Share

Sahabat yang sudah menolong

Nasib si Bungsu

(Saat masa jaya orang tua telah habis)

Part 5.

"Pak, Ibu emangnya punya ongkos? rumah Bang Adi kan jauh?"

"Jangan dipikirin Sup, mending kamu istirahat aja biar cepat sehat."

Hari sudah terang, dan aku baru sadar Bapak belum sarapan apalagi minum obat.

"Mau kemana Sup?"

"Nyiapin makan, Bapak harus sarapan terus minum obat."

"Tidak usah Sup, Bapak sudah bilang, Bapak ini sudah tua, sengaja gak mau minum obat supaya cepat mati, Bapak gak mau jadi beban kamu terus."

"Bapak gak boleh ngomong gitu Pak, emangnya Yusup pernah ngeluh?"

"Maafin Bapak ya, Bapak sebenarnya malu Sup, Abang-Abang kamu gak pernah dibawa hidup susah, tapi kamu mau sekolah aja gak bisa, dan sekarang yang harus kerja keras buat Bapak sama Ibu malah kamu."

"Bapak doain aja ya, supaya Yusup digampangkan dalam mencari rezekinya, Yusup ikhlas kok Pak, kata guru ngaji Yusup, Ridha Allah terletak pada Ridha orang tua."

"Maafkan Ibumu juga ya Sup, sampai sekarang dia belum bisa ikhlas menerima kenyataan dan selalu menyalahkan kamu padahal sudah hampir 20 tahun berlalu."

"Iya Pak, tidak perlu minta maaf karena Bapak sama Ibu tidak salah."

"Iya Pak, Yusup ke dapur dulu ya ambil makan buat Bapak."

Dengan langkah gontai, aku berjalan hendak mengambil sepiring nasi untuk Bapak.

Saat membuka rice cooker, tidak ada yang bisa aku ambil, hanya ada kerak-kerak sisa nasi kemarin. Tempat penyimpanan beras pun kosong, sedikit tahu diri karena uang yang aku beri hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Duduk bersandar pada dinding dapur karena sudah tidak sanggup beridiri, berkali-kali mengucap istighfar dan shalawat agar tubuh ini lebih kuat.

Ternyata benar apa yang Bapak katakan, aku harus sehat agar bisa mengatasi semua ini.

"Pak, maaf ya, nasinya gak ada, beras juga habis," ucapku dengan rasa bersalah.

"Tidak apa-apa Sup, Bapak ke teras dulu ya, mau berjemur."

"Iya Pak."

Kondisi kesehatan Bapak memang sudah menurun, tetapi untuk sekedar duduk di teras masih bisa ia lakukan meskipun dengan berjalan setengah merangkak, selain urusan ke kamar mandi, beliau tidak mau dibantu.

Di tengah kondisi seperti ini, aku mencoba menghubungi Arif, sahabatku, berniat untuk meminta tolong kepadanya.

Arif tinggal di Desa sebelah, kami berteman sejak duduk di bangku SMP, orang tuanya termasuk orang berada, lulus SMA dia langsung kuliah mengambil jurusan keperawatan.

Saat aku hubungi, kebetulan dia sedang ada di rumah, langsung kuceritakan keadaanku.

"Kamu bisa obatin aku gak?" ucapku melalui sambungan telepon.

"Mending ke Puskesmas aja, biar langsung diperiksa sama Dokter."

"Aku gak punya uang."

"Gak usah hawatir, tunggu di rumah, aku ke sana sekarang!"

Bukannya aku tidak malu karena merepotkan Arif, lalu bagaimana lagi, meminta tolong pada ketiga Abangku rasanya tidak mungkin.

Tidak sampai sepuluh menit, terdengar suara motor berhenti tepat di depan rumah.

Arif langsung menyapa Bapak yang sedang duduk di teras, lalu mengobrol sebentar sebelum masuk menemuiku.

"Kamu kenapa Sup?" tanya Arif saat melihat keadaanku.

Langsung kuceritakan apa yang aku alami malam tadi, dia kemudian melihat memeriksa luka-luka pada tubuhku.

"Sepertinya badan kamu demam karena ini, ayo kita ke Puskesmas sekarang, luka kamu juga harus dibersihin."

"Tapi . . . ," ucapku ragu.

"Gak usah hawatir masalah biaya, Ayo!" Arif seolah bisa membaca pikiranku.

Arif membantuku bangun, lalu memapahku berjalan.

"Pak, aku mau bawa Yusup ke Puskesmas ya!"

"Oh iya, maaf ya Arif, ngerepotin, Bapak jadi gak enak."

"Udah, gak apa-apa."

Kami pun segera pergi menuju Puskesmas, sesampainya di sana, aku langsung duduk, Arif yang mengurus semuanya sampai aku dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan di ruang dokter.

"Kenapa gak bikin laporan biar di usut?" tanya Dokter setelah Arif menceritakan kronologi kejadian tadi malam.

Aku menggeleng.

"Saya resepin obat anti nyeri sama demam, terus antibiotik biar lukanya gak infeksi, setelah ini langsung ke UGD ya bersihin lukanya!" ucap Dokter sambil menuliskan resep obat.

"Ini, silahkan, kasih ke bagian Farmasi ya!

"Baik Dok, terima kasih."

Ditemani Arif, aku pun masuk keruang UGD untuk membersihkan luka.

"Kenapa baru datang sekarang, kan jadi perih bersihin lukanya," ucap seorang tenaga kesehatan yang sedang bertugas.

Setelah dibersihkan, semua luka kemudian ditutup oleh perban.

"Kontrolnya dua hari sekali, semoga cepat sembuh ya!"

"Berapa Rif bayarnya?"

"Udah, ayo kita pulang." Dia enggan memberi tahuku.

Semuanya selesai, kami pun langsung pulang. Arif menyempatkan mampir membeli dua porsi bubur ayam untuk aku dan Bapak.

"Makasih ya Rif, aku jadi gak enak, nanti kalau aku punya uang aku ganti ya."

"Tidak usah, memangnya aku minjemin apa."

Sampai di rumah, aku berusaha kuat, berjalan ke dapur mengambil mangkuk, segera kusalin bubur dari dalam plastik.

Tidak enak rasanya jika harus merepotkan temanku lagi.

"Aku pulang ya Sup, nanti siang mau balik ke kosan soalnya, besok udah masuk kuliah."

"Oh iya, terima kasih ya, maaf aku sudah banyak merepotkan."

"Iya sama-sama, gak apa-apa kok."

Setelah Arif pulang, aku menerima pesan darinya.

[Di bawah bantal ada uang, kalau kamu perlu pake aja]

Saat aku lihat, ternyata benar ada satu lembar uang berwarna merah muda di sana.

Harus dengan cara apa aku membalas semua kebaikannya, aku sangat bersyukur Allah memberi pertolongan melalui Arif.

Ternyata memang benar setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

***

Pagi ini aku bangun dengan kondisi tubuh yang sudah lebih baik. Aku memutuskan untuk kembali mencari rezeki, namun aku bimbang memikirkan Bapak, jika pergi bagaimana dengan Bapak, tidak tega rasanya meninggalkan dia seorang diri, tetapi kalau hanya dirumah tidak ada pemasukan hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status