“Sini Neng, Bibik antar ke kamar,” Bik Mur tiba setelah Deska menjauh. Tubuh separo bayanya mendekatiku yang masih tercengang mendengar kata-kata Deska barusan.
“Eh, i-iya, Bik,” aku mengikuti langkah Bik Mur menuju kamar yang terletak di sebelah dapur. Satu tanganku menyeret koper dan tangan lainnya membawa beberapa tas jinjing sekaligus.
Pintu dibuka dan aku langsung takjub. Ini kamarku sebagai pengasuh kucing di sini? Kamarku sudah lengkap berisi kasur spring bed, lemari kayu, satu set meja dan kursi, kamar mandi dalam dan AC!
“Ini … kamar saya?”
“Iya, Neng. Kamar Bibik persis di sebelah kamar Neng. Oh iya, Bibik lupa kenalin diri,” Bik Mur menjulurkan tangannya. “Muryati. Tapi di sini biasa dipanggil Bik Mur aja.”
Aku membalas tangannya dengan senyum kecil. “Risna. Mmm, Bik, udah berapa lama di sini?”
Senyum di wajah Bik Mur tampak sumringah. “Udah lama, sejak Deska masih bayi. Bibik dulu yang gendong-gendong dia.”
“Wah, udah kenal banget dong ya sama keluarga Tante Kalina,” aku tertawa kecil sembari mengatur letak koper dan tas jinjing dalam kamar supaya tidak menghalangi jalan. Nanti sajalah aku mengatur barang-barangku dalam lemari. Aku masih syok dengan perkataan Deska barusan.
“Bibik udah dianggap keluarga sama Deska dan ibunya,” jawaban Bik Mur terdengar sangat bersemangat. “Ibu itu, baiiiiik banget Neng. Kapanpun Bibik minta cuti, dibolehin. Nggak potong gaji, pula! Ibu sering tanya juga Bibik ada perlu apa, gimana keadaan keluarga di kampung. Pokoknya baik banget, makanya Bibik juga betah kerja di sini.”
“Kalau … Deska, Bik?”
“Deska baik juga,” Bik Mur sekarang duduk di kursi sementara aku menempatkan diri di ujung ranjang untuk mendengarkan kata-katanya. “Namanya anak semata wayang, dia nurut banget sama Ibunya. Bahkan nggak ngeluh waktu Ibu mutusin buat pelihara banyak banget kucing di rumah. Deska sebenarnya nggak suka-suka amat sama kucing. Bibik juga enggak.”
“Sebelumnya ada yang kerja jadi pengasuh kucing nggak Bik di sini?”
“Nggak ada, Ibu kerjain semuanya sendiri. Mungkin keteteran yah, maklum aja kucing ada 14. Makanya Ibu cari orang yang bisa bantuin.”
Aku manggut-manggut. “Ibu kerjanya apa sih, Bik?”
“Pengusaha,” jawab Bik Mur dengan mata berkilat-kilat dan suara rendah. “Kantornya gede banget Neng, di Jakarta sana. Gedung apa tuh namanya, cakar langit?”
“Pencakar langit,” koreksiku dengan tawa kecil.
“Iya, itu lah. Tinggi gedungnya. Nah, kantor Ibu di situ. Deska juga sering ke situ buat ngurusin dokumen apaaa gitu, Bibik nggak ngerti.”
“Ooh, kalau … suaminya Ibu?”
Jantungku berdebar menunggu jawaban Bik Mur. Perlu sedetik baginya untuk menjawab, itu pun setelah mengembuskan napas panjang.
“Bibik kayaknya belum bisa cerita soal itu deh, Neng. Panjang dan rumit. Intinya, memang suami Ibu alias ayahnya Deska, sekarang udah nggak di sini lagi. Dan sebaiknya jangan ditanya-tanya soal itu. Sensitif.”
Aku manggut-manggut lagi. Oke, jangan singgung-singgung ayah Deska lagi. Noted!
“Bik, ngomong-ngomong, Ibu memang biasa dipanggil ‘Ibu’ atau ‘Tante’?”
“Ya kalau Bibik sih manggilnya Ibu, udah kebiasaan dari dulu. Tapi memang Ibu juga kadang suka dipanggil Tante. Menolak tua katanya.”
“Iya sih, memang masih cantik Ibu itu.”
“Cantik banget kan Neng, kayak artis-artis sinetron! Wajar kan banyak duit ya Neng, jadi bisa perawatan.”
Bik Mur tampaknya akan jadi mood booster-ku selama bekerja di sini. Percakapan awal yang singkat ini saja sudah cukup membuatku tertawa-tawa kecil dan sedikit melupakan kejadian dengan Deska barusan.
“Eh, tadi Deska ngomong apa sama Neng? Kayaknya serius.”
Oke, kuralat ucapanku. Sekarang Bik Mur justru membuatku teringat lagi dengan omongan Deska beberapa menit lalu.
“Itu … tadi Risna nggak sengaja nanya soal ayahnya Deska. Terus, Deska keliatan nggak suka gitu.”
Giliran Bik Mur manggut-manggut maklum. “Gapapa Neng namanya juga masih baru kan di sini, belum tau gimana-gimananya. Besok-besok, jangan ditanya lagi ya soal ayahnya Deska.”
“Siap, Bik!”
“Beres-beres aja dulu Neng, Bibik mau siapin makan malam buat Deska sama Ibu. Nanti makannya bareng aja ya.”
“Makan malam bareng?” Mataku melotot. Duh, suasananya bakal awkward, dong?”
“Iya Neng, Ibu emang suka ngajak semua orang di rumah makan bareng. Nggak dibeda-bedain. Udaaah, Neng ikut aja.”
***
Makan malam itu benar-benar awkward. Total hanya ada kami berempat di meja makan: aku, Bik Mur, Tante Kalina dan Deska. Sepanjang waktu, aku hanya sibuk menunduk menatap makananku dan memakannya sedikit-sedikit supaya bisa meninggalkan meja terakhir kali.
Deska dan Tante Kalina juga bersikap dingin, seolah aku tidak ada. Mereka berbincang sebentar dengan Bik Mur lalu langsung makan tanpa mengatakan sepatah kata apapun.
Bik Mur mencoba mencairkan suasana dengan melemparkan beberapa candaan, tapi itu tetap tidak berhasil memancing senyum Tante Kalina ataupun Deska. Segera setelah makanan di piringnya habis, Deska meninggalkan meja dan menaruh cucian kotor di atas wastafel. Ia tidak berucap apa-apa dan pergi dari ruang makan menuju lantai dua.
Aku meneguk ludah dengan berat. Ini bahkan belum hari pertama training kerja, tapi aku sudah memberi kesan jelek pada keluarga bosku. Mau tidak mau, aku harus minta maaf pada Tante Kalina terkait kejadian barusan.
Kuberanikan diri untuk mengangkat wajah dari piring makanan di hadapanku yang sekarang sudah kosong. Tante Kalina baru saja beranjak dari duduknya. Dengan cepat, kuhabiskan sisa nasi dari piring dan langsung bangkit juga dari kursi.
Kami berbarengan menaruh piring kotor dalam wastafel.
“Biar saya saja yang cucikan, Tante. Eh, Ibu,” aku dengan cepat mengoreksi, teringat perkataan Deska tadi sore.
Tante Kalina tersenyum tipis. Aku buru-buru melanjutkan, “Saya … saya mau minta maaf. Soal tadi sore.”
Pandanganku fokus ke kaki. Aku sungguh tidak berani menatapnya dan menantikan akan diapakan aku nanti. Apakah aku akan dipecat? Apakah aku tidak jadi dipekerjakan di sini? Apakah aku harus segera menelepon Bapak dan minta dijemput pulang, padahal baru saja aku sampai dan—
“Nggak apa-apa,” jawab Tante Kalina. “Kamu masih baru di sini. Seharusnya tadi Tante nggak main pergi aja.”
Aku mengangkat kepala dengan kurang yakin. Mataku menatap bingung pada wajah cantik Tante Kalina.
“Sudah, nggak apa-apa,” Tante Kalina mengulangi ucapannya. “Sekarang kamu istirahat aja, besok mulai training-nya, ya.”
“Siap, Tante. Eh, Ibu.”
Tante Kalina tertawa kecil. “Tante aja nggak apa-apa, lho.”
Senyumku terkembang lagi. Dengan bahagia kubantu Bik Mur merapikan meja makan dan mencuci tumpukan piring kotor di wastafel.
“Tuh kan, Ibu baik banget kan Neng?”
“Iya, Bik,” jawabku gembira sembari mengelap gelas-gelas minum. “Cuma gimana sama Deska ya, dia kayaknya masih marah.”
“Yang penting sama Ibu udah nggak apa-apa, Deska mah apa-apa ngikut ibunya.”
Hatiku terasa lega. Mulai besok, semuanya akan baik-baik saja.
Besoknya, aku tidak bertemu Deska di pagi hari saat sarapan. Jantungku mencelus memikirkan bahwa mungkin dia sengaja menghindariku karena mendengar perkataanku semalam.Tapi seusai sarapan, ternyata Deska muncul dari pintu depan. Aku berpura-pura sibuk dengan sepiring nasi goreng bikinan Bik Mur dan berusaha tidak menatap ke arahnya.“Jadi kan, Ris?”Ucapan Deska nyaris membuatku terlonjak dari kursi. Mau tidak mau kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya.“Eh, aku makan dulu, Des.”Deska mengecek jam tangannya. “Dua jam lagi, ya. Sekalian Nathan tolong disiapin buat steril.”“Oke.”Deska melangkah ke dalam rumah sementara aku kembali sibuk dengan nasi goreng dalam piringku. Sepertinya Deska tidak mendengar percakapanku semalam kalau melihat dari reaksinya barusan. Apakah aku akan aman?Setelah sarapan, aku naik ke lantai dua untuk mengisi mangkuk makanan kucing, memeriksa sekali lagi barang-barang apa saja yang sudah menipis stoknya, lalu menyiapkan Nathan untuk dibawa steril.Jantungk
“Gimana Ris kerjanya? Betah di sana?”“Betah, Pak,” jawabku ringan dan jujur saat malam itu Bapak menelepon. Jam menunjukkan pukul 9 malam.“Kerjanya berat nggak, Ris?”“Enggak kok. Risna malah seneng karena di sini main sama kucing terus.”“Kapan mau pulang?”“Nggak tahu, Pak. Kayaknya bulan depan aja deh, ya.”“Mau dijemput?”“Nggak usah, nanti Risna naik kereta api aja.”“Ooh, ya sudah. Sehat-sehat di sana ya Ris.”Bapak menutup sambungan telepon tidak lama kemudian. Aku menatap layar ponsel dengan senyum tipis. Senang rasanya akhirnya bisa bekerja lagi, walaupun pekerjaanku unik seperti ini. Setidaknya, sekarang Bapak tidak lagi tampak sedih karena melihatku menganggur berbulan-bulan di rumah.Aku menggulir kontak di ponsel sampai menemukan kontak Luna. Kutekan tombol Call dan ia mengangkat di dering kedua.“Kucing udah dikasih makan semua belum, Ris?”“Buset, pertanyaan pertamamu gitu banget, nih?”Luna tergelak. “Ya memang itu tugas kamu sekarang, kan? Gimana gimana, udah hafal
Sudah sebulan aku bekerja di sini. Gajian pertama baru saja ditransfer Tante Kalina melalui rekening bank tadi pagi. Aku senyum-senyum sendiri melihat angkanya. Apalagi, membayangkan kalau hampir seluruh gajiku bisa tidak tersentuh karena biaya tempat tinggal, makan sampai hiburan, semuanya ditanggung Tante Kalina.“Enak banget ya jadi orang kaya,” pikirku sambil menutup aplikasi bank online di HP. “Bisa bayar orang cuma buat main sama kucing.”Sekarang, aku sudah bisa menghafal semua nama kucing di rumah ini tanpa melihat nama di kalungnya. Aku juga melakukan pencatatan pada kucing-kucing mana yang butuh perawatan khusus, jadwal cek ke dokter hewan dan untuk keperluan steril.Kutulis semua catatan itu di buku tulis. Pagi itu, aku memperbarui catatanku di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Masih belum waktunya mengisi ulang mangkuk makanan, jadi aku memutuskan untuk santai sebentar di dapur.“Betah kan Neng, di sini?” Bik Mur bertanya dari arah wastafel. Ia tengah mencuci pir
Keesokan harinya, kondisi Andro tiba-tiba memburuk. Kucing cokelat tua itu tampak tidak bersemangat dan hanya tidur-tiduran di atas bean bag. Ekornya tidak bergoyang-goyang seperti biasa.“Andro kenapa?” Tanyaku lembut sambil mendekatinya. Dia tidak merespon saat kucoba ajak bermain atau menawarkan creamy treat favoritnya.Selama beberapa hari bekerja di sini, baru kali ini kulihat Andro tidak bersemangat. Kucing ini, walaupun sudah tua, biasanya selalu aktif bergerak. Apalagi kalau sudah disodori creamy treat, dia pasti langsung bahagia dan menjilat-jilati bungkusnya.Aku sadar sepertinya ada yang salah. Kupastikan kucing-kucing lain dalam keadaan baik-baik saja sebelum kutelepon Tante Kalina yang saat itu kebetulan sedang berada di luar rumah.“Halo, Tante. Andro keliatannya sakit. Apa harus saya bawa ke vet?”Tante Kalina memintaku mendeskripsikan kondisi Andro saat itu. Kujelaskan sedetail-detailnya.“Oke, Tante kirimkan alamat dokter hewan langganan Tante, ya. Langsung aja ke san
Pekerjaan jadi pengasuh kucing ini, nyaris tidak punya hari libur. Soalnya, bahkan di tanggal merah sekalipun, kucing-kucing tetap harus diberi makan, dipastikan bersih kandangnya dan diajak bermain supaya tidak stress.Aku baru tahu kalau kucing saja bisa stress, walaupun sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu untuk makan, tidur, duduk-duduk, dan pup di atas pasir.Tante Kalina sendiri sebenarnya memberiku waktu libur 4 hari dalam sebulan. Aku diberi jatah cuti juga mengikuti tanggal merah, terutama di hari besar keagamaan. Bekerja di sini ternyata betul-betul enak seperti kata Bik Mur.Akan tetapi, mengingat hanya aku yang bisa mengurus kucing selain Tante Kalina di rumah, dan Tante Kalina sendiri belakangan lebih sering berada di kantornya, maka sudah pasti jatah liburku juga kupakai untuk mengurus kucing-kucing.Aku tidak keberatan. Lagipula, kalau libur juga mau ke mana? Tidak ada saudara atau teman yang bisa kukunjungi di kota ini.Hari itu, aku sedang mengajak Andro berjal
“Gimana, Lex? Lo masih di rumah sakit? Take your time kalo emang lo masih butuh perawatan. Biaya yang kemarin nggak usah lo pikirin, bisa kok di-reimburse kantor.”Pagi itu, suara Deska yang sedang menelepon seseorang terdengar jelas dari arah dapur. Ia sedang duduk di depan meja, menghabiskan segelas kopi hitamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.Aku mendekat dengan ragu-ragu. Ada yang harus kuambil di dalam kulkas, dan itu artinya melewati Deska. Aku masih belum tahu pasti apakah aku bisa membicarakan masalah kemarin dengannya dan meminta maaf, jadi kuputuskan untuk melakukan urusanku secepatnya supaya bisa segera beranjak dari situ.“Iya, udah nggak usah lo pikirin,” suara Deska masih terdengar jelas. Aku membuka pintu kulkas dengan cepat dan memilah barang yang hendak diambil. “Kan lo bilang sendiri kalo anggota keluarga lo harus kemoterapi tiga kali selama tiga hari berturut-turut di rumah sakit.”Seketika tubuhku membeku. Tangan kanan yang sedang mencengkeram bungkus makana