"Tony, segera panggilkan Dokter Fani ke ruanganku!" perintah Eric keluar dari lift menuju ruangannya.
Tony terus mengekor dan membukakan pintu untuk Eric setelah sampai di depan ruangannya."Tuan, hari ini Dokter Fani memiliki banyak pasien. Jadi, jika Anda ingin bertemu, harap membuat janji terlebih dahulu."Kalimat Tony mendapatkan tatapan tajam bak elang, membuat lelaki berkaca mata minus itu seketika menunduk."Aku tidak pernah membuat janji pada siapa pun jika ingin bertemu, jangan membuatku kembali mengulang kalimatku!" sergah Eric penuh emosi, kepalanya begitu pusing, dan mata panda sudah melingkar di kedua matanya akibat tidak bisa tidur tadi malam hingga pukul tiga pagi."Maaf, Tuan. Segera saya panggilkan."Tony langsung berjalan cepat untuk menunaikan perintah dari Eric. Tidak butuh waktu satu jam, Dokter Fani telah berada di hadapannya. Siapa yang berani menolak perintah dari Eric jika bukan orang itSudah dua hari, Mlathi tidak lagi menunjukkan sikap anehnya. Ia lebih pendiam dari biasanya, setiap Eric berusaha membuat Mlathi kesal. Wanita itu tidak pernah mempermasalahkannya dan bahkan mengacuhkan.Seharusnya senang, kan?Lalu kenapa Eric menjadi pusing sendiri memikirkannya? Dan selama dua hari itu juga ia sering tidak konsen dengan pekerjaannya lantaran mengantuk."Tuan, apakah Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda butuh tidur." Tony menegur dengan prihatin. Lingkaran hitam sangat jelas di bawah matanya."Jika itu bisa, aku pasti sekarang sudah tidur dengan nyaman di rumah. Tapi ... ah sudahlah."Eric berdecak, matanya sangat berat. Tapi saat ia berada di atas kasur dan bersiap tidur, entah sihir dari mana, matanya sudah tidak ingin terpejam lagi."Apa perlu menghubungi Dokter Andre, Tuan?" tanya Tony lagi, mungkin T
"Tuan, laporan bulan ini sudah saya rangkum dalam satu berkas ini."Eric hanya mengangguk lalu mulai membaca setiap kata di dalamnya. Sedang Tony membaca berkas lain."Apakah produk yang baru saja kita luncur beberapa bulan lalu mengalami penurunan?" tanya Eric yang masih tidak mengalihkan perhatiannya dari berkas itu."Hm sejauh ini masih belum Tuan. Bahkan banyak toko-toko besar seperti mall masih memesan dalam jumlah banyak.""Bagus, terus perhatikan untuk menambah kualitasnya. Jika mengalami hal buruk, segera buatkan laporan.""Baik, Tuan."Mlathi yang berada di dapur, geleng-geleng kepala ketika memperhatikan dua pria di ruang tamu itu. Mereka begitu antusias, benar-benar penggila pekerjaan. Sesuatu yang terlalu juga tidak baik, kan?"Grace, apa dia tidak bosan terus bersama dengan berkas-ber
<span;> "Kau sudah baikan?" tanya Eric ketika Mlathi keluar dari kamar dan kini telah duduk di meja makan. <span;>Mlathi mengangguk sembari tersenyum tipis. "Lama di kamar membuat tubuhku semakin terasa sakit, jadi jangan larang aku untuk melakukan sesuatu selain berbaring," jawab Mlathi. <span;>"Kenapa begitu? Seharusnya kau berterima kasih padaku karena peduli pada kesehatanmu." Eric tidak terima dengan perkataan Mlathi. <span;>Mlathi memutar bola mata malas sembari menghela napas berat. <span;>"Sudah kuduga, dia baik padaku hanya untuk dipuji," gumam Mlathi sembari memalingkan wajahnya. <span;>"Kau mengatakan sesuatu?" <span;>"Hah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa makanan ini begitu lezat, aku ingin menghabiskannya," cengir Mlathi yang membuat Eric menaikkan alisnya. <span;>"Hm, bagus. Aku menyuruh pelayan untuk mulai sekarang memasakkan makanan yan
Siang ini, sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju dengan kecepatan sedang. Berjalan di tengah keramaian dan kebisingan kota jakarta, lumayan padat oleh pengendara lainnya.Eric yang hanya menatap lurus ke luar jendela tanpa memperhatikan keramaian orang-orang di luar sana. Pikirannya hanya tertuju pada sebuah pesan yang ada di ponsel Mlathi tadi malam, bertanya-tanya apa sebenarnya yang diinginkan oleh wanita itu.Tangannya seketika terkepal kuat saat ingatannya kembali pada hari di mana ia melihat Mlathi memberikan segepok uang kepada seorang pria. Entah apa hubungan mereka? Tapi, itu jelas membangkitkan rasa jengkel di hati Eric."Apa sebenarnya yang ia inginkan?" gumam Eric dengan gigi bergesek sembari melemparkan bogemnya ke kursi yang ia duduki.Gumamannya terhenti ketika kedua matanya menatap punggung seorang wanita yang tidak asing di matanya. Wanita itu hendak memasu
"Grace, di mana Eric?" tanya Mlathi ketika turun dan tidak melihat Eric di mana pun. "Tuan sudah berangkat setengah jam yang lalu?" "Apa dia sudah makan?" Grace menggeleng yang membuat Mlathi menghela napas berat. Ada apa dengannya? Kenapa begitu marah dan terus menyebutkan pria? "Nyonya, kenapa Anda turun? Apa perut Anda tidak sakit lagi?" Pertanyaan dari Grace langsung membuyarkan pikiran Mlathi. "Tidak, sepertinya sudah membaik. Jangan khawatir, aku akan menjaganya dengan baik. Lagi pula aku sudah berjanji padanya," ucap Mlathi ketika ingat saat Eric begitu khawatir