Share

Ibu pergi ke rumah Bang Adi

Nasib si Bungsu.

(Saat masa jaya orang tua telah habis)

Part 4

Cepat aku bangkit, dengan ilmu bela diri silat yang kumiliki aku lawan mereka semua. Beruntungnya mereka tidak membawa senjata tajam untuk melukai korbannya.

Atas pertolongan Allah aku bisa melawan, jika dipikir secara logika rasanya tidak mungkin bisa melawan 4 orang sekaligus.

Setelah berhasil dikalahkan, mereka pun langsung melarikan diri. Jalan yang aku lewati ini memang sepi jika sudah larut malam sangat jarang ada kendaraan yang melintas.

Saat SMP, aku memang mengikuti beberapa ekskul, salah satunya silat, dan kemampuanku bisa dianggap unggul dibanding yang lain sehingga aku ditunjuk untuk mengikuti beberapa kompetisi, dari mewakili sekolah sampai membawa nama Kabupaten.

"Kalau kamu berlatih serius, tidak menutup kemungkinan kamu bisa maju sampai tingkat Nasional," begitulah ucap Pak Aman, pelatihku.

Beberapa kejuaraan berhasil aku menangkan, karena itu aku mendapat undangan untuk masuk SMA favorit melalui jalur prestasi, kesempatan bagus itu aku lewatkan karena tidak ada yang mendukung untuk melanjutkan sekolah.

Aku mengalami beberapa luka karena terjatuh tadi, sikut dan lutut berdarah, celana sampai robek karena kerasnya benturan dengan aspal.

Kembali kulanjutkan perjalanan sambil menahan rasa sakit, luka-luka ini terasa semakin perih saat tertiup angin.

Malam sudah larut saat sampai di rumah, lampu depan sudah dimatikan, beruntung pintu belum dikunci sehingga bisa langsung masuk.

Dari luar aku mendengar suara Bapak berteriak, mungkin asam uratnya sedang kambuh. Gegas masuk ke dalam untuk melihat keadaannya.

"Kemana aja kamu Yusup jam segini baru pulang? bawa uang berapa juta?" tanya Ibu saat aku baru saja masuk.

Bukannya menanyakan keadaanku, malah kalimat seperti itu yang aku dapat. Ibu bahkan tidak peduli melihat anak bungsunya ini yang berjalan pincang.

"Sudah diam, kalau sakit, tahan. Jangan teriak-teriak, aku mau tidur, berisik!" Ibu langsung masuk ke kamar.

"Bapak kenapa? kakinya sakit lagi?" tanyaku.

"Iya Sup, gak kuat sakit," Bapak meringis menahan sakit yang dia rasakan.

"Sikut kamu kenapa lluka-luka gitu, kamu jatuh?" meskipun dalam keadaan sakit, Bapak masih peduli

saat melihat keadaanku.

"Gak apa-apa Pak, namanya juga di jalan, Yusup bersih-bersih badan dulu ya, Bapak udah minum obat belum?"

Bapak hanya mengangguk.

Aku memilih untuk tidak menceritakan hal yang aku alami tadi, takut menambah pikiran dan membuat keadaan Bapak semakin turun.

Kulepas semua pakaian, lalu merendamnya dengan deterjen bubuk agar noda-nodanya lebih mudah terangkat saat aku cuci esok pagi.

Sebelum mengguyur badan dengan air, kulihat beberapa luka ditubuh, menurutku tidak terlalu parah, hanya sikut dan lutut yang lukanya cukup dalam.

Saat luka-luka itu tersiram air, rasa perihnya terasa bertambah.

Selesai membersihkan diri, aku langsung duduk di samping Bapak, kupijat kakinya untuk mengurangi sakit yang ia rasakan.

"Udah Sup tidur aja, kamu pasti cape, sakitnya udah mendingan!"

"Ya sudah kalau gitu, Yusup tidur ya Pak."

Aku berbaring di sampingnya. Meskipun lelah tapi mata ini sulit terpejam, rasa sakit pada luka membuat tidak bisa terlelap.

