Share

Bab I : Si anti dadakan.

 Nara dengan cemas membolak balik jam di pergelangan tangannya.

 “Mas Arka! Tolong tanya mas Ara ini pesanannya jadi diambil apa enggak?” pinta Nara begitu mendengar suara kakaknya.

 Arka menghela napas, ”Nara Kamila! Jangan karena kamu pikir kami kerja di satu rumah sakit jadi pasti saling ketemu. Sudah kamu tanya sendiri saja! Mas sudah harus masuk ruang operasi.” jawabnya cepat dan segera menutup teleponnya.

 Beberapa menit kemudian ada pesan masuk di ponsel Nara. Ia pun segera menelepon nomor yang baru saja diberikan oleh kakaknya.

#

 “Mas Ara, ini mas di mana? Pesanan kuenya enggak jadi mau diambil jam sepuluh? Ini sudah mau jam sebelas mas?”tanya Nara datar sambil dengan satu tangan merapikan kotak-kotak berisi kue dan memegang ponsel dengan tangan yang lain.

 “Ya ampun! Maaf! Aku tiba-tiba ada operasi.”jawab Ara terkejut sambil menepuk dahi. Dirinya lupa untuk mengambil pesanan kue ibunya,”Boleh minta tolong?”ujar Ara pelan karena merasa tidak enak,”Nanti alamatnya tante Winda aku kasih. Kamu tolong antar ya.”katanya lagi. 

 Nara menghela napas panjang sambil memandang ponselnya. Kenapa mereka bekerja di rumah sakit yang banyak operasi sejak pagi? Pikir Nara sambil memutar matanya.

 Arka, kakak sulung Nara memang berprofesi sebagai seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama dengan sahabatnya sejak masa kuliah di Yogyakarta, Nara biasa memanggilnya mas Ara. Jadi setelah satu kali mencoba kue buatan ibu Linda yakni mamanya Nara, hari ini melalui putranya ibu Ratih memesan kue untuk teman arisannya yakni ibu Winda.

 “Ini di mana?”gumam Nara begitu melihat alamat yang dikirimkan kepadanya.

 “Jadi kuenya akan diambil kapan?”tanya ibu Linda pada putrinya.

 “Harus aku antar ma.”jelas Nara sambil mengangkat ponselnya lalu beranjak pergi.

#

 “Iya jeng Winda nanti Nara yang mengantar kuenya.”kata ibu Ratih pada teman arisannya.

 “Aduh jeng kok repot-repot? Makasih ya.”sahut ibu Winda sambil tersenyum senang,”Sampai anaknya disuruh mengantar padahal Nara pasti sibuk di rumah sakit.”sahutnya lagi.

 “Soalnya kue ini enak banget jeng. Yang buat itu ibu sahabatnya Nara, sama-sama dokter juga.”jelas ibu Ratih bersemangat.

#

 Ibu Winda memandang Nara dengan wajah bingung yang tetap dihiasi senyuman,”Terima kasih ya. Jadi merepotkan.”katanya.

 “Enggak apa-apa tante.”katanya Nara,”Tadinya mas Ara yang mau mengantar kemari tapi karena ada operasi jadi aku yang datang.”jelasnya begitu menyadari kebingungan di wajah ibu Winda.

 “Wah, tante enggak menyangka kalau Nara punya pacar begitu cantik. Jeng Ratih beruntung banget.”ujar ibu Winda tiba-tiba.

 Mata Nara membesar,”Tante aku bukan.”jawabnya sambil menggerak-gerakkan tangan. Namun belum sempat ia melanjutkan ibu Wnda mendapat panggilan masuk di ponselnya.

 “Halo jeng Ratih. Iya ini kuenya sudah tak terima.”jawab ibu Winda sambil menatap Nara dengan senyuman,”Kok enggak bilang kalau Nara punya calon cantik begini.”katanya lagi.

#

 “Nara, kamu ini sudah bilang akan ke tempat jeng Winda tapi kok malah suruh pacarmu.”tegur ibu Ratih begitu melihat putra sulungnya baru tiba di rumah,”Dan sejak kapan kamu punya pacar?”tanya ibunya lagi.

 Ara mengangkat sebelah alisnya karena bingung. Ia baru saja memulai hubungannya dengan Davina. Bagaimana ibunya bisa tahu mengenai hal itu?

 Jadi kemarin malam Ara dan Davina, yang merupakan teman sesama dokter bedah umum namun bekerja di rumah sakit yang berbeda dengannya sepakat untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka sudah cukup sering bertemu waktu masa kuliah dan saling tertarik satu sama lain.

