LOGINEnam bulan kemudian.
Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu!
“ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan.
“Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan.
“Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya.
Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya.
Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seorang anak dan memilih untuk ikut tinggal dengan suami masing-masing di luar kota. Pada akhirnya, pertemananku dengan Luna tetap terjaga karena hanya kami yang masih single dan menetap di kota yang sama.
Luna bekerja di bagian pelayanan sebuah kantor BUMN. Pekerjaan yang mengharuskannya shifting hari dengan hanya satu hari libur dalam sepekan. Tiap kali kami merencanakan jalan-jalan ke luar kota atau sekedar mencoba coffeeshop yang baru buka, kami harus menyesuaikannya dengan jadwal kerja Luna yang hectic itu.
Contohnya hari ini. Sudah sejak malam tahun baru kami berniat nge-grill di restoran AUCE langgananku. Tapi jadwal kerjanya dan jadwalku sendiri yang mulai dipadati agenda interview pekerjaan mengharuskan kami mengundur acara bakar-bakaran daging hingga beberapa bulan kemudian. Itu pun, bukan di restoran AUCE yang kumaksud, melainkan di rumah Luna. Kami menyewa peralatan grill dan membeli bahan-bahannya lalu memasaknya sendiri. Yang penting, kan, sama-sama bakar-bakar daging.
Aku mengambil satu slice daging yang tampak sudah matang menggunakan sumpit. Kucelup daging itu ke dalam saos kemudian menaruhnya di atas selembar selada. Rasa juicy daging dan segarnya selada sejenak membuatku lupa pada fakta bahwa aku baru saja mendapat penolakan lamaran kerja di bulan keenam semenjak kontrakku resmi tidak diperpanjang.
Jangan tanya sudah berapa banyak lamaran yang kukirim. Sehari rata-rata aku klik Submit pada lamaran online sebanyak dua puluh kali. Semuanya aku apply mulai dari content writer (sesuai dengan pengalaman kerja lepasku di media), customer service (ini pekerjaanku dulu di start-up), admin sampai content moderator (pekerjaan terakhirku di kantor outsourcing).
Hasilnya, nihil. Bahkan dengan background pendidikan dan pengalaman kerja yang kurasa cukup, aku masih susah mendapat pekerjaan sampai sekarang. Banyak perusahaan yang menginginkan pelamar dengan usia lebih muda atau pengalaman lebih banyak.
Jujur, ini membuatku frustrasi. Perusahaan-perusahaan ini gimana, sih? Mau yang berpengalaman tapi usia tidak boleh lebih dari 25 tahun? Mereka pikir sejak usia berapa calon karyawannya ini mulai bekerja?
Pernah sebenarnya ada perusahaan yang menerimaku. Kantor agen travel haji dan umroh. Posisinya sebagai content creator. Jobdesk-nya membuat konten untuk I*******m mereka, terdiri dari 6 feeds, 5 story dan 1 reels per hari. Gajinya 1.5 juta per bulan.
“Kerjanya bisa WFH kok Mba,” begitu jawaban owner agen travel tersebut saat aku berusaha nego gaji. Alhasil, aku memutuskan untuk menolak offering letter mereka. Itu sih bukan kerja, tapi dikerjain!
“Eh, loker yang minggu kemarin gimana, Ris?” Tanya Luna sembari membungkus seiris daging dengan daun selada segar.
“Yang mana?” Saking banyaknya loker yang aku apply dan ceritakan pada Luna, aku sampai lupa mana yang termasuk ke kategori “minggu kemarin”.
“Yang di Jakarta,” jawab Luna setelah menelan. “Yang penjaga kucing itu.”
“Oooh, pengasuh kucing,” ralatku. “Udah interview, tapi belum ada respon lagi dari merekanya.”
Saking desperate-nya mencari pekerjaan, loker aneh pun iseng aku apply. Di salah satu website loker, ada yang memasang iklan untuk menjadi pengasuh kucing. Gaji di atas UMR Jakarta. Fasilitas yang mereka berikan termasuk tempat tinggal dan tiga kali makan sehari.
Jujur, aku tidak berpikir banyak saat klik Submit di loker itu. Gajinya lumayan, pekerjaannya berhubungan dengan kucing dan aku tidak perlu keluar uang sewa kost. Tentu aku aware tentang adanya loker bodong yang too good to be true. Biasanya kalau ada loker mencurigakan yang menyuruhku transfer sejumlah uang dengan alasan apapun, aku akan langsung menolaknya.
Loker pengasuh kucing yang aku apply sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda keanehan. Mungkin memang benar ada orang kelewat kaya di Jakarta sana yang tidak masalah membayar seseorang di atas UMR hanya untuk rutin memberi makan kucing dan membawa ke dokter hewan untuk divaksin.
Minggu lalu, aku menjalani interview secara daring dengan seseorang yang mengaku sebagai perwakilan pemilik kucing. Wawancara berlangsung normal saja. Laki-laki bernama Deska yang kira-kira seumuran denganku itu menanyakan soal pengalamanku mengasuh kucing dan apakah aku bersedia dengan semua requirements kerjanya.
Sebenarnya, satu-satunya pengalamanku mengasuh kucing hanyalah memberi makan dry food untuk kucing jalanan yang suka mampir ke rumah. Aku cukup menyukai kucing dan berharap bisa memelihara kucing suatu hari nanti. Sayangnya, almarhumah Ibuk dulu tidak suka kucing dan aku sendiri belum begitu siap berkomitmen memelihara binatang peliharaan. Apalagi kalau kucing yang kupelihara meninggal, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedihnya.
Tapi, aku tetap percaya diri pada sesi interview dengan Deska minggu lalu. Kuceritakan saja kalau aku tidak punya alergi kucing, terbiasa memberi makan kucing dan tahu apa artinya kalau ekor kucing terangkat atau bergoyang-goyang. Kusebutkan juga kalau aku pro steril, siapa tahu bisa jadi nilai tambah buatnya.
“Itu loker beneran?” Ini kali ketiga Luna menanyakan hal yang sama padaku. Seandainya aku bercerita ke Bapak atau kakak-kakakku soal loker ini, mereka juga pasti akan bertanya apakah ini loker asli atau bohongan.
“Semoga aja beneran,” jawabku sambil menuang sisa marinasi daging dari dalam baskom ke atas panggangan. Tidak terasa kami sudah hampir menghabiskan semua daging yang dibeli. “Lumayan kan, gajinya oke dan dapet tempat tinggal juga.”
“Itu bakal jadi semacem ART, dong?”
Tanganku terhenti sedetik di udara. Benar juga ya.
“Yaaa, mirip-mirip kayaknya. Tapi jobdesk yang diceritain Deska pas interview kemarin cuma sebatas ngurus kucing doang, sih. Nggak bersih-bersih rumah juga.”
“Atau jangan-jangan itu sebenarnya loker ART tapi sekaligus ngurusin kucing? Soalnya aneh aja masa loker pengasuh kucing?”
“Orang kelewat kaya, kali. Duitnya banyak. Pengasuh kucing aja mereka cari khusus.”
Luna tergelak. “Duh, kapan ya kita punya duit kelewat banyak sampai binatang peliharaan aja dicariin pengasuhnya. Nunggu dilamar Cha Eun-woo dulu kali, ya.”
Aku ikut tergelak dan melanjutkan makan. Hanya tersisa beberapa iris daging. Luna mematikan kompor portable dan mulai merapikan peralatan masak yang berserakan di sebelahnya. Perutku terasa penuh. Sepertinya keputusan untuk nge-grill di rumah dan bukannya di restoran AUCE ini tepat. Kalau makan di AUCE, aku pasti akan kalap makan sampai kekenyangan dan membuat asam lambungku kambuh.
Besoknya, aku tidak bertemu Deska di pagi hari saat sarapan. Jantungku mencelus memikirkan bahwa mungkin dia sengaja menghindariku karena mendengar perkataanku semalam.Tapi seusai sarapan, ternyata Deska muncul dari pintu depan. Aku berpura-pura sibuk dengan sepiring nasi goreng bikinan Bik Mur dan berusaha tidak menatap ke arahnya.“Jadi kan, Ris?”Ucapan Deska nyaris membuatku terlonjak dari kursi. Mau tidak mau kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya.“Eh, aku makan dulu, Des.”Deska mengecek jam tangannya. “Dua jam lagi, ya. Sekalian Nathan tolong disiapin buat steril.”“Oke.”Deska melangkah ke dalam rumah sementara aku kembali sibuk dengan nasi goreng dalam piringku. Sepertinya Deska tidak mendengar percakapanku semalam kalau melihat dari reaksinya barusan. Apakah aku akan aman?Setelah sarapan, aku naik ke lantai dua untuk mengisi mangkuk makanan kucing, memeriksa sekali lagi barang-barang apa saja yang sudah menipis stoknya, lalu menyiapkan Nathan untuk dibawa steril.Jantungk
“Gimana Ris kerjanya? Betah di sana?”“Betah, Pak,” jawabku ringan dan jujur saat malam itu Bapak menelepon. Jam menunjukkan pukul 9 malam.“Kerjanya berat nggak, Ris?”“Enggak kok. Risna malah seneng karena di sini main sama kucing terus.”“Kapan mau pulang?”“Nggak tahu, Pak. Kayaknya bulan depan aja deh, ya.”“Mau dijemput?”“Nggak usah, nanti Risna naik kereta api aja.”“Ooh, ya sudah. Sehat-sehat di sana ya Ris.”Bapak menutup sambungan telepon tidak lama kemudian. Aku menatap layar ponsel dengan senyum tipis. Senang rasanya akhirnya bisa bekerja lagi, walaupun pekerjaanku unik seperti ini. Setidaknya, sekarang Bapak tidak lagi tampak sedih karena melihatku menganggur berbulan-bulan di rumah.Aku menggulir kontak di ponsel sampai menemukan kontak Luna. Kutekan tombol Call dan ia mengangkat di dering kedua.“Kucing udah dikasih makan semua belum, Ris?”“Buset, pertanyaan pertamamu gitu banget, nih?”Luna tergelak. “Ya memang itu tugas kamu sekarang, kan? Gimana gimana, udah hafal
Sudah sebulan aku bekerja di sini. Gajian pertama baru saja ditransfer Tante Kalina melalui rekening bank tadi pagi. Aku senyum-senyum sendiri melihat angkanya. Apalagi, membayangkan kalau hampir seluruh gajiku bisa tidak tersentuh karena biaya tempat tinggal, makan sampai hiburan, semuanya ditanggung Tante Kalina.“Enak banget ya jadi orang kaya,” pikirku sambil menutup aplikasi bank online di HP. “Bisa bayar orang cuma buat main sama kucing.”Sekarang, aku sudah bisa menghafal semua nama kucing di rumah ini tanpa melihat nama di kalungnya. Aku juga melakukan pencatatan pada kucing-kucing mana yang butuh perawatan khusus, jadwal cek ke dokter hewan dan untuk keperluan steril.Kutulis semua catatan itu di buku tulis. Pagi itu, aku memperbarui catatanku di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Masih belum waktunya mengisi ulang mangkuk makanan, jadi aku memutuskan untuk santai sebentar di dapur.“Betah kan Neng, di sini?” Bik Mur bertanya dari arah wastafel. Ia tengah mencuci pir
Keesokan harinya, kondisi Andro tiba-tiba memburuk. Kucing cokelat tua itu tampak tidak bersemangat dan hanya tidur-tiduran di atas bean bag. Ekornya tidak bergoyang-goyang seperti biasa.“Andro kenapa?” Tanyaku lembut sambil mendekatinya. Dia tidak merespon saat kucoba ajak bermain atau menawarkan creamy treat favoritnya.Selama beberapa hari bekerja di sini, baru kali ini kulihat Andro tidak bersemangat. Kucing ini, walaupun sudah tua, biasanya selalu aktif bergerak. Apalagi kalau sudah disodori creamy treat, dia pasti langsung bahagia dan menjilat-jilati bungkusnya.Aku sadar sepertinya ada yang salah. Kupastikan kucing-kucing lain dalam keadaan baik-baik saja sebelum kutelepon Tante Kalina yang saat itu kebetulan sedang berada di luar rumah.“Halo, Tante. Andro keliatannya sakit. Apa harus saya bawa ke vet?”Tante Kalina memintaku mendeskripsikan kondisi Andro saat itu. Kujelaskan sedetail-detailnya.“Oke, Tante kirimkan alamat dokter hewan langganan Tante, ya. Langsung aja ke san
Pekerjaan jadi pengasuh kucing ini, nyaris tidak punya hari libur. Soalnya, bahkan di tanggal merah sekalipun, kucing-kucing tetap harus diberi makan, dipastikan bersih kandangnya dan diajak bermain supaya tidak stress.Aku baru tahu kalau kucing saja bisa stress, walaupun sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu untuk makan, tidur, duduk-duduk, dan pup di atas pasir.Tante Kalina sendiri sebenarnya memberiku waktu libur 4 hari dalam sebulan. Aku diberi jatah cuti juga mengikuti tanggal merah, terutama di hari besar keagamaan. Bekerja di sini ternyata betul-betul enak seperti kata Bik Mur.Akan tetapi, mengingat hanya aku yang bisa mengurus kucing selain Tante Kalina di rumah, dan Tante Kalina sendiri belakangan lebih sering berada di kantornya, maka sudah pasti jatah liburku juga kupakai untuk mengurus kucing-kucing.Aku tidak keberatan. Lagipula, kalau libur juga mau ke mana? Tidak ada saudara atau teman yang bisa kukunjungi di kota ini.Hari itu, aku sedang mengajak Andro berjal
“Gimana, Lex? Lo masih di rumah sakit? Take your time kalo emang lo masih butuh perawatan. Biaya yang kemarin nggak usah lo pikirin, bisa kok di-reimburse kantor.”Pagi itu, suara Deska yang sedang menelepon seseorang terdengar jelas dari arah dapur. Ia sedang duduk di depan meja, menghabiskan segelas kopi hitamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.Aku mendekat dengan ragu-ragu. Ada yang harus kuambil di dalam kulkas, dan itu artinya melewati Deska. Aku masih belum tahu pasti apakah aku bisa membicarakan masalah kemarin dengannya dan meminta maaf, jadi kuputuskan untuk melakukan urusanku secepatnya supaya bisa segera beranjak dari situ.“Iya, udah nggak usah lo pikirin,” suara Deska masih terdengar jelas. Aku membuka pintu kulkas dengan cepat dan memilah barang yang hendak diambil. “Kan lo bilang sendiri kalo anggota keluarga lo harus kemoterapi tiga kali selama tiga hari berturut-turut di rumah sakit.”Seketika tubuhku membeku. Tangan kanan yang sedang mencengkeram bungkus makana