Enam bulan kemudian.
Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu!
“ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan.
“Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan.
“Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya.
Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya.
Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seorang anak dan memilih untuk ikut tinggal dengan suami masing-masing di luar kota. Pada akhirnya, pertemananku dengan Luna tetap terjaga karena hanya kami yang masih single dan menetap di kota yang sama.
Luna bekerja di bagian pelayanan sebuah kantor BUMN. Pekerjaan yang mengharuskannya shifting hari dengan hanya satu hari libur dalam sepekan. Tiap kali kami merencanakan jalan-jalan ke luar kota atau sekedar mencoba coffeeshop yang baru buka, kami harus menyesuaikannya dengan jadwal kerja Luna yang hectic itu.
Contohnya hari ini. Sudah sejak malam tahun baru kami berniat nge-grill di restoran AUCE langgananku. Tapi jadwal kerjanya dan jadwalku sendiri yang mulai dipadati agenda interview pekerjaan mengharuskan kami mengundur acara bakar-bakaran daging hingga beberapa bulan kemudian. Itu pun, bukan di restoran AUCE yang kumaksud, melainkan di rumah Luna. Kami menyewa peralatan grill dan membeli bahan-bahannya lalu memasaknya sendiri. Yang penting, kan, sama-sama bakar-bakar daging.
Aku mengambil satu slice daging yang tampak sudah matang menggunakan sumpit. Kucelup daging itu ke dalam saos kemudian menaruhnya di atas selembar selada. Rasa juicy daging dan segarnya selada sejenak membuatku lupa pada fakta bahwa aku baru saja mendapat penolakan lamaran kerja di bulan keenam semenjak kontrakku resmi tidak diperpanjang.
Jangan tanya sudah berapa banyak lamaran yang kukirim. Sehari rata-rata aku klik Submit pada lamaran online sebanyak dua puluh kali. Semuanya aku apply mulai dari content writer (sesuai dengan pengalaman kerja lepasku di media), customer service (ini pekerjaanku dulu di start-up), admin sampai content moderator (pekerjaan terakhirku di kantor outsourcing).
Hasilnya, nihil. Bahkan dengan background pendidikan dan pengalaman kerja yang kurasa cukup, aku masih susah mendapat pekerjaan sampai sekarang. Banyak perusahaan yang menginginkan pelamar dengan usia lebih muda atau pengalaman lebih banyak.
Jujur, ini membuatku frustrasi. Perusahaan-perusahaan ini gimana, sih? Mau yang berpengalaman tapi usia tidak boleh lebih dari 25 tahun? Mereka pikir sejak usia berapa calon karyawannya ini mulai bekerja?
Pernah sebenarnya ada perusahaan yang menerimaku. Kantor agen travel haji dan umroh. Posisinya sebagai content creator. Jobdesk-nya membuat konten untuk I*******m mereka, terdiri dari 6 feeds, 5 story dan 1 reels per hari. Gajinya 1.5 juta per bulan.
“Kerjanya bisa WFH kok Mba,” begitu jawaban owner agen travel tersebut saat aku berusaha nego gaji. Alhasil, aku memutuskan untuk menolak offering letter mereka. Itu sih bukan kerja, tapi dikerjain!
“Eh, loker yang minggu kemarin gimana, Ris?” Tanya Luna sembari membungkus seiris daging dengan daun selada segar.
“Yang mana?” Saking banyaknya loker yang aku apply dan ceritakan pada Luna, aku sampai lupa mana yang termasuk ke kategori “minggu kemarin”.
“Yang di Jakarta,” jawab Luna setelah menelan. “Yang penjaga kucing itu.”
“Oooh, pengasuh kucing,” ralatku. “Udah interview, tapi belum ada respon lagi dari merekanya.”
Saking desperate-nya mencari pekerjaan, loker aneh pun iseng aku apply. Di salah satu website loker, ada yang memasang iklan untuk menjadi pengasuh kucing. Gaji di atas UMR Jakarta. Fasilitas yang mereka berikan termasuk tempat tinggal dan tiga kali makan sehari.
