“Kamu tadi malam pulang diantar Nara?”tanya Arka pada adik bungsunya saat mereka duduk di meja makan untuk sarapan pagi ini.
“Iya semalam kebetulan ketemu mas Ara.”jawab Nara singkat. Meski sudah bertahun-tahun tetap saja rasanya aneh kalau harus menyebut namanya sendiri untuk memanggil orang lain. Bagaimana bisa orangtuanya memberi ia sebuah nama yang cocok untuk anak laki-laki? Geruttu Nara dalam hati. Arka menganggukkan kepalanya dengan perlahan,”Kenapa dari kemarin kalian sering sekali kebetulan bertemu?”gumanya heran. “Hanya dua kali mas dan cukup dua kali.”sahut Nara cepat. “Memang kebetulan kamu yang mengatur?”tanya Arka tidak mengerti maksud adiknya yang tiba-tiba mengomel. “Ya soalnya kalau keseringan itu bukan kebetulan tapi takdir.”sahut ibu Linda tiba-tiba menimpali perbicaraan anak-anaknya. “Mama lagi pagi-pagi pakai bawa-bawa takdir.”gumam Nara begitu mendengar kata-kata ibunya.# Pagi ini ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Karena menjelang akhir tahun ada banyak pasangan yang akan melangsungkan acara resepsi pernikahan. “Kamu sudah kirim hasil foto ke klien?”tanya Zia pada Nadira. Nadira mengangguk,”Sudah semua mbak. Total ada empat klien yang hasil fotonya sudah selesai.”jelasnya. “Klien baru mbak Embun yang akan urus hari ini.”kata Nara pada Zia. Zia melihat nama-nama klien baru mereka lalu mengangguk,”Siang ini mbak Embun sudah mengatur janji untuk bertemu. Jadi enggak akan datang ke kantor.”katanya menanggapi rekan kerjanya itu,”Kamu bukannya harus buat janji sama mbak Khansa untuk gaun foto Alya?”tanya Zia mengingatkan. Nara menghela napas panjang sambil menepuk pelan kepalanya sendiri,”Aku lupa!”jawabnya panik. “Kamu lupa? Kok bisa? Sejak kapan? Aku kira kamu enggak tahu kalau kosakata lupa itu ada.”sahut Zia yang terkejut mendengar jawaban Nara. Di antara teman-teman kampusnya Nara memang terkenal sangat alot jika sudah berhubungan dengan jadwal dan urusan tugas. Segala sesuatunya selalu teratur dan terencana dengan baik. Tidak bisa tiba-tiba ada perubahan atau menggunakan lupa sebagai alasan. “Kemarin itu habis ketemu Alya dan Devan seharusnya aku langsung ke butik mbak Khansa.”kata Nara sambil menopak wajah dengan kedua tangannya, “Terus kenapa kamu bisa lupa?”tanya Zia bingung. Nara memutar matanya,”Mas Ara tiba-tiba minta tolong dibantu cari hadiah untuk mamanya.”jawabnya. “Dan kamu mau?”tanya Zia tidak percaya. “Enggak pakai nanya. Tanganku langsung ditarik ke sana kemari.”gerutu Nara melanjutkan ceritanya,”Nanti sore habis jam kantor aku ke tempat mbak Khansa deh.”katanya lagi.# “Mbak Nara masih belum mau pulang?”tanya Galang yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Hampir jam tujuh malam, Zia dan Nadira sudah lebih dulu pulang sedangkan Galang masih harus mengatur jadwal rekanan fotografer dan videografer untuk pasangan yang mengadakan resepsi bulan ini. Nara sendiri harus merapikan laporan keuangan bulan ini. “Masih belum selesai. Kamu duluan saja.”jawab Nara sambil melambaikan tangannya. Setelah Galang pulang Nara kembali asyik dengan pekerjaannya. Keheningan memenuhi ruang kantor sampai akhirnya terdengar suara jari yang mengetuk meja kerja Nara. “Masih sibuk saja mbak?”panggil Ara begitu masuk. Nara mengalihkan pandangannya dari layar laptop lalu mengejap-ngejapkan matanya karena terkejut dengan pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya,”Mas Ara? Bagaimana bisa di sini?”tanyanya. “Masuk lewat pintu depan.”jawab Ara santai sambil meletakan sebuah kantong kertas di meja kerja