Sara menyeret kopernya dengan susah payah. Ia mengutuk lelaki yang ada di depannya sekarang, teganya main tinggal begitu saja tanpa mau membantu. Sudah tahu kopernya sangat berat. Lagipula sejak kapan Sara menurut sama orang lain, yang ada biasanya orang lain yang harus menurut apa maunya. Andai waktu itu mulut Sara bisa di kontrol untuk tidak mengucapkan kata-kata bodoh, ia tidak akan mendapatkan pilihan yang sulit dan ada di sini. Di rumah Banyu. Sekarang ia juga sudah menyandang sebagai istri seorang Banyu Sadewa.
Tadi pagi, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di lapas dengan saksi seadanya, hanya Babal, personal asisten Banyu dan tim pengacara Mario Iswary.Sejak pagi ia sudah mellow dan bilang papanya bahwa ia hanya bercanda meminta Banyu menikahinya. Yang tidak disangka, papanya justru mendukung dan memberi wejangan 'Kalau kamu menikah dengan Banyu, setidaknya selama papa di lapas, papa gak perlu khawatir soal kamu.'Mau tidak mau, akhirnya mereka menikah dan menyepakati lima point yang mereka utarakan kemarin.Siangnya, Sara masih ada di rumah kontrakan Babal untuk mengemasi barang-barang dan Banyu sedang meeting di cafe terdekat. Lelaki itu menjemput Sara pada malam harinya."Ck! Dasar gak peka!" gerutu Sara sambil melihat punggung Banyu yang terus berjalan di depannya.Rangkaian nasib ini memang membuatnya miris sendiri. Secara tidak langsung, ia menggadaikan tubuhnya untuk hidup nyaman dan tidak hidup di kolong jembatan. Tapi bagaimana? Biaya pengacara tidak murah, pekerjaannya juga semua diputus kontraknya. Benar kalau ia masih punya tenaga buat berusaha seperti yang Babal katakan, tapi kan tidak semudah itu. Ia butuhnya cepat, supaya kasus papanya ini bisa diusahakan dengan baik. Syukur-syukur bisa bebas karena Sara percaya papanya tidak bersalah.Huh! Mau menyesal tapi sudah terlanjur. Kalau kata Banyu; nasi sudah jadi bubur.Bukan Sara namanya jika ia mengeluh berlebihan. Sara bukan tipe orang yang begitu. Sara adalah orang yang mudah sedih, mudah juga untuk bangkit kembali. Ia cukup percaya dengan yang namanya tanda alam. Beberapa hal yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini, bisa jadi adalah cara alam untuk menemukan destiny-nya. Bertemu Banyu lagi setelah sekian lama, meminta dinikahi dengan cara yang tidak bisa ia kontrol dan restu dari papanya. Tanda-tanda itu bisa jadi adalah serangkaian alur yang memang harus ia jalani. Anggap saja seperti itu. Mantra Sara kini berubah; go it the flow, Ra! Ya, meski kadang ia mengucapkannya sambil mewek."Ini kamar lo." ujar Banyu membuka sebuah pintu kamar dan memasukinya lebih dulu.Sara mengikuti Banyu masuk dan melihat-lihat dalamnya. Ia menaruh kopernya di dekat ranjang. Matanya berkeliling ruangan itu dengan decak puas. "Thankyou.""Lo istirahat deh. Di sebelah ini kamar gue, kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, bilang aja. Rumah ini gak ada pembantu tetap. Mbak Yah dan pak Kodir biasanya datang buat bersih-bersih seminggu dua kali aja."Windy mengangguk. Lelaki itu pun lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri.Rumah Banyu memang tidak terlalu besar, cukup minimalis tapi sangat modern dan elegan. Sara sampai beberapa kali melihat sudut-sudut rumah yang pemilihan interior dan desainnya sangat pas. Warna-warna catnya juga bukan warna yang umum digunakan, tapi cukup menarik dan enak dilihat.Sara duduk di ranjang ukuran sedang itu. Matanya kembali menyusuri setiap sisi ruang kamar ini. Lalu setelah puas, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Pandangannya tertuju pada langit-langit putih yang entah mengapa begitu menenangkan alih-alih kamarnya dulu yang sengaja ia cat warna pink. Sudah seperti kamar Barbie saja. Sekali melihat yang minimalis begini, ternyata ia baru sadar jika seleranya sangat norak.Kira-kira, hal pertama apa yang harus ia lakukan sebagai seorang istri? Meski bukan istri sungguhan karena sesungguhnya pernikahan ini adalah kontrak. Pikirannya mengawang.Lamunan Sara harus terhenti tatkala ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi pesan dari sosial medianya. Biasanya ia jarang membuka direct massage dari sosmednya karena kesibukan. Sekarang, entah mengapa ada dorongan untuk membuka pesan itu dan ia tidak mengenal usernamenya.Hallo, bu