Setelah berhasil mengambil uang di kartu gold tadi berkat bantuan dari Karin. Kini Malthi kembali ke kafe untuk bertemu seseorang. Hampir setengah jam ia duduk dengan gelisah dan kedua tangannya terus menggenggam erat tas kunonya. Takut, jika tas itu di rampas seseorang. Ia tidak akan mungkin menghilangkan uang dengan nominal yang begitu banyak, jika itu terjadi maka hidupnya tidak akan tenang seumur hidup.
Mlathi sengaja mengambil meja dekat pintu masuk yang bersebelahan dengan kaca yang menghadap ke luar jalanan agar ia bisa leluasa untuk melihat orang utusan ibu tirinya datang.
Senyum tipis langsung terbit ketika orang yang ia tunggu akhirnya tiba.
"Sorry, gue telat. Soalnya macet banget. Mana uangnya?" ucap lelaki yang lebih tua dari Mlathi sembari duduk. Tanpa berpikir panjang lagi, Mlathi langsung mengambil uangnya dari dalam tas yang dibungkus ke dalam amplop kuning.
Da
"Bu, kau sedang bersama siapa?""Siapa? Tidak ada, di sini aku sendiri. Kakakmu sedang di rumah karena banyak tugas dari kampus.""Tapi, tadi-""Ah sudahlah, ini sudah hampir tengah malam. Kau tidak mengantuk apa? Setidaknya pikirkan aku, beberapa hari ini aku begitu repot mengurus Ayahmu seorang diri. Sekarang biarkan aku melanjutkan tidurku," potong Konah cepat dari seberang."Maaf, Bu. Merepotkanmu dan aku tidak bisa membantu," ucap Mlathi dengan nada sedih dan seketika langsung melupakan kecurigaannya beberapa detik lalu."Baiklah, baiklah. Kau cukup membantuku dengan mematikan telpon ini, aku akan menghubungimu lagi jika terjadi sesuatu.""Baik, Bu. Selamat malam."Tidak ada balasan lagi dari seberang, hanya ada suara nyaring pertanda bahwa telpon telah dimatikan dari seberang. Mlathi mengeng
Pintu utama terbuka hingga menampilkan sesosok lelaki tegap dan wanita yang mengikuti dari belakang. Melihat hal itu, membuat Mlathi langsung berjalan menghampiri Eric untuk bertanya. Ia sangat khawatir akan kesehatan Dogge, sejak kepergian Eric ke rumah sakit tadi. Ia terus-terusan mondar mandir tidak karuan karena terlalu cemas."Bagaimana? Apakah Dogge baik-baik saja?"Tanpa memedulikan kemarahan Eric tadi, Mlathi tetap saja bertanya. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Dogge."Grace, cepat bawa Dogge ke kamarnya dan segera beri dia obat.""Baik, Tuan."Grace langsung mengambil alih Dogge dan membawanya ke kamar. Mlathi yang terus tidak tenang, hendak melangkah mengikuti Grace untuk melihat kondisi Dogge."Berhenti!" Suara bariton Eric langsung menghentikan langkah Mlathi. Wanita itu kembali berbalik.
Setelah memberi makan Dogge dan menidurkannya, Mlathi langsung naik ke lantai atas untuk membersihkan diri sebelum tidur. Baru satu langkah masuk ke dalam kamar, suara knop pintu di kamar mandi berputar dan daun pintu perlahan mengayun membuka hingga menampilkan sesosok pria bertelanjang dada. Mlathi langsung menjerit sembari menutupi matanya dengan menggunakan kedua tangan. Hingga membuat Eric terkejut dan ikut berteriak tapi hanya sebentar. Sebelum Mlathi berhasil melangkah keluar, Eric telah lebih dulu menarik lengan Mlathi dan menutup pintu lalu menguncinya. Karena tarikan yang cukup kuat, hingga membuat Mlathi menubruk dada bidang yang basah itu. Jarak mereka cukup dekat, dan itu berhasil menimbulkan detak jantung Mlathi berdebar kencang. "Apa yang kau lakukan?" tanya Mlathi yang kembali menutupi matanya, karena tadi sempat melihat otot dada itu. "Aku? Tentu saja mandi." "Hm, bu-bukan itu. Maksudku, kenapa kau menarikk
Hari pertama setelah tidur bersama. Setelah ritual pembersihan diri di kamar mandi, Mlathi melangkah keluar dari kamar mandi. Dan pertama kali yang ia lihat adalah Eric yang sedang bermain ponsel di atas kasurnya. Lagi, pikiran jelek Mlathi bermain di otaknya membuat ia berkali-kali meneguuk salivanya dengan susah payah. "Mlathi, cukup kemarin malam saja kau bertingkah keterlaluan dan tidak lagi untuk malam ini dan seterusnya," gumamnya memperingatkan diri lalu segera melangkah ke sofa, tempat di mana ia tidur selama tinggal di rumah Eric kecuali tadi malam. Sepertinya Eric tidak menyadari keberadaan Mlathi ketika lelaki itu terus sibuk bermain ponselnya tanpa sedikit pun menoleh. Mlathi duduk agak gelisah, sekali-kali ia mencuri pandang ke arah kasur sembari menggigit bibir bawahnya. Keinginannya untuk kembali memeluk tubuh Eric terus menggebu. Kejadian tadi malam terus terngiang di benaknya, dan itu membuat ia sedikit tidak nyaman.
