Nara sedang sibuk melihat daftar klien yang akan menikah bulan ini.
“Bulan ini kita ada beberapa jadwal foto ya?”tanya Embun memastikan. “Kamu sudah menghubungi pihak studio?”tanya Nara pada Galang untuk memastikan. Galang menganggukkan kepala,”Minggu depan dan akhir bulan.”tambahnya. “Ini kamu yang mau pergi?”tanya Embun pada Nara sambil melambaikan selembar kertas berisi kontrak dengan salah satu klien. Mata Nara langsung membesar begitu melihat nama pasangan yang tertulis di lembar kertas itu,”Alya dan Devian? Ya ampun harusnya kan aku ketemu hari ini. Jam berapa sekarang?”tanyanya panik. “Hampir jam empat.”sahut Nadira sambil menunjuk jam dinding Nara segera menghela napas lega,”Untung janjiannya cuma di mal sebelah.”katanya sambil meletakkan kepala di atas meja. “Tenang masih ada satu jam.”kata Embun sambil tertawa karena melihat tingkah Nara,”Tunggu kamu sudah bilang belum sama Ara soal salah paham yang kemarin itu.”tanyanya tiba-tiba teringat. “Aku lupa mbak!”seru Nara sambil mengangkat kepalanya.# “Kalian nanti ada rencana akan foto di mana?”tanya Nara sambil menyodorkan beberapa contoh hasil foto. “Kalau kita foto di luar kota apa bisa?”tanya Alya dengan mata yang tertuju pada layar laptop Nara. Devan, calon suami Alya mengangguk setuju,”Kami tidak terlalu suka dengan foto di dalam ruangan.”ujarnya. Nara memutar matanya sambil berpikir sejenak,”Bagaimana kalau Yogyakarta?”tanya menawarkan pilihan,”Kebetulan bulan depan kami memang ada jadwal foto di sana.”jelasnya lagi. Semakin banyak pasangan yang berfoto di tempat yang sama akan semakin baik karena mereka bisa menghemat biaya perjalanan. Lagi pula untuk masalah rekomendasi tempat Nara bisa bertanya pada kakak sulungnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun pernah tinggal di sana.# Pertemuan yang berlangsung hampir dua jam itu akhirnya selesai juga. Setelah saling berpamitan dengan pasangan Alya dan Devan, Nara segera berjalan menuju salah satu toko yang menjual pernak-pernik perempuan dan mencari barang yang ia perlukan. “Warna apa yang lebih bagus?”gumam Nara pada dirinya sendiri, dengan tangan kanan yang memegang sebuah dompet kartu berwarna merah dan yang berwarna kuning di tangan kirinya. Nara memutar mata kemudian meletakkan kedua benda di tangannya,”Mungkin sebaiknya aku coba lihat di toko lain.”gumamnya sambil melangkah keluar.# “Kamu kalau memang enggak sempat seharusnya bilang.”kata Ara begitu Davina mengangkat teleponnya. Ara dan Davina baru saja resmi berpacaran sekitar tiga hari yang lalu. Sore ini Davina berjanji untuk menemani Ara untuk mencari hadiah untuk ibu Ratih yang akan berulang tahun minggu ini. Namun tiba-tiba Davina membatalkan janji dengan alasan lupa kalau ia sudah ada janji untuk menghadiri sebuah undangan dengan temannya. Ara memutar matanya sambil menghela napas pelan,”Harus cari hadiah sendirian nih. Mama mau apa ya?”gumamnya.# “Nara?”panggil Ara begitu mengenali sosok yang lewat di depannya. Langkah kaki Nara terhenti tetapi dirinya sangat enggan untuk menoleh ke arah suara yang menjadi akrab di telinganya beberapa hari belakang ini. “Kamu di sini?”tanya Ara begitu berdiri di hadapan Nara,”Hoi!”panggilnya lagi sambil menjetikan jari di depan muka gadis yang sejak tadi tidak bergerak Nara mengedipkan matanya deng an perlahan,”Iya mas.”jawabnya tak bersemangat. “Sendirian? Bantu aku cari kado untuk mamaku ya.”pinta Ara dan lagi-lagi tanpa menunggu jawaban dari Nara, ia langsung menarik lengan gadis itu.# “Mas, ini sudah malam. Kalau mas enggak tahu mau cari kado apa mendingan kita pulang.”ujar Nara begitu mereka berhenti di depan sebuah butik. Ara melirik jam di pergelangan tangannya,”Baru juga jam delapan. Soalnya kalau enggak hari ini aku sudah tidak ada waktu.”katanya dengan suara memohon. Nara menarik napas panjang,”Tante Ratih enggak ada barang yang lagi dicari? Atau apa begitu yang lagi disukai?”tanyanya berusaha membantu sahabat kakak sulungya ini. “Setahu aku itu enggak ada. Makanya dari tadi aku bingung.”jelas Ara santai. “Kalau begitu kita kasih hadiah yang enggak akan ditolak sama siapapun.”kata Nara yakin. “Memang ada hadiah kayak begitu?”tanya Ara bingung. “Perhiasan! Selain bisa dipakai kalau sedang mendesak perlu uang bahkan bisa dijual.”jelas Nara cepat. Ara langsung mengangguk setuju lalu memutar matanya,”Kalau begitu ayo kita ke sana.”ajaknya lagi-lagi langsung menarik paksa lengan Nara.# Nara dengan cepat mengutuki dirinya sendiri. Kenapa ia harus memberikan gagasan yang malah akhirnya membawa bencana bagi dirinya sendiri? Ia lupa kalau Gio, mantan pacarnya itu membuka toko perhiasan di mal ini. “Mas harus banget ya ke toko ini?”tanya Nara berusaha menghentikan langkah Ara yang menyeretnya. Ara melepaskan lengan Nara lalu menunjuk papan nama toko perhiasan yang hanya tinggal berjarak beberapa langkah dari hadapan mereka,”Ini toko langganan mamaku. Kalau beli di sini pasti sesuai dengan selera mama.”jelasnya. “Tapi ini toko punya mantanku mas.”ujar Nara enggan. “Bagus dong kalau begitu. Kalau kenal siapa tahu dapat potongan harga.”sahut Ara ringan sambil menarik Nara masuk.# “Nara?”sapa Gio terkejut begitu melihat mantan kekasihnya masuk ke dalam tokonya. “Halo.”jawab Nara singkat tanpa memandang ke arah orang yang menyapanya. “Bisa lihat yang ini?”pinta Ara cuek sambil menunjuk salah satu kalung yang ada di etalase. Gio yang baru menyadari kehadiran Ara segera meminta salah satu pegawainya untuk mengambil kalung yang dimaksud. Ara mengambil lalu menunjukkan kalung yang dipilihnya kepada Nara,”Menurutmu ini bagaimana?”tanyanya. Mata Nara bergerak-gerak karena merasa kikuk,”Kalau mau sering dipakai sebaiknya kita pilih sesuatu yang lebih sederhana.”jawabnya memberi saran. Sementara Ara dan Nara sibuk memilih, Gio tidak bisa berhenti memperhatikan keduanya. “Kayaknya kita ambil yang ini saja ya?”kata Ara sambil menunjuk salah satu dari beberapa pilihan di hadapannya dan Nara. Nara mengangguk setuju,”Iya yang ini boleh.”katanya yakin. “Ngomong-ngomong mantan kamu itu mau sampai kapan mandangin kita?”bisik Ara menunjuk ke arah Gio dengan dagunya. Nara menoleh dan langsung panik saat matanya bertemu pandang dengan Gio. “Katanya mantan kok pakai panik?”gumam Ara bingung. “Mas sudah ketemu kan yang dicari. Kita pulang yuk.”ajak Nara sambil menggerak-gerakkan matanya memberi isyarat agar Ara menurutinya. Ara tersenyum geli lalu beranjak untuk pergi membayar kalung yang mereka pilih. Namun langkahnya terhenti saat melihat sebuah kalung dengan liontin kecil sederhana yang tampak begiitu manis,”Aku mau yang ini juga ya.”katanya pada pegawai yang menunggunya untuk membayar. “Yang ini akan langsung dipakai.”kata Ara begitu menyelesaikan pembayaran.