 “Mama tahu dari mana?”tanya Ara akhirnya.

 “Jadi benar?”tanya ibu Ratih memastikan.

 Ara menganggukkan kepala lalu dengan cepat melarikan diri dari ibunya yang sudah terlihat siap untuk menghujaninya dengan sejuta pertanyaan.

#

 “Kemarin jadinya bagaimana?”tanya Arka begitu berpapasan dengan sahabatnya di lorong rumah sakit.

 “Aku minta tolong Nara.”jawab Ara dengan memasang senyum bodoh,”Kemarin pagi ada pasien tukak lambung di UGD.”jelasnya lagi.

 “Terus dia mau?”tanya Arka tidak percaya. Sejak kapan adik bungsunya bersedia direpotkan oleh urusan yang muncul tiba-tiba. Setahunya Nara itu paling cepat mengucapkan kata tidak jika ada permintaan yang terjadi di luar rencana.

 “Terpaksa sih sepertinya. Kemarin itu aku enggak pakai nunggu dia jawab langsung tak kasih alamatnya tante Winda.”jelas Ara dengan perasaan bersalah.

 “Wah hebat kamu! Memang cuma sifat cuek Nara Baskara bisa membuat seorang Nara Kamila terpaksa turun tangan.”ujar Arka lagi.

 Ara memutar matanya begitu mendengar kata-kata sahabatnya. Apa yang harus ia lakukan untuk menebus rasa bersalah? Perkara hutang budi. Mentraktir makan? Atau mungkin membelikan sesuatu yang Nara inginkan?   

#

 “Kamu kemarin kenapa enggak ke kantor?”tanya Embun begitu melihat Nara tiba di kantor pagi ini.

 Nara dengan kedua temannya Embun dan Zia sudah sejak tiga tahun yang lalu membuka sebuah kantor yang mengurus keperluan untuk membantu pernikahan. Mereka berkuliah dikampus yang sama namun berada di angkatan yang berbeda. 

 “Iya maaf mbak. Tadinya habis bantu mama selesai bikin kue aku mau langsung ke kantor tapi mas Ara malah minta tolong buat pergi mengantar pesanannya.”jelas Nara dengan wajah merana saat kembali mengingat kejadian kemarin.

 “Lagi suruh siapa kamu mau? Biasanya juga kan kamu paling anti.”ujar Embun menanggapi.

 “Orang belum sempat jawab teleponnya sudah keburu ditutup.”jelas Nara dengan mulut mengerucut.

 “Iya mbak kayak enggak tahu saja kalau jeng satu ini paling anti sama yang namanya jadi bala bantuan dadakan.”timpal Zia yang baru tiba di kantor.

 “Kamu datang-datang langsung komentar. Memangnya kamu tahu apa yang lagi kami omongin?”tanya Nara tidak terima.

 “Pasti masalah kemarin. Orang suara kalian itu kedengaran sampai ke depan.”jelas Zia sambil menoleh meminta dukungan ke arah Nadira dan Galang yang tiba bersamanya.

#

 “Kamu lagi di mana?”tanya Ara begitu Nara mengangkat teleponnya.

 Nara mengerutkan dahi karena bingung tiba-tiba Ara meneleponnya,”Lagi di mal dekat rumah sakit.”jawabnya singkat. Ia baru akan segera kembali ke kantor begitu selesai bertemu dengan klien sore itu. Letak kantor Nara dan rumah sakit tempat Ara juga Arka bekerja saling berdekatan hanya dibatasi sebuah mal yang cukup sering mereka datangi saat jam makan.

 “Tunggu ya. Aku segera ke sana.”ujar Ara cepat dan langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Nara.

 “Kenapa enggak pernah nunggu orang jawab sih?”omel Nara menarik napas panjang sambil memandang layar ponselnya.

#

 Sekitar lima belas menit Nara berdiri di depan salah satu gerai sambil melihat-lihat.

 “Makasih ya sudah mau nunggu.”sapa Ara dengan napas terengah-engah begitu tiba di hadapan Nara.

 “Siapa yang nunggu? Orang mas nutup telepon enggak pakai nunggu aku jawab.”gerutu Nara setengah mencibir.

 Ara dengan cuek menarik lengan Nara berjalan masuk ke salah satu toko,”Ayo ikut aku!”ajaknya.

 “Mau ke mana mas? Aku tuh masih harus balik kantor.”sahut Nara bingung.

 “Cuma sebentar. Aku mau bayar hutang.”ujar Ara sambil menunjuk jam di tangannya.

