Share

Ke Jakarta

Author: writtenbytami
last update Last Updated: 2025-06-02 19:22:04

Malamnya, kedua kakakku menelepon.

Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.

“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”

“Iya, Mbak.”

“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”

“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”

“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”

“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”

Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”

“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.

“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”

“Aku cek di G****e Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”

“Sama kayak ART, dong?”

“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”

“Mbak kok curiga, ya.”

“Nanti aku ke sana sama Om Ricky, kalau emang aneh-aneh aku langsung pulang aja, kok.”

“Lagian kok bisa-bisanya kamu keterima kerja jadi pengasuh kucing gini, Ris? Emang nggak coba apply kerjaan yang lain dulu?”

“Sudah, Mbak,” nada suaraku berubah memelas dan capek. “Kan Mbak tau sendiri sekarang cari kerja susah, banyak yang di-PHK, kantor-kantor tutup. Aku dapet kerjaan gini aja udah bersyukur banget. Gajinya di atas UMR dan dapet tempat tinggal juga.”

“Ya tapi kan nggak ngasuh kucing juga. Jijik, tau. Emang kamu sanggup bersihin eeknya?”

Tidak sepertiku yang lumayan suka kucing, Mbak Alma justru risih pada binatang berkaki empat itu. Menurutnya kucing itu bau dan memeliharanya cuma bikin repot.

“Sanggup, kok,” ada sedikit kebohongan di jawabanku yang ini. Aku memang suka membelai-belai kucing, tapi membersihkan kotorannya jujur belum pernah kulakukan. Tapi, kucing yang nanti akan kuurus pasti kucing ras yang terbiasa buang air di atas pasir, kan, bukan kucing domestik yang serampangan?

Mbak Alma menghela napas. “Ya sudah. Jangan lupa besok pantau dulu lokasi kerjanya di Jakarta dan pastikan jobdesk-nya beneran ngasuh kucing, bukan yang aneh-aneh. Kalau ada apa-apa langsung telfon Mbak.”

“Iya, Mbak.” Mana bisa aku berkata “tidak” pada anak perempuan pertama di keluarga?

Baru saja sambungan ditutup, ada telepon masuk dari Mas Bayu. Aku bersiap dengan jawaban praktis karena kakak pertamaku ini suka langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling.

“Ris, kata Bapak sekarang kamu kerja di kebun binatang?”

“HAH???” Mataku melotot. “Enggaaaak, Mas!”

“Ngurus kucing, kan? Di kebun binatang?”

“Enggaaaak!” Aku mulai sedikit frustrasi. “Ngurus kucing iya, tapi di rumah pemiliknya. Bukan di kebun binatang.”

“Itu toko hewan peliharaan atau gimana?”

Kujelaskan semuanya dari awal, lengkap dengan rincian gaji dan fasilitas supaya kakak laki-lakiku ini nggak lagi salah tangkap.

“Ooooh. Tapi beneran itu kerjanya ngurusin kucing doang kan, nggak yang lain?”

“Beneran,” jawabku dengan nada semeyakinkan mungkin. Kuyakinkan juga kalau aku akan langsung menghubungi kalau ada indikasi aneh-aneh di pekerjaan ini nanti.

Sambungan diputus setelah kakakku yakin pekerjaanku ini bakal baik-baik saja. Aku menatap layar ponsel yang menghitam dan menghela napas panjang.

Duh, Gusti … semoga ini benar-benar pekerjaan terbaik untukku sekarang.

***

Di usiaku yang sebentar lagi genap 32 tahun, kadang aku merasa masih terjebak dalam jiwa anak-anak. Atau lebih tepatnya, masih sering diperlakukan seperti anak kecil oleh Bapak.

Seperti sekarang ini contohnya. Training kerja sebagai pengasuh kucing akan dimulai besok, dan hari ini aku berangkat ke Jakarta diantar Om Ricky dan Bapak. Kami pakai mobil Bapak karena sekaligus membawa barang-barangku dalam koper dan beberapa tas jinjing.

Bapak selalu ingin mengantarku tiap aku bekerja di luar kota. Dulu ketika aku baru diterima jadi pegawai kantoran di Jogja, Bapak juga turut mengantar dan membantu membawakan barang-barang dari mobil ke kosan. Aku tidak pernah meminta, tapi Bapak berinisiatif duluan supaya aku tidak kerepotan.

Om Ricky ini salah satu adik laki-laki Bapak yang sering dimintai tolong jadi sopir tiap kali aku atau Mbak Alma ada urusan ke luar kota. Bapak sendiri sudah tidak sanggup nyetir lama-lama, jadi Om Ricky selalu dihubungi kalau ada keperluan yang mengharuskan kami pergi jauh. Kebetulan, kami tinggal di kota yang sama dan Om Ricky juga tidak pernah keberatan untuk membantu Bapak tiap dihubungi.

“Kerja jadi pengasuh kucing? Keren juga ya Ris.” Sejauh ini baru Om Ricky yang mengatakan pekerjaanku keren. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang masih terfokus ke jalan raya.

“Iya nih Om, jarang-jarang kan kerjaan ngasuh kucing,” aku membalas sambil tertawa. Pembawaan Om Ricky yang menyenangkan seringkali menular dan membuat mood-ku jadi lebih bahagia.

“Pasti keluarga orang kaya ini,” timpalnya, kali ini sambil memelankan mobil karena lampu lalu lintas di depan menyala merah. Aku menatap ke luar jendela. Jalanan Jakarta padat merayap dengan latar belakang gedung-gedung tinggi pencakar langit. Aku sudah sangat jauh meninggalkan kota kelahiranku di belakang.

“Rumahnya aja bagus, kok. Aku cari di G****e Maps,” ucapku sambil mengecek seberapa jauh jarak mobil kami sekarang dengan alamat yang diberikan Deska via W******p. Kira-kira masih 12 kilometer lagi.

“Kucingnya ada berapa?”

“Empat belas.”

“Empat belas?” Kali ini Bapak yang bersuara. “Kamu yang nanti ngurusin itu semua?”

“Iya,” jawabku dengan suara yang berusaha terdengar percaya diri. Bahkan jumlah kucing liar yang kuberi makan sehari-hari maksimal hanya lima. “Tapi pemilik kucing nggak akan lepas tangan gitu aja, kok. Jadi nanti aku dibantuin juga.”

“Itu kucing buat dijual atau gimana, Ris?”

“Enggak, Om. Katanya dipelihara.”

“Kok mau-maunya ya pelihara kucing sampai belasan gitu?”

“Ya namanya hobi, Pak.” Sepertinya memang hanya aku seorang di keluarga kami yang cukup menyukai kucing.

Tidak terasa, kami hanya tinggal berjarak beberapa ratus meter lagi dari tujuan. Mobil melaju di sebuah area perumahan elite, rumah-rumahnya seperti di sinetron televisi, lengkap dengan garasi besar dan mobil-mobil bermerek yang tampak mengkilap.

Om Ricky memelankan mobil sementara aku bolak-balik menatap G****e Maps di HP dalam genggaman. Tujuan kami tinggal beberapa puluh meter lagi dan rumah itu sudah terlihat dari kejauhan.

Terdiri dari dua lantai menjulang tinggi, gerbang besarnya terbuka dan menampakkan seorang laki-laki yang keluar dan menatap ke arah mobil kami. Itu pasti Deska, batinku.

 Mobil berhenti persis di sebelah Deska. Aku langsung menurunkan kaca mobil dan tersenyum menatapnya.

“Kak Risna?” Dia menyapaku lebih dulu.

“Iya, Kak.”

“Parkir di dalam saja, Kak,” Deska memberi aba-aba pada Om Ricky untuk masuk dan memarkir mobil dalam garasi. Aku bisa melihat beberapa mobil lain terparkir rapi dalam garasinya. Salah satunya berlogo kuda jingkrak. Alamak! Beneran orang kaya!

Mesin dimatikan dan aku buru-buru keluar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Pasir Kucing

    Besoknya, aku tidak bertemu Deska di pagi hari saat sarapan. Jantungku mencelus memikirkan bahwa mungkin dia sengaja menghindariku karena mendengar perkataanku semalam.Tapi seusai sarapan, ternyata Deska muncul dari pintu depan. Aku berpura-pura sibuk dengan sepiring nasi goreng bikinan Bik Mur dan berusaha tidak menatap ke arahnya.“Jadi kan, Ris?”Ucapan Deska nyaris membuatku terlonjak dari kursi. Mau tidak mau kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya.“Eh, aku makan dulu, Des.”Deska mengecek jam tangannya. “Dua jam lagi, ya. Sekalian Nathan tolong disiapin buat steril.”“Oke.”Deska melangkah ke dalam rumah sementara aku kembali sibuk dengan nasi goreng dalam piringku. Sepertinya Deska tidak mendengar percakapanku semalam kalau melihat dari reaksinya barusan. Apakah aku akan aman?Setelah sarapan, aku naik ke lantai dua untuk mengisi mangkuk makanan kucing, memeriksa sekali lagi barang-barang apa saja yang sudah menipis stoknya, lalu menyiapkan Nathan untuk dibawa steril.Jantungk

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Sambungan Telepon

    “Gimana Ris kerjanya? Betah di sana?”“Betah, Pak,” jawabku ringan dan jujur saat malam itu Bapak menelepon. Jam menunjukkan pukul 9 malam.“Kerjanya berat nggak, Ris?”“Enggak kok. Risna malah seneng karena di sini main sama kucing terus.”“Kapan mau pulang?”“Nggak tahu, Pak. Kayaknya bulan depan aja deh, ya.”“Mau dijemput?”“Nggak usah, nanti Risna naik kereta api aja.”“Ooh, ya sudah. Sehat-sehat di sana ya Ris.”Bapak menutup sambungan telepon tidak lama kemudian. Aku menatap layar ponsel dengan senyum tipis. Senang rasanya akhirnya bisa bekerja lagi, walaupun pekerjaanku unik seperti ini. Setidaknya, sekarang Bapak tidak lagi tampak sedih karena melihatku menganggur berbulan-bulan di rumah.Aku menggulir kontak di ponsel sampai menemukan kontak Luna. Kutekan tombol Call dan ia mengangkat di dering kedua.“Kucing udah dikasih makan semua belum, Ris?”“Buset, pertanyaan pertamamu gitu banget, nih?”Luna tergelak. “Ya memang itu tugas kamu sekarang, kan? Gimana gimana, udah hafal

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Bekas Cakaran Kucing

    Sudah sebulan aku bekerja di sini. Gajian pertama baru saja ditransfer Tante Kalina melalui rekening bank tadi pagi. Aku senyum-senyum sendiri melihat angkanya. Apalagi, membayangkan kalau hampir seluruh gajiku bisa tidak tersentuh karena biaya tempat tinggal, makan sampai hiburan, semuanya ditanggung Tante Kalina.“Enak banget ya jadi orang kaya,” pikirku sambil menutup aplikasi bank online di HP. “Bisa bayar orang cuma buat main sama kucing.”Sekarang, aku sudah bisa menghafal semua nama kucing di rumah ini tanpa melihat nama di kalungnya. Aku juga melakukan pencatatan pada kucing-kucing mana yang butuh perawatan khusus, jadwal cek ke dokter hewan dan untuk keperluan steril.Kutulis semua catatan itu di buku tulis. Pagi itu, aku memperbarui catatanku di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Masih belum waktunya mengisi ulang mangkuk makanan, jadi aku memutuskan untuk santai sebentar di dapur.“Betah kan Neng, di sini?” Bik Mur bertanya dari arah wastafel. Ia tengah mencuci pir