Saragita.Saya Nadhira, karyawan HH bagian pengemasan fresh fruit. Sebelumnya saya mau mengucapkan ikut prihatin dengan masalah yang terjadi di HH. Saya sebagai karyawan yang sudah bekerja lima tahun, merasa sedih dengan adanya masalah ini. Bagi saya, HH sangat berjasa, saya bisa menafkahi keluarga saya di kampung. Bisa membiayai anak sampai kuliah dan menyejahterakan keluarga kecil saya. HH juga membuat saya bisa menambah skill yang bisa saya terapkan di luar kantor. Sejujurnya, saya dan teman-teman lainnya masih ingin bekerja di HH yang lingkungan kerjanya bagus, gaji yang sesuai dan tunjangan yang memadai. Saya berdoa, semoga ibu Sara dan pak Mario tetap sehat dan semangat sehingga bisa memimpin HH lagi. Salam rindu kami, karyawan Healthy Human.Membaca pesan tersebut, Sara menutup bibirnya terharu. Disaat semua pejabat HH mendesaknya, menghujat papa dan dirinya habis-habisan, ternyata masih ada karyawan yang bahkan jabatannya tidak tinggi, memberikan pesan ini, memberikan dukungan moril dan doa padanya setulus ini. Apa itu artinya Sara harus bangkit dan turun tangan langsung demi karyawan-karyawan yang masih punya optimis untuk bekerja ini?Ia pun bangkit dari ranjang, berjalan cepat membuka pintu dan mengetuk pintu di sebelah kamarnya. Ia harus mendiskusikan ini dengan Banyu, ia butuh bantuan lelaki itu.Ketukan pertama, tidak ada respon. Ketukan kedua, juga hening. Barulah di ketukan ketiga, Banyu membukakan pintu. Namun, begitu terkejutnya Sara tatkala Banyu menampakkan diri tanpa baju dan hanya mengenakan boxer. Itu bukan satu-satunya kejutan yang mengagetkan, Banyu memegang sesuatu yang mengkilat seperti berlendir berwarna hijau di tangannya. Sara otomatis memundurkan badannya. Ia cukup syok dengan pemandangan ini."Bay! Itu apaan!" teriaknya dengan kaget dan kesal."Sorry ... sorry ... ini cuma katak Papua, gak beracun kok. Mau pegang?" Banyu memajukan katak itu di hadapan Sara."Aaaa!!! No!" kedua tangan Sara terangkat ke atas menghindari segala apapun yang ada di dekatnya, saking gelinya. "Bisa gak lo pakai baju dulu terus taruh tuh hewan? gue mau bicara." perintahnya pada Banyu yang hanya direspon dengan kedua alis yang terangkat."Gue gerah, lagian gue lagi main sama Kikut. Mau ngomong apa sih emangnya?"Sara mendengus kesal mendengar alasan Banyu yang super menyebalkan. Ia lantas memelototkan matanya."Oke, gue pakai baju. Tapi titip Kikut bentar." Banyu menyerah dan mengiyakan perintah Sara, tapi lelaki itu justru meraih telapak tangan Sara dengan cepat dan menaruh katak itu di sana, lalu segera masuk lagi ke dalam kamar mengambil baju tanpa mempedulikan teriakan Sara.Sara menjerit kencang karena takut dan geli merasakan ada sesuatu berlendir di tangannya. Rasanya ia mau melempar hewan ini tapi tangannya mengaku dan tidak bisa bergerak saking syoknya. Rasanya mau nangis."Banyu sialan!!"***"Ish! Salah siapa sih kamu buru-buru, sampai gak lihat jalan?"Sara meniup-niup kening Banyu. Lelaki itu kemarin baru saja mendapatkan lima jahitan akibat menabrak pinggiran pintu dan bocor."Aku panik Hon waktu dengar Bumi nangis kejer. Jadi aku lari gak lihat-lihat. Mana baru bangun tidur di sofa, terus ingetnya masih rumah lama.""Ck! Bumi nangis kan wajar sayang. Kalau gak minta susu ya gak nyaman. Kamu gak perlu sepanik itu." Kini, Sara mengusap pelan perban sekitar perban itu dan menyelipkan rambut ikal Banyu ke belakang.Tangan Banyu melingkar di pinggang Sara yang berdiri di depannya. "Iya, maaf. Lain kali aku hati-hati."Banyu mendongak dan menatap istrinya yang serius sekali meniup luka Banyu tersebut. "Honey, Kiss me a little, please!" katanya dengan nada berbisik."Gak bisa, kita harus segera keluar sekarang. Itu udah rame loh. Gak sopan membuat mereka nunggu." tolak Sara.Banyu memberengut. "Satu k
"Kenapa, Hon?" tanya Banyu saat Sara terlihat menghela napas kasar seraya menyurukkan kepalanya di dada Banyu."Papa pasti kesepian di rumah. Biasanya kita selalu makan malam bersama, terus ngobrol di ruang tengah. Atau aku bantuin Papa mengurus beberapa hal di ruang kerjanya sambil ngerjain endorsment."Tangan Banyu membelai kepala Sara dengan sayang. "Kamu bisa telpon Papa, Hon. Atau mau aku telponin?"Sara menggeleng. "Papa udah tidur jam segini."Ini memang sudah pukul sebelas malam, dan Mario selalu tidur sebelum sepuluh malam. Beliau selalu menerapkan jam tidur sehat supaya bisa bekerja lebih produktif esok harinya. Ya tidak heran, Mario kan pemilik perusahaan kesehatan."Sayang, aku kepikiran sesuatu." Sara mendongak menatap Banyu.Lelaki itu pun menaikkan kedua alisnya, bertanya. "Apa?""Boleh gak Kikut dikasihkan ke Papa, biar gak kesepian banget kalau punya hewan peliharaan."Banyu melotot. "Sara, wala