Malam semakin larut, kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, sebentar lagi subuh, Bapak tertidur sangat lelap, aku merasa lega itu artinya beliau sedang baik-baik saja tidak merasakan sakit.

Badanku menggigil, suhu tubuh terasa panas, padahal sejak tadi pagi aku baik-baik saja. Mungkin disebabkan karena luka-luka ini.

Adzan subuh sudah berkumandang, tertatih aku bangun untuk menunaikan kewajibanku, biasanya selesai shalat aku langsung membangunkan Bapan dan membantunya mengambil wudhu, kali ini tidak sanggup.

Kembali berbaring, selimut tebal menutup seluruh tubuhku.

"Yusup, kamu sakit?" Bapak meletakkan tangannya di keningku.

"Badan kamu panas, kamu meriang?"

"Gak tahu Pak, Yusup gak kuat dingin."

"Mungkin kamu kelelahan Sup, ya sudah istirahat saja, gak usah pergi narik."

"Pinjam hp mu Sup, Bapak mau nelpon Abang-abang kamu!"

"Duh Pak, Yusup lupa nyimpen hp dimana."

Melihatku masih berbaring, Ibu langsung menegurku.

"Jam segini kok masih selimutan, gak nyari duit?"

"Yusup sakit Bu, badannya panas, mungkin dia kecapean," ucap Bapak.

"Kecapean? kecapean apa dia, memangnya dia kerja?"

"Kan setiap hari dia ngojek Bu, panas-panasan nganter penumpang."

"Pak, yang namanya tukang ojek itu kerja kalau lagi ada ada penumpang, kalau gak ada ya cuma diem, tiap hari dia bawa uangnya dikit, berarti penumpangnya jarang."

"Sudah Bu, dari pada Ibu ngomel-ngomel terus, mending cariin hp Yusup, telpon Abangnya Yusup."

"Mau apa nelepon mereka?"

"Minta uang buat bawa Yusup berobat."

"Bapak ini gak mikir apa? mereka itu sudah punya anak istri, kebutuhannya banyak, masa harus kita mintain uang, dulu juga waktu Ibu masih muda suka sebel kalau tiba-tiba dimintain uang sama Neneknya si Yusup."

"Bapak tahu gaji mereka itu besar, masa gak bisa ngasih seratus atau lima puluh ribu gitu, kalau Yusup sakit siapa yang ngurusin Bapak? siapa yang nyari duit buat masak sehari-hari, memangnya mereka bisa diandelin?"

"Bapak kok ngomongnya gitu?"

"Memang benar kan? apa mereka peduli sama kita? sudah di sekolahin tinggi-tinggi giliran orang tua sudah tua renta gak ada ingetnya."

"Sudah cukup Pak, jangan jelek-jelekin mereka, meskipun begitu tapi mereka bawa rezeki juga kan buat kita? Bapak ingat gak waktu kita masih punya tiga anak, hidup kita kayak gimana?"

"Iya Bapak ingat, tapi bukan salah Yusup juga hidup kita berubah."

"Sudah ah, Ibu capek kalau harus ngurusin kalian, mending Ibu pergi aja ke rumahnya si Adi."

Ibu langsung masuk ke dalam kamarnya, tidak lama kemudian dia keluar membawa satu tas besar.

Saat mendengar Ibu akan pergi ke rumah Bang Adi, aku langsung ingat dengan status Mbak Mila dan apa yang Bang Adi ucapkan tadi siang.

Perkara uang seratus lima puluh ribu saja Mbak Mila langsung marah besar dan mengancam akan menggugat cerai Bang Adi.

"Bapak kenapa gak ngelarang Ibu pergi?" tanyaku dengan suara bergetar karena tubuh yang menggigil.

"Sudah, biarkan saja Sup, dari dulu Ibumu memang begitu kalau marah pasti minggat."

Kalau saja tubuh ini sedang sehat, akan aku tahan Ibu agar tidak pergi.

Bu, seandainya kamu tahu bagaimana ucapan anak dan menantu yang kamu banggakan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status