Nara lalu mendorongnya dengan perlahan. Dengan wajah bingung Nara membuka kantong yang disodorkan kepadanya lalu memandang Ara dengan tatapan aneh,”Ini apa mas?”tanyanya heran. “Kemarin kan kamu bilang lagi cari dompet kartu.”jawab Ara ringan. Tadi malam dalam perjalanan pulang Nara sempat mengatakan pada Ara kalau dirinya sedang mencari tempat untuk meletakan kartu-kartunya dan karena merasa bersalah sudah mengacaukan rencana Nara semalam maka Ara membelikan dompet kartu yang sedang Nara butuhkan. Nara menghela napas panjang,”Aku itu memang lagi cari dompet kartu tapi bukan dompet kartu dengan harga hampir tujuh juta mas!”ocehnya sambil menunjuk merek yang ada pada dompet kartu yang baru saja diberikan oleh Ara.# “Mas kemarin itu beli kalung untuk mama ide siapa?”tanya Nathan dengan wajah penuh kecurigaan pada kakak sulungnya pagi ini saat mereka berpapasan di depan pintu kamar. “Serius banget mukamu.”sahut Ara tanpa menjawab pertanyaan adiknya itu. Nathan memutar matanya,”Mas kan selalu kasih mama hadiah yang enggak diperlukan. Mama saja menerimanya dari senang sampai kesal.”ujarnya. “Enak saja. Tas itu benda yang diperlukan, sepatu juga barang penting. Ditambah lagi itu merek mahal jadi bisa dijual lagi.”jawab Ara tidak terima. “Mas kalau modelnya terlalu aneh itu enggak bisa dipakai juga jadinya dan kalau pun dijual siapa yang mau beli?”oceh Nathan mengingatkan kalau sifat cuek kakaknya dalam memilih sesuatu sering kali membuat masalah.#. “Itu muka kenapa?”tanya Embun sambil menunjuk wajah Nara yang berhiaskan lingkaran hitam pada matanya. “Lagi-lagi aku lupa ke tempat mbak Khansa.”jawab Nara dengan wajah pucat dan lelah. “Kenapa bisa lupa lagi?”tanya Zia heran dengan dahi berkerut. Nara menghela napas dengan perasaan merana. Sepanjang malam dirinya berusaha untuk menolak dompet kartu dengan harga tidak masuk akal yang diberikan oleh Ara namun tetap berakhir sia-sia karena sampai sekarang dompet itu masih ada di dalam tasnya. “Sudah sekarang saja kamu ke sana.”kata Embun akhirnya tanpa menunggu jawaban Nara. “Mana bisa mbak, kita kan sekarang mau ketemu rekanan foto yang baru.”sahut Nara mengingatkan.# “Kamu tahu informasi tentang organ palsu enggak?”tanya Ara saat dirinya dan Arka sama-sama mendapat panggilan di ruang ICU. “Pasien kecelakaan pagi tadi jadi diamputasi?”tanya Arka memastikan,”Bisa ditanya ke bagian fisioterapi di lantai satu.”katanya lagi. Ara mengangguk membenarkan,”Kondisinya sudah enggak memungkinkan untuk dipertahankan.”jelasnya sambil menghela napas,”Usia pasien masih muda pasti jika cepat melakukan terapi tidak akan ada masalah untuk aktifitas sehari-hari .”katanya lagi. “Siapa juga yang bisa menduga bisa terjadi kecelakaan beruntun seperti itu.”kata Arka menanggapi,# Sekitar jam empat sore Nara dan Embun baru tiba kembali ke kantor. “Aku langsung pulang ya.”pamit Embun setelah mengambil laptopnya yang tertinggal di kantor. “Mbak Nara juga pulang saja.”kata Nadira sambil menunjuk wajah bosnya yang tampak kelelahan. Nara memutar matanya,”Kamu benar! Aku memang harus pergi ke butik mbak Khansa.”katanya sambil berjalan keluar kantor. Galang menghela napas lalu menoleh ke arah rekan kerjanya,”Kayaknya mbak Nara itu enggak paham maksudmu Nad. Isi kepalanya cuma kerjaan”katanya pada Nadira yang kini terlihat bingung.#