Papa, Sara, dan Banyu duduk berjejer di dalam satu pesawat. Mereka akan balik ke ibu kota sore ini setelah Sara diperbolehkan pulang oleh dokter.Sementara Babal, Ardi dan Disha, masih mau menikmati liburan mereka. Biarlah tim penggembira itu bersenang-senang, sebelum Babal akan Sara repotkan selama kehamilannya ini. Mungkin Ardi dan Disha juga akan kerepotan karena Banyu tampak akan menjadi suami super posesif dan siaga nantinya. Ya bagaimana tidak? Banyu punya beban untuk meyakinkan Papa Mario atas tanggung jawab dan perhatian penuhnya terhadap Sara.Meski suasananya sudah lebih mencair, Sejak masuk ke dalam pesawat, Mario sama sekali belum berbicara apapun dengan Banyu. Membuat Sara gemas sendiri."Papa tahu gak? Seberapa bahagia Sara hari ini?"Mario menaikkan kedua alisnya saat putrinya membungkus lengannya dengan manja."Sara bahagia banget Pa. Dua lelaki kesayangan Sara kini kembali. Momen-momen yang selalu Sara impikan saat Papa m
Sara tidak bisa diam di kamar. Babal dan Ardi bahkan sudah meminta Sara untuk duduk dan berbaring dengan tenang demi kesehatannya, tapi Sara terus menolak. Ia tidak bisa diam saja melihat Banyu dan papa bicara di luar sana. Ada rasa takut. Bagaimana jika Banyu akan menuruti apa yang papanya mau seperti waktu di rumah Papa itu. Ia baru saja mengurai benang kusut dengan Banyu dan akan memulai semuanya kembali. Mengarungi rumah tangga dengan pengalaman baru mempersiapkan diri jadi orang tua. Kali ini ia tidak mau mengulangi hal buruk kemarin lagi. Berpisah dengan Banyu meski hanya seminggu, rasanya sudah sangat menyiksanya. Terserah jika orang berkata ia budak cinta paling tolol. Nyatanya, Banyu tidak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Ia tidak bisa terpisah dengan Banyu.Kemudian ia teringat sesuatu. Sara pun menyuruh Babal mengambilkan ponselnya dan menelepon Mbok Na. Sara harus memastikan sesuatu."Mbak Sara!! Astaga!
Babal menggigit bibirnya dengan gelisah, sementara Ardi mengusap wajahnya kasar, sama paniknya dengan Babal tatkala melihat Mario Iswary sudah berdiri tegak di depan ranjang itu, melihat tajam dua orang yang masih bergelung di atas sana."Gawat!" bisik Babal setelah mereka membuka pintu kamar itu dan hanya bisa mematung juga di belakang Mario.Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air lalu pasien di sembur. Ah! ia frustasi melihat pemandangan ini.Sepasang pasutri kembali kasmaran itu pun mulai terusik. Sara mulai membuka matanya dan pupilnya melebar kaget. Lalu, Banyu juga terusik dan akhirnya terbangun dan otomatis seperti melihat hantu di depannya. Dengan wajah kusut, rambut berantakan dan baju tipis saringan tahu, Banyu melompat dari ranjang itu. "Papa." ujarnya dengan suara serak.Sialan Banyu! Sudah tahu itu papa Mario, bukan hulk, masih menvalidasi pula dengan ekspresi tidak berdosanya.Situasi macam apa ini?Di sela
Sara tidak pernah terbayangkan akan merasakan perasaan hangat ini lagi. Kemarin, ia sungguh bertekad melepaskan Banyu setelah perceraian selesai dan melupakan semua momen kebersamaannya dengan Banyu. Sekalipun ternyata prosesnya sangat sakit. Diam-diam, ia sering menangis sendirian di tengah malam. Ada perasaan hampa menyelimutinya saat sadar fakta mereka tidak akan bersama, melewati hari, bercanda gurau dan saling memadu kasih lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, Sara tidak ingin ini terjadi. Sara mencintai Banyu. Masih mencintai lelaki itu bahkan saat Banyu membohonginya soal perjanjian dengan papanya.Namun, memang semuanya terlalu rumit.Sara sangat sayang dengan Papanya. Sejak dulu, ia selalu menurut apa yang papanya bilang. Ia tidak pernah menjadi anak yang pembangkang dan terbukti, berbakti dengan orang tua membuat hidupnya lebih mudah, lebih tenang hatinya dan damai. Ia akan melakukan apapun untuk papanya, terlebih setelah dinyatakan bebas. Sara