Beranda / Fantasi / Nightmare / Lelaki yang Kutemui Pagi Itu

Share

Lelaki yang Kutemui Pagi Itu

Penulis: rainy
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-01 17:32:34

Pagi itu jam di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, aku sudah sibuk pergi ke ruang guru. Lalu berakhir dengan membawa bertumpuk-tumpuk buku yang harus aku berikan pada Pak Bara. Sekitar tiga puluh buku lebih dan aku harus membawanya sendiri.

Bisa kau bayangkan betapa repotnya, bukan?

Tak ada kah seorang pun yang bisa menolongku membawa buku-buku ini?

Di antara kesibukan, aku terusik dengan suara gaduh yang berasal dari halaman belakang sekolah yang baru saja kulewati dan tertutupi oleh deretan kelas. Tertarik. Aku pun pergi untuk melihat siapa yang sedang berbuat onar di saat koridor begitu sepi.

“Tangkep tas gue!” suara berat seseorang panik. Aku menatapnya lekat. Baiklah rupanya sedang ada seseorang yang mulai merasa bosan di sekolah dan memilih hengkang sebelum jam pelajaran berakhir.

Kutarik tali tas yang hendak ia lemparkan, sebelumnya aku meletakan buku-buku menyebalkan yang kubawa terlebih dahulu di lantai.

“Siapa lo?” katanya tegas. Ada kilatan amarah yang bisa kulihat dari pancaran matanya yang menatapku.

“Lo mau bolos,ya? Coba gue liat name tag lo!” aku menantang tatapannya, aku tak takut. Sedikit pun. Bukannya aku sok jagoan, hanya saja aku tak suka jika ada seseorang yang membolos, itu sama saja dengan dia membohongi orang tuanya, mungkin dia tak tahu bagaimana susahnya orang tua hanya agar dia bersekolah. Tapi yang diharapkan malah begini kelakuannya.

“Fadil?” kubaca namanya melalui name tag yang iya kenakan. Dia menepis tanganku. Lalu dengan penuh amarah berkata, “Lepas! berani banget lo?!”

Aku sengaja tersenyum mengejek padanya.“lo tinggal tunggu surat panggilan buat orang tua wali aja,ya?”

dia terdiam, aku saja heran melihat tingkahnya. Bergegas aku membereskan dan membawa buku-buku yang tadi sempat kuletakkan. Lalu, dengan segera pula aku pergi meninggalkannya.

Namun, baru beberapa langkah, kurasakan sebuah tangan mencekal pergelangan tangan kiriku erat, menimbulkan rasa sakit yang tiba-tiba menjalar seketika.

“Awas aja kalo lo berani laporin kejadian ini sama guru!” kutatap ia lekat. Nada bicaranya jelas sekali jika dia sedang mengancamku.

Dia membalikkan tubuhku dan membuat ku kembali berhadapan dengannya.

Menggeser tanganku yang membawa tumpukan buku dan dengan lebih tajam dia berkata,

“Devlin! Devlin Natasha Feriawan. Ingat itu!” setelah melakukan itu dia pergi memanjat dinding belakang sekolah, menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu pergi. Aku hanya mengangkatkan bahu. Tanda bahwa aku tak terlalu peduli pada ucapannya.

***

“Lo kemana aja, Dev?” tanya Satria ketika aku menghampirinya. Panggilannya itu mampu membuat tatapan Sarah dan benny mengikuti ekor matanya. Aku hanya mengangkat bahu sama sekali tak menanggapi ucapannya.

“Kalian tahu nggak cowok yang namanya Fadil?” ujarku hendak duduk berhadapan dengan Sarah dan Benny.

“Fadil? jelas dong kita tahu. Emang kenapa sama Fadil?” dengan suara cemprengnya, Sarah begitu antusias menanyakan perihal Fadil.

“Tadi gue lihat dia bolos, terus gue laporin dia ke guru.”

Seketika itu juga mereka bertiga lantas menatap ku, tatapan yang tak bisa kuartikan.

Detik berikutnya, dengan Heboh Benny berkata, “Wah lo gila, dia tuh bahaya! Banyak yang udah kena korbannya dia.”

Benny masih menatap intens. Berbanding terbalik dengan Satria yang sangat memperlihatkan dengan jelas tatapan khawatirnya padaku.

“Emang Fadil itu siapa? Gue nggak kenal.”

Dengan tampang polos aku bertanya. Mereka hanya mampu menggeleng pasrah kepadaku.

Baiklah. Tak perlu begitu!

Kau! Tak perlu menganggap ku gadis paling cupu di sekolah. Asal kalian tahu saja aku baru pindah ke sekolah ini selama dua bulan lalu. Rasanya tak perlu lah aku menceritakan alasan kenapa aku pindah ke sekolah ini. Satu lagi, temanku di sekolah ini hanyalah Satria, Sarah dan Benny. Sarah dan Benny merupakan teman Satria. Aku hanya ikut bergabung dengan mereka.

“Hei?! gue kan murid baru di sini jadi wajar kalo gue ga tahu!”

“ Oke gue jelasin,” ada jeda yang lumayan panjang sebelum Benny melanjutkan ceritanya. Tak lupa dia juga meminta kami bertiga untuk mendekat ke arahnya.

“Fadil itu terkenal sebagai siswa terbandel di sekolah ini. Dia sering berbuat ulah jadi jangan heran ketika lo pernah mergokin dia mau bolos. Lalu yang paling penting! Dia itu terkenal punya temperamen yang buruk. Siapa saja yang berbuat ulah dengannya pasti akan dia buat perhitungan. Banyak siswa yang sudah jadi korbannya dia.”

dengan antusias Benny menceritakan betapa ngerinya Fadil sambil sesekali dia menenggak es lemon teanya. Mendadak aku bergidik ngeri saat mendengar cerita Benny. Apesnya bagiku yang telah berani menantangnya.

“Lo jangan sampe bikin masalah, ya, sama dia.” Satria memperingatkan ku.

Astaga entah apa yang akan terjadi padaku besok. Rasanya bencana buruk akan menghampiriku besok.

***

Gelap dan sunyi. Aku mendapati diriku berjalan tak tentu arah mengelilingi beberapa pohon yang menjulang tinggi dan gelap.

Dimana kah ini? Hutan kah?

Angin berhembus lembut di tengkukku. Memberikan rasa ngeri tak terkira. Keringat dingin mulai mengucur deras. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Entah perasaan apa ini, tapi aku merasakan ada seseorang yang terus mengikutiku. Karenanya, beberapa kali itu pula aku terus menolehkan kepalaku ke belakang ataupun ke samping. Hal tersebut kulakukan hanya sekedar berjaga-jaga barang kali ada seseorang yang benar-benar mengikuti.

“Satria--” sudah beberapa kali aku memanggil Satria, namun suara seraknya sama sekali tak menghampiri gendang telingaku. “Satria…”

bunyi burung gagak semakin membuat tengkukku bergidik takut.

Oh ayolah dimana kah ini?

Masih dengan kebingunganku, samar aku mendengar langkah kaki yang mendekat. Suara langkah kaki yang diseret seolah-olah kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Aku berbalik kebelakang, saat itu juga aku melihat seseorang.

Tidak! sosok misterius! Sosok misterius yang menyeramkan itu mengenakan baju hitam dan celana yang senada dengan warna bajunya. Wajahnya ditutupi oleh masker, tak lupa sebuah topi hitam pun bersarang di kepalanya. Dia membawa cangkul yang diseret dan dibiarkan menyentuh tanah, sehingga menimbulkan suara aneh ketika dia berjalan.

Sret sreeettt sreeettt sreeet street

Aku terpaku. Tubuhku kaku seketika. Aku benar-benar tak bisa menggerakan tubuhku. Keringat dingin semakin deras mengalir. Bahkan rasanya bajuku sudah basah oleh keringat. Jantungku berdetak sangat cepat seperti baru saja turun dari permainan pemacu adrenalin di taman bermain.

“Tolong….” berkali-kali pun aku mencoba berteriak, tapi hasilnya selalu saja nihil. Tak ada suara sedikitpun yang keluar dari kerongkonganku. Hanya seperti bisikan lirih dan hembusan nafas lemah.

Beberapa kali juga dia mencoba mengayunkan cangkul ke arahku.Sosok misterius itu semakin mendekati ku. Wajahnya tak begitu jelas, hanya terlihat seringai kecil di bibirnya yang tak tertutupi jubah.

Jantungku berdegup sangat cepat. Begitu pun tubuhku yang bergetar hebat. Peluh sudah membasahi sekujur tubuhku, menetes dari dahi hingga melewati wajahku.

Apa yang harus kulakukan? Seseorang kumohon tolonglah!

“AAAAAAAAAA--” teriakku kencang yang memenuhi seluruh sudut ruangan kamarku.

“A-Ayah?” buram. Itulah yang pertama kuliat ketika mataku terbuka.

Tangan lembut Ayah sudah bertengger di pundakku, “ kamu kenapa, Dev?” ujarnya lembut. Tak ada suara yang mampu keluar dari mulutku. Tubuhku masih bergetar hebat. Keringat dingin semakin banyak membasahi wajahku. Otakku masih linglung, tak mampu menangkap apa yang terjadi. Mimpi itu seolah-olah nyata.

