<span;>Disaat sedang bingung di tempat, tiba-tiba seseorang menyapa dari arah belakang membuat Mlathi langsung berbalik dengan terkejut. Kemudian menghela napas lega ketika melihat wanita paruh baya yang mengenakan seragam pembantu yang sering ia lihat di gambar-gambar cerita dongeng istana. Wanita paruh baya itu tersenyum sembari sedikit membungkuk.
<span;>"Maaf, Nyonya. Tuan Eric memerintahkan kepada saya untuk membawa Nyonya ke kamar. Mari ikut saya," ujarnya dengan lembut sembari mengambil alih tas dari genggaman tangan Mlathi.<span;>"Eh, tidak usah. Saya bisa sendiri."<span;>"Tidak apa-apa Nyonya, ini sudah menjadi bagian tugas kami." Mlathi terpaksa menyerah dan membiarkan wanita itu mengambil tasnya. Lalu mengikuti langkah wanita itu.<span;>Dalam perjalanan melewati anak tangga yang berwarna keemasan itu, Mlathi tiada henti-hentinya terus memandang takjub sekitarnya. Tanpa rasa malu, ia bahkan be<span;>Setelah memakai pakaian hangat yang diberikan Eric padanya. Mlathi segera berlari menarik selimut tebal di atas kasur lalu melilitkan di tubuhnya, ia pun beranjak ke atas sofa yang begitu empuk. Melihat hal itu membuat Eric sedikit tidak suka karena mengambil barangnya tanpa izin. <span;>"Hey, itu selimutku. Apa aku memberimu izin untuk memakainya?" cercah Eric geram. <span;>Dengan bibir gemetaran, Mlathi berusaha menjawab ucapan Eric. "Hm, aku lagi tidak ingin berdebat. Ini hanya selimutkan, kenapa kau mempermasalahkannya. Tenang saja aku akan mencucinya setelah ini." <span;>Mlathi semakin mempererat lilitan selimutnya, air di shower itu benar-benar sangat dingin. Ia hampir saja mati kedinginan jika Eric tidak tepat waktu mematikannya. Eric berdecak sebal, ingin rasanya ia merebut kembali selimut itu darinya. Tapi melihat Mlathi sangat kedinginan hati nuraninya berkata lain. Hingga membuat ia ke meja nakas dan menel
"Benarkah?" Mlathi langsung mendongak dengan wajah berseri, ia sangat senang ketika keinginannya langsung di iyakan oleh Eric. Bahkan ia tidak lagi memikirkan urat malu yang beberapa saat menganggu dirinya. Saat ini, uang itu lebih penting dari apapun. Eric berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya dengan alis satu terangkat. Ia begitu kagum dengan keterbukaan Mlathi, bahkan wanita itu sama sekali tidak ada rasa malu sedikit pun. Mengingat hari di mana ia mengatakan bahwa tidak semua bisa ditukarkan dengan uang, membuat Eric begitu mual. Nyatanya hari ini, ia bahkan bertingkah sebaliknya. "Tentu saja, lima puluh juta adalah jumlah yang dikit untukku." "Terima kasih, kau baik sekali," girang Mlathi tanpa bisa menyembunyikan wajah senangnya. "Kau salah," sela Eric cepat membuat Mlathi mengerutkan dahi. "Maksudmu?" Eric kambali berbalik menghadap cermin besar di hadapannya sembari merapikan ikatan dasinya. Ia menyeringai, ada ide mena
Aroma lezat dari makanan yang tersusun rapi di atas meja persegi panjang itu menguar ke seluruh ruangan. Dengan satu hembusan napas panjang, Mlathi segera melepaskan celemek yang sedari tadi menggantung di leher panjangnya. Ia tersenyum bangga dengan masakan yang ia buat, hampir dua jam lamanya ia membuat sepuluh menu sekaligus dengan satu bahan utama yaitu daging babi. Grace dan pelayan lainnya menganga tidak percaya bahkan tidak banyak dari mereka yang kesusahan meneguk salivanya. "Nyonya, apakah Anda akan menghabiskan semua menu ini?" tanya Grace masih dengan raut tidak percaya. Mlathi menggeleng. "Tentu saja tidak, Grace. Perutku kecil mana muat memasukkan makanan sebanyak ini meski aku sangat kelaparan." "Lalu ini?" Mlathi menepuk bahu Grace dengan seringaiannya seakan tidak mengkhawatirkan makanan itu. "Kau tenang saja, di rumah ini bukan hanya ada aku kan. Para pelayan dan pengawal di sini kan banyak, pastinya semua
"Bagaimana, enak?" "Makanan ini lebih enak dari restoran bintang lima, makanan apa namanya ini? Aneh tapi sangat enak." Tentu saja kalimat pujian itu terlontar di dalam hati, hingga membuat Mlathi terus menatap Eric sembari menunggu tanggapannya mengenai makanan itu. Dilihat dari raut Eric, ada kemungkinan baik tentang masakannya. "Hm, bagaimana. Rasanya enak kan?" Lamunan Eric langsung terbuyar saat suara lembut Mlathi kembali menyapa. Eric berusaha senormal mungkin seolah semuanya biasa saja. Ia kembali meletakkan sendok itu dan memperbaiki duduknya. "Mimpi! Biasa saja, tidak ada yang istimewa dari makanan ini. Sudah bentuknya aneh, rasanya tidak karuan lagi." Kalimat yang bertimbang balik dari kata hatinya, membuat Mlathi mengerucutkan bibirnya 99 derajat celcius sembari menarik punggungnya menyentuh senderan kursi. 'Benarkah? Tapi Dogge sangat menyukainya?' bisik Mlathi yang terus merengut. Sembari ekor mata
"Seriusan!" Satu teriakan melengking terdengar saat Mlathi menyelesaikan ceritanya beberapa minggu terakhir. Tentang bagaimana ia hamil, dan berakhir ke pernikahan. "Ssstt," desihan halus dari bibir Mlathi sembari telunjuknya terangkat ke udara, membuat wanita di depannya langsung mengatupkan bibir. "Sorry, sorry. Soalnya aku kaget banget, sekali ketemu kamu udah hamil. Pantesan kamu susah banget aku hubungi, aku sempat khawatir lo sama kamu." "Maaf yah, Rin. Waktu itu aku frustasi banget sama nasib aku. Jadi aku gak mikirin yang lain." Karin langsung menggelenh sembari memegang kedua tangan Mlathi. Ada rasa kasihan melihat teman baiknya mengalami hal seperti itu, tapi ia juga senang karena Mlathi baik-baik saja dan laki-laki bejat itu mau bertanggung jawab. Yah meski berakhir menyedihkan. "Udah Thi kamu gak salah kok, aku ngerti gimana perasaan kamu. Seharusnya aku yang minta maaf karena gak ada nemenin kamu wa
Setelah berhasil mengambil uang di kartu gold tadi berkat bantuan dari Karin. Kini Malthi kembali ke kafe untuk bertemu seseorang. Hampir setengah jam ia duduk dengan gelisah dan kedua tangannya terus menggenggam erat tas kunonya. Takut, jika tas itu di rampas seseorang. Ia tidak akan mungkin menghilangkan uang dengan nominal yang begitu banyak, jika itu terjadi maka hidupnya tidak akan tenang seumur hidup.Mlathi sengaja mengambil meja dekat pintu masuk yang bersebelahan dengan kaca yang menghadap ke luar jalanan agar ia bisa leluasa untuk melihat orang utusan ibu tirinya datang.Senyum tipis langsung terbit ketika orang yang ia tunggu akhirnya tiba."Sorry, gue telat. Soalnya macet banget. Mana uangnya?" ucap lelaki yang lebih tua dari Mlathi sembari duduk. Tanpa berpikir panjang lagi, Mlathi langsung mengambil uangnya dari dalam tas yang dibungkus ke dalam amplop kuning.Da
"Bu, kau sedang bersama siapa?""Siapa? Tidak ada, di sini aku sendiri. Kakakmu sedang di rumah karena banyak tugas dari kampus.""Tapi, tadi-""Ah sudahlah, ini sudah hampir tengah malam. Kau tidak mengantuk apa? Setidaknya pikirkan aku, beberapa hari ini aku begitu repot mengurus Ayahmu seorang diri. Sekarang biarkan aku melanjutkan tidurku," potong Konah cepat dari seberang."Maaf, Bu. Merepotkanmu dan aku tidak bisa membantu," ucap Mlathi dengan nada sedih dan seketika langsung melupakan kecurigaannya beberapa detik lalu."Baiklah, baiklah. Kau cukup membantuku dengan mematikan telpon ini, aku akan menghubungimu lagi jika terjadi sesuatu.""Baik, Bu. Selamat malam."Tidak ada balasan lagi dari seberang, hanya ada suara nyaring pertanda bahwa telpon telah dimatikan dari seberang. Mlathi mengeng
Pintu utama terbuka hingga menampilkan sesosok lelaki tegap dan wanita yang mengikuti dari belakang. Melihat hal itu, membuat Mlathi langsung berjalan menghampiri Eric untuk bertanya. Ia sangat khawatir akan kesehatan Dogge, sejak kepergian Eric ke rumah sakit tadi. Ia terus-terusan mondar mandir tidak karuan karena terlalu cemas."Bagaimana? Apakah Dogge baik-baik saja?"Tanpa memedulikan kemarahan Eric tadi, Mlathi tetap saja bertanya. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Dogge."Grace, cepat bawa Dogge ke kamarnya dan segera beri dia obat.""Baik, Tuan."Grace langsung mengambil alih Dogge dan membawanya ke kamar. Mlathi yang terus tidak tenang, hendak melangkah mengikuti Grace untuk melihat kondisi Dogge."Berhenti!" Suara bariton Eric langsung menghentikan langkah Mlathi. Wanita itu kembali berbalik.