Suasana di meja makan pagi itu begitu senyap, hanya suara dentingan sendok ke piring yang terdengar. Sesekali Mlathi mencuri pandang ke arah Eric yang menampilkan wajah datar. Ia tidak berani membuka pembicaraan karena masalah tadi malam. Apalagi tadi setelah bangun tidur, Eric terus menatap tidak suka ke arahnya. Meski tidak berkata apapun, tentu saja Mlathi tahu bahwa Eric sedang marah padanya. "Hm, apa kau mau nambah? Aku ambilkan yah," ucap Mlathi akhirnya, suaranya terdengar serak karena sedari tadi terus diam. "Tidak!" Suara tegas Eric menghentikan tangan Mlathi yang hendak memasukkan tumis sayur ke dalam piring Eric. "Ahh ... baiklah untukku saja." Mlathi sedikit kecewa ketika mendengar penolakan dari Eric. Entah kenapa akhir-akhir ini emosinya sangat susah dikendalikan. Eric sama sekali tidak menoleh. Jangankan menoleh, melirik saja tidak. "Hm, apa kau marah?" Mlathi memberanikan diri untuk bertanya. Ia
"Tony, segera panggilkan Dokter Fani ke ruanganku!" perintah Eric keluar dari lift menuju ruangannya. Tony terus mengekor dan membukakan pintu untuk Eric setelah sampai di depan ruangannya. "Tuan, hari ini Dokter Fani memiliki banyak pasien. Jadi, jika Anda ingin bertemu, harap membuat janji terlebih dahulu." Kalimat Tony mendapatkan tatapan tajam bak elang, membuat lelaki berkaca mata minus itu seketika menunduk. "Aku tidak pernah membuat janji pada siapa pun jika ingin bertemu, jangan membuatku kembali mengulang kalimatku!" sergah Eric penuh emosi, kepalanya begitu pusing, dan mata panda sudah melingkar di kedua matanya akibat tidak bisa tidur tadi malam hingga pukul tiga pagi. "Maaf, Tuan. Segera saya panggilkan." Tony langsung berjalan cepat untuk menunaikan perintah dari Eric. Tidak butuh waktu satu jam, Dokter Fani telah berada di hadapannya. Siapa yang berani menolak perintah dari Eric jika bukan orang it
Sudah dua hari, Mlathi tidak lagi menunjukkan sikap anehnya. Ia lebih pendiam dari biasanya, setiap Eric berusaha membuat Mlathi kesal. Wanita itu tidak pernah mempermasalahkannya dan bahkan mengacuhkan.Seharusnya senang, kan?Lalu kenapa Eric menjadi pusing sendiri memikirkannya? Dan selama dua hari itu juga ia sering tidak konsen dengan pekerjaannya lantaran mengantuk."Tuan, apakah Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda butuh tidur." Tony menegur dengan prihatin. Lingkaran hitam sangat jelas di bawah matanya."Jika itu bisa, aku pasti sekarang sudah tidur dengan nyaman di rumah. Tapi ... ah sudahlah."Eric berdecak, matanya sangat berat. Tapi saat ia berada di atas kasur dan bersiap tidur, entah sihir dari mana, matanya sudah tidak ingin terpejam lagi."Apa perlu menghubungi Dokter Andre, Tuan?" tanya Tony lagi, mungkin T
"Tuan, laporan bulan ini sudah saya rangkum dalam satu berkas ini."Eric hanya mengangguk lalu mulai membaca setiap kata di dalamnya. Sedang Tony membaca berkas lain."Apakah produk yang baru saja kita luncur beberapa bulan lalu mengalami penurunan?" tanya Eric yang masih tidak mengalihkan perhatiannya dari berkas itu."Hm sejauh ini masih belum Tuan. Bahkan banyak toko-toko besar seperti mall masih memesan dalam jumlah banyak.""Bagus, terus perhatikan untuk menambah kualitasnya. Jika mengalami hal buruk, segera buatkan laporan.""Baik, Tuan."Mlathi yang berada di dapur, geleng-geleng kepala ketika memperhatikan dua pria di ruang tamu itu. Mereka begitu antusias, benar-benar penggila pekerjaan. Sesuatu yang terlalu juga tidak baik, kan?"Grace, apa dia tidak bosan terus bersama dengan berkas-ber