabnya, saking cepetnya, karena tak banyak yang ia nikmati di dunia ini, tapi itu tentu saja, untuk orang miskin yang beriman dan sabar. Tak sedikit orang miskin yang kufur.

"Jangan sampai kita ini sengsara di dunia sengsara juga di akhirat na'udzubillah, kalau bisa, orang muslim itu harus selamat dan bahagia di dunia, selamat dan bahagia juga di akhirat."

Selalu terngiang ucapan sakti ini di telinga Laila, kaya atau miskin yang penting selalu ta’at. Tapi alangakah baiknya jadi orang kaya yang dengan kekayaannya dapat bersyia’r dan menolong agama Islam. Ia ingin menjadi muslim yang kuat, tangguh dan bermanfa'at. Karena sebaik-baik muslim adalah yang kuat, sehingga kemanfa'atannya lebih banyak, daripada muslim yang lemah, walaupun sama-sama baiknya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status