Dengan segera kupeluk Ayah erat, membiarkan rasa takutku luntur dengan hangatnya pelukan beliau. Malam ini merupakan malam pertama kalinya aku bermimpi aneh lagi setelah kejadian Ibu meninggal.

Oh ayolah! Aku sudah tak mau berurusan dengan mimpi-mimpi yang aneh itu lagi.

Kau tahu? terakhir kali sebelum Ibuku meninggal, aku sering bermimpi buruk dan melihat sebuah keranda mayat dalam bunga tidurku, lalu beberapa minggu berikutnya kejadian buruk menimpa ibuku.

Takut. Itulah perasaan pertama yang mencuat di hatiku. Bukan takut karena aku akan mati, aku takut jika sesuatu yang buruk akan terjadi kembali pada orang-orang yang kusayangi.

Lalu apa sekarang? Mimpi ini bagaikan sebuah peringatan yang berusaha memberitahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Jangan!!! kuharap jangan ada lagi hal buruk yang menimpa diriku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nightmare   Kehilangan

    Musim hujan masih bertahan jauh lebih lama di tahun ini, hari ini Ibukota kembali diguyur hujan lebat. Seolah semakin membuat hati yang pilu terasa lebih pilu. Aku menatap ke arah luar jendela mobil yang menampilkan tampias air hujan. Memberikan kesan sendu yang sangat pekat di hati.Jauh di dalam lubuk hatiku teriris hebat menyaksikan betapa sesak tangisan seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya dalam usia yang sangat muda. Pagi tadi sekolah kembali dihebohkan dengan kabar yang tak mengenakkan bagi siapapun yang mendengarnya. Suci yang sudah terbaring koma selama kurang lebih satu bulan tak mampu lagi bertahan.Gadis berkulit pulih dengan rambut coklat itu mengakhiri hidupnya setelah segala upaya keras para tenaga medis kerahkan. Setelah rapalan doa kedua orangnya minta tiap malam demi kesembuhan putri mereka.Tentunya setelah semua rasa sesal dan bersalah melingkupi hati. Aku masih ingat bagaimana pilu dan perihnya tangis kehilangan Ibu Marta saat jenazah Suci diturunka

  • Nightmare   Berhenti

    “Gue udah ambil keputusan,” pernyataan itu keluar pertama kali dari mulutku di hadapan kedua orang yang masih mematung, sembari menautkan kedua alis mereka. Tentunya mereka sedang kebingungan saat ini. Mungkin keduanya mempertanyakan hendak dibawa kemana pembicaraan ini. Aku menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Gue mau berhenti cari tahu siapa pelaku pembunuhan dan teror di sekolah.” Sekilas, aku mendongak menanti reaksi yang diberikan oleh Satria juga Sarah.Sepulang dari kegiatan mading tadi, aku mengirimi pesan pada Satria juga Sarah. Memberitahu bahwa ada yang perlu ku katakan pada mereka, tentunya tanpa keterlibatan Benny. Karena memang lelaki itu membuat keputusan untuk berhenti melakukan pencarian, bahkan tak ingin terlibat dengan semua hal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan maupun teror. Meskipun demikian, mungkin saja aku akan mengirimi lelaki itu sebuah pesan dengan pernyataan yang sama. Bukan tanpa maksud apapun, hanya ingin meyakinkan bahwa lelaki itu t

  • Nightmare   Potret

    Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has

  • Nightmare   Menyerah

    Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem

  • Nightmare   Pihak yang Berkuasa

    Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel

  • Nightmare   Membolos

    Jika aku tahu caranya menghilang dari kehidupan ini, mungkin aku akan menghilang saat ini juga. Setelah pertengkaran semalam, aku bahkan tak mampu menatap mata Satria. Rasa bersalah semakin menghantui dan menyelimuti. Sempat tak tidur semalaman hanya untuk sekedar mengucapkan permintaan maaf pada Satria juga Benny. Namun berkali-kali itu pula, pesanku hanya mampu diketik tanpa pernah bisa dikirim pada si pemiliknya. Pagi ini Satria tiba-tiba saja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk bertukar tempat dengan Hendra- si pendiam yang sering duduk di paling pojok kelas. Duduk dengan orang asing membuatku amat sangat kikuk. Belum lagi pelajaran Matematika yang amat sangat membuatku mengantuk juga pusing, maka dengan terpaksa aku akhirnya memilih untuk keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Membolos sehari saja tidak apa bukan? Hari ini aku ingin pergi ke tempat di mana tak ada siapapun yang menemukanku. Maka dengan tak tentu arah, aku melangkahkan kaki begitu saja. Berjalan kemanapun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status