“Kamu kan bisa telepon kalau enggak sempat kemari.”kata Khansa sambil tertawa. “Cuma beda gedung kalau sampai harus telepon kayaknya aku yang kebangetan.”ujar Nara ikut tertawa. “Kalau enggak sempat kemari itu berarti kamu sibuk, banyak klien.”kata Khansa lagi. Nara memasang wajah merana mengingat kalau beberapa hari ini dirinya bukan sibuk mengurus klien tapi sahabat kakaknya yang bolak balik mengacaukan harinya. “Jadi minggu depan ya aku buat jadwal kliennya untuk datang.”kata-kata Khansa membuyarkan pikiran Nara.# “Kamu sendiri yang janji untuk mengantar mama pergi belanja sore ini.”ujar ibu Ratih pada putra sulung yang baru muncul setelah di telepon berkali-kali. Ara berusaha mengatur irama napasnya,”Maaf ma tadi ada panggilan di ICU.”jelasnya singkat. “Sudah hampir satu jam mama menunggu. Seharusnya kemarin mama minta Nathan saja yang mengantar.”kata ibu Ratih sambil menggelengkan kepala. “Nathan tadi pagi harus berangkat ke Bandung ma.”jawab Ara mengingatkan ibunya. “Oh iya mama lupa.”sahut ibu Ratih sambil tersenyum malu, lalu bergegas menarik lengan putranya.# “Nara?”panggil Ara. Lagi-lagi mereka berpapasan, bertemu tanpa direncanakan. Nara yang baru keluar dari butik milik Khansa tidak menyadari kalau dirinya sedang berjalan melewati Ara dan ibu Ratih. “Nara?”tanya ibu Ratih bingung sambil menatap putranya dan Nara secara bergantian. Nara dengan cepat memutar matanya, kenapa dirinya terus-terusan terjebak dalam situasi aneh seperti ini. “Iya tante. Namaku juga Nara.”jawab Nara akhirnya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Jadi nama kami sama ma.”jelas Ara singkat Dalam hitungan detik wajah bingung ibu Ratih langsung berganti menjadi cerah dengan mata berbinar-binar,”Wah manisnya. Nama kalian bisa sama.”ujarnya sambil menggenggam kedua tangannya sendiri,”Kamu belum makan malamkan?”tanyanya tiba-tiba pada Nara lalu mengapit lengan gadis manis yang masih menatap dengan wajah bingung. Sudah pasti tidak menunggu jawaban dari Nara, ibu Ratih langsung menarik Nara untuk mengikutinya. Ara yang juga masih terkejut dengan perubahan sikap ibunya hanya menggelengkan kepala,”Dalam sekejap lupa sudah sama urusan belanja. Mana isi kulkas sudah kosong lagi.”gumamnya sambil mempercepat langkah kaki menyusul ibu dan gadis yang tiba-tiba selama beberapa hari ini dikira pacarnya.# Selama hidupnya mungkin ini adalah makan malam terumit dalam hidup Nara. Kenapa juga dirinya jadi terjebak dalam keadaan seperti ini? Aku kan bukan enggak laku! Mantan-mantanku juga oke. Lalu kenapa sekarang ia harus berhadapan dengan ibu teman baik kakaknya yang berpikir kalau dirinya adalah kekasih anaknya. “Nara kamu jangan melamun dong. Ayo pesan makanan.”teguran ibu Ratih langsung membuyarkan pikiran Nara. Nara mengangguk sambil tersenyum setelah itu mengalihkan pandangan ke arah Ara yang duduk di sebelahnya lalu menghujani pria itu dengan tatapan sebal.# “Jadi kamu adiknya Arka?”tanya ibu Ratih terkejut. Nara mengangguk pelan,”Iya tante.”jawabnya. “Kok kamu enggak pernah cerita?”tanya ibu Ratih mengalihkan pandangan kepada putra sulungnya. “Mama enggak pernah tanya.”jawab Ara santai. Nara menghela napas pelan setelah mendengar jawaban Ara. Ia benar-benar penasaran bagaimana cara sahabat kakaknya itu bisa menjadi seorang dokter bedah? Dengan kepribadian yang cuek dan sangat santai seperti ini rasanya bisa-bisa membuat para pasien kesal. “Iya untuk apa juga ditanya?”gumam Nara pelan dengan bibir yang terkatup rapat sambil memukul lengan Ara. Mata Nara bergerak-gerak memberi isyarat agar Ara segera mengajak mereka pulang. Sebelum pembicaran menjadi semakin panjang dan kacau.Mata Embun membesar begitu selesai mendengar cerita Nara.