Share

Musibah yang hampir menimpa

Nasib si Bungsu

(Saat masa jaya orang tua telah habis)

Part 3

Seperti kebetulan, tidak lama ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Bang Adi.

"Yusup, kamu harus tanggung jawab!" ucap Bang Adi langsung.

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang Bang Adi katakan.

"Tanggung jawab apa?"

"Gara-gara kamu minta uang, Abang bertengkar hebat sama Mbak Mila, dia sekarang pergi dari rumah, dan mengancam akan menggugat cerai Abang."

"Gara-gara uang seratus lima puluh ribu yang Abang kirim bukan?"

"Iya, pokoknya kamu harus tanggung jawab,"

"Ya sudah, aku kembalikan uang yang Abang kirim ya, tunggu sebentar, aku kirim sekarang juga!"

"Awas saja, kamu jangan sekali-kali berani minta uang lagi dengan alasan Bapak, Abang tahu itu hanya akal-akalanmu saja. Bapak masih sehat kok, masa gak kuat naik motor, kalau memang gak sanggup ke Rumah Sakit, ya sudah kontrol ke Puskesmas saja!"

"Makanya Bang Adi sekali-kali datang, jenguk Bapak, lihat keadaannya sekarang, biar Abang tahu kondisi Bapak sekarang gimana."

"Jangan so ngatur, aku ini Kakakmu, tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu."

"Maaf kalau Yusup tidak sopan Bang."

"Namanya juga orang yang tidak punya pendidikan jadi wajar saja kalau tidak sopan, Abang ini bukan pengangguran seperti kamu, yang bisa pergi kemana saja tanpa mikirin kerjaan."

Dadaku bergermuruh saat mendengar apa yang Bang Adi katakan, sebelum emosiku memuncak, segera kumatikan data seluler agar sambungan panggilan terputus.

Jika aku langsung mengakhiri panggilan, Bang Adi pasti akan marah.

Perkara uang seratus lima puluh ribu bisa membuat satu keluarga hampir hancur, apakah se-sensitif ini masalah keuangan dalam rumah tangga.

Kukirimkan kembali uang yang Bang Adi kirim, semoga saja ada rezeki tidak terduga datang sehingga aku bisa membawa Bapak ke Rumah Sakit.

Niatku padahal meminjam, suatu saat jika ada rezeki lebih akan kukembalikan, bukan minta cuma-cuma.

Hari sudah mulai sore, dan aku belum mendapat orderan satu pun, perut rasanya sudah sangat perih.

Aku tidak akan pulang sebelum bisa mendapat tambahan uang yang bisa aku berikan pada Ibu.

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya rezeki datang juga kepadaku. Aku mendapat order dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dengan tarif hampir lima puluh ribu.

"Bismillah, semoga kuat dan bensinnya cukup," ucapku sebelum pergi menjemput penumpang.

Lima kemudian aku sudah sampai di titik penjemputan, seorang Ibu muda dengan anak laki-laki yang masih kecil keluar dari salah satu rumah lalu menghampiriku.

"Atas nama Mbak Dian Kurnia?" tanyaku.

"Iya, Mas tolong anterin anak saya ya ke rumah Bapaknya."

"Baik Bu."

"Reyhan, cepat naik!" ucap Ibu tersebut kepada anaknya.

"Mas, anak saya naiknya di depan aja ya, soalnya suka tidur kalau di belakang."

"Iya, boleh Bu."

"Nih tas nya, udah Reyhan jangan nangis terus!"

"Mas langsung berangkat ya, takutnya kemaleman, kalau bingung sama jalannya tanya sama Reyhan aja, dia udah tahu kok."

Langsung kunyalakan mesin sepeda motor lalu mulai berjalan menuju tempat tujuan.

Sepanjang perjalanan, Reyhan terus menangis.

"Reyhan kenapa kok nangis?"

"Aku sedih Om."

"Kenapa emang?"

"Iya, Reyhan gak mau pulang ke rumah Papa, tapi Mama maksa nyuruh Reyhan supaya pulang karena Mama mau kerja."

"Memang rumahnya Mama sama Papa beda ya?"

"Beda Om, kata Mama, Mama sama Papa udah cerai mereka gak boleh tinggal bareng lagi."

"Terus kenapa Reyhan gak mau pulang ke rumah Papa?"

"Di rumah Papa ada Mama baru, dia selalu marahin Reyhan, apalagi sekarang sudah ada adik bayi, Reyhan capek suka disuruh jagain adik, kalau adik nangis Mama sama Papa pasti marah sama Reyhan," Reyhan bercerita dengan polos seperti anak kecil pada umumnya.

"Oh gitu, Reyhan hebat juga ya bisa jagain adik, Reyhan udah sekolah belum?"

Reyhan menggeleng.

"Om, boleh gak Reyhan ikut Om?"

"Gak boleh, kalau Reyhan ikut Om, nanti Papa sama Mama nyariin Reyhan gimana?"

"Hmmmm."

"Ini jalannya ke mana ya, Om gak tahu," aku berpura-pura, agar Reyhan kembali berceloteh.

"Di depan belok kanan ya Om!"

"Siap, kalau Om boleh tahu umur Reyhan sekarang berapa?"

"7 tahun Om."

"Udah gede ya, pantesan Reyhan pinter bisa jagain adik."

"Iya Om."

"Om, bentar lagi sampai, tuh, rumah Papa Reyhan yang warna biru," Reyhan menunjuk rumah yang berada di ujung gang.

Tidak lama kemudian kami pun sampai, Reyhan langsung turun dari motor. Dan aku menunggu orang tuanya keluar, tadi Bu Dian mengatakan ongkosnya akan dibayar oleh Papanya Reyhan.

"Papa, Mama, Reyhan datang."

"Papa, buka pintunya."

"Papa, ini Reyhan Papa."

Kuhampiri Reyhan, untuk membantu memanggil Papa dan Mamanya, mungkin suara Reyhan terlalu kecil dan tidak terdengar ke dalam.

"Assalamualaikum, assalamualaikum."

"Assalamualaikum."

Beberapa saat kemudian pintu terbuka.

"Reyhan, kamu kok udah balik ke sini lagi? bukannya jadwal kamu pulang masih dua hari lagi?"

"Mama mau kerja katanya Pa, jadi Reyhan disuruh ke sini!"

"Ibumu itu memang tidak bisa diandalkan, ya sudah. Cepat masuk!" Tubuh Reyhan ditarik keras masuk ke dalam.

Aku tidak tega melihat anak sekecil Reyhan diperlakukan seperti ini, seandainya aku memiliki kehidupan yang lebih baik, sudah aku bawa Reyhan bersamaku.

Tanpa mengucapkan permisi atau terima kasih, Papa Reyhan langsung menarik pintu.

"Maaf Pak, ongkosnya belum dibayar!" ucapku sebelum pintu tertutup rapat.

"Apa? belum dibayar?"

"Iya Pak, tadi kata Mamanya ongkosnya dibayar di sini."

"Kalau kerja, yang pintar dikit dong Pak, disuruh nganterin anak ya minta duluan ongkosnya!"

"Terima kasih untuk nasihatnya Pak, tapi untuk kali ini saya lebih membutuhkan ongkos yang harus Bapak bayar."

"Sudah, sudah, diam. Memangnya berapa ongkosnya?"

"Lima puluh ribu Pak!"

"Saya cuma ada uang segini, cepat pergi, jangan macam-macam, saya preman di sini, kalau bikin ribut bisa habis kamu."

Blug

Pintu langsung ditutup.

Tidak mau mencari ribut, aku memilih langsung pulang. Uang dua puluh ribu tadi aku gunakan untuk mengisi perut karena tidak yakin di rumah ada makanan.

"Bu, nasi sama kuah sayur asem!" ucapku pada penjaga warteg.

"Gak pakai lauk Mas?"

"Enggak Bu."

Sepiring nasi yang diguyur kuah sayur asem segera aku habiskan.

"Berapa Bu?"

"7 ribu Mas."

Masih ada kembalian yang aku terima, sepertinya aku tidak bisa memberi tambahan uang untuk Ibu karena ini hanya cukup membeli bensin dan tabungan wajib harian untuk iuran BPJS.

Setelah kenyang, kulanjutkan perjalanan pulang.

Saat memasuki jalanan yang sepi, tiba-tiba aku dipepet oleh dua kendaraan. Mereka menyuruhku berhenti.

Sadar sedang dalam bahaya, segera kupercepat laju kendaraan. Akan tetapi usahaku gagal mereka berhasil mengejarku.

Braaakkk

Mereka menendang motorku sampai aku kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status