Halo semuaaanyaa terima kasih sudah mau mengikuti cerita nightmare. Semoga kalian semua suka dengan cerita Nightmare...
Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel
Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem
Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has
“Gue udah ambil keputusan,” pernyataan itu keluar pertama kali dari mulutku di hadapan kedua orang yang masih mematung, sembari menautkan kedua alis mereka. Tentunya mereka sedang kebingungan saat ini. Mungkin keduanya mempertanyakan hendak dibawa kemana pembicaraan ini. Aku menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Gue mau berhenti cari tahu siapa pelaku pembunuhan dan teror di sekolah.” Sekilas, aku mendongak menanti reaksi yang diberikan oleh Satria juga Sarah.Sepulang dari kegiatan mading tadi, aku mengirimi pesan pada Satria juga Sarah. Memberitahu bahwa ada yang perlu ku katakan pada mereka, tentunya tanpa keterlibatan Benny. Karena memang lelaki itu membuat keputusan untuk berhenti melakukan pencarian, bahkan tak ingin terlibat dengan semua hal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan maupun teror. Meskipun demikian, mungkin saja aku akan mengirimi lelaki itu sebuah pesan dengan pernyataan yang sama. Bukan tanpa maksud apapun, hanya ingin meyakinkan bahwa lelaki itu t
Kuremas kuat sapu tangan usang berwarna putih, mencoba mencurahkan rasa benci pada sebuah benda mati. Sapu tangan dengan motif burung bangau yang terdapat dua buah huruf ‘R’ di salah satu sudut sapu tangan itu. Ada noda bekas darah mengering juga di sana.Sapu tangan tersebut merupakan petunjuk satu-satunya yang bisa membawaku pada pelaku pembunuhan Ibu. Satu tahun lalu, Ibuku meninggal ditabrak lari oleh seseorang. Aku masih ingat bagaimana mengerikannya peristiwa itu. Peristiwa tersebut seolah masih terpatri jelas diingatanku, bahkan rasanya baru kemarin aku mengalaminya. Saat itu, Aku dan Ibu hendak menyebrang setelah pergi berbelanja bulanan bersama. Aku tak menyangka bahwa kegiatan belanja itu merupakan kegiatan terakhir yang bisa kulakukan dengan Ibu. Tak ada lagi dan tak akan pernah bisa kulakukan lagi setelah itu. Saat itu, keadaan jalan memang sangat lengang. Aku berjalan jauh mendahului Ibu, tanpa diduga mobil Honda Jazz berwarna putih melaju s
Pagi itu jam di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, aku sudah sibuk pergi ke ruang guru. Lalu berakhir dengan membawa bertumpuk-tumpuk buku yang harus aku berikan pada Pak Bara. Sekitar tiga puluh buku lebih dan aku harus membawanya sendiri. Bisa kau bayangkan betapa repotnya, bukan?Tak ada kah seorang pun yang bisa menolongku membawa buku-buku ini?Di antara kesibukan, aku terusik dengan suara gaduh yang berasal dari halaman belakang sekolah yang baru saja kulewati dan tertutupi oleh deretan kelas. Tertarik. Aku pun pergi untuk melihat siapa yang sedang berbuat onar di saat koridor begitu sepi.“Tangkep tas gue!” suara berat seseorang panik. Aku menatapnya lekat. Baiklah rupanya sedang ada seseorang yang mulai merasa bosan di sekolah dan memilih hengkang sebelum jam pelajaran berakhir.Kutarik tali tas yang hendak ia lemparkan, sebelumnya aku meletakan buku-buku menyebalkan yang kubawa terlebih dahulu di lantai.“Siapa lo?” katanya tegas. Ada kilatan am
Pagi ini aku begitu cemas pergi ke sekolah. Semalaman setelah bermimpi buruk, aku tak bisa tidur. Dari jam dua belas malam aku terjaga hingga pagi. Menyebalkan memang, tapi aku takut jika mimpi itu kembali menghantui tidurku.Pagi itu kelas masih begitu sepi, hanya terlihat Satria yang entah mengapa tiba-tiba dia begitu rajin. Dia sedang membaca sebuah buku Biologi dengan serius. Aku melangkahkan kaki pelan, menghampirinya. “Tumben amat lo belajar, biasanya juga dateng-dateng langsung tidur di kelas.” Dia tersenyum sekilas. Lalu kembali membaca buku.“Sat, ada yang mau gue ceritain sama lo.”Satria menatapku, fokusnya langsung beralih padaku. Pelan dia berkata “apa?”Aku menghela nafas dalam, kuharap satria mampu menenangkanku dengan kata-kata bijaknya itu.“Gue mimpi buruk lagi. Le tahu,kan? Setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi lagi, bahkan lebih parah lagi kadang mimpi-mimpi gu
Suara kaca pecah mengusik ketenanganku malam ini. Terlihat Mbok Iroh berlari khawatir ke arahku, wajahnya pucat pasi, seperti telah melihat hantu."Non, i-itu.. itu.. ada yang ngelempar batu sampe kacanya pecah. Terus ada.... " kata Mbok Iroh terbata tak mampu melanjutkan perkataannya."Ada apa mbok?" tanyaku ikut merasakan ketakutan yang dirasakan Mbok Iroh." Non lihat sendiri saja." Katanya yang lantas bergegas pergi. Aku pun mengikuti kemana arah kakinya melangkah.Halaman depan rumahku benar-benar berantakan, banyak batu-batu kerikil yang memenuhi teras depan rumah. Lalu ada sebuah kertas yang membungkus sebuah batu, kertas itu terletak di bawah jendela yang kacanya sudah pecah. Aku memungutnya. Tersentak. Pantas saja Mbok Iroh ketakutan setelah melihat benda ini. Di setiap sudut kertas itu terdapat bercak kemerahan mirip dengan darah yang mengering, ketika aku membuka dan mengambil kertas itu bertuliskan'KAU HARUS MATI?!! KAU