Share

Bab 7. Sama-sama gila

"Untungnya di mobil gue, gak ada setannya. Jadi lo boleh melamun terus tanpa takut kerasukan." ujar Banyu yang menoleh sekilas pada Sara, lalu kembali fokus menyetir.

"Bay, harus gak sih kita ke psikolog? kayaknya kita berdua sama-sama gila." tanya Sara begitu lemas.

Emosi yang tadi membakarnya habis sekarang mulai mereda karena ia sadar, itu tidak akan menyelesaikan masalah dan malah membuat kepalanya semakin pusing. Papanya yang sejak dulu selalu mempertimbangkan perasaan anaknya, kali ini seperti lepas tangan dan percaya begitu saja pada Banyu. Membuat Sara berakhir terjebak dengan permintaannya sendiri.

"Boleh, mau ke psikolog sekarang? tapi gue jamin, gue masih waras."

Sara menolehkan kepalanya pada Banyu. "Kalau lo masih waras, ngapain lo mau nikahin gue Bay? pakai minta restu ke papa segala dan minta pernikahannya diadakan lusa. Apa namanya kalau gak gila?!"

"Jangan playing victim jadi si paling menderita. Lo bilang butuh bantuan dan satu-satunya cara cuma dengan jalan menikah. Gue kabulkan. Ya memang tujuannya cuma untuk membuat kamu merasa aman dan punya tempat tinggal karena takut miskin. Tapi gak apa-apa, gue bersedia membantu."

Bangsat!

"Lo mempermainkan pernikahan kalau begitu Bay!" nada bicara Sara mulai meninggi.

"Terus apa bedanya sama lo yang reflek minta gue nikahi supaya lo hidup nyaman? Sama aja kan?"

Sara hampir tersedak salivanya sendiri saat mendengar perkataan Banyu yang frontal sekali. Sekarang, Sara menyesal berkali lipat dari sebelumnya karena tidak mampu mengendalikan diri hingga bicara ngawur di depan Banyu. Sudah tahu Banyu ini orang yang unik dan tidak bisa tertebak, bisa-bisanya Sara malah mau menggantungkan nasib kepada lelaki ini.

Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itu memang peribahasa yang tepat untuk menggambarkan Sara saat ini. Ah! kepalanya pusing!

"Bay!" bentak Sara dengan mata yang sudah mendelik sengit. "Gue serius!"

Banyu sampai meminggirkan mobilnya karena bentakan dan tatapan Sara yang menakutkan.

"Gue duarius!" ujar Banyu tak mau kalah.

"Gue nyesel, nyesel banget pernah ngomong ngawur sama lo, ternyata tanggapan lo begini."

"Nasi udah jadi bubur. Gue udah melamar lo ke bokap dan di diterima. Lagian gue gak seburuk itu kan sampai-sampai lo jadi antipati begini?"

Sara memasang wajah putus asanya dan melipat tangannya di depan dada. Ia menyandarkan punggungnya, tidak bisa berkata-kata lagi untuk berdebat dengan Banyu dan berujung kekalahan. Banyu tidak akan bisa dilawan dengan argumen. Kalau kata orang perempuan selalu menang, pengecualian jika bersama Banyu.

Lelaki itu juga ikut menyandarkan tubuhnya dan menatap lurus ke arah setir bulat itu. "Ya udah lah Ra. Toh lo single, gue juga single. Kenapa memangnya? Kita juga udah kenal lama, ya walaupun kalau ketemu kayak tom dan jerry. Tapi lo tahu gue dan gue tahu lo. Orang-orang di sekitar lo juga gak ada yang dirugikan atas pernikahan ini. Kayaknya yang bakal rugi cuma gue doang karena akan mengeluarkan dana yang banyak. But, it's okay. Itu mau gue kok. Lo gak perlu jadiin beban. Kita jalani aja." ujar Banyu dengan sangat tenang dan terlihat bijak.

Beberapa saat mereka terdiam dalam posisi seperti itu. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan lagi kecuali diri mereka yang bertanya jawab dalam hati masing-masing. Lalu sebuah bunyi memecah keheningan di mobil itu.

Kruiuk!

Banyu yang sadar itu adalah bunyi perut Sara, membuatnya tertawa tanpa dosa.

"Bilang dong kalau lapar, dari tadi uring-uringan aja. Kita makan dulu baru gue antar pulang ke kontrakan Babal."

Tanpa menunggu persetujuan dari Sara, Banyu telah melajukan mobilnya ke tengah jalan. Ia baru ingat bahwa sejak pagi, ia hanya minum kopi dua teguk di Cafe Yippie. Rencananya untuk makan bubur ayam batal gara-gara bertemu dengan Banyu. Pulang-pulang, mood-nya sudah hancur dan tidak selera makan.

Sesampainya di sebuah restoran bintang lima, mereka memesan makanan. Lebih tepatnya, Sara yang memesan banyak sekali menu makan. Banyu sampai menggeleng-gelengkan kepalanya karena kelakuan perempuan ini.

"Udah gue duga. Lo pasti belum makan seminggu kan?" tanya Banyu dengan penuh keprihatinan.

Tangan Sara masih aktif menyuapkan sendok ke mulutnya yang masih penuh. Benar-benar tidak mencermintan perempuan anggun dan elegan seperti Sara yang selama ini ia lihat. Ternyata benar, lapar bisa mengubah orang.

Mata Sara hanya melirik Banyu dengan tajam untuk protes. "Gara-gara lo, gue cuma minum kopi dua teguk pagi ini."

"Kok gue? Memangnya gue yang nyuruh lo gak sarapan? Itu keputusan lo sendiri kali!"

Sara menegakkan tubuhnya. "Kalau lo gak memberikan statemen mengejutkan sampai jantung gue kesentil, mungkin mood gue masih bisa diajak sarapan makan bubur ayam."

"Oh jadi gue yang salah? Menawarkan solusi itu salah? Memang lelaki itu gudangnya salah."

"Itu lebih ke pemaksaan sih bukan penawaran. Lagian di dunia ini adanya Masalah, bukan mbaksalah." Suara Sara yang menggelegar dan ngegas, membuat orang-orang sekeliling mereka menolehkan kepala.

Banyu pun menunduk malu karena tingkah perempuan barbar satu ini. Belum jadi istri dan tinggal satu rumah saja, sudah membuatnya pusing. Bagaimana nanti jika satu rumah?

"Ya udah, oke. Lanjutkan dulu makannya." Banyu pun mengalah supaya orang-orang tidak semakin penasaran.

Tak sampai lima menit, makanan itu sudah tak tersisa. Sara pun terlihat mulai aktif lagi. Ya bagaimana, baterainya sudah terisi penuh sekarang. Ia sudah siap mengajak Banyu berdebat atau lebih tepatnya berdiskusi.

Mau bagaimanapun, jika dilihat dari keuntungan yang akan Sara dapat setelah menikah dengan Banyu, ia harusnya lega karena beberapa masalah akan segera ada solusinya. Meskipun Sara masih tidak mengerti tujuan Banyu apa selain membantunya. Pasti ada hal terselubung yang Banyu sembunyikan darinya di balik persetujuan untuk menikahinya ini. Namun itu urusan nanti.

Yang penting sekarang ia harus fokus pada kasus papa dan mulai meniti karir lagi dari nol. Seiring waktu, Sara akan menjalani pernikahan ini yang entah sampai kapan sambil menyelidiki apa motif Banyu sebenarnya.

Sara berdeham. Ia mendongak dan menatap Banyu dengan berani dan percaya diri.

"Gue pikir-pikir lagi, kita harus membuat kesepakatan. Atau bisa juga kontrak. Ya anggap aja ini kawin kontrak seperti sinetron yang banyak berseliweran di TV. Kita harus mencantumkan poin yang membuat lo untung, gue juga untung. Jangan kesannya gue aja yang untung dan lo dirugikan. Gue gak mau."

"Lah, bukannya itu tujuan awal lo?"

Sara menggeleng kuat. "Kesannya gue jahat banget pas lo ngomong gitu. Gue masih punya nurani kali."

"Oke! Tiga puluh detik, sebutin poin lo." Banyu melihat jam di pergelangan tangannya dan kembali melihat Sara.

Perempuan itu pun mengangkat kakinya di atas kaki satunya. Tubuhnya maju ke depan dan menyangga dagu.

"Pertama, pernikahan ini bukan sungguhan dan kita gak harus belagak seperti sepasang pasutri bucin. Biasa aja, jangan terlalu kentara. Kedua, kita gak akan sekamar. Gue yakin rumah lo besar dan ada kamar lebih dari satu. Ketiga, tujuan pernikahan ini karena gue butuh bantuan lo, jadi kalau gue butuh sesuatu, lo harus responsif. Keempat, kita gak akan terikat urusan rumah tangga patriarki. Gue bebas melakukan aktifitas apa aja. Oke mungkin gue ijin aja, tapi lo gak berhak melarang dan gue gak suka dipaksa. Kelima, setelah gue merasa udah stabil dan gue bisa hidup mandiri dan minta pisah, lo harus bersedia. Sekarang lo."

Lima poin yang sangat menguntungkan bagi Sara itu pun terucap dan kini giliran Banyu. Dalam hati Banyu, Sara benar-benar memanfaatkannya untuk keuntungan hidupnya. But it's okay, ini kan yang mau juga Banyu.

"Udah itu aja? Yakin?"

"Hmm."

"Oke, ini sebenarnya bukan keuntungan buat gue tapi peraturan basic aja. Pertama, jangan mencampuri urusan pribadi gue. Meski tinggal satu rumah, kita tetap hidup masing-masing dengan fasilitas yang ada di rumah. Kedua, Lo baik, gue akan seratus kali lebih baik. Jadi jangan macem-macem. Ketiga ... eh tunggu. Hasil medical check up lo bagus kan?"

"Bagus, gue sehat dan gak ada kelainan."

"Good! Ketiga, gue gak mau kena penyakit aneh-aneh. Gue tahu lo gak suka di paksa, tapi jangan biarin gue jajan di luar. Gak tiap hari, cukup pas gue lagi, you know lah ...."

Kedua alis Sara menyatu. Kok jadi urusan itu? Sialan Banyu! Ini sih namanya manipulatif!

"Jangan protes, poin lo semua keuntungan, sedangkan gue gak ada mengambil keuntungan apapun. Itu kebutuhan biologis, lagian kita sah."

Belum jadi Sara protes, mulutnya tiba-tiba terkatup rapat dan menipis. Matanya menatap Banyu dengan tajam.

"Keempat, kalau lo jatuh cinta sama gue, bilang aja. Karena mustahil kalau kita akan tinggal serumah dan kadang melakukan em 'itu' tapi gak jatuh cinta."

Hah?! Mulut Sara menganga lebar, ia tidak terima dengan poin yang satu ini. "Lo kali ya ... "

"Sssttt! Gue belum selesai. Kelima, lo harus bestie-an sama anak-anak gue."

What?! Anak?! Banyu sudah punya anak?

***

Ohmyrum

Hallo 🙌 Terima kasih sudah menemukan dan membaca cerita ini. Jangan lupa kasih vote dan komen ya. Semoga hari kalian minggu terus 🌹 Luvsss 💕

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status