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   R.I.P

    Keesokan harinya, kondisi Andro tiba-tiba memburuk. Kucing cokelat tua itu tampak tidak bersemangat dan hanya tidur-tiduran di atas bean bag. Ekornya tidak bergoyang-goyang seperti biasa.“Andro kenapa?” Tanyaku lembut sambil mendekatinya. Dia tidak merespon saat kucoba ajak bermain atau menawarkan creamy treat favoritnya.Selama beberapa hari bekerja di sini, baru kali ini kulihat Andro tidak bersemangat. Kucing ini, walaupun sudah tua, biasanya selalu aktif bergerak. Apalagi kalau sudah disodori creamy treat, dia pasti langsung bahagia dan menjilat-jilati bungkusnya.Aku sadar sepertinya ada yang salah. Kupastikan kucing-kucing lain dalam keadaan baik-baik saja sebelum kutelepon Tante Kalina yang saat itu kebetulan sedang berada di luar rumah.“Halo, Tante. Andro keliatannya sakit. Apa harus saya bawa ke vet?”Tante Kalina memintaku mendeskripsikan kondisi Andro saat itu. Kujelaskan sedetail-detailnya.“Oke, Tante kirimkan alamat dokter hewan langganan Tante, ya. Langsung aja ke san

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Blok M

    Pekerjaan jadi pengasuh kucing ini, nyaris tidak punya hari libur. Soalnya, bahkan di tanggal merah sekalipun, kucing-kucing tetap harus diberi makan, dipastikan bersih kandangnya dan diajak bermain supaya tidak stress.Aku baru tahu kalau kucing saja bisa stress, walaupun sehari-hari mereka hanya menghabiskan waktu untuk makan, tidur, duduk-duduk, dan pup di atas pasir.Tante Kalina sendiri sebenarnya memberiku waktu libur 4 hari dalam sebulan. Aku diberi jatah cuti juga mengikuti tanggal merah, terutama di hari besar keagamaan. Bekerja di sini ternyata betul-betul enak seperti kata Bik Mur.Akan tetapi, mengingat hanya aku yang bisa mengurus kucing selain Tante Kalina di rumah, dan Tante Kalina sendiri belakangan lebih sering berada di kantornya, maka sudah pasti jatah liburku juga kupakai untuk mengurus kucing-kucing.Aku tidak keberatan. Lagipula, kalau libur juga mau ke mana? Tidak ada saudara atau teman yang bisa kukunjungi di kota ini.Hari itu, aku sedang mengajak Andro berjal

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Kanker

    “Gimana, Lex? Lo masih di rumah sakit? Take your time kalo emang lo masih butuh perawatan. Biaya yang kemarin nggak usah lo pikirin, bisa kok di-reimburse kantor.”Pagi itu, suara Deska yang sedang menelepon seseorang terdengar jelas dari arah dapur. Ia sedang duduk di depan meja, menghabiskan segelas kopi hitamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.Aku mendekat dengan ragu-ragu. Ada yang harus kuambil di dalam kulkas, dan itu artinya melewati Deska. Aku masih belum tahu pasti apakah aku bisa membicarakan masalah kemarin dengannya dan meminta maaf, jadi kuputuskan untuk melakukan urusanku secepatnya supaya bisa segera beranjak dari situ.“Iya, udah nggak usah lo pikirin,” suara Deska masih terdengar jelas. Aku membuka pintu kulkas dengan cepat dan memilah barang yang hendak diambil. “Kan lo bilang sendiri kalo anggota keluarga lo harus kemoterapi tiga kali selama tiga hari berturut-turut di rumah sakit.”Seketika tubuhku membeku. Tangan kanan yang sedang mencengkeram bungkus makana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status