Share

Reaksi Bapak

Author: writtenbytami
last update Last Updated: 2025-06-02 19:21:41

Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.

“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”

“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”

Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.

Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor asing.

Biasanya, telepon dari nomor asing akan selalu aku reject karena seringnya berasal dari promosi asuransi atau bahkan pinjaman online. Tapi di masa pencarian kerja seperti sekarang ini, bisa jadi nomor asing yang menelepon adalah perusahaan-perusahaan yang aku kirimi lamaran.

“Halo?”

“Halo, selamat siang. Dengan Kak Risna?” Suara laki-laki.

“Iya, saya sendiri,” Luna melirikku sekilas. Aku mengangkat bahu tanda tidak tahu siapa yang menelepon.

“Saya Deska yang kemarin mewawancarai Kakak untuk posisi pengasuh kucing di Jakarta.”

Mataku membulat dan mulutku membentuk huruf O. “Deska,” ujarku dengan suara selirih mungkin sambil menunjuk ke arah HP.

Kami sama-sama berhenti dari kegiatan membereskan piring dan gelas lalu sama-sama menyimak perkataan Deska berikutnya. Kunyalakan loud speaker supaya Luna bisa ikut mendengarkan.

“Saya mau menginformasikan bahwa Kakak lolos seleksi dan bisa bekerja dengan kami sebagai pengasuh kucing. Rincian gaji dan benefit sesuai dengan yang saya sampaikan ketika wawancara kemarin ya Kak. Apakah Kakak bersedia berangkat ke Jakarta minggu depan untuk training dan mulai bekerja?”

Luna memekik tanpa suara. Aku melongo dan hanya bisa menatap bengong dengan perasaan bingung. Dari sekian banyak posisi yang aku lamar—social media specialist, content writer, content moderator, marketing communication, sales—pekerjaan yang berjodoh denganku justru adalah yang paling aneh. Pengasuh kucing!

Otakku berpikir cepat. Uang di tabunganku sisa untuk hidup satu bulan lagi. Sudah enam bulan aku menganggur dan bulan ini usiaku genap 32 tahun. Akan lebih susah mencari pekerjaan di tahun-tahun berikutnya. Semakin lama aku menganggur, akan semakin stress juga pikiranku. Dan semakin stress pikiranku, asam lambungku akan semakin sering kambuh. Bisa-bisa sisa uang tabunganku nanti hanya akan cukup untuk membeli stok omeprazole!

Terakhir aku mengontak Mbak Karen, dia juga belum mendapat pekerjaan. Tapi, Mbak Karen sudah bertunangan dengan pacarnya dan merencanakan pernikahan pada akhir tahun ini. Dia tidak perlu memikirkan cari kerja lagi karena calon suaminya sudah punya pekerjaan tetap jadi PNS. Sementara aku? Masih menganggur dengan status jomblo!

Setelah menarik nafas panjang, dengan percaya diri aku menjawab pertanyaan Deska. “Bersedia, Kak.”

Deska menjelaskan beberapa hal lagi. Aku hanya bisa mengangguk-angguk sementara Luna memekik girang dengan suara tertahan. Setelah sambungan telepon diakhiri, Luna berteriak kesenangan.

“Risnaaaa! Selamaaaat akhirnya kamu kerja lagiii!”

Kami berpelukan sambil tertawa-tawa. Dalam hati, emosiku masih campur aduk antara senang akhirnya mendapat pekerjaan lagi dan bingung bagaimana cara mengatakan ke Bapak dan kakak-kakakku bahwa aku akan ke Jakarta untuk bekerja sebagai pengasuh kucing.

***

Kalau ada satu suara yang aku kenal betul di dunia ini, itu adalah suara motor Bapak yang mendekat ke rumah. Aku bisa mengenalinya dari jarak beberapa puluh meter sebelum memasuki garasi.

 Bapak mengendarai motor matic yang kecepatannya tidak pernah lebih dari 40 km per jam. Bukan karena motornya butut, tapi karena beliau memang tidak pernah mengebut. Seumur hidupku, aku ingat hanya satu kali Bapak mengendarai motornya di atas 40 km per jam: saat nenek meninggal dunia dan Bapak bergegas pergi ke rumah nenek. Aku yang saat itu membonceng di belakangnya merasakan kecepatan motor Bapak jauh di atas biasanya.

Kini, suara motor yang sangat khas itu terdengar mendekat. Jantungku mulai berdebar. Segera setelah pulang dari rumah Luna, aku langsung bersiap mengabarkan tentang pekerjaan baru ini ke Bapak di rumah. Tapi, sesampainya di rumah ternyata Bapak masih berada di rumah kakak perempuanku.

Kedua kakakku sama-sama sudah berkeluarga dan berpisah rumah. Mas Bayu, kakak pertamaku, tinggal di Kalimantan bersama istri dan anak laki-laki semata wayangnya. Sementara kakak perempuanku, Mbak Alma, masih tinggal di kota yang sama denganku dan Bapak, hanya berbeda desa. 

Bapak biasanya akan pergi ke rumah Mbak Alma tiap sore untuk menunggui dua cucunya, Athar dan Naomi, sampai Mbak Alma atau suaminya pulang kerja. Kakakku sebenarnya hire ART di rumah, tapi hanya sampai sore saja, tidak menginap.

Suara motor menghilang dan digantikan suara garasi ditutup. Aku mengepal-ngepalkan tangan, berusaha menerka-nerka seperti apa kira-kira reaksi Bapak kalau tahu aku akan bekerja sebagai pengasuh kucing.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabku penuh semangat. Bapak menutup pintu depan dan suara langkahnya terdengar mendekati pintu kamarku.

“Sudah pulang dari rumah Luna, Ris?”

“Sudah, Pak. Ngomong-ngomong, Risna diterima kerja.”

Sinar kebahagiaan tampak di mata tua Bapak. Bibirnya mengucap hamdallah pelan lalu duduk perlahan di ranjang kamar tidurku.

“Di perusahaan apa?”

Aku mulai kikuk. “Di Jakarta, Pak.”

Senyum lebar Bapak sedikit menipis. “Di Jakarta? Jadi pegawai kantoran gitu?”

Butuh dua detik untukku menjawabnya. “Jadi pengasuh kucing, Pak.”

Sekarang senyum Bapak hilang seutuhnya. Pendar bahagia di matanya berubah bingung.

“Tapi ini loker beneran kok. Nanti kita ke sana aja dulu diantar Om Ricky biar tahu kayak gimana tempat kerjanya. Kalau ternyata nggak sesuai, kita pulang aja,” aku merepet. “Risna udah pastiin ini kerjanya bener kok walaupun agak aneh, jadi pengasuh kucing.”

Bapak tampak berusaha menyusun kata-kata. “Itu … nanti … kerjanya di kebun binatang?”

“Bukan, Pak,” jawabku cepat. “Di rumah. Jadi orangnya ini punya banyak kucing. Risna yang bantu urusin kucing-kucingnya, kayak kasih makan, mandiin, bawa ke vet. Gitu-gitu.”

“Vet?”

“Dokter hewan.”

“Oooh …,” Bapak tampak masih kebingungan menemukan kata-kata yang pas untuk diucapkan. “Jadi pengasuh kucing di Jakarta? Gajinya berapa?”

Aku melafalkan besaran gaji dan benefit lain yang disebutkan Deska dalam sesi wawancara. Bapak mengulangi nominalnya dan tampak sedikit lega, walau masih tampak menimbang-nimbang.

“Gimana, Pak?”

“Ya … gapapa. Terserah kamu. Kamu mau kerja ngurusin kucing gitu?”

“Daripada nganggur, Pak,” aku pasrah.

Bapak terdiam sedetik lagi. “Yaudah. Nanti Bapak telpon Om Ricky buat nganterin ke sana. Alamatnya udah ada?”

“Ada, Pak.”

“Udah mulai packing?”

“Belum, baru disuruh berangkat training minggu depan.”

“Minggu depan kayaknya Om Ricky bisa, sih,” Bapak bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kamar. “Udah bilang Mas Bayu sama Mbak Alma?”

“Belum, kan Risna mau infoin ke Bapak dulu.”

“Ya udah, selama kamu seneng dan mau-mau aja, Bapak ngikut.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Ada Apa Dengan Ayah Deska?

    “Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”“Oh oke, baik Kak.”Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”“Terima kasih, Bu.”“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kala

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Ke Jakarta

    Malamnya, kedua kakakku menelepon.Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”“Iya, Mbak.”“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”“Aku cek di Google Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”“Sama kayak ART, dong?”“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”“Mbak kok curiga, ya.”“Nanti ak

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Reaksi Bapak

    Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Pejuang Amplop Cokelat

    Enam bulan kemudian. Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu! “ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan. “Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan. “Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya. Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya. Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seo

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Prolog

    “Meet kita mulai lima menit lagi, ya.” Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting. Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah. Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC. Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok. Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status