“Dia ini adalah tunanganku, Ai.” Aileen berniat mengejutkan pria yang dipacarinya selama sekian tahun dengan perasaan tak sabar ingin bertemu sang kekasih karena rindu. Namun, ternyata sesampainya di sana, ia justru disuguhi pemandangan mengejutkan. “Tunangan?” Awalnya Aileen menyangkal pemandangan mesra di hadapannya. Ia mengira wanita yang bersama Rio itu hanya teman kuliah Rio. Bukankah sudah biasa, terkadang teman juga bergandengan tangan, walau hanya sebatas teman. Sikap polosnya itu selalu membuatnya berpikiran positif dengan sang pacar tercinta. Namun, ternyata dugaan itu salah. “Siapa sih cewek culun ini?” ketus wanita di sebelah Rio sambil bergandengan tangan. Aileen berdiri dengan kebodohannya. Ya, dia telah dibodohi oleh Rio. Jadi, pria yang selama ini dia percaya selingkuh di belakangnya? “Dia pacarmu itu, Rio?” ujar wanita itu. Rio hanya diam sambil tak berani menatap wajah Aileen. “Bisa-bisanya cewek culun seperti ini kau jadikan pacar,” kata wanita
Pipi putihnya kelihatan pucat sekarang. Aileen menatap pantulan wajahnya dari kubangan air tempat ia berteduh. Hujan turun cukup lebat, aroma hujan bercampur asap knalpot kendaraan menusuk ke penciuman. Aileen berdiri dengan pandangan kosong, sambil menghela napas berat berusaha menghilangkan pikiran tentang kejadian memuakkan beberapa waktu lalu. “Aileen kau memang terlalu bodoh!” Gadis malang itu mengumpat menyaksikan kebodohan dirinya sendiri. Rasanya ingin memutar kembali waktu untuk menghajar laki-laki brengsek yang sudah membuat hatinya hancur. Namun semua tidak mungkin, semuanya telah terlanjur. Di saat hatinya sedang kacau, mobil melaju kencang hingga membuat genangan air mengenai dirinya. Aileen memejamkan mata, ia hanya ingin teriak sekuatnya. “Sialan!!” Aileen menarik napas panjang. “Kenapa aku sangat sial!!!” “Kenapa, Tuhan!!!” Seorang pria yang tak sengaja melihat pemandangan gadis berteriak di tengah hujan deras pun tersenyum, mungkin juga merasa terhibu
Aileen membaringkan tubuhnya di kasur. Ini hari kedua ia berada di kota, jauh dari kedua orang tuanya. Seharusnya saat ini ia sedang bersama Rio, tapi semuanya sudah berantakan. Rencana itu hanya menjadi kenangan pahit yang harus ia telan bersama pengkhianat bernama Rio. "Mama daritadi telepon," ucap Aileen saat melihat panggilan tak terjawab berulangkali dari sang mama. "Halo, Ma." Aileen menatap sapu tangan abu-abu yang tertinggal di dalam tasnya. Ia baru ingat, benda itu milik pria yang memberi tumpangan tadi. "Ai tadi tidak lihat mama telepon, maaf ya." Mamanya pasti cemas, apalagi selama ini Aileen tidak pernah cerita kalau ia berpacaran dengan seseorang yang ada di kota. "Ya, Aileen belum tau, tapi sementara Aileen akan kost di sini, Ma." Aileen terkejut saat mamanya bilang akan pindah ke kota untuk urusan bisnis. Mamanya jug bilang agar Aileen tidak perlu kost, ia bisa tinggal dengan mamanya. "Ah, begitu. Baik, Ma, atur saja." Aileen lelah, ia ingin memejamk
Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. "Halo, Ma." Aileen melotot. "Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..." Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama. "Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was. "Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi. Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu. "Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu. ** "Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio. "Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk
Aileen termenung di balkon apartemen sambil memikirkan penawaran dari Albani. Pria asing itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia ingin menolak tawaran pria itu, tapi setelah dipikir-pikir mungkin saja ini jalan dari Tuhan agar rasa sakitnya bisa terbalaskan. Namun, apa Tuhan merestui pernikahan kontrak, pikirnya ragu. Setelah nomor Rio kembali ia blokir, ia tak perlu cemas memikirkan telepon masuk dari laki-laki brengsek itu. Hanya saja, Aileen belum puas mengingat Rio sudah menguras tabungan miliknya. Ia ingin marah, tapi itu semua terjadi salah satunya karena kebodohan dia sendiri. Suara ponselnya berdering, mamanya menghubungi. "Halo, Ma." "Iya, Ai udah ketemu sama yang namanya Albani." Aileen menghela napas. Mamanya kedengaran tak sabar ingin tahu pendapatnya tentang pria itu. "Ya, menurut Ai sih lumayan." Aileen tidak tau harus berkata apa. Ia nyaris saja mengacaukan acara perkenalan itu karena emosi luar biasa. "Hem, mungkin kita harus saling kenal dulu, Ma. Ap
"Hei kau mengulanginya seolah-olah aku akan jatuh cinta padamu, begitu?" ucap Aileen. Ia mengibaskan tangannya sembari menggerutu. "Bagus, saya tenang sekarang. Kalau begitu, sekarang kau ceritakan sedikit saja tentang penyebab kau putus asa." Aileen terdiam. Ini pertama kalinya ada yang bertanya tentang perasaannya, deritanya, dan juga masalah yang ia hadapi. "Kau takkan paham, apalagi kau tidak percaya wanita," tukas Aileen. "Ini bagian dari perjanjian kita, jadi kau perlu cerita agar aku mudah membantu," terang Albani. "Begitu, ya." Albani menatap mata Aileen, di sana tampak jelas ada gurat kesedihan mendalam. "Katakan saja, aku mungkin takkan terlalu iba. Tapi aku bisa menganalisis cara apa yang tepat untuk digunakan sebagai alat balas dendam nantinya." Albani selalu saja mengatakan perkataan yang tajam, batin Aileen. Tapi dia tak peduli, perkataan kejam Albani itu lebih baik dibandingkan perkataan Rio yang manis tapi penuh dengan kebusukan. "Aku dibodohi ol
Gadis itu menatap cermin dengan mata lurus dan fokus. Namun sebenarnya hatinya sangat berisik, tangannya pun bergerak menunjukkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan hasilnya. Nampak wanita yang anggun dan juga memesona, sudah jelas itu bukan dia. Tapi seseorang muncul memanggil namanya, dan ia sadar pantulan di cermin itu benar dia. "Ai, kamu sudah selesai?" tanya mamanya. "Ma, ini benar-benar Ai?" sahut Aileen menampakkan ekspresi tidak percaya sama sekali. Ia menggeleng, menyentuh pipinya perlahan-lahan. "Pasti bukan." "Sayang, kau sangat cantik. Mama tau kau cantik sejak dulu," kata mamanya. Aileen hampir menangis, tapi ia secepatnya menghilangkan perasaan itu. Ia tak ingin makeup nya luntur. "Mama, jangan bicara begitu. Ai jadi sedih," ucap Aileen. Mamanya lalu memeluk Aileen, gadisnya yang beberapa menit lagi akan segera menjadi istri. "Terima kasih karena sudah mewujudkan keinginan terakhir papa, ya, Nak." Aileen tau dia tidak dirugikan jika menikah dengan A
Aileen menggeram, ia baru saja kelepasan. Semoga saja Lenka tidak langsung menyadari siapa dirinya. "Kau bilang apa barusan?" tanya Lenka dengan senyum sarkas. Ia dengar sedikit, tapi tidak terlalu jelas. "Ah, maaf. Terima kasih sudah datang." Aileen tersenyum tipis. Albani memegang tangan Aileen erat, ia memberikan isyarat dengan senyum ringan. "Kalian silakan nikmati pestanya," ucapnya pada Rio dan Lenka. Rio memperhatikan seksama wajah pengantin wanita di depan Lenka. Entah kenapa hatinya tersentuh saat menatap senyum wanita itu. "Boleh tau siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. Hal itu membuat Lenka kaget dan melotot. "Mau apa sih!" ketus Lenka. Albani sampai terbatuk karena tidak menyangka respon Rio terlalu cepat. Ini diluar prediksi, tapi justeru bagus. "Ah, maaf. Tapi saya hanya penasaran," kata Rio pelan. Albani menarik Aileen mendekat ke sisinya. "Panggil saja Haura," ucapnya. "H-Haura?" Rio sampai gagap. Aileen melirik Albani bingung. Kenapa Albani memakai na
Aileen tak peduli meskipun sikap Melani selama ia berada di rumah keluarga besar Albani tampak sangat frontal ketidaksukaannya. Berada beberapa hari saja di rumah itu membuat Aileen mempelajari banyak sekali karakter baru. Papa mertuanya yang sangat perhatian, tapi terkadang terkesan tidak peduli dengan privasi anaknya. Barusan saja Aileen melihat papa mertuanya memegang ponsel Albani, jangan-jangan waktu itu papa mertuanya juga yang mengganti foto profil Albani dan mengirimkan pesan singkat bernada mesra padanya. Namun Aileen tak ingin mengadukan hal itu pada Albani, kecuali nanti Albani merasa terganggu dan mengeluh tentang ponselnya. "Aileen, kau mau kemana?" tanya Martin pada menantunya. Pagi sekali Aileen sudah bersiap dengan dandanan rapi. "Saya mau pergi, Pa." "Pergi kemana dan dengan siapa?" "Saya pergi dengan Al kok, Pa." "Al? Mana Al nya, Ai?" "Ada di luar sudah menunggu, kalau begitu saya permisi ya, Pa.""Oh baiklah, hati-hati ya, Aileen." "Iya, Pa." Seperti itula
"Al, akhirnya kau pulang." Aileen sangat berseri-seri tak seperti biasanya. Albani sampai ikut tersenyum melihat senyuman Aileen yang menyambutnya di depan pintu kamar. "Ayo masuk Al!" ajaknya menarik tangan Albani cepat. "Em, ada apa?" Albani lalu berdiri di depan Aileen.Aileen membantu Albani membuka dasi, ia pelan-pelan mengendurkannya. Albani tersentak, jelas sekali ini bukan kebiasaan Aileen. Tapi anehnya ia tak merasa risih, Albani malah membiarkan apa pun yang ingin Aileen lakukan. "Sudah, kau butuh ku bantu buka sepatu?" Belum sampai menjawab, Aileen sudah lebih dulu membukakan sepatu Albani. "Sudah, aku sudah buka dasi dan sepatumu. Sekarang kau duduk." Albani pun duduk. "Em, terima kasih, tapi tumben sekali. Kau mau bicara apa?" "Al, aku punya permintaan," ucap Aileen. "Permintaan?" "Iya, kumohon agar kau tidak menolaknya." "Baiklah, coba kau beritahu saya." "Al, aku ingin punya perusahaan." Albani terdiam. Jadi, itu permintaan yang Aileen maksud. Tapi untuk apa t
"Kenapa kalian sangat kaku." Melani muncul saat Albani hendak berpamitan pada Aileen untuk berangkat ke kantor. "Mama kenapa masih di sini, bukannya tadi mau ke kantor?" "Ya, ini mau ke kantor. Bagaimana kalau kau antar mama ke kantor, Al?" "Maaf tapi saya harus buru-buru," jawab Albani. Melani menatap Aileen sinis. "Kau tidak mesra sama sekali dengannya, ya. Padahal dulu waktu kau berpacaran dengan Marsha, kau sangat mesra sekali dengannya.""Marsha," gumam Aileen. Itu mungkin nama mantan kekasih Albani, tapi untuk apa Melani membahasnya sekarang.Albani tak menyangka kalau mamanya akan tiba-tiba membahas orang itu. "Untuk apa mama membahas orang yang tak jelas!" "Tak jelas katamu?" "Ya, dia bukan siapa-siapa." Albani lalu mendekati Aileen, ia mengecup keningnya. "Saya berangkat ya."Aileen mengerjap merasakan bibir Albani menyentuh keningnya barusan. "Em, hati-hati." Albani mengusap puncak kepala Aileen lembut. "Kalau ada apa-apa, kau bisa telepon kapanpun." "Ya, baiklah."
Melani menunggu Albani dan istrinya di meja makan untuk sarapan pagi. Namun sudah pukul tujuh kedua orang itu belum juga keluar kamar. Martin muncul, ia baru saja selesai berolahraga dan terdiam sebentar melihat wajah sang istri yang merengut. "Kau kenapa, Mel?" tanya Martin. Sudah lama sekali Martin tak memanggilnya dengan sapaan itu. Melani pun makin cemberut. "Kenapa kau tanya, tidak perlu ingin tau!" Martin lalu duduk sambil menuangkan air putih ke gelas. "Kau menunggu Al dan istrinya?" "Menunggu Al!" "Kau tak boleh begitu, kau sendiri yang meminta istri Al untuk tinggal di sini satu bulan." "Itu karena aku ingin Al di sini, bukan istrinya!" Saat itu Aileen baru saja turun, dan ia mendengar semuanya. Martin melirik ke atas, ia lalu berdiri. "Kalian sudah bangun, padahal tidur lagi kalau masih mengantuk. Ini hari libur, kan." Melani menghampiri Albani sambil antusias. "Sudah mama buatkan kopi tanpa gula kesukaanmu." Aileen menunduk, ia tau mama mertuanya itu tidak menyuka
"Mengapa kita harus menginap di sini, Al?" Aileen bukannya tidak mau menginap di rumah orang tua Albani, hanya saja ia merasa tidak enak jika harus tidur berdua lagi dengan Albani dalam satu ranjang. "Ini permintaan mama," kata Al. "Mamamu meminta kita menginap?" Tentu saja Aileen tidak langsung percaya, apalagi sikap Melani yang jelas menunjukkan hal sebaliknya. Melani tidak menyukainya, itu yang Aileen tangkap dari sikapnya. "Ya, mama bilang kita setidaknya tinggal satu bulan." "SATU BULAN?" sahut Aileen amat terkejut. "Kau bercanda, kan, Al?" Albani menghela napas. "Kau keberatan, ya?" Tentu saja, batin Aileen. Apalagi itu tandanya mereka harus tidur satu kamar selama satu bulan lamanya. Satu hari saja sangat menyiksa, apalagi satu bulan. "Saya tau kau begini karena melihat sikap mama yang kurang menyenangkan. Tapi kau tenang saja, mama kali ini yang meminta kita tinggal, jadi kau tak perlu mencemaskan apa-apa." Aileen mengerti, sebenarnya ia pun sama sekali tidak masa
"Duduklah," ucap Albani. Aileen pun duduk setelah Albani menarik kursi untuknya. "Al, kau tampak sempurna." Melani membuka obrolan, tidak menyapa Aileen, ia malah memuji putranya sendiri. "Selamat malam, Tante," ujar Aileen. "Apa? Tante?" Melani terkekeh. "Aileen, panggil kami dengan sebutan papa dan mama, karena kami orang tuamu," ucap Martin pada menantunya. "Tidak, kau saja yang dipanggil papa. Aku tidak sudi dipanggil mama olehnya!" tegas Melani. "Hentikan sikap kekanakanmu." Martin mengingatkan istrinya agar tidak berlebihan. "Kenapa? Kau bilang aku boleh menyambut tamu, beginilah caraku menyambutnya." Melani sangat ketus. Albani menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Bersikaplah elegan, kalian tidak hadir saat saya menikah. Sekarang, di depan kalian adalah anggota keluarga baru yang juga dari keluarga baru. Tidak sepantasnya kalian berdebat dan bersikap seenaknya pada istri saya." Aileen tidak mengira jika Albani akan mengatakan hal itu di depan kedua
"Halo, tadi kau menelepon?" tanya Albani yang sedang diperjalanan menuju rumah. Albani tersentak mendengar penjelasan Aileen, ia pun segera mematikan telepon untuk memeriksa apa benar yang Aileen katakan. Ia kaget begitu melihat foto profil chat-nya berubah. "Siapa yang mengganti fotonya?" gumamnya bingung. Albani pun segera menghapus karena tidak ingin Aileen salah paham. "Halo, Aileen. Mengenai makan malam memang benar, malam ini ada acara makan malam di rumah papa. Tapi kalau foto profil, maaf itu jelas bukan saya yang mengubahnya. Begitu juga untuk chat yang dikirimkan padamu, itu bukan saya yang mengirim," jelas Albani. Aileen sekarang mengerti, jadi bukan Albani yang melakukannya sendiri. Lantas siapa, batin Aileen. Setelah menjelaskan, Albani mematikan telepon dengan alasan sedang diperjalanan menuju rumah. Albani meminta agar Aileen segera bersiap. "Jadi siapa yang mengirimkan pesan itu padaku, ya." Aileen pun heran sambil memikirkan siapa orangnya. Tapi apaka
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu