Beranda / Urban / Nasib si Bungsu / Musibah yang hampir menimpa

Share

Musibah yang hampir menimpa

Penulis: Ayu_Kusuma20
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-22 19:59:18

Nasib si Bungsu

(Saat masa jaya orang tua telah habis)

Part 3

Seperti kebetulan, tidak lama ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Bang Adi.

"Yusup, kamu harus tanggung jawab!" ucap Bang Adi langsung.

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang Bang Adi katakan.

"Tanggung jawab apa?"

"Gara-gara kamu minta uang, Abang bertengkar hebat sama Mbak Mila, dia sekarang pergi dari rumah, dan mengancam akan menggugat cerai Abang."

"Gara-gara uang seratus lima puluh ribu yang Abang kirim bukan?"

"Iya, pokoknya kamu harus tanggung jawab,"

"Ya sudah, aku kembalikan uang yang Abang kirim ya, tunggu sebentar, aku kirim sekarang juga!"

"Awas saja, kamu jangan sekali-kali berani minta uang lagi dengan alasan Bapak, Abang tahu itu hanya akal-akalanmu saja. Bapak masih sehat kok, masa gak kuat naik motor, kalau memang gak sanggup ke Rumah Sakit, ya sudah kontrol ke Puskesmas saja!"

"Makanya Bang Adi sekali-kali datang, jenguk Bapak, lihat keadaannya sekarang, biar Abang tahu kondisi Bapak sekarang gimana."

"Jangan so ngatur, aku ini Kakakmu, tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu."

"Maaf kalau Yusup tidak sopan Bang."

"Namanya juga orang yang tidak punya pendidikan jadi wajar saja kalau tidak sopan, Abang ini bukan pengangguran seperti kamu, yang bisa pergi kemana saja tanpa mikirin kerjaan."

Dadaku bergermuruh saat mendengar apa yang Bang Adi katakan, sebelum emosiku memuncak, segera kumatikan data seluler agar sambungan panggilan terputus.

Jika aku langsung mengakhiri panggilan, Bang Adi pasti akan marah.

Perkara uang seratus lima puluh ribu bisa membuat satu keluarga hampir hancur, apakah se-sensitif ini masalah keuangan dalam rumah tangga.

Kukirimkan kembali uang yang Bang Adi kirim, semoga saja ada rezeki tidak terduga datang sehingga aku bisa membawa Bapak ke Rumah Sakit.

Niatku padahal meminjam, suatu saat jika ada rezeki lebih akan kukembalikan, bukan minta cuma-cuma.

Hari sudah mulai sore, dan aku belum mendapat orderan satu pun, perut rasanya sudah sangat perih.

Aku tidak akan pulang sebelum bisa mendapat tambahan uang yang bisa aku berikan pada Ibu.

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya rezeki datang juga kepadaku. Aku mendapat order dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dengan tarif hampir lima puluh ribu.

"Bismillah, semoga kuat dan bensinnya cukup," ucapku sebelum pergi menjemput penumpang.

Lima kemudian aku sudah sampai di titik penjemputan, seorang Ibu muda dengan anak laki-laki yang masih kecil keluar dari salah satu rumah lalu menghampiriku.

"Atas nama Mbak Dian Kurnia?" tanyaku.

"Iya, Mas tolong anterin anak saya ya ke rumah Bapaknya."

"Baik Bu."

"Reyhan, cepat naik!" ucap Ibu tersebut kepada anaknya.

"Mas, anak saya naiknya di depan aja ya, soalnya suka tidur kalau di belakang."

"Iya, boleh Bu."

"Nih tas nya, udah Reyhan jangan nangis terus!"

"Mas langsung berangkat ya, takutnya kemaleman, kalau bingung sama jalannya tanya sama Reyhan aja, dia udah tahu kok."

Langsung kunyalakan mesin sepeda motor lalu mulai berjalan menuju tempat tujuan.

Sepanjang perjalanan, Reyhan terus menangis.

"Reyhan kenapa kok nangis?"

"Aku sedih Om."

"Kenapa emang?"

"Iya, Reyhan gak mau pulang ke rumah Papa, tapi Mama maksa nyuruh Reyhan supaya pulang karena Mama mau kerja."

"Memang rumahnya Mama sama Papa beda ya?"

"Beda Om, kata Mama, Mama sama Papa udah cerai mereka gak boleh tinggal bareng lagi."

"Terus kenapa Reyhan gak mau pulang ke rumah Papa?"

"Di rumah Papa ada Mama baru, dia selalu marahin Reyhan, apalagi sekarang sudah ada adik bayi, Reyhan capek suka disuruh jagain adik, kalau adik nangis Mama sama Papa pasti marah sama Reyhan," Reyhan bercerita dengan polos seperti anak kecil pada umumnya.

"Oh gitu, Reyhan hebat juga ya bisa jagain adik, Reyhan udah sekolah belum?"

Reyhan menggeleng.

"Om, boleh gak Reyhan ikut Om?"

"Gak boleh, kalau Reyhan ikut Om, nanti Papa sama Mama nyariin Reyhan gimana?"

"Hmmmm."

"Ini jalannya ke mana ya, Om gak tahu," aku berpura-pura, agar Reyhan kembali berceloteh.

"Di depan belok kanan ya Om!"

"Siap, kalau Om boleh tahu umur Reyhan sekarang berapa?"

"7 tahun Om."

"Udah gede ya, pantesan Reyhan pinter bisa jagain adik."

"Iya Om."

"Om, bentar lagi sampai, tuh, rumah Papa Reyhan yang warna biru," Reyhan menunjuk rumah yang berada di ujung gang.

Tidak lama kemudian kami pun sampai, Reyhan langsung turun dari motor. Dan aku menunggu orang tuanya keluar, tadi Bu Dian mengatakan ongkosnya akan dibayar oleh Papanya Reyhan.

"Papa, Mama, Reyhan datang."

"Papa, buka pintunya."

"Papa, ini Reyhan Papa."

Kuhampiri Reyhan, untuk membantu memanggil Papa dan Mamanya, mungkin suara Reyhan terlalu kecil dan tidak terdengar ke dalam.

"Assalamualaikum, assalamualaikum."

"Assalamualaikum."

Beberapa saat kemudian pintu terbuka.

"Reyhan, kamu kok udah balik ke sini lagi? bukannya jadwal kamu pulang masih dua hari lagi?"

"Mama mau kerja katanya Pa, jadi Reyhan disuruh ke sini!"

"Ibumu itu memang tidak bisa diandalkan, ya sudah. Cepat masuk!" Tubuh Reyhan ditarik keras masuk ke dalam.

Aku tidak tega melihat anak sekecil Reyhan diperlakukan seperti ini, seandainya aku memiliki kehidupan yang lebih baik, sudah aku bawa Reyhan bersamaku.

Tanpa mengucapkan permisi atau terima kasih, Papa Reyhan langsung menarik pintu.

"Maaf Pak, ongkosnya belum dibayar!" ucapku sebelum pintu tertutup rapat.

"Apa? belum dibayar?"

"Iya Pak, tadi kata Mamanya ongkosnya dibayar di sini."

"Kalau kerja, yang pintar dikit dong Pak, disuruh nganterin anak ya minta duluan ongkosnya!"

"Terima kasih untuk nasihatnya Pak, tapi untuk kali ini saya lebih membutuhkan ongkos yang harus Bapak bayar."

"Sudah, sudah, diam. Memangnya berapa ongkosnya?"

"Lima puluh ribu Pak!"

"Saya cuma ada uang segini, cepat pergi, jangan macam-macam, saya preman di sini, kalau bikin ribut bisa habis kamu."

Blug

Pintu langsung ditutup.

Tidak mau mencari ribut, aku memilih langsung pulang. Uang dua puluh ribu tadi aku gunakan untuk mengisi perut karena tidak yakin di rumah ada makanan.

"Bu, nasi sama kuah sayur asem!" ucapku pada penjaga warteg.

"Gak pakai lauk Mas?"

"Enggak Bu."

Sepiring nasi yang diguyur kuah sayur asem segera aku habiskan.

"Berapa Bu?"

"7 ribu Mas."