 Nara mengangkat sebelah alisnya menatap sahabat kakaknya itu dengan wajah yang semakin bingung,”Bayar hutang apa mas?”tanyanya.

 “Hutang kemarin.”jawab Ara mengangkat sebelah bahunya lalu menunjuk barang-barang di dalam toko,”Enggak ada barang yang lagi kamu cari?”tanyanya.

 Nara menggeleng dengan cepat,”Kan kue pesanan semua sudah mas bayar.”jawabnya semakin bingung.

 “Ini biaya kurir.”sahut Ara mengedipkan sebelah matanya.

 “Mana ada kurir yang di bayar pakai barang-barang bermerek?”tanya Nara heran sambil menunjuk nama toko yang mereka masuki.

 “Selalu ada alasan untuk menjadi yang petama.”kata Ara dengan yakin,”Pasti ada barang yang menarik perhatian.”ujarnya lagi.

 Dan lagi-lagi Nara menggelengkan kepalanya.

#

 “Mas itu gaji sebulan mana cukup?”tanya Nara menunjuk kantong-kantong belanjaan yang ada di tangan Ara.

 Mereka berkeliling sampai malam dan berhasil membuat Ara sibuk berbelanja di hampir semua toko yang mereka masuki.

 Ara hanya mengangkat alisnya santai,”Maklum jarang-jarang bisa punya waktu buat belanja.”ujarnya membela diri.

 Nara mencibir pelan,”Memang yang sibuk mas doang. Aku kan juga pengen pulang terus tidur.”gerutunya nyaris tanpa suara.

 “Kita pulang yuk! Aku juga perlu ketemu Arka.”ajak Ara ringan tanpa peduli dengan perubahan raut wajah gadis yang berdiri di sampingnya

#

 “Adikmu itu luar biasa.”kata Ara begitu menerobos masuk ke dalam kamar Arka,”Jadi aku yang belanja.”katanya lagi sambil menghela napas karena setelah berjam-jam di mal ia tetap tidak berhasil untuk membuat Nara membeli sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya..

 “Kan sudah kubilang kamu enggak akan berhasil.”sahut Arka menanggapi,”Aku saja yang sudah hidup sama-sama sejak itu anak lahir enggak pernah berhasil. Anak itu enggak suka minta, pasti bilangnya enggak mau.”katanya lagi.

 “Memang kamu enggak pernah kasih kado untuk Nara?”tanya Ara heran.

 “Kalau mau kasih kado itu jangan ditanya harus langsung kasih.”jelas Arka lagi menanggapi sahabatnya.

#

 “Kamu kok jadi enggak balik ke kantor?”tanya Embun begitu Nara mengangkat teleponnya.

 Sudah sejak tiga tahun yang lalu Nara dan kedua temannya semasa kuliah, Embun yang merupakan kakak tingkat juga Zia teman satu angkatan dengan Nara membuka usaha untuk mengurus foto dan video pernikahan juga foto prewedding. Awalnya mereka mengurus semuanya bertiga tapi kini mereka sudah menambah dua orang pegawai yakni Galang dan Nadira. 

 “Tiba-tiba mas Ara minta ditunggu.”jawab Nara sambil meletakkan tasnya.

 Embun mengerutkan dahi,”Kok sejak kemarin hidupmu penuh acara tak terduga?”tanyanya sambil tertawa.

 “Iya nih mbak! Sebel! Mana aku tuh paling anti dadakan.”gerutu Nara sambil menghela napas. 

 “Terus kenapa enggak kamu tolak?”tanya Embun heran, karena biasanya gadis satu itu paling cepat mengucap kata tidak setiap kali ada yang mendadak mengajaknya pergi.

 “Mas Ara itu selalu menutup telepon tiba-tiba, menghubungi tiba-tiba, mengajak pergi tiba-tiba. Semuanya serba mendadak.”omel Nara kesal.

 “Wah kamu akhirnya dapat lawan juga ya? Si anti dadakan ketemu tukang tiba-tiba.”ejek Embun sambil tertawa.

 “Ih, mbak apaan sih. Memangnya perlombaan pakai ketemu lawan segala.”protes Nara lagi.

 “Lomba sih enggak tapi kamu sudah kalah dua kali.”goda Embun lagi.

 Nara sudah tidak lagi menjawab bibir mengerucut karena kesal.

  

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
yg nara di sini siapa? yg ara siapa? aku jd pusing bolak balik scroll lagi buat mastiin pemerannya
goodnovel comment avatar
zahra
kok namanya sama2 Nara sih,,bingung awal dibaca......
goodnovel comment avatar
kilau senja
awalnya agak bingung, eh ternyata namanya sama2 nara.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status