# “Mana ada orang bayar jasa kurir pakai kalung emas?”tanya Nara sambil memegang kalung yang tiba-tiba melingkar di lehernya. “Habis kemarin semua kamu tolak.”jawab Ara santai,”Sudah anggap saja aku titip nanti kalau aku perlu uang kan bisa di jual.”canda Ara sambil mengacak rambut gadis di hadapannya. “Iya itu karena aku memang enggak butuh apa-apa.”sahut Nara memberi alasan. “Tenang lagi pula ini kan kalung harga mantan jadi aku dapat banyak potongan.”kata Ara sambil tertawa.# “Jeng hari ini seru banget ya kita arisannya sampai enggak ingat waktu.”kata ibu Winda penuh semangat,”Mungkin memang sekali-sekali kita harus buat acaranya diluar kayak hari ini. Ganti suasana.”tambahnya lagi. Ibu Ratih mengangguk setuju,”Iya jeng lain kali kita usulkan lagi ya.”katanya menanggapi. “Jeng enggak dijemputkan? Pulang sama aku saja.”ajak ibu Winda,”Eh, jeng itu bukannya pacarnya Nara?”katanya menunjuk ke arah seberang restoran. “Yang mana jeng?”tanya ibu Ratih bingung karena tidak dapat melihat dengan jelas,”Kita ke sana saja ya.”ajaknya.# “Nara? Kamu lagi di sini?”sapa ibu Ratih begitu melihat putra sulungnya. “Mama arisan di sini?”tanya Ara begitu melihat ibu Ratih berdiri di hadapannya. Dengan wajah dihiasi senyuman ibu Ratih dan ibu Winda saling berpandangan sesaat. “Kalian sedang kencan?”tanya ibu Winda sambil tersenyum. Tiba-tiba Nara berhenti bernapas, ia benar-benar lupa sama sekali untuk memberi tahu Ara mengenai masalah waktu itu. “Enggak kami hanya sedang mencari hadiah untuk mama.”jawab Ara santai,”Ini hadiah ulang tahunnya dikasih lebih awal saja ya ma.”katanya lagi sambil menyodorkan kantong kertas yang bawanya. “Wah, jeng Ratih beruntung banget punya putra sama calon menantu begitu perhatian.”ujar ibu Winda yang ikut senang,”Sudah kalian lanjut saja kami akan pulang duluan ya jeng.”katanya lagi sambil mengajak ibu Ratih. “Iya mama pulang sama jeng Winda saja.”kata ibu Ratih pada Ara setelah itu segera mengalihkan pandangan pada Nara,”Terima kasih ya. Lain kali kita makan sama-sama ya.”katanya sambil menggenggam tangan gadis yang ia kira calon menantunya.# “Jadi mereka salah sangka?”tanya Ara sambil tertawa. Akhirnya dalam perjalanan pulang Nara menceritakan kejadian yang terjadi hari itu pada Ara. “Tante Winda bahkan enggak kasih aku kesempatan buat menjelaskan.”gumam Nara mengingat kejadian hari itu. “Pantas mama bisa tahu kalau aku punya pacar. Padahal aku belum cerita.”kata Ara sambil memperhatikan jalan. Nara menoleh dengan cepat,”Kalau mas sudah punya pacar kenapa enggak bilang tadi?”protesnya. “Kamu sendiri yang barusan bilang kalau penjelasan kita itu enggak akan didengar.”kata Ara memberi alasan. “Iya sih tapi kan ini harus cepat diselesaikan. Kalau sampai mas Arka tahu, aku bisa kena omel.”gumam Nara sambil menghela napas. Ara menghentikan mobil saat di lampu merah lalu memutar badan menghadap Nara yang duduk disebelahnya,”Jangan sampai Arka tahu. Bukan hanya kamu yang akan kena omel tapi aku juga. Kakakmu itu galak banget tahu.”katanya mengingatkan dengan pandangan serius.“Kamu tadi malam pulang diantar Nara?”tanya Arka pada adik bungsunya saat mereka duduk di meja makan untuk sarapan pagi ini.