Masih ada kembalian yang aku terima, sepertinya aku tidak bisa memberi tambahan uang untuk Ibu karena ini hanya cukup membeli bensin dan tabungan wajib harian untuk iuran BPJS.

Setelah kenyang, kulanjutkan perjalanan pulang.

Saat memasuki jalanan yang sepi, tiba-tiba aku dipepet oleh dua kendaraan. Mereka menyuruhku berhenti.

Sadar sedang dalam bahaya, segera kupercepat laju kendaraan. Akan tetapi usahaku gagal mereka berhasil mengejarku.

Braaakkk

Mereka menendang motorku sampai aku kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nasib si Bungsu   Akhir

    Nasib si BungsuPart akhirAkhirnya aku memilih untuk tetap melanjutkan proses hukum, bagaimana pun Ibu dan kedua Abangku harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan.Bukan apa-apa, karena ini sudah berurusan dengan nyawa, aku takut jika masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan, mereka akan melakukan sesuatu yang jauh lebih kejam dari ini.Kasus yang kualami menjadi viral, banyak media yang meliput dan mengikuti bagaimana perkembangan selanjutnya, mungkin karena mencakup hubungan antara Ibu dan anak, sehingga cukup banyak menyita perhatian.Aku mendapat berbagai macam komentar, dari yang mendukung keputusanku sampai ada yang kontra dengan jalan yang kupilih.Masalah ini cukup menyita waktu, hingga akhirnya hakim membacakan vonis hukuman pada Ibu, Bang Adi dan Harun, mereka semua harus mendekam dibalik jeruji besi kurang lebih selama 20 tahu untuk menebus kesalahan yang sudah mereka lakukan."Apa kamu tidak sadar Yusup, Ibu itu sudah tua renta, tidak sampai dua pu

  • Nasib si Bungsu   Hukuman untuk mereka

    Nasib si Bungsu(Saat masa jaya orang tua telah habis)Part 31Apakah ini akhir dari hidupku? meregang nyawa di tangan mereka?Meskipun mereka menggunakan penutup wajah dan jaket tebal, tetapi postur tubuhnya sangat aku kenal, sangat mirip dengan Bang Adi dan Bang Harun."Jangan macam-macam, berani gerak akan kubahisi kau sekarang juga!" ucap salah satu dari mereka yang mengarahkan golok pada leherku.Mendengar suaranya, aku semakin yakin bahwa ia adalah Bang Adi.Nyaliku ciut saat melihat benda tajam ini berada persis di depan mataku, ukurannya panjang dan sangat tajam. Terlihat masih seperti baru.Sembari terdiam, aku mengatur strategi, mengingat semua ilmu yang kumiliki, apa saja yang harus kulakukan saat dihadapkan dengan benda tajam seperti sekarang.Aku mengumpulkan semua keyakinan bahwa aku bisa menyelamatkan diri dan akan melawan mereka.Sebuah gerakan kulakukan hingga akhirnya benda tajam ini berhasil kurebut, aku mengunci lengannya agar ia tidak bisa bergerak."Jangan macam-

  • Nasib si Bungsu   Mencari Ibu

    Nasib si Bungsu(Saat masa jaya orang tua telah habis)Part 30Setelah mendengar kabar bahwa Ibu diamankan oleh satpol PP, aku langsung berangkat menuju kantor Dinas Sosial untuk mencari tahu apa benar apa yang Bang Jejen katakan."Pak, Yusup hari ini ada urusan dulu jadi buka toko agak siangan," ucapku pada Bapak."Urusan apa emang Sup?""Mau nengok Reyhan Pak," aku berbohong."Yaudah hati-hati Sup.""Iya Pak."Butuh waktu satu jam untuk sampai ke kantor Dinas Sosial.Sepanjang perjalanan pikiranku berkecamuk, dan terus menyalahkan diri, karena egoku Ibu sampai menjadi pengemis. Aku yakin dalang dari semua ini adalah mereka yaitu Bang Adi dan Bang Harun yang tidak mau bekerja keras tapi mau hidup enak.Ibu sudah tua, tubuhnya sangat kurus, pasti banyak orang terenyuh dan mengasihani.Tiba di kantor Dinas Sosial aku sendiri bingung harus pergi ke bagian mana untuk bertanya tentang keberadaan Ibu."Mas, izin mau tanya, kalau mau nyari orang yang diamankan satpol PP ke bagian mana ya?"

