Pandangan Gallen masih tertuju pada wanita di hadapannya.
Rasa sesak kembali menghimpit dada Alina, menyesakkan hingga ia nyaris tak bisa bernapas. Inilah hari yang paling ia takuti. Dan kini, ia harus menghadapinya, entah siap atau tidak.
Namun, bagaimana? Jika dia mengaku entah apa yang akan dilakukan Yasmin pada ayahnya ….
“Aku butuh uang.” Alina akhirnya menjawab pelan.
Gallen menjauh dari jangkauan Alina. Pria itu berdiri membelakanginya menghadap tirai. Satu tangannya di saku celana, sementara tangan yang lain memijat tulang hidungnya.
Alina memalingkan wajah, tak sanggup menatap punggung kokoh pria di depann
Alina sudah menarik napas dalam-dalam. Jika saja Carolline membuka pintu dan melihat mereka dalam posisi yang intim lagi, ia bisa salah paham. Bisa gawat kalau Carolline mengira Alina meninggalkannya hanya untuk bermesraan dengan Gallen.Untung saja, panggilan Belinda mengalihkan perhatian gadis itu. “Nona Carolline, ada panggilan dari ponsel Nona.” Begitulah suara Belinda yang terdengar oleh Gallen dan Alina. Tuas pintu kembali ke posisinya. Detik berikutnya mereka mendengar suara langkah yang menjauh. Darah Alina seketika kembali mengalir. Hanya saja jarak yang hanya sejengkal dengan tubuh Gallen tak bisa membuat dadanya tenang.“Gallen…,” Alina berbisik gugup. “Lepaskan aku.”Namun, Gallen tidak menjawab.Sebaliknya, pria itu justru mendekat. Tubuhnya condong ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa jari. Napas hangatnya menyapu pipi Alina, membuat bulu kuduknya meremang.Jantung Alina berdegup kencang, matanya membulat panik. Apa yang akan dilakukan pria ini?“Gallen...?” I
Gallen menurunkan ponselnya perlahan, jemarinya yang kokoh menyelipkan benda itu ke dalam saku jas hitamnya yang tampak rapi tanpa cela. Tatapan matanya jatuh pada Alina, menelusuri wajah perempuan itu dengan diam penuh arti. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Alina menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, pria itu mengulurkan tangan.Alina memandangnya dengan alis berkerut. “Kamu mau apa?” bisiknya, ragu.“Tanganmu,” balas Gallen pelan, datar, namun nadanya membuat Alina tak punya pilihan untuk menolak.Jantungnya berdetak lebih cepat. Meski tak memahami maksud Gallen, ia tetap mengulurkan tangan, membiarkannya menggenggam jemarinya. Cengkeramannya tidak kasar, namun juga tidak lembut. Tegas—seolah menyampaikan bahwa ia tak mau dibantah.Tanpa menjelaskan apa pun, Gallen menarik Alina menyusuri lorong sunyi hingga berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Dengan satu tangan, ia mendorong daun pintu, membuka ruangan itu. Di tengahnya, sebuah meja bundar telah ditata rapi. Piring,
“Maksud Kakak, masa lalu seperti apa?” Caroline mengangkat alis, senyumnya mengembang penuh rasa ingin tahu. Ia terkekeh pelan, lalu bersedekap sambil tetap menatap Alina lurus-lurus.“Kalau soal percintaan…” Caroline memiringkan kepala, suaranya merendah seolah sedang membocorkan rahasia penting. “Kakak tenang saja. Sepupuku itu belum pernah sekalipun menjalin hubungan dengan wanita.”Dia lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, menurunkan suaranya. “Aku sudah pernah bilang. Seluruh keluarga kami bahkan sempat yakin dia tidak tertarik sama perempuan.”Senyumnya melebar nakal. “Jadi, aku benar-benar penasaran, Kakak pakai jurus apa sampai beruang kutub itu bisa luluh?”Rasa hangat perlahan hinggap di pipi Alina. Kini kedua pipi wanita itu memerah seperti tomat. “Kamu ada-ada saja. Aku bertemu dengan dia hanya karena salah paham, dan tidak menyangka hubungan kami akan berlanjut sampai menikah,” ujar Alina seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Lalu sebelum Carolline bertanya balik
Suara kertak pintu mendadak membelah keheningan, terdengar nyaring ke segala penjuru.Jemari Alina sontak gemetar, beradu cepat dengan detak jantungnya saat ia buru-buru menyelipkan beberapa dokumen ke balik tumpukan berkas lain.Langkah sepatu kulit terdengar mantap menyusul di belakangnya.Gallen telah melangkah masuk. Sosok pria itu berdiri tegak di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada Alina yang tampak sibuk di sudut ruangan—berpura-pura mengatur isi lemari, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan kepanikan.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya, seraya berjalan mendekat.Alina menelan ludah. Ia cepat-cepat menutup pintu lemari dan berdiri, sebuah senyum tipis menyusul terbit.“Aku sedang mencari tempat untuk menyimpan alat-alat kecil ini,” ujarnya seraya menunjukkan beberapa benda di tangannya, “tapi semua lemari ternyata sudah penuh.”Alina berusaha menjaga wajahnya tetap netral, tetapi tatapan Gallen yang bergerak menyisir tubuhnya dari kepala hingga kaki.Sejenak
Caroline berdiri membeku di ambang pintu. Begitu juga dengan Belinda yang berdiri di belakang Caroline. Akan tetapi wanita paruh baya itu langsung menyisih ke sisi lain.Sementara Caroline, matanya membelalak, nyaris terjungkal bersama rahangnya. Gagang pintu di tangannya hampir terlepas—dan sepertinya begitu juga logikanya.Begitu menyadari apa yang baru saja dilihat, gadis itu refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan.Warna merah merambat cepat ke pipi Alina. Ia buru-buru menjauh, melepaskan diri dari pelukan Gallen dengan gerakan kikuk. Jantungnya berdentam keras seperti genderang perang. Ia bahkan belum sempat memproses sepenuhnya apa yang dikatakan Caroline.“Ya ampun! Kalian ini! Baru juga aku tinggal lima menit, sudah ada drama romantis,” ujar Caroline dari balik sela-sela jarinya. Suaranya geli, meski wajahnya masih disembunyikan.Alina menciut seperti tomat busuk di bawah matahari. Ia menggigit bibir dan melirik Gallen, berharap laki-laki itu akan membela atau setidaknya m
Alina menghirup udara dalam-dalam. Kedua tangannya masih mengepal di sisi tubuhnya. Ketidaknyamanan yang ia rasakan semakin menjadi. “Apa suamiku sedang berbaik hati menampung orang asing malam ini?” Nadanya datar. Tanpa ditanya, wajah dingin Alina sudah mengatakan bagaimana perasaannya. Napas Gallen menghela, seakan berat menyiapkan jawaban. “Caroline akan tinggal di sini.”Alina melongo. Namun, belum sempat ia berkomentar, Gallen lebih dulu mengurai lengan lentik Caroline dan menatap tajam gadis itu. “Cepat minta maaf!”Caroline mengikuti arah dagu Gallen. Perempuan berambut cokelat itu segera memamerkan barisan giginya yang rapi. Detik berikutnya merogoh sesuatu dari dalam tas sebelum berjalan ke arah Alina. “Kakak Ipar,” panggilnya pelan. Caroline mengitari meja dapur lalu mengistirahatkan langkah di samping Alina. Mendengar sebutan “Kakak Ipar” meluncur dari bibir Caroline, detik itu juga Alina melupakan darah yang bergolak dalam dirinya. “Kamu memanggilku apa?” tanyanya den