“Iya semalam kebetulan ketemu mas Ara.”jawab Nara singkat. Meski sudah bertahun-tahun tetap saja rasanya aneh kalau harus menyebut namanya sendiri untuk memanggil orang lain. Bagaimana bisa orangtuanya memberi ia sebuah nama yang cocok untuk anak laki-laki? Geruttu Nara dalam hati.Arka menganggukkan kepalanya dengan perlahan,”Kenapa dari kemarin kalian sering sekali kebetulan bertemu?”gumanya heran.“Hanya dua kali mas dan cukup dua kali.”sahut Nara cepat.“Memang kebetulan kamu yang mengatur?”tanya Arka tidak mengerti maksud adiknya yang tiba-tiba mengomel.“Ya soalnya kalau keseringan itu bukan kebetulan tapi takdir.”sahut ibu Linda tiba-tiba menimpali perbicaraan anak-anaknya.“Mama lagi pagi-pagi pakai bawa-
Mata Embun membesar begitu selesai mendengar cerita Nara.“Kamu makan malam sama mamanya Ara?”tanyanya memastikan.Nara hanya bisa menghela napas dengan wajah merana,”Kayaknya enggak cukup kacau dengan aku terus-terusan kebetulan ketemu sama mas Ara. Kemarin harus banget ditambah sama ketemu tante Ratih.”gumamnya tak berdaya.“Kamu enggak minta Ara untuk kasih tahu mamanya?”tanya Embun lagi,”Terus kata kamu kemarin itu Ara sudah punya pacar. Kalau tiba-tiba kalian enggak sengaja ketemu apa tidak jadi runyam?”tambahnya mengingatkan.#“Sayang, kita hari ini jadi ketemu?”tanya Ara memastikan saat menelepon Davina pagi ini.“Jadwal operasiku sampai jam tiga sore.”jawab Davina yang sedang melangkah menuju ruang prakteknya.“Aku praktek sampai jam empat hari ini. Kalau begitu kita ketemu waktu jam makan malam.”kata Ara memutuskan.Davina memutar matanya,”Sayang, tapi jangan terlalu malam ya pulangnya. Soalnya aku har
“Itu muka kenapa?”tanya Arka begitu melihat wajah sahabatnya pagi ini.Ara mengusap wajahnya sendiri dengan salah satu tangan,”Davina tiba-tiba minta dijemput.”jawabnya tak bertenaga.“Tadi malam?”tanya Arka heran dengan salah satu alis terangkat.“Sekitar lima jam yang lalu.”sahut Ara memutar matanya.“Dia pulang jam tiga pagi?!”suara Arka terdengar meninggi begitu menyadari penyebab sahabatnya kurang tidur,”Terus dia bisa ke rumah sakit pagi ini?”tanyanya kemudian dengan suara yang tiba-tiba berbisik.Ara langsung tertawa begitu mendengar perubahan cara bicara sahabatnya itu,”Pertanyaannya kita juga sebelumnya enggak pernah tahukan kalau ternyata dia suka banget keluar malam?”jawabnya sambil memiringkan kepala.Arka mengangguk,”Benar juga ya. Mukanya betul-betul enggak ada bedanya. Kurang tidur apa enggak sama saja.”gumamnya membenarkan.#“Kamu nanti sore ada janji sama Alya dan Devan?”tanya Zia pada Nara ya
“Pasien infeksi hati?”tanya Arka saat melihat sahabatnya sedang membaca berkas salah satu pasien.Ara mengangguk tanpa mengalihkan padangannya,”Sudah sampai bolak balik demam tapi tidak langsung diperiksa sudah sampai kuning kulitnya. Hari ini sudah langsung periksa laboratorium lengkap dan MRI.”jelasnya.“Padahal kalau sakit tinggal ke dokter. Kenapa harus tunggu sampai parah?”gerutu Arka sambil memasukkan kedua tangan di kedua kantong pada sisi jas kerjanya.“Sibuk dok. Enggak tahu kalau zaman sekarang waktu itu berharga?”sahut Ara singkat.“Kenapa orang enggak pernah sadar kalau sampai sakit waktu bakal terbuang dengan sia-sia?”gumam Arka lagi.Ara tertawa mendengar sahabatnya yang mengerutu pagi-pagi,”Karena kalau sampai enggak ada orang yang sakit, kita bakal sibuk main ponsel pak dokter.”sahutnya sambil menepuk bahu Arka lalu berjalan perg