“Kamu makan malam sama mamanya Ara?”tanyanya memastikan.Nara hanya bisa menghela napas dengan wajah merana,”Kayaknya enggak cukup kacau dengan aku terus-terusan kebetulan ketemu sama mas Ara. Kemarin harus banget ditambah sama ketemu tante Ratih.”gumamnya tak berdaya.“Kamu enggak minta Ara untuk kasih tahu mamanya?”tanya Embun lagi,”Terus kata kamu kemarin itu Ara sudah punya pacar. Kalau tiba-tiba kalian enggak sengaja ketemu apa tidak jadi runyam?”tambahnya mengingatkan.#“Sayang, kita hari ini jadi ketemu?”tanya Ara memastikan saat menelepon Davina pagi ini.“Jadwal operasiku sampai jam tiga sore.”jawab Davina yang sedang melangkah menuju ruang prakteknya.“Aku praktek sampai jam empat hari ini. Kalau begitu kita ketemu waktu jam makan malam.”kata Ara memutuskan.Davina memutar matanya,”Sayang, tapi jangan terlalu malam ya pulangnya. Soalnya aku har
“Itu muka kenapa?”tanya Arka begitu melihat wajah sahabatnya pagi ini.Ara mengusap wajahnya sendiri dengan salah satu tangan,”Davina tiba-tiba minta dijemput.”jawabnya tak bertenaga.“Tadi malam?”tanya Arka heran dengan salah satu alis terangkat.“Sekitar lima jam yang lalu.”sahut Ara memutar matanya.“Dia pulang jam tiga pagi?!”suara Arka terdengar meninggi begitu menyadari penyebab sahabatnya kurang tidur,”Terus dia bisa ke rumah sakit pagi ini?”tanyanya kemudian dengan suara yang tiba-tiba berbisik.Ara langsung tertawa begitu mendengar perubahan cara bicara sahabatnya itu,”Pertanyaannya kita juga sebelumnya enggak pernah tahukan kalau ternyata dia suka banget keluar malam?”jawabnya sambil memiringkan kepala.Arka mengangguk,”Benar juga ya. Mukanya betul-betul enggak ada bedanya. Kurang tidur apa enggak sama saja.”gumamnya membenarkan.#“Kamu nanti sore ada janji sama Alya dan Devan?”tanya Zia pada Nara ya
“Pasien infeksi hati?”tanya Arka saat melihat sahabatnya sedang membaca berkas salah satu pasien.Ara mengangguk tanpa mengalihkan padangannya,”Sudah sampai bolak balik demam tapi tidak langsung diperiksa sudah sampai kuning kulitnya. Hari ini sudah langsung periksa laboratorium lengkap dan MRI.”jelasnya.“Padahal kalau sakit tinggal ke dokter. Kenapa harus tunggu sampai parah?”gerutu Arka sambil memasukkan kedua tangan di kedua kantong pada sisi jas kerjanya.“Sibuk dok. Enggak tahu kalau zaman sekarang waktu itu berharga?”sahut Ara singkat.“Kenapa orang enggak pernah sadar kalau sampai sakit waktu bakal terbuang dengan sia-sia?”gumam Arka lagi.Ara tertawa mendengar sahabatnya yang mengerutu pagi-pagi,”Karena kalau sampai enggak ada orang yang sakit, kita bakal sibuk main ponsel pak dokter.”sahutnya sambil menepuk bahu Arka lalu berjalan perg
“Nara kamu masak mi instan pakai air satu panci?”tanya ibu Linda sambil menunjuk ke arah wastafel tempat putrinya sedang mengisi air,”Itu sampai luber.”katanya lagi.Nara terkejut dengan cepat iya mematikan keran air lalu menuang setengah isinya,”Maaf ma.”gumamnya.“Kenapa kamu minta maaf sama mama? Orang yang bayar tagihan airkan kamu juga.”sahut ibu Linda santai lalu berjalan menuju kamarnya.“Mama bisa saja.”kata Nara sambil tertawa lalu mengambil sebungkus mi instan.#Arka agak malam baru tiba di rumah ia masuk tanpa suara dan melihat adik bungsunya sedang duduk di meja makan, melamun dengan sepiring mi goreng yang belum disentuh. Perlahan Arka mengambil sesuap lalu suapan kedua kemudian suapan berikutnya namun karena makan terlalu cepat ia tersedak.“Mas Arka!”panggil Nara terkejut dan baru menyadari kehadiran kakaknya. Mata Nara membesar saat melihat piring di hadapannya hampir kosong,”Kenapa dihabisin?!”omelnya.
