Ada total 14 ekor kucing yang dipelihara Tante Kalina di rumah. Delapan jantan, enam betina. Termuda berusia 3 bulan dan tertua berusia 13 tahun. Semuanya, kecuali 2 ekor yang berusia di bawah 6 bulan, sudah disteril.
Empat belas ekor kucing ini terdiri dari 11 ekor kucing ras dan 3 ekor kucing domestik yang sebagian besar merupakan hasil adopsi di jalanan, bukan dibeli.
Di hari pertama training, tugasku adalah mengenali nama tiap kucing tanpa melihat kalung mereka. Jadi, aku harus menghafalkan nama mereka.
Supaya mudah, aku mengelompokkan kucing-kucing ini berdasarkan warnanya. Kucing oranye ada Nathan (3 bulan, jantan), Miro (2 tahun, jantan), Naomi (2 tahun, betina) dan Anya (5 tahun, betina).
Kucing cokelat ada Malen (5 tahun, betina), Sira (6 tahun, betina) dan Andro (13 tahun, jantan).
Kucing abu-abu ada Riku (3 tahun, jantan), Kimi (3 tahun, jantan), Ryuji (2.5 tahun, jantan) dan Bobby (5 tahun, jantan).
Kucing hitam hanya ada satu, namanya Gengis Khan, jantan berusia 3 tahun. Entah kenapa aku yakin sekali Deska yang memberinya nama.
Terakhir, kucing putih ada dua, yaitu Dany (5 bulan, betina) dan Snowie (6 tahun, betina).
Tugasku sehari-hari adalah memberi makan, memastikan mangkuk makanan tidak pernah kosong, mengganti litter box, membersihkan kendang, mengajak kucing-kucing ini bermain, sesekali mengajak mereka jalan-jalan keluar rumah, dan tentu membawa ke dokter hewan untuk vaksin, steril atau jika mereka sakit.
Sebenarnya, tidak cukup berat. Tante Kalina akan ikut membantu terutama untuk urusan dokter hewan. Ia sendiri juga sangat menyukai kucing, jadi di waktu luangnya akan banyak digunakan untuk bermain bersama kucing-kucingnya.
Tapi, jumlah 14 ekor dan nama-nama yang harus dihafalkan memang cukup banyak. Untungnya, mereka punya kalung yang bertuliskan nama masing-masing sehingga bisa dengan mudah dikenali, walaupun aku tetap harus menghafalkannya satu per satu.
Hampir semua kucing ini sebenarnya jinak dan kalem. Kecuali kucing oranye bernama Nathan dan Anya yang cukup agresif jika didekati. Menurut pemahamanku, memang biasanya kucing oranye suka bar-bar.
***
Selesai mengisi mangkuk makanan kucing, kuputuskan untuk membuka pintu balkon supaya udara segar masuk ke dalam ruangan. Anya langsung berdiri dan mengibas-ngibaskan ekornya sembari berjalan ke arah balkon. Sepertinya kucing oranye ini suka berada di luar ruangan.
“Enak, ya,di balkon?” Tanyaku kepadanya. Kuelus sedikit kepalanya hingga terpejam. Dia sedang tidak bar-bar hari ini. Aku masuk lagi ke dalam ruangan, kali ini mengeluarkan mainan dari dalam rak dan mengajak Nathan, si kecil berusia 3 bulan, untuk bermain pancing-pancingan.
Tawaku tergelak ringan melihat beberapa kucing lain ikut bermain dan dengan bersemangat meraih pancing-pancingan yang kujulurkan di atas mereka. Baru beberapa menit di sini, aku sudah tertawa lepas dan merasa bahagia. Selama beberapa menit, aku bisa melupakan ketegangan dengan Deska kemarin.
Ah, Deska … hari ini aku tidak bertemu dengannya. Sepertinya dia pergi entah ke mana (mungkin mengurus bisnis?) dan bahkan tidak sempat sarapan bersama di ruang makan tadi pagi. Aku sebenarnya hendak memberanikan diri meminta maaf padanya, toh dia anak dari bosku, kan? Sayangnya, aku tidak bertemu dengannya.
Kulupakan masalahku dengan Deska sekilas dan kembali pada kucing-kucing di hadapanku. Beberapa sedang makan, beberapa tidur, ada juga yang hanya tiduran santai sambil menjilat kaki depannya.
Kuputuskan untuk rebahan di lantai sambil memperhatikan mereka satu per satu dan mencoba menghafalkan nama-namanya. Sejauh ini yang baru kuhafal betul baru Miro, Andro, Nathan, Anya, Gengis Khan, Dany dan Snowie. Sisanya masih sering tertukar-tukar.
“Dany, sebentar lagi kamu disteril, loh,” ucapku pada kucing putih yang sedang tidur-tiduran dekat kandangnya. Aku tahu dia tidak akan mengerti ucapanku, tapi tetap saja kuajak kucing-kucing ini bicara.
“Nanti perutmu dibedah,” ujarku lagi, kali ini dengan nada sedikit menakut-nakuti. “Biar nggak bisa punya anak.”
Dany tidak merespon. Sekarang dia sibuk menjilati kaki depannya. Aku beralih ke Nathan yang sedang sibuk mengejar bola.
“Nathan,” panggilku. Dia tidak merespon, tetap mengejar bolanya. “Kamu juga bakal disteril nanti. Tunggu giliran aja, ya.”
Sepertinya kucing-kucing ini bahkan tidak menyadari mereka punya nama dan sedang diajak bicara. Aku merasa seperti orang gila karena bicara sendiri. Tapi, rasanya menyenangkan menghabiskan waktu dengan kucing dan mengobrol dengan mereka, walaupun aku tahu mereka tidak akan merespon dengan kata-kata juga.
Aku baru saja bangkit untuk mengecek litter box saat seekor kucing abu-abu melesat ke arahku. Ekornya bergoyang-goyang. Aku gemas sekali melihatnya, jadi kuangkat badannya untuk kugendong.
Tak disangka, kucing ini memberontak dan melompat turun. Kaki depannya yang bercakar menggores lenganku.
“Awww,” rintihku pelan. Segaris merah luka cakar muncul di lenganku. Aku meringis memperhatikan darah yang mulai muncul setitik.
Ahhh, baru saja aku pikir pekerjaan ini menyenangkan, sekarang muncul sisi gelapnya. Dicakar kucing pasti jadi hal biasa di sini. Aku harus mulai terbiasa dengan lengan dan kaki yang penuh bekas luka.
Tidak jadi mengecek litter box, akhirnya aku beranjak ke rak mainan. Mungkin ada obat di sana. Di antara kantong-kantong makanan, stok pasir kucing, vitamin dan mainan, terselip kotak putih bening berisi obat-obatan manusia. Wah, ternyata sudah disediakan juga!
Aku menarik kotak P3K dan membuka isinya. Isinya standar: kasa, kapas, salep dan betadine. Kukeluarkan kapas untuk menekan luka dan agar kulitku bersih dari titik-titik darah. Sepertinya tidak perlu menggunakan betadine atau obat-obatan apapun. Luka ini bakal sembuh dengan sendirinya. Bekasnya juga cepat menghilang.
Kumasukkan lagi kotak itu ke dalam rak dan kembali memandangi kucing-kucing di seantero ruangan. Sekarang, beginilah duniaku tiap hari: bermain dengan 14 kucing, dicakar sekali-sekali, dan bepergian hanya untuk ke dokter hewan.
“Ya sudahlah … daripada nganggur,” putusku sambil kembali rebahan di lantai. Luka cakar itu masih terasa agak perih, tapi berusaha kulupakan sambil berhati-hati tiap hendak menyentuh kucing lain.
Besoknya, aku tidak bertemu Deska di pagi hari saat sarapan. Jantungku mencelus memikirkan bahwa mungkin dia sengaja menghindariku karena mendengar perkataanku semalam.Tapi seusai sarapan, ternyata Deska muncul dari pintu depan. Aku berpura-pura sibuk dengan sepiring nasi goreng bikinan Bik Mur dan berusaha tidak menatap ke arahnya.“Jadi kan, Ris?”Ucapan Deska nyaris membuatku terlonjak dari kursi. Mau tidak mau kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya.“Eh, aku makan dulu, Des.”Deska mengecek jam tangannya. “Dua jam lagi, ya. Sekalian Nathan tolong disiapin buat steril.”“Oke.”Deska melangkah ke dalam rumah sementara aku kembali sibuk dengan nasi goreng dalam piringku. Sepertinya Deska tidak mendengar percakapanku semalam kalau melihat dari reaksinya barusan. Apakah aku akan aman?Setelah sarapan, aku naik ke lantai dua untuk mengisi mangkuk makanan kucing, memeriksa sekali lagi barang-barang apa saja yang sudah menipis stoknya, lalu menyiapkan Nathan untuk dibawa steril.Jantungk
“Gimana Ris kerjanya? Betah di sana?”“Betah, Pak,” jawabku ringan dan jujur saat malam itu Bapak menelepon. Jam menunjukkan pukul 9 malam.“Kerjanya berat nggak, Ris?”“Enggak kok. Risna malah seneng karena di sini main sama kucing terus.”“Kapan mau pulang?”“Nggak tahu, Pak. Kayaknya bulan depan aja deh, ya.”“Mau dijemput?”“Nggak usah, nanti Risna naik kereta api aja.”“Ooh, ya sudah. Sehat-sehat di sana ya Ris.”Bapak menutup sambungan telepon tidak lama kemudian. Aku menatap layar ponsel dengan senyum tipis. Senang rasanya akhirnya bisa bekerja lagi, walaupun pekerjaanku unik seperti ini. Setidaknya, sekarang Bapak tidak lagi tampak sedih karena melihatku menganggur berbulan-bulan di rumah.Aku menggulir kontak di ponsel sampai menemukan kontak Luna. Kutekan tombol Call dan ia mengangkat di dering kedua.“Kucing udah dikasih makan semua belum, Ris?”“Buset, pertanyaan pertamamu gitu banget, nih?”Luna tergelak. “Ya memang itu tugas kamu sekarang, kan? Gimana gimana, udah hafal
Sudah sebulan aku bekerja di sini. Gajian pertama baru saja ditransfer Tante Kalina melalui rekening bank tadi pagi. Aku senyum-senyum sendiri melihat angkanya. Apalagi, membayangkan kalau hampir seluruh gajiku bisa tidak tersentuh karena biaya tempat tinggal, makan sampai hiburan, semuanya ditanggung Tante Kalina.“Enak banget ya jadi orang kaya,” pikirku sambil menutup aplikasi bank online di HP. “Bisa bayar orang cuma buat main sama kucing.”Sekarang, aku sudah bisa menghafal semua nama kucing di rumah ini tanpa melihat nama di kalungnya. Aku juga melakukan pencatatan pada kucing-kucing mana yang butuh perawatan khusus, jadwal cek ke dokter hewan dan untuk keperluan steril.Kutulis semua catatan itu di buku tulis. Pagi itu, aku memperbarui catatanku di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Masih belum waktunya mengisi ulang mangkuk makanan, jadi aku memutuskan untuk santai sebentar di dapur.“Betah kan Neng, di sini?” Bik Mur bertanya dari arah wastafel. Ia tengah mencuci pir
Keesokan harinya, kondisi Andro tiba-tiba memburuk. Kucing cokelat tua itu tampak tidak bersemangat dan hanya tidur-tiduran di atas bean bag. Ekornya tidak bergoyang-goyang seperti biasa.“Andro kenapa?” Tanyaku lembut sambil mendekatinya. Dia tidak merespon saat kucoba ajak bermain atau menawarkan creamy treat favoritnya.Selama beberapa hari bekerja di sini, baru kali ini kulihat Andro tidak bersemangat. Kucing ini, walaupun sudah tua, biasanya selalu aktif bergerak. Apalagi kalau sudah disodori creamy treat, dia pasti langsung bahagia dan menjilat-jilati bungkusnya.Aku sadar sepertinya ada yang salah. Kupastikan kucing-kucing lain dalam keadaan baik-baik saja sebelum kutelepon Tante Kalina yang saat itu kebetulan sedang berada di luar rumah.“Halo, Tante. Andro keliatannya sakit. Apa harus saya bawa ke vet?”Tante Kalina memintaku mendeskripsikan kondisi Andro saat itu. Kujelaskan sedetail-detailnya.“Oke, Tante kirimkan alamat dokter hewan langganan Tante, ya. Langsung aja ke san
Pekerjaan jadi pengasuh kucing ini, nyaris tidak punya hari libur. Soalnya, bahkan di tanggal merah sekalipun, kucing-kucing tetap harus diberi makan, dipastikan bersih kandangnya dan diajak bermain supaya tidak stress.Aku baru tahu kalau kucing saja bisa stress, walaupun sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu untuk makan, tidur, duduk-duduk, dan pup di atas pasir.Tante Kalina sendiri sebenarnya memberiku waktu libur 4 hari dalam sebulan. Aku diberi jatah cuti juga mengikuti tanggal merah, terutama di hari besar keagamaan. Bekerja di sini ternyata betul-betul enak seperti kata Bik Mur.Akan tetapi, mengingat hanya aku yang bisa mengurus kucing selain Tante Kalina di rumah, dan Tante Kalina sendiri belakangan lebih sering berada di kantornya, maka sudah pasti jatah liburku juga kupakai untuk mengurus kucing-kucing.Aku tidak keberatan. Lagipula, kalau libur juga mau ke mana? Tidak ada saudara atau teman yang bisa kukunjungi di kota ini.Hari itu, aku sedang mengajak Andro berjal
“Gimana, Lex? Lo masih di rumah sakit? Take your time kalo emang lo masih butuh perawatan. Biaya yang kemarin nggak usah lo pikirin, bisa kok di-reimburse kantor.”Pagi itu, suara Deska yang sedang menelepon seseorang terdengar jelas dari arah dapur. Ia sedang duduk di depan meja, menghabiskan segelas kopi hitamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.Aku mendekat dengan ragu-ragu. Ada yang harus kuambil di dalam kulkas, dan itu artinya melewati Deska. Aku masih belum tahu pasti apakah aku bisa membicarakan masalah kemarin dengannya dan meminta maaf, jadi kuputuskan untuk melakukan urusanku secepatnya supaya bisa segera beranjak dari situ.“Iya, udah nggak usah lo pikirin,” suara Deska masih terdengar jelas. Aku membuka pintu kulkas dengan cepat dan memilah barang yang hendak diambil. “Kan lo bilang sendiri kalo anggota keluarga lo harus kemoterapi tiga kali selama tiga hari berturut-turut di rumah sakit.”Seketika tubuhku membeku. Tangan kanan yang sedang mencengkeram bungkus makana