“Nara kamu masak mi instan pakai air satu panci?”tanya ibu Linda sambil menunjuk ke arah wastafel tempat putrinya sedang mengisi air,”Itu sampai luber.”katanya lagi.Nara terkejut dengan cepat iya mematikan keran air lalu menuang setengah isinya,”Maaf ma.”gumamnya.“Kenapa kamu minta maaf sama mama? Orang yang bayar tagihan airkan kamu juga.”sahut ibu Linda santai lalu berjalan menuju kamarnya.“Mama bisa saja.”kata Nara sambil tertawa lalu mengambil sebungkus mi instan.#Arka agak malam baru tiba di rumah ia masuk tanpa suara dan melihat adik bungsunya sedang duduk di meja makan, melamun dengan sepiring mi goreng yang belum disentuh. Perlahan Arka mengambil sesuap lalu suapan kedua kemudian suapan berikutnya namun karena makan terlalu cepat ia tersedak.“Mas Arka!”panggil Nara terkejut dan baru menyadari kehadiran kakaknya. Mata Nara membesar saat melihat piring di hadapannya hampir kosong,”Kenapa dihabisin?!”omelnya.
“Kamu kenapa pagi-pagi ada di sini?”tanya Arka heran begitu melihat sahabatnya muncul di depan pintu rumahnya.Mata Ara berputar berusaha untuk membuat alasan bodoh yang bisa terdengar masuk akal.“Aku kebetulan lewat.”jawab Ara sambil membasahi bibirnya. Tadi malam ia tidak berhasil menjelaskan kepada Nara tentang acara keluarga yang harus mereka hadiri minggu depan dan gadis itu tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya.Arka mengangkat sebelah alisnya karena bingung,”Kamu dari mana sampai bisa lewat daerah sini?”tanyanya.Ara memasang wajah bodoh,”Kita cari sarapan saja yuk! Aku enggak sempat makan pagi nih.”pintanya tanpa menjawab pertanyaan yang Arka ajukan.#“Siapa yang datang?”tanya ibu Linda dari dalam rumah.Mendengar suara panggilan dari dalam rumah Ara menarik napas lega.“Itu dipanggil tante Linda.”kata Ara sembari menunjuk ke arah dalam rumah,”Aku tante!”jawabnya sambil berjalan masuk melewati
“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik.Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan.“Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira.“Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan.Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya.“Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor.Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.#Embun dan Zia
Nara memandang sahabat kakaknya dengan kesal.“Kamu enggak mau pulang? Ayo aku antar.”ujar Ara santai tanpa peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.“Tolong dijelaskan bagaimana mobil ini bisa enggak menarik perhatian tetangga dan seisi rumahku?”tanya Nara dingin menunjuk ke arah mobil mahal milik Ara.Ara memamerkan deretan giginya,”Kita ke rumahku dulu kalau begitu.”ujarnya cepat.“Enggak usahlah mas. Aku naik taxi saja.”sahut Nara menunjuk deretan taxi di depan lobi hotel.“Jangan dong inikan sudah jam sepuluh malam. Masa kamu mau pulang naik taxi sendirian.”sahut Ara melarang.“Kalau kita harus ke rumah mas dulu juga akan makin malam aku pulangnya.”gerutu Nara datar.“Tenang kita hanya akan ganti mobil.”ujar Ara ringan sambil mendorong Nara masuk ke dalam mobil.#“Kata mas kita akan langsung ke rumahku?”protes Nara sebal dengan suara berbisik agar ibu Ratih tidak mendengar kata-katany