Jujur, aku tidak berpikir banyak saat klik Submit di loker itu. Gajinya lumayan, pekerjaannya berhubungan dengan kucing dan aku tidak perlu keluar uang sewa kost. Tentu aku aware tentang adanya loker bodong yang too good to be true. Biasanya kalau ada loker mencurigakan yang menyuruhku transfer sejumlah uang dengan alasan apapun, aku akan langsung menolaknya.
Loker pengasuh kucing yang aku apply sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda keanehan. Mungkin memang benar ada orang kelewat kaya di Jakarta sana yang tidak masalah membayar seseorang di atas UMR hanya untuk rutin memberi makan kucing dan membawa ke dokter hewan untuk divaksin.
Minggu lalu, aku menjalani interview secara daring dengan seseorang yang mengaku sebagai perwakilan pemilik kucing. Wawancara berlangsung normal saja. Laki-laki bernama Deska yang kira-kira seumuran denganku itu menanyakan soal pengalamanku mengasuh kucing dan apakah aku bersedia dengan semua requirements kerjanya.
Sebenarnya, satu-satunya pengalamanku mengasuh kucing hanyalah memberi makan dry food untuk kucing jalanan yang suka mampir ke rumah. Aku cukup menyukai kucing dan berharap bisa memelihara kucing suatu hari nanti. Sayangnya, almarhumah Ibuk dulu tidak suka kucing dan aku sendiri belum begitu siap berkomitmen memelihara binatang peliharaan. Apalagi kalau kucing yang kupelihara meninggal, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedihnya.
Tapi, aku tetap percaya diri pada sesi interview dengan Deska minggu lalu. Kuceritakan saja kalau aku tidak punya alergi kucing, terbiasa memberi makan kucing dan tahu apa artinya kalau ekor kucing terangkat atau bergoyang-goyang. Kusebutkan juga kalau aku pro steril, siapa tahu bisa jadi nilai tambah buatnya.
“Itu loker beneran?” Ini kali ketiga Luna menanyakan hal yang sama padaku. Seandainya aku bercerita ke Bapak atau kakak-kakakku soal loker ini, mereka juga pasti akan bertanya apakah ini loker asli atau bohongan.
“Semoga aja beneran,” jawabku sambil menuang sisa marinasi daging dari dalam baskom ke atas panggangan. Tidak terasa kami sudah hampir menghabiskan semua daging yang dibeli. “Lumayan kan, gajinya oke dan dapet tempat tinggal juga.”
“Itu bakal jadi semacem ART, dong?”
Tanganku terhenti sedetik di udara. Benar juga ya.
“Yaaa, mirip-mirip kayaknya. Tapi jobdesk yang diceritain Deska pas interview kemarin cuma sebatas ngurus kucing doang, sih. Nggak bersih-bersih rumah juga.”
“Atau jangan-jangan itu sebenarnya loker ART tapi sekaligus ngurusin kucing? Soalnya aneh aja masa loker pengasuh kucing?”
“Orang kelewat kaya, kali. Duitnya banyak. Pengasuh kucing aja mereka cari khusus.”
Luna tergelak. “Duh, kapan ya kita punya duit kelewat banyak sampai binatang peliharaan aja dicariin pengasuhnya. Nunggu dilamar Cha Eun-woo dulu kali, ya.”
Aku ikut tergelak dan melanjutkan makan. Hanya tersisa beberapa iris daging. Luna mematikan kompor portable dan mulai merapikan peralatan masak yang berserakan di sebelahnya. Perutku terasa penuh. Sepertinya keputusan untuk nge-grill di rumah dan bukannya di restoran AUCE ini tepat. Kalau makan di AUCE, aku pasti akan kalap makan sampai kekenyangan dan membuat asam lambungku kambuh.
“Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”“Oh oke, baik Kak.”Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”“Terima kasih, Bu.”“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kala
Malamnya, kedua kakakku menelepon.Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”“Iya, Mbak.”“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”“Aku cek di Google Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”“Sama kayak ART, dong?”“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”“Mbak kok curiga, ya.”“Nanti ak
Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor
Enam bulan kemudian. Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu! “ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan. “Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan. “Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya. Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya. Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seo
“Meet kita mulai lima menit lagi, ya.” Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting. Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah. Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC. Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok. Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, k