"Tari ...," lirih Nurma tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sepertinya tidak mungkin putrinya berbicara melantur seperti itu. Masak harus seperti itu dulu hanya untuk membuktikan ucapannya kepada Rayyan?
Rayyan menatap ke arah gadis cantik berhijab biru tersebut dengan begitu lekat. 'Huh! Ternyata kamu memang perempuan murahan!' bisik hatinya mencela. "Bu–bukan begitu maksudnya, Yah! Ja–ngan salah paham!" Tari langsung tergagap ketika melihat sang ayah marah dan semua orang menatap aneh ke arahnya. Bahkan Gunawan sampai ternganga mendengar ucapannya tadi. "Maksud kamu apa, Nak?" tanya Nurmala penasaran. "Maksudnya gini, Bu. Bisa aja aku diperiksa dulu ke dokter, untuk membuktikan kalau aku masih perawan gitu. Bukan kayak yang kalian sangkakan. Ya, nggak mungkin juga aku mau berbuat dosa besar itu ...," ujar Lestari menyampaikan maksud omongannya tadi yang bilang kepada Rayyan untuk mengetes keperawanan. "Ooooh." Semua orang ber'oh' ria setelah mendengar penjelasan dari Lestari. Kecuali Rayyan. Pria itu kembali memasang wajah datarnya. Jujur, ia sempat mengira hal yang sama dengan semua orang pikirkan tadi. Ternyata dia salah. "Huuftt ...." Lestari mengembuskan napas lega melihat semua orang paham maksud omongannya. "Hmm, sudahlah. Baik, saya nggak akan memperpanjang hal ini. Saya juga tidak sempat mengurus hal itu. Anggap saja benar kamu masih perawan." 'Meskipun aku meragukan itu!' sambung Rayyan di dalam hati. "Ja–di bagaimana Mas Rayyan? Apa penawaran saya agar kita menyimpul ikatan kekerabatan diterima?" tanya Dinar setelah kembali duduk ke kursinya. "Oke. Aku akan menyampaikan ke asistenku agar mengurus semuanya. Tapi, ingat, Pak Dinar!" seru Rayyan menggantung omongannya. Dinar dan semua orang menyimak Rayyan dengan saksama. "Ini bukan berarti saya membebaskan utang Anda sebanyak 700 juta itu. Ini hanya agar saya mempercayai Anda tidak akan mangkir dari tanggungjawab. Kalau Anda mangkir, maka tetap saja saya akan menuntut Anda ke pengadilan nanti, meskipun Anda sudah menjadi mertua saya!" tegas Rayyan. Meski hatinya sedikit berdenyut mendengar penegasan itu, tetapi Dinar Abdullah tetap merasa cukup lega. Walaupun memang ini bukan akhir dari semua permasalahannya. Akan tetapi, setidaknya ia masih punya waktu untuk mencari tambahan supaya bisa mengembalikan uang Rayyan yang telah ia pinjam. "Terima kasih, Mas Rayyan. Semoga dengan pernikahan Mas dan anak saya, kita akan menjadi keluarga yang solid dan bisnis kita pun bisa berlanjut lebih lancar lagi," ujar Dinar semringah. Ia mengulurkan tangan kepada calon menantunya di sana. Rayyan menyambut jabatan tangan pria tua yang sebentar lagi bakal menjadi ayah mertuanya. "Kalau gitu saya permisi dulu," pamit Rayyan sembari melangkah hendak keluar rumah. Ia sama sekali tidak melirik lagi ke arah Lestari. Gunawan pun bergiliran menyalami Dinar. Ia tersenyum lebar ke arah Nurmala dan juga Lestari. Ia senang, misi yang diatur oleh Bobby berjalan dengan lancar, meskipun sempat ada kerikil-kerikil tajam tadi. Lestari hanya menatap punggung lebar lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu. Sungguh, ada keraguan di dalam hati sang gadis. Akan tetapi, ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang resah. Gadis cantik itu sadar. Tidak ada cinta dalam memulai pernikahannya ini. Baik dari dirinya, bahkan ketika ia melihat gelagat Rayyan tadi. Pria itu sama sekali tidak terlihat tertarik padanya. Namun, ia berharap kelak ia dan Rayyan bisa menjadi pasangan suami-istri yang saling mencintai satu sama lain seperti pernikahan yang pernah ia idamkan dulu bersama Gilang Hardian. *** "Saya terima nikahnya Lestari binti Dinar Abdullah dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas, dengan berat 100 gram dibayar tunai!" seru Rayyan Yudistira pada perhelatan acara akad nikahnya hari ini. Para warga terlihat kasak-kusuk dengan tatapan mata kagum ketika mendengar jumlah mahar yang disebutkan dalam ijab qabul itu. Dinar tersenyum jemawa sambil mengedarkan pandangannya ke arah tetamu. "Bagaimana para saksi, sah?" tanya sang penghulu. "Saaaah!" sahut para saksi. Sang penghulu lalu memimpin doa keberkahan bagi kedua mempelai dan diikuti oleh para tetamu yang hadir di kediaman Dinar Abdullah itu. Wajah Dinar terlihat semringah. Ia merasa bangga telah menikahkan putrinya kepada seorang lelaki pengusaha sukses yang kaya raya. Apalagi Rayyan pun memberikan mahar yang begitu mewah kepada anaknya. Tadinya pria paruh baya tersebut tidak menyangka kalau Rayyan bakal memberikan mahar sebanyak itu. Karena ia mengira, lelaki tersebut menerima tawaran pernikahan ini tanpa minat yang besar. Mungkin hanya agar mempunyai istri yang cantik. Ya, Dinar sangat menyadari kalau ia memiliki putri yang begitu cantik. Lestari adalah bunga yang ia rawat sejak lahir dengan begitu ketat. Gadis itu adalah putri semata wayangnya yang mana ia jaga selama ini. Banyak pria yang tertarik pada putrinya, meskipun mereka tidak berani untuk terang-terangan di hadapan orang tuanya. Lelaki tua itu senang, akhirnya sang putri mendapatkan jodoh terbaik. Lelaki sukses dan seorang miliarder. Orang-orang akan bungkam dari membicarakannya beberapa waktu belakangan ini. 'Biar mereka semua sadar, di mana-mana tentu orang tua akan mencarikan pasangan terbaik untuk anak-anaknya. Lihat ini menantuku! Maharnya aja senilai 100 juta lebih!' batin Dinar angkuh. Semua biaya untuk perhelatan pernikahan ini ditanggung oleh Rayyan Yudistira. Tadinya lelaki itu menawarkan agar diadakan di hotel berbintang saja. Namun, Dinar mencegahnya, ia ingin semua warga masyarakat bisa hadir melihat mewahnya pesta pernikahan sang putri. Bahkan lebih mewah dibandingkan jika acara nikah Lestari dan Fadil dulu jadi. "Hmm, selamat, Bang. Aku nggak nyangka kalau malah Abang yang–" "Terima kasih atas kedatangannya," potong Rayyan pada omongan seorang tamu pria di sana. Wajahnya sengaja ditolehkan ke arah lain, enggan membalas tatapan pria itu. Mau tidak mau sang tamu pun mengalihkan pandangannya ke arah mempelai wanita. Ia menangkupkan tangan tanpa berkata-kata. "Terima kasih, Mas Burhan sudah datang," ucap Lestari sembari mengulas senyum getir. Ingatannya seketika saja kembali kepada malam di mana Burhan juga datang menemani Gilang yang melamarnya. Dan malam itu pula, Gilang menghilang, hanyut dalam derasnya aliran sungai. "Sama-sama. Selamat ya, Tari. Semoga sakinah mawaddah warahmah." Setelah mengucap itu, Burhan pun melenggang pergi dan sebelumnya ia kembali melirik ke arah Rayyan yang membuang muka darinya. Lestari merasa sedikit heran melihat gelagat Rayyan dan Burhan tadi. Hatinya pun bertanya-tanya, 'Apa Mas Rayyan dan Mas Burhan saling kenal?' . .Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.
Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re
Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat
Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana
Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini
"Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da