"Saya tidak bisa menginap di sini. Kalau Tari masih mau di sini bersama keluarganya untuk satu atau dua hari, silakan saja," tukas Rayyan kepada keluarga Dinar Abdullah setelah berakhirnya acara resepsi pernikahan.
Lestari tersenyum lebar mendengar itu. "Bener boleh, Mas?" "Nggak!" sela Dinar, "Tari sudah jadi istri Mas Rayyan, dia mesti ikut suaminya. Seorang istri wajib mendampingi suaminya." Lestari menoleh ke arah sang ayah. Tadinya ia sudah merasa senang dengan keputusan sang suami yang membolehkannya menginap barang dua hari pertama ini. "Hmm, ya itu terserah," jawab Rayyan, "saya mesti ke kantor pagi-pagi besok, karena ada rapat penting. Jadi, malam ini harus kembali ke kediaman saya sendiri." "Ayah, Tari di sini dulu ya dua malam ini. Soalnya mmm, Tari masih mau sama ibu dulu sebelum benar-benar pindah dari rumah ini," pinta Lestari kepada ayahnya dengan wajah memelas. Suara manja Lestari membuat aliran darah Rayyan sedikit berdesir. Apalagi mengingat tadi, sang istri begitu cantik mempesona di acara pesta pernikahan mereka. Baru saja Dinar mau membantah lagi omongan sang putri, tetapi– "Ya, sebaiknya Tari di sini dulu. Dia mungkin belum bersiap-siap untuk pindah. Saya juga tidak bisa menunggu lama sekarang. Lusa, saya akan kemari menjemputnya," pungkas Rayyan membuat Dinar tidak jadi melanjutkan omongannya. "Hmm, ya sudah kalau begitu. Baik, Mas," sahut Dinar mengalah. "Saya permisi dulu." Rayyan kemudian memberi isyarat kepada Bobby dan beberapa ajudannya yang lain untuk pergi dari rumah itu. "M–Mas!" panggil Lestari ketika langkah Rayyan hampir melewati teras rumah. Wanita muda itu melangkah cepat menyusul sang suami. Rayyan menoleh ke belakang. "Mas, makasih udah bolehin aku nginep di sini dulu." Lestari mengulurkan tangan hendak menyalami Rayyan. Awalnya Rayyan menatap tangan sang istri dengan heran. Dulu istri pertamanya tidak pernah seperti itu. Dengan ragu ia menyambut uluran tangan Lestari. Punggung telapak tangannya pun dicium oleh sang istri. Kembali darah sang pria terasa berdesir hangat. "Assalamualaikum, Mas," ucap Lestari dengan senyum hangatnya. Ia bersyukur mempunyai suami yang meski tampak dingin, tapi sebenarnya pengertian kepada dirinya. Ia berharap Rayyan akan menjadi seperti suami yang ia idamkan selama ini. "Wa alaikumus sallam," jawab Rayyan singkat. Kemudian lelaki itu berlalu menuju ke kendaraan mewahnya yang sudah menunggu di halaman. *** Setelah dua malam Lestari menginap di rumah orang tuanya, Rayyan pun menjemput untuk memboyongnya ke rumah yang baru beberapa hari ini dia beli. Ya, lelaki itu sengaja membeli rumah baru yang tidak begitu besar untuk ia tinggali bersama sang istri. Entah mengapa, ia tidak ingin Lestari berada di rumah besarnya. Lestari tersenyum semringah ketika kakinya melangkah keluar dari mobil. Pandangannya memindai situasi rumah barunya yang tampak cantik juga sederhana. Rumah itu cukup pas baginya, luasnya sekitar 200 m², dengan luas tanah 400 m². Tampak indah dengan warna favoritnya yaitu perpaduan hijau daun pisang dengan hijau toska. Lestari membayangkan kalau ia akan menanam beberapa tanaman bunga di dalam pot-pot untuk menambah indah dan asri rumahnya ini. "Ayo, jangan melamun!" seru Rayyan yang menunggu wanitanya memasuki dalam rumah yang pintunya sudah ia bukakan. "Eh, iya, Mas!" sahut Tari sembari berlari kecil menyusul suaminya. Rayyan mendengkus melihat tingkah istrinya yang terlihat seperti anak kecil itu. Sang sopir menurunkan dua buah koper milik Lestari, kemudian memanggulnya membawa benda itu masuk. Di dalam rumah terlihat sudah lengkap dengan furniture seperti satu set sofa, lemari bufet besar pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah, kemudian ada satu set meja dan kursi makan, setelahnya ruang dapur. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya muda." Sesosok wanita paruh baya dengan hijab abu-abu menyambut kedatangan sang nyonya rumah. Dia adalah asisten rumah tangga yang baru direkrut oleh Rayyan sepekan belakangan, tak lama setelah ia membeli rumah itu. "Eh, terima kasih, Bu, sambutannya." Lestari mendekati sang wanita tua dan mengulurkan tangan menyalaminya, "kenalkan, aku Tari," ucapnya ramah. "Ah, iya, Nyonya muda. Saya Nunung, panggil aja Bi Nunung." Wanita paruh baya itu menyambut uluran tangan Lestari. "Sudah! Sini kamu, Tari!" panggil Rayyan dengan wajah dinginnya itu. Lestari menghampiri sang suami. "Letakkan saja di situ kopernya! Kamu boleh keluar!" titah Rayyan kepada sang sopir. "Baik, Pak," sahut sopir tersebut, kemudian ia melangkah keluar rumah. Rayyan menggiring sang istri menuju ke sebuah kamar tak jauh dari arah dapur. Ya, ada tiga buah kamar kecil di sekitar sana. Sementara di bagian depan, ada dua kamar lain yang berukuran lebih besar. "Kamu tidur di sini!" ujar Rayyan seraya membuka salah satu kamar kecil tersebut. Nunung terlihat menunduk di tempatnya berdiri. Di dalam hati ia tidak paham, mengapa Rayyan menyuruhnya menyiapkan kamar itu. Padahal itu termasuk kamar yang hanya berukuran 3x3 m² saja, seperti kamar pribadinya yang seorang pembantu. "Mmm, oke, Mas." Meski heran, Lestari mengiyakan saja apa yang sang suami sampaikan. "Itu!" Rayyan menunjuk sebuah kamar yang terlihat paling besar di arah bagian depan. Lestari menoleh ke arah yang ditunjuk suaminya. "Itu kamar saya! Satunya kamar tamu. Dan kamu jangan pernah masuk ke dalam kamar saya, kalau saya tidak mengizinkan. Paham?!" Deg! Keheranan Lestari menjadi bertambah dengan hal itu. "Ja–jadi kita nggak satu kamar, Mas?" tanya wanita muda itu dengan sorot mata bingung. "Kamu akan satu kamar dengan saya, kalau saya yang perintahkan. Sekarang saya mau ke kantor dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan." Rayyan kemudian melenggang menuju ke arah pintu keluar diiringi tatapan Lestari yang sangat keheranan. . .Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.
Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re
Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat
Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana
Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini
"Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da