"Emm..., jujur ya, kalau menurut Mas lebih sexy-an kamu sih!" Walau Yanti hanya wanita simpanannya, Adi tak ingin membuat wanita itu tersinggung. Karena dia sudah sangat cocok dengan Yanti. Sebab, sudah sering ia ke sana kemari menikmati tubuh wanita tapi, pelayanan wanita ini tidak dia dapatkan di tempat lain.
Namun setelah melihat foto Rani, tiba-tiba ia berubah pikiran. Lelaki buaya itu berencana melakukan sesuatu dengan memanfaatkan perasaan Yanti terhadap suaminya Rani. Yanti merasa sombong setelah mendengar pendapat Adi. "Bener 'kan? Sudah kuduga. Tapi kenapa Mas Irwan tidak pernah tergoda ketika melihatku ya, Mas?" Yanti berpikir sejenak. "Haa...." Adi terlonjak kaget saat meneliti wajah Rani, ketika Yanti tiba-tiba menepuk punggung tangannya. "Kamu, kenapa sih, Sayang?” Nampak ia terlihat kesal saat konsentrasinya terganggu. " Aku curiga, Mas, apa jangan-jangan....""Jangan-jangan apa?" Adi sedikit penasaran dengan kalimat Yanti yang terpotong. "Jangan-jangan si Rani itu pakai pelet lagi untuk memikat suaminya. Sebab sedikit pun Mas Irwan tak pernah melirik Yanti. Padahal 'kan Yanti cantik dan sexy.""Hahaha...." Adi tertawa terbahak-bahak membuat Yanti kesal. "Iihh..., kok, Mas ketawa sih? Ngetawain aku, ya? Emangnya ada yang lucu?" Yanti merajuk seperti anak kecil. "Hahaha... Haa.. Ha.." Iya, Mas ketawa sebab ada yang lucu, tapi bukan ngetawain kamu, nggak! Tapi... Booong, hahahaa...." Ia masih saja tertawa. "Nggak.. Nggak, Mas cuma bercanda. Mas pikir kamu nggak percaya yang gitu-gituan.""Maksud, Mas?""Wanita secantik dan semoderen kamu, masa iya percaya sama hal kaya gitu? Kita hidup di zaman moderen, Sayang! Hal-hal kaya gitu nggak ada lagi di zaman sekarang. Makanya tadi Mas ketawa," jelasnya. "Wanita ini bukannya pakai pelet tapi emang dasarnya cantik, tanpa make-up pun sudah kelihatan cantik," batin Adi. "Malah zaman sekarang, Mas, banyak wanita atau para istri memakai yang begituan supaya lakinya nggak tergoda sama wanita lain," terang Yanti. ”Kok, kamu tau banget. Kamu pakai begituan juga, ya?""Enak aja! Ya enggak lah! Aku kan emang cantik dari sananya, nggak pakai yang begituan juga banyak yang lirik dan godain.""Emm, iya percaya deh! Buktinya sekarang Mas lebih suka berduaan sama kamu daripada istri Mas!""Bener 'kan? Aku heran aja gitu, di daerah tempat aku tinggal cuma Mas Irwan yang nggak tertarik sama aku.""Ya iyalah, gue juga kalau istrinya cantik kaya gini, mana bakalan ngelirik yang lain," batin Adi. "Semakin penasaran gue sama wanita ini!" Lagi, kata-kata itu hanya bisa diucapkannya di dalam hati. "Apa gue manfaatin aja, ya, si Yanti buat dapetin wanita ini?"Seketika terlintas ide gila di pikirannya. Adi menghasut Yanti buat gencar mempepet suaminya Rani. Supaya bisa merebut wanita cantik itu. "Memang kamu sudah pernah menggoda suaminya?""Menggoda secara langsung sih, nggak pernah! Soalnya orang-orang di kampung itu nggak suka sama pelakor. Yang ada nanti aku malah jadi bulan-bulanan warga. Cuma baru sekedar tebar pesona aja.""Kenapa kamu nggak berusaha pepet dia?" Adi semakin gencar menghasut Yanti. "Kalau kamu berusaha pasti akan ada hasilnya. Kata orang 'kan usaha tidak mengkhianati hasil."Mendengar kalimat itu membuat Yanti semakin semangat. "Emangnya, Mas nggak cemburu aku dekat sama lelaki lain?""Ada sih, cemburu! Cuma kamu 'kan suka sama dia? Kalau suka, Mas nggak bakalan halangin, kok! Hubungan kita 'kan nggak sedalam itu! Masa, Mas harus menahan kamu untuk