  • Nasib si Bungsu   Ibu ditangkap

    Nasib si Bungsu(Saat masa jaya orang tua telah habis)Part 29"Hallo, Mas, saya mau nanya, ini masalah rumah mau dilanjut apa enggak? dua minggu lagi abis masa sewa nya!" tanya Bu Maya saat panggilan tersambung."Iya Bu, kalau saya sendiri maaf gak lanjut Bu, yang nempatin rumah itu kan sekarang Abang sama Ibu saya, coba saya tanya dulu sama mereka ya, nanti saya kabarin lagi!""Oh, baik Mas, cepat ya kabarin lanjut atau enggaknya, kalau gak lanjut saya mau iklanin biar buru-buru ada yang ngisi!""Baik Bu, akan saya kabarin secepatnya!""Oke Mas, saya cuma mau nanya itu aja!" Bu Maya langsung mengakhiri panggilan.Sudah lama tidak menjenguk Ibu ke sana, bukannya tidak ingat, hanya ingin memberi sedikit pelajaran padanya, penasaran siapa yang mencukupi kebutuhan mereka mengingat kiriman sembako sudah hampir tiga minggu aku hentikan.Hari ini toko tutup lebih cepat, karena sore nanti aku akan pergi mengunjungi Ibu.Tidak ada persiapan, tujuanku hanya untuk memberi tahu bahwa rumah yang

  • Nasib si Bungsu   Rumah untuk Bapak

    Nasib si Bungsu(Saat masa jaya orang tua telah habis)Part 28Gegas aku keluar dan kembali pulang ke ruko, apa yang baru saja aku katakan pada Ibu bukan hanya ancaman semata, melainkan aku akan sungguh-sungguh melakukan itu, bukan kejam, hanya ingin memberi sedikit pelajaran pada Bang Adi dan juga Bang Harun."Tumben lama Sup, tadi ada yang mau belanja tapi mereka pada balik lagi," ucap Bapak saat aku baru sampai di ruko."Iya Pak, di sana lagi ada urusan, makanya Yusup pulangnya telat.""Urusan apa emang?""Bang Harun kembali lagi, sekarang Istrinya juga ikut, maaf ya Pak kalau Yusup agak jengkel sama mereka, abisnya mereka mau enaknya aja, ngurus anak sama nyuci baju aja Ibu yang ngerjain gimana gak kesel coba, Bapak kan tahu kondisi Ibu kayak gimana, kecapean dikit sakit. Mending kalau mereka mau ngurusin, bukannya Yusup perhitungan tahu sendiri kemarin juga siapa yang repot," ucapku panjang lebar, mengungkapkan semua isi hati."Yang salah Ibumu karena gak bisa tegas, jadi mereka

  • Nasib si Bungsu   Kondisi Arif kini

    Nasib si Bungsu(Saat masa jaya orang tua telah habis)Part 27Mendengar hal itu, aku segera pergi karena hawatir dengan keadaan Arif, semoga saja ia tidak nekat dan kembali turun dengan selamat.Toko langsung aku tutup, tidak lupa sebelum berangkat pamit terlebih dahulu pada Bapak.Di tempat kejadian situasi sudah sangat ramai, banyak warga yang sengaja 'menonton', ada petugas pemadam kebaran yang sedang mencoba menggagalkan aksi percobaan bunuh diri yang sedang Arif lakukan, mata memindai keadaan sekitar, tapi tidak kutemuken keberadaan keluarga Arif.Aku sendiri tidak tahu siapa yang menghubungiku tadi karena nomornya tidak ada dalam daftar kontak.Mungkinkah ini ada kaitannya dengan Yumna? aku mengerti perasaan Arif pasti begitu hancur, wanita yang dia impikan menjadi makmumnya, ternyata lari bersama laki-laki lain dalam keadaan mengandung.Banyak yang berteriak memintanya turun, tetapi Arif masih bertahan berada di puncak.Apa yang bisa aku lakukan dalam kondisi ini? aku takut di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status