“Kamu kenapa pagi-pagi ada di sini?”tanya Arka heran begitu melihat sahabatnya muncul di depan pintu rumahnya.Mata Ara berputar berusaha untuk membuat alasan bodoh yang bisa terdengar masuk akal.“Aku kebetulan lewat.”jawab Ara sambil membasahi bibirnya. Tadi malam ia tidak berhasil menjelaskan kepada Nara tentang acara keluarga yang harus mereka hadiri minggu depan dan gadis itu tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponnya.Arka mengangkat sebelah alisnya karena bingung,”Kamu dari mana sampai bisa lewat daerah sini?”tanyanya.Ara memasang wajah bodoh,”Kita cari sarapan saja yuk! Aku enggak sempat makan pagi nih.”pintanya tanpa menjawab pertanyaan yang Arka ajukan.#“Siapa yang datang?”tanya ibu Linda dari dalam rumah.Mendengar suara panggilan dari dalam rumah Ara menarik napas lega.“Itu dipanggil tante Linda.”kata Ara sembari menunjuk ke arah dalam rumah,”Aku tante!”jawabnya sambil berjalan masuk melewati
“Kamu sakit?”tanya Nara yang baru tiba di kantor saat melihat wajah pegawainya yang pucat.Nadira mengejap pelan lalu mengatur napasnya,”Mbak fotonya Lili dan Roni kena rembesan dari plafon yang bocor.”jelasnya panik.Nara berusaha memahami situasi,”Seberapa parah? Mbak Embun sudah datang?”tanyanya pelan.“Belum ada yang datang mbak.”jawab Nadira.“Kapan fotonya mau diambil?”tanya Nara memastikan.Nadira Kembali memasang wajah panik,”Harusnya sore ini.”jelasnya.“Coba aku lihat dulu.”ajak Nara sambil berjalan masuk ke dalam kantor.Noda cokelat yang menghiasi foto klien mereka terlihat begitu jelas dan karena permukaan kain yang digunakan sebagai media untuk mencetak foto, noda itu bisa menyerap dengan sempurna. Nara memutar matanya,”Kamu coba hubungi pihak studio untuk minta mereka cetak lagi lalu tanya kapan bisa selesai. Biar Lili dan Roni nanti aku yang hubungi.”katanya pada Nadira.#Embun dan Zia
Nara memandang sahabat kakaknya dengan kesal.“Kamu enggak mau pulang? Ayo aku antar.”ujar Ara santai tanpa peduli dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.“Tolong dijelaskan bagaimana mobil ini bisa enggak menarik perhatian tetangga dan seisi rumahku?”tanya Nara dingin menunjuk ke arah mobil mahal milik Ara.Ara memamerkan deretan giginya,”Kita ke rumahku dulu kalau begitu.”ujarnya cepat.“Enggak usahlah mas. Aku naik taxi saja.”sahut Nara menunjuk deretan taxi di depan lobi hotel.“Jangan dong inikan sudah jam sepuluh malam. Masa kamu mau pulang naik taxi sendirian.”sahut Ara melarang.“Kalau kita harus ke rumah mas dulu juga akan makin malam aku pulangnya.”gerutu Nara datar.“Tenang kita hanya akan ganti mobil.”ujar Ara ringan sambil mendorong Nara masuk ke dalam mobil.#“Kata mas kita akan langsung ke rumahku?”protes Nara sebal dengan suara berbisik agar ibu Ratih tidak mendengar kata-katany
Arka yang sedang bersiap-siap untuk makan malam kini menatap adik bungsunya yang tiba di rumah tidak lama setelah dirinya dengan wajah bingung,”Kamu bilang mau pulang tepat waktu karena capek?”tanyanya dengan alis terangkat sebelah mengingat Nara menolak untuk menunggu dirinya yang masih harus menanggani pasien di ruang ICU.Nara hanya tersenyum bodoh saat melihat Arka dengan tangan yang sedang sibuk menyendok nasi di meja makan bertanya kepadanya. Bagaimana dirinya bisa mengatakan kalau ia sekarang ini sangat ingin memasukkan sahabat kakaknya itu ke dalam kotak lalu melemparkannya ke samudra Hindia karena setiap kali selalu saja membawa masalah untuknya.“Kamu kok belakangan jadi sering makan malam-malam?”tanya Arka heran begitu melihat Nara mengambil piring dan ikut bergabung dengannya.Tiba-tiba ibu Linda yang keluar dari kamar untuk mengambil air minum malah ikut bergabung di meja makan begitu mendengar pembicaraan kedua anaknya,“Iya kamu d