suka sama yang lain," ucap Adi santai. "Hubungan kita hanya simbosis mutualisme. Hubungan yang saling menguntungkan. Kamu perlu uang, Mas perlu pelayanan dari kamu yang tidak dapat Mas rasakan dari istri Mas. Jadi buat apa nahan perasaan kamu untuk suka sama yang lain," timpalnya lagi. Yanti hanya terdiam. Memang benar hubungan mereka seperti itu. Tetapi, walaupun seperti itu bagi Yanti, Adi adalah sosok pria yang ia kenal sangat royal dan mengerti dengan dirinya."Mas ada saran nggak supaya Mas Irwan ngelirik aku?"Adi menyeringai. "Emm.., tunggu, Mas pikir dulu!" ucapnya bercanda membuat Yanti kembali mencubit pinggangnya yang polos. "Ahh.. Haa.., sakit, Yang!" jeritnya. "Habis, Mas sih! Dari tadi bawaannya bercanda aja." Yanti mengerucutkan bibirnya. "Mas, kan emang beneran lagi mikir ini!" "Oh, gitu ya?" Yanti merasa bersalah. "Emm, ah, Mas ada cara biar si Irwan-irwan itu ngelirik kamu!"Adi menjelaskan suatu rencana kepada Yanti. "Mas jamin ini akan berhasil?" tanya Yanti ragu. "Iya, Mas yakin. Semua lelaki dewasa normal mana tahan kalau godaannya wanita sexy seperti kamu. Di depan mata pula." Adi berusaha meyakinkan Yanti. Yanti menganggukan kepala. "Bakalan Yanti coba.""Bagus kalau Yanti berhasil memisahkan mereka berdua, gue bisa mendekati wanita ini. Setelah mendapatkan wanita ini, Salsa pun bakalan gue ceraikan," batinnya. Membayangkannya saja membuat hasrat Adi kembali muncul lagi. Cup.. Ia mengecup bib*r Yanti. Yanti langsung paham dan segera melakukan tugasnya. Dan terjadilah kembali adegan panas itu. ****Adi bersiap untuk pulang setelah puas bermain dengan Yanti, ia segera membersihkan diri. Karena sedari tadi handphone-nya terus berbunyi. "Mas, duluan ya? Ini buat kamu!" Sembari mengeluarkan uang lembaran berwarna merah dari dompet di sakunya. Mata Yanti langsung segar ketika melihat lembaran uang itu. "Makasih ya, Mas!" ucapnya dengan nada semanis mungkin. "Sama-sama, Mas pulang dulu, ya. Nanti istri Mas tambah curiga." Adi mencium pucuk kepala Yanti yang masih berbalut selimut.Adi keluar meninggalkan Yanti seorang diri di kamar itu. Kini Yanti hanya sendiri, ia enggan untuk beranjak dari kasur. Ia masih memikirkan rencana yang dikatakan Adi barusan. "Apa mungkin bisa berhasil, ya? Apalagi sekarang 'kan orang-orang kampung nggak mudah lagi untuk percaya kalau tidak ada buktinya," gumamnya. Dia terus saja memikirkan hal itu sampai-sampai membuat kepalanya pening. "Dah lah, nanti aja pikirin itu. Sekarang waktunya mandi dan kita nikmati uang dari Mas Adi buat shoping dan makan-makan."Yanti bersiap mandi. Dengan hati riang gembira dia bersenandung di dalam kamar mandi. Ia mematut dirinya di cermin. Memperhatikan setiap lekuk tubuhnya yang tak berbalut apa-apa, membuat keinginannya untuk merebut Irwan dari Rani semakin menggebu. "Sebentar lagi, tubuh molek ini akan menjadi milikmu, Mas irwan," gumamnya. Suara gemericik air menandakan aktifitas mandinya baru di mulai. Dua puluh menit kemudian, Yanti keluar kamar mandi. Ia bersiap merias diri. Merasa puas dengan hasil polesannya. Yanti kembali merasa tinggi hati. "Seandainya kamu sedikit saja melirik aku, Mas, sudah bisa dipastikan kamu akan kelepek-klepek dengan wajah cantik dan body aduhai-ku," ucapnya pede. Yanti terkejut ketika di loby hotel bertemu dengan seseorang. Matanya membelalak. Bersambung.... ***Hayo...! Siapa ya? Yang sedang dilihat Yanti? Ada yang bisa nebak? 😁"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak