Share

Bab 4

Author: Adny Ummi
last update Last Updated: 2024-06-13 08:58:45

"Jadi, Anda menawarkan anak gadis Anda yang beberapa kali gagal nikah itu kepada saya?" Rayyan mendengkus sembari menatap Dinar dengan tatapan merendahkan.

"Bu–bukan seperti itu, Mas Rayyan. Saya cuma hendak menawarkan ikatan kekerabatan. Dengan hal itu, mungkin Mas Rayyan lebih percaya sama saya, dan mau memberi keringanan waktu untuk saya bisa mengumpulkan uang lagi agar bisnis kita tidak terhenti padahal belum saja dimulai," kilah Dinar Abdullah panjang lebar. Ia melirik ke arah Gunawan, sang pemberi ide.

"Anak Anda masih perawan tidak?"

Seketika saja Dinar mengangkat pandangannya. Sungguh, di dalam hatinya merasa tersinggung dengan pertanyaan seperti itu. "Mak–Maksud Mas Rayyan gimana?"

"Kita sama-sama tahu ... banyak perempuan yang kelihatannya lugu dan polos. Nyatanya sama aja kayak perempuan-perempuan murahan di luar sana. Sudah menggadaikan kehormatannya sendiri atas nama cinta. Bukan begitu, Pak Dinar? Anda sendiri tentu tahulah gimana pergaulan anak muda zaman sekarang."

"Oh, i–iya, Mas Rayyan. Mas memang benar soal zaman yang semakin edan saat ini," pungkas Dinar memahami apa yang Rayyan sampaikan.

"Jadi, putri Anda masih terjaga atau sudah dicicipi mantan pacarnya?" Kembali Rayyan mencecar pertanyaan yang ia curigai sebenarnya.

"Ooh, jelas aja anak saya tidak seperti gadis-gadis di luar sana, Mas. Dia jarang keluar rumah. Kalau keluar palingan hanya ke masjid mengajar anak-anak TPA. Dan dia belum pernah pacaran. Saya tidak pernah mengizinkan dia pacaran, Mas. Ke Nak Fadil aja dia nggak pacaran, langsung saya tunangkan waktu itu," bantah Dinar.

"Oh ya? Tapi, saya dengar-dengar kalau dia pernah punya pacar?"

Dahi Dinar berkerut kencang. "Siapa maksud Mas Rayyan?"

"Siapa namanya, Gun? Bukan Fadil, tapi yang sebelum itu." Rayyan menoleh ke arah Gunawan yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan orang-orang penting di hadapannya.

"Ee–eh, i–itu hanya isu di antara warga aja, Bos. Yang saya tahu, Dek Lestari nggak pernah punya pacar," sahut Gunawan ikut membantah apa yang Rayyan perkirakan.

"Siapa memangnya, Mas Gun?" tanya Dinar penasaran dengan isu yang beredar di masyarakat desanya itu.

"I–tu, Gan. Yang guru honorer yang meninggal dan mayatnya hilang di sungai itu, loh," jawab Gunawan.

Refleks kedua mata tua Dinar membulat. "Oooh, pemuda nggak jelas itu?"

Tampak Rayyan mengeraskan kedua rahangnya. Entah mengapa ia tidak senang dengan sebutan 'pemuda nggak jelas' yang Dinar sebutkan barusan. Akan tetapi, ia hanya diam saja.

"Tari nggak pernah punya hubungan dengan dia, Mas Rayyan. Itu cuma gosip murahan!" cetus Dinar.

"Jadi, Anda yakin putri Anda masih terjaga kesuciannya?"

"Tentu saja. Kalau Mas tidak percaya, biar saya panggil anaknya." Dinar menoleh ke arah dalam rumahnya. "Buuu ...!" panggilnya pada sang istri.

Nurma tergopoh-gopoh menghampiri ke ruang tamu.

"Mana Tari?" tanya Dinar.

"Ada di kamarnya, Yah. Ada apa?" tanya Nurma heran.

"Panggil dia ke sini!" titah pria tua itu.

Nurma menoleh ke arah Rayyan dan bergiliran menatap Gunawan dengan sorot curiga.

"Cepetan, Bu!" seru Dinar.

"Ah, i–ya, Yah!" Nurma pun segera berbalik dan kembali masuk ke dalam.

Tak lama kemudian muncullah Lestari diiringi oleh sang ibu.

"Ayah manggil Tari?" tanya gadis cantik, kembang desa itu.

Terdengar suara yang serak basah milik Lestari.

Suara itu begitu menggoda di telinga Rayyan. Itu pertama kalinya ia mendengar suara gadis cantik tersebut. Namun, entah mengapa dengan cepat lelaki itu mendengkus pelan. Ia memicingkan mata menatap tajam ke arah gadis di depannya. Ada yang terbakar di dalam dadanya karena mengingat sesuatu.

"Duduk sini!" suruh Dinar sembari menunjuk kursi jati di sebelahnya, tepat di seberang tempat duduk Rayyan.

Gunawan mengangguk dan mengulas senyum ramah ketika pandangannya tertumbuk ke mata Lestari serta ibunya. Sementara Rayyan, ekspresi wajahnya masih saja dingin seperti biasanya.

Tari dan sang ibu mendaratkan bobotnya di kursi. Keduanya merasa penasaran apa yang hendak disampaikan oleh Dinar, atau Lelaki tampan tapi arogan di hadapan mereka.

"Gini ... Mas Rayyan mau tahu. Apa kamu pernah berpacaran dengan seorang lelaki sebelum ini?" tanya Dinar membuka omongan kepada putrinya.

Baru saja Lestari ingin membuka mulutnya–

"Hmm, bukan itu intinya," sela Rayyan dengan suara beratnya yang khas membuat semua orang menoleh ke arahnya.

Entah mengapa denyut jantung Lestari berdebar ketika melihat dan mendengar pria itu lebih jelas. Ia merasa gugup berhadapan langsung seperti ini setelah paham kalau pria inilah yang bakal dijodohkan kepadanya, sebagai penawaran agar sang ayah tidak didesak untuk segera melunaskan utang.

"Intinya aku mau tahu, kamu ini masih perawan atau tidak?"

Deg!

Nurma dan Lestari kaget dengan pertanyaan itu. Mereka merasa tersinggung sebab seolah Rayyan menuduh Tari telah melakukan perbuatan nista padahal belum menikah.

"Maksudnya apa Mas Rayyan nanya seperti itu? Anak saya bukan perempuan murahan!" seru Nurma tidak terima.

"Bu," bisik Lestari sambil memegang lutut ibunya. Ia tidak mau sang ibu terpancing emosi.

Dinar tampak mengalihkan pandangan ketika sang istri menoleh ke arahnya dengan tatapan nanar.

"Saya masih perawan, Pak."

Rayyan mendengkus dan langsung tertawa kecil. Ia merasa lucu dengan panggilan yang Lestari sebut untuknya. 'Apa aku kelihatan setua itu?' tanyanya membatin.

Ya, memang usia Lestari masih sangat muda. Umurnya baru menginjak 21 tahun. Sedangkan Rayyan Yudistira sudah 33 tahun. Lelaki itu pernah menikah dulu, tetapi hanya dua tahun usia pernikahannya.

Rayyan menceraikan sang istri sebab kedapatan berselingkuh. Bahkan ia melihat dengan kedua matanya sendiri wanita itu bercinta dengan lelaki lain. Hal itulah yang menyebabkan ia tidak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Cinta dan perhatian tulusnya kepada Clara—sang mantan istri—dulu, ternyata tidak membuat ia merasa dicintai, justru ia dikhianati.

"Kenapa, Mas?" Dinar heran mengapa Rayyan tiba-tiba tertawa ketika mendengar putrinya menyatakan kalau ia masih perawan.

"Nggak ... maaf. Saya cuma merasa lucu dengan panggilannya. Katanya mau jadi istri saya. Tapi, panggil 'Pak'." Rayyan kembali tertawa.

"Oooh." Dinar ber'oh' ria dan ikut tersenyum. Ia pikir tadi Rayyan tidak percaya pada putrinya.

"Kalau saya nanti membuktikan dia tidak perawan lagi, saya bakal menceraikannya, bagaimana?"

Kedua rahang Lestari mengeras. Ia benar-benar merasa terhinakan dengan ucapan Rayyan. Namun, ia tidak berani untuk membantah.

"Bapak ... eh, Mas boleh mengetes keperawananku dulu sebelum kita menikah."

Kontan saja semua orang terkejut dan menoleh ke satu arah ketika Lestari mengatakan hal tersebut.

Dinar langsung berdiri dengan tatapan nyalang ke arah putrinya. "Apa-apaan kamu?!"

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 167 (ENDING)

    Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 166

    Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 165

    Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 164

    Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 163

    Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 162

    "Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status