Malamnya, kedua kakakku menelepon.
Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.
“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”
“Iya, Mbak.”
“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”
“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”
“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”
“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”
Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”
“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.
“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”
“Aku cek di G****e Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”
“Sama kayak ART, dong?”
“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”
“Mbak kok curiga, ya.”
“Nanti aku ke sana sama Om Ricky, kalau emang aneh-aneh aku langsung pulang aja, kok.”
“Lagian kok bisa-bisanya kamu keterima kerja jadi pengasuh kucing gini, Ris? Emang nggak coba apply kerjaan yang lain dulu?”
“Sudah, Mbak,” nada suaraku berubah memelas dan capek. “Kan Mbak tau sendiri sekarang cari kerja susah, banyak yang di-PHK, kantor-kantor tutup. Aku dapet kerjaan gini aja udah bersyukur banget. Gajinya di atas UMR dan dapet tempat tinggal juga.”
“Ya tapi kan nggak ngasuh kucing juga. Jijik, tau. Emang kamu sanggup bersihin eeknya?”
Tidak sepertiku yang lumayan suka kucing, Mbak Alma justru risih pada binatang berkaki empat itu. Menurutnya kucing itu bau dan memeliharanya cuma bikin repot.
“Sanggup, kok,” ada sedikit kebohongan di jawabanku yang ini. Aku memang suka membelai-belai kucing, tapi membersihkan kotorannya jujur belum pernah kulakukan. Tapi, kucing yang nanti akan kuurus pasti kucing ras yang terbiasa buang air di atas pasir, kan, bukan kucing domestik yang serampangan?
Mbak Alma menghela napas. “Ya sudah. Jangan lupa besok pantau dulu lokasi kerjanya di Jakarta dan pastikan jobdesk-nya beneran ngasuh kucing, bukan yang aneh-aneh. Kalau ada apa-apa langsung telfon Mbak.”
“Iya, Mbak.” Mana bisa aku berkata “tidak” pada anak perempuan pertama di keluarga?
Baru saja sambungan ditutup, ada telepon masuk dari Mas Bayu. Aku bersiap dengan jawaban praktis karena kakak pertamaku ini suka langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling.
“Ris, kata Bapak sekarang kamu kerja di kebun binatang?”
“HAH???” Mataku melotot. “Enggaaaak, Mas!”
“Ngurus kucing, kan? Di kebun binatang?”
“Enggaaaak!” Aku mulai sedikit frustrasi. “Ngurus kucing iya, tapi di rumah pemiliknya. Bukan di kebun binatang.”
“Itu toko hewan peliharaan atau gimana?”
Kujelaskan semuanya dari awal, lengkap dengan rincian gaji dan fasilitas supaya kakak laki-lakiku ini nggak lagi salah tangkap.
“Ooooh. Tapi beneran itu kerjanya ngurusin kucing doang kan, nggak yang lain?”
“Beneran,” jawabku dengan nada semeyakinkan mungkin. Kuyakinkan juga kalau aku akan langsung menghubungi kalau ada indikasi aneh-aneh di pekerjaan ini nanti.
Sambungan diputus setelah kakakku yakin pekerjaanku ini bakal baik-baik saja. Aku menatap layar ponsel yang menghitam dan menghela napas panjang.
Duh, Gusti … semoga ini benar-benar pekerjaan terbaik untukku sekarang.
***
Di usiaku yang sebentar lagi genap 32 tahun, kadang aku merasa masih terjebak dalam jiwa anak-anak. Atau lebih tepatnya, masih sering diperlakukan seperti anak kecil oleh Bapak.
Seperti sekarang ini contohnya. Training kerja sebagai pengasuh kucing akan dimulai besok, dan hari ini aku berangkat ke Jakarta diantar Om Ricky dan Bapak. Kami pakai mobil Bapak karena sekaligus membawa barang-barangku dalam koper dan beberapa tas jinjing.
Bapak selalu ingin mengantarku tiap aku bekerja di luar kota. Dulu ketika aku baru diterima jadi pegawai kantoran di Jogja, Bapak juga turut mengantar dan membantu membawakan barang-barang dari mobil ke kosan. Aku tidak pernah meminta, tapi Bapak berinisiatif duluan supaya aku tidak kerepotan.
Om Ricky ini salah satu adik laki-laki Bapak yang sering dimintai tolong jadi sopir tiap kali aku atau Mbak Alma ada urusan ke luar kota. Bapak sendiri sudah tidak sanggup nyetir lama-lama, jadi Om Ricky selalu dihubungi kalau ada keperluan yang mengharuskan kami pergi jauh. Kebetulan, kami tinggal di kota yang sama dan Om Ricky juga tidak pernah keberatan untuk membantu Bapak tiap dihubungi.
“Kerja jadi pengasuh kucing? Keren juga ya Ris.” Sejauh ini baru Om Ricky yang mengatakan pekerjaanku keren. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang masih terfokus ke jalan raya.
“Iya nih Om, jarang-jarang kan kerjaan ngasuh kucing,” aku membalas sambil tertawa. Pembawaan Om Ricky yang menyenangkan seringkali menular dan membuat mood-ku jadi lebih bahagia.
“Pasti keluarga orang kaya ini,” timpalnya, kali ini sambil memelankan mobil karena lampu lalu lintas di depan menyala merah. Aku menatap ke luar jendela. Jalanan Jakarta padat merayap dengan latar belakang gedung-gedung tinggi pencakar langit. Aku sudah sangat jauh meninggalkan kota kelahiranku di belakang.
“Rumahnya aja bagus, kok. Aku cari di G****e Maps,” ucapku sambil mengecek seberapa jauh jarak mobil kami sekarang dengan alamat yang diberikan Deska via W******p. Kira-kira masih 12 kilometer lagi.
“Kucingnya ada berapa?”
“Empat belas.”
“Empat belas?” Kali ini Bapak yang bersuara. “Kamu yang nanti ngurusin itu semua?”
“Iya,” jawabku dengan suara yang berusaha terdengar percaya diri. Bahkan jumlah kucing liar yang kuberi makan sehari-hari maksimal hanya lima. “Tapi pemilik kucing nggak akan lepas tangan gitu aja, kok. Jadi nanti aku dibantuin juga.”
“Itu kucing buat dijual atau gimana, Ris?”
“Enggak, Om. Katanya dipelihara.”
“Kok mau-maunya ya pelihara kucing sampai belasan gitu?”
“Ya namanya hobi, Pak.” Sepertinya memang hanya aku seorang di keluarga kami yang cukup menyukai kucing.
Tidak terasa, kami hanya tinggal berjarak beberapa ratus meter lagi dari tujuan. Mobil melaju di sebuah area perumahan elite, rumah-rumahnya seperti di sinetron televisi, lengkap dengan garasi besar dan mobil-mobil bermerek yang tampak mengkilap.
Om Ricky memelankan mobil sementara aku bolak-balik menatap G****e Maps di HP dalam genggaman. Tujuan kami tinggal beberapa puluh meter lagi dan rumah itu sudah terlihat dari kejauhan.
Terdiri dari dua lantai menjulang tinggi, gerbang besarnya terbuka dan menampakkan seorang laki-laki yang keluar dan menatap ke arah mobil kami. Itu pasti Deska, batinku.
Mobil berhenti persis di sebelah Deska. Aku langsung menurunkan kaca mobil dan tersenyum menatapnya.
“Kak Risna?” Dia menyapaku lebih dulu.
“Iya, Kak.”
“Parkir di dalam saja, Kak,” Deska memberi aba-aba pada Om Ricky untuk masuk dan memarkir mobil dalam garasi. Aku bisa melihat beberapa mobil lain terparkir rapi dalam garasinya. Salah satunya berlogo kuda jingkrak. Alamak! Beneran orang kaya!
Mesin dimatikan dan aku buru-buru keluar.
“Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”“Oh oke, baik Kak.”Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”“Terima kasih, Bu.”“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kala
Malamnya, kedua kakakku menelepon.Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”“Iya, Mbak.”“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”“Aku cek di Google Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”“Sama kayak ART, dong?”“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”“Mbak kok curiga, ya.”“Nanti ak
Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor
Enam bulan kemudian. Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu! “ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan. “Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan. “Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya. Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya. Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seo
“Meet kita mulai lima menit lagi, ya.” Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting. Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah. Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC. Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok. Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, k