Share

Deska Masih Dingin

Author: writtenbytami
last update Last Updated: 2025-08-09 09:46:22

Keesokan paginya, akhirnya aku bertemu Deska.

Kami sama-sama berada di dapur. Aku berinisiatif membantu Bik Mur merapikan meja makan untuk sarapan ketika Deska baru kembali ke rumah. Entah dari mana dia semalam.

Deska membuka resleting jaket hitamnya dan berjalan ke arah kulkas. Aku yang sedang mengatur piring di atas meja langsung membeku melihatnya.

Jantungku berdebar saat Deska menutup kulkas dan mata kami saling bertapapan. Aku berusaha memunculkan senyum kecil, namun ia tidak merespon. Tangannya membuka botol minuman dan ia langsung melengos ke lantai dua tanpa mengatakan apa-apa.

Duh … sampai kapan aku akan dimusuhi anak majikanku sendiri di sini?

***

Hari itu berjalan seperti biasa. Aku tahu Deska seharian berada di rumah, jadi kuusahakan untuk selalu berada di dalam ruangan lantai atas untuk bersama kucing-kucing. Dengan begini, aku tidak akan bertemu tatap lagi dengan Deska.

Sialnya, Tante Kalina menyuruhku untuk membawa beberapa ekor kucing jalan-jalan ke luar. Sudah lama tidak diajak jalan-jalan, katanya.

Dengan langkah gontai kupasang leash pada beberapa kucing yang disebutkan Tante Kalina. Kubawa mereka pelan-pelan menuruni tangga dan menuju halaman rumah besar itu.

Saat sedang menuruni tangga, aku mendengar ada langkah kaki di belakangku. Sepertinya Deska, karena Tante Kalina dan Bik Mur ada di lantai bawah. Aku berusaha mempercepat langkah dan dalam hati menyuruh kucing-kucing ini bergerak lebih cepat. Untunglah, mereka juga tampak bersemangat menuruni tangga untuk jalan-jalan di luar.

Halaman rumah Tante Kalina besar dan luas. Aku tidak perlu membawa kucing-kucing ini ke sekitaran komplek. Cukup berjalan-jalan di halaman saja sudah membuat mereka puas. Tali kekang bahkan sengaja kulepas setelah memastikan pintu pagar terkunci.

Sialnya (lagi), Deska ternyata ikut turun ke halaman. Dia menuju motor gedenya yang terparkir di garasi. Aku memperhatikan sekilas saat ia membuka jok motor dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

Deska menangkap basah saat aku memperhatikannya. Ia menatapku lurus-lurus saat sudah kembali menutup jok motornya dan berjalan kembali ke arah pintu masuk.

Aku buru-buru memasang senyum, namun ia kembali tidak merespon. Ekspresi wajahnya tidak terbaca.

Kupalingkan tatapanku ke kucing-kucing yang sedang berkejaran di halaman. Kata Bik Mur, Deska ngikut saja apa kata ibunya. Tapi, bukankah Tante Kalina sudah memaafkanku atas kejadian tempo hari? Jadi kenapa dia masih dingin padaku?

***

Di waktu makan malam, suasananya bahkan lebih awkward lagi.

Kami berempat duduk melingkari meja makan. Aku menatap piringku lagi seperti malam sebelumnya. Namun kali ini, suasana agak mencair karena Deska mengisi percakapan dengan ibunya.

“Mah, dokumen kemarin sudah aku beresin semuanya. Pak Eddy juga sudah aku beri tahu.”

“Terima kasih banyak, Des. Mama selalu bisa mengandalkan kamu.”

“Oh iya, Bik,” Deska mengalihkan pandangannya ke arah Bik Mur. “Request dong, besok masakin iga!”

“Siap, Deska. Mau dibuatkan jadi masakan apa?”

“Apa aja deh, masakan Bibik selalu terbaik.”

“Ah, Deska bisa aja,” Bik Mur menimpali dengan tawa kecil. Tatapanku masih terkunci ke piring. Hanya aku yang tidak diajak bicara Deska malam itu.

***

“Aku nggak ngerti deh kenapa Deska begitu,” ucapku dengan nada lirih di telepon. Luna di seberang sambungan terdengar menarik napas berat. Siapa lagi yang bisa aku curhati kalau bukan sahabatku ini?

“Aku sudah minta maaf sama Tante Kalina,” ucapku seraya rebahan di atas kasur. Jam menunjukkan pukul 10 malam. “Tapi masa dia masih marah begitu?”

“Kamu udah minta maaf langsung sama dia?”

“Ya gimana bisa minta maaf langsung, Lun, kalau dia aja melengos tiap aku tatap?”

“Coba deketin dulu.”

“Kamu, sih, nggak tahu kayak gimana tatapannya kalau sama aku.”

Luna tertawa kecil. “Eh, ngomong-ngomong, emang ayahnya Deska ini kenapa, Ris?”

“Nah, itu yang aku nggak tahu,” aku membalikkan badan di atas kasur dengan bersemangat. Mode ghibah bersama sahabat memang beda. “Bik Mur jelas tahu tapi dia nggak mau kasih tahu. Tapi kayaknya sih serius. Soalnya, sampai reaksi mereka kayak gitu.”

“Mungkin ayah dan ibunya Deska udah cerai?” Luna menyampaikan teorinya. “Karena ayahnya selingkuh? Atau KDRT?”

“Nggak tahuuu, aku nggak mau spekulasi juga, ah.”

“Tapi serius deh Ris, kamu harus minta maaf sama Deska kalau mau suasananya membaik.”

“Iya, aku juga mauuuu. Masalahnya kan bukan di aku mau atau engga, tapi dianya yang nggak mau diajak ngomong!”

“Cari waktu aja yang pas waktu lagi santai, trus langsung deketin dia dan minta maaf.”

“Teorinya sih gampang. Prakteknya beda cerita!”

“Mungkin dia masih nggak terima karena kamu baru banget di sana tapi udah nanyain ayahnya.”

“Ya tapi kan aku nggak tahu ada apa antara dia sama ayahnya.”

“Iya sih … tapi sama Tante Kalina baik-baik aja, kan?”

“Sama Tante Kalina sih oke.”

“Yang penting Tante Kalina-nya, sih, Ris. Kan dia yang gaji kamu, bukan Deska.”

Aku manggut-manggut. “Ya udah deh, aku coba cari cara gimana biar bisa ngomong sama Deska dan minta maaf sama dia.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Pasir Kucing

    Besoknya, aku tidak bertemu Deska di pagi hari saat sarapan. Jantungku mencelus memikirkan bahwa mungkin dia sengaja menghindariku karena mendengar perkataanku semalam.Tapi seusai sarapan, ternyata Deska muncul dari pintu depan. Aku berpura-pura sibuk dengan sepiring nasi goreng bikinan Bik Mur dan berusaha tidak menatap ke arahnya.“Jadi kan, Ris?”Ucapan Deska nyaris membuatku terlonjak dari kursi. Mau tidak mau kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya.“Eh, aku makan dulu, Des.”Deska mengecek jam tangannya. “Dua jam lagi, ya. Sekalian Nathan tolong disiapin buat steril.”“Oke.”Deska melangkah ke dalam rumah sementara aku kembali sibuk dengan nasi goreng dalam piringku. Sepertinya Deska tidak mendengar percakapanku semalam kalau melihat dari reaksinya barusan. Apakah aku akan aman?Setelah sarapan, aku naik ke lantai dua untuk mengisi mangkuk makanan kucing, memeriksa sekali lagi barang-barang apa saja yang sudah menipis stoknya, lalu menyiapkan Nathan untuk dibawa steril.Jantungk

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Sambungan Telepon

    “Gimana Ris kerjanya? Betah di sana?”“Betah, Pak,” jawabku ringan dan jujur saat malam itu Bapak menelepon. Jam menunjukkan pukul 9 malam.“Kerjanya berat nggak, Ris?”“Enggak kok. Risna malah seneng karena di sini main sama kucing terus.”“Kapan mau pulang?”“Nggak tahu, Pak. Kayaknya bulan depan aja deh, ya.”“Mau dijemput?”“Nggak usah, nanti Risna naik kereta api aja.”“Ooh, ya sudah. Sehat-sehat di sana ya Ris.”Bapak menutup sambungan telepon tidak lama kemudian. Aku menatap layar ponsel dengan senyum tipis. Senang rasanya akhirnya bisa bekerja lagi, walaupun pekerjaanku unik seperti ini. Setidaknya, sekarang Bapak tidak lagi tampak sedih karena melihatku menganggur berbulan-bulan di rumah.Aku menggulir kontak di ponsel sampai menemukan kontak Luna. Kutekan tombol Call dan ia mengangkat di dering kedua.“Kucing udah dikasih makan semua belum, Ris?”“Buset, pertanyaan pertamamu gitu banget, nih?”Luna tergelak. “Ya memang itu tugas kamu sekarang, kan? Gimana gimana, udah hafal

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Bekas Cakaran Kucing

    Sudah sebulan aku bekerja di sini. Gajian pertama baru saja ditransfer Tante Kalina melalui rekening bank tadi pagi. Aku senyum-senyum sendiri melihat angkanya. Apalagi, membayangkan kalau hampir seluruh gajiku bisa tidak tersentuh karena biaya tempat tinggal, makan sampai hiburan, semuanya ditanggung Tante Kalina.“Enak banget ya jadi orang kaya,” pikirku sambil menutup aplikasi bank online di HP. “Bisa bayar orang cuma buat main sama kucing.”Sekarang, aku sudah bisa menghafal semua nama kucing di rumah ini tanpa melihat nama di kalungnya. Aku juga melakukan pencatatan pada kucing-kucing mana yang butuh perawatan khusus, jadwal cek ke dokter hewan dan untuk keperluan steril.Kutulis semua catatan itu di buku tulis. Pagi itu, aku memperbarui catatanku di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Masih belum waktunya mengisi ulang mangkuk makanan, jadi aku memutuskan untuk santai sebentar di dapur.“Betah kan Neng, di sini?” Bik Mur bertanya dari arah wastafel. Ia tengah mencuci pir

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   R.I.P

    Keesokan harinya, kondisi Andro tiba-tiba memburuk. Kucing cokelat tua itu tampak tidak bersemangat dan hanya tidur-tiduran di atas bean bag. Ekornya tidak bergoyang-goyang seperti biasa.“Andro kenapa?” Tanyaku lembut sambil mendekatinya. Dia tidak merespon saat kucoba ajak bermain atau menawarkan creamy treat favoritnya.Selama beberapa hari bekerja di sini, baru kali ini kulihat Andro tidak bersemangat. Kucing ini, walaupun sudah tua, biasanya selalu aktif bergerak. Apalagi kalau sudah disodori creamy treat, dia pasti langsung bahagia dan menjilat-jilati bungkusnya.Aku sadar sepertinya ada yang salah. Kupastikan kucing-kucing lain dalam keadaan baik-baik saja sebelum kutelepon Tante Kalina yang saat itu kebetulan sedang berada di luar rumah.“Halo, Tante. Andro keliatannya sakit. Apa harus saya bawa ke vet?”Tante Kalina memintaku mendeskripsikan kondisi Andro saat itu. Kujelaskan sedetail-detailnya.“Oke, Tante kirimkan alamat dokter hewan langganan Tante, ya. Langsung aja ke san

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Blok M

    Pekerjaan jadi pengasuh kucing ini, nyaris tidak punya hari libur. Soalnya, bahkan di tanggal merah sekalipun, kucing-kucing tetap harus diberi makan, dipastikan bersih kandangnya dan diajak bermain supaya tidak stress.Aku baru tahu kalau kucing saja bisa stress, walaupun sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu untuk makan, tidur, duduk-duduk, dan pup di atas pasir.Tante Kalina sendiri sebenarnya memberiku waktu libur 4 hari dalam sebulan. Aku diberi jatah cuti juga mengikuti tanggal merah, terutama di hari besar keagamaan. Bekerja di sini ternyata betul-betul enak seperti kata Bik Mur.Akan tetapi, mengingat hanya aku yang bisa mengurus kucing selain Tante Kalina di rumah, dan Tante Kalina sendiri belakangan lebih sering berada di kantornya, maka sudah pasti jatah liburku juga kupakai untuk mengurus kucing-kucing.Aku tidak keberatan. Lagipula, kalau libur juga mau ke mana? Tidak ada saudara atau teman yang bisa kukunjungi di kota ini.Hari itu, aku sedang mengajak Andro berjal

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Kanker

    “Gimana, Lex? Lo masih di rumah sakit? Take your time kalo emang lo masih butuh perawatan. Biaya yang kemarin nggak usah lo pikirin, bisa kok di-reimburse kantor.”Pagi itu, suara Deska yang sedang menelepon seseorang terdengar jelas dari arah dapur. Ia sedang duduk di depan meja, menghabiskan segelas kopi hitamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.Aku mendekat dengan ragu-ragu. Ada yang harus kuambil di dalam kulkas, dan itu artinya melewati Deska. Aku masih belum tahu pasti apakah aku bisa membicarakan masalah kemarin dengannya dan meminta maaf, jadi kuputuskan untuk melakukan urusanku secepatnya supaya bisa segera beranjak dari situ.“Iya, udah nggak usah lo pikirin,” suara Deska masih terdengar jelas. Aku membuka pintu kulkas dengan cepat dan memilah barang yang hendak diambil. “Kan lo bilang sendiri kalo anggota keluarga lo harus kemoterapi tiga kali selama tiga hari berturut-turut di rumah sakit.”Seketika tubuhku membeku. Tangan kanan yang sedang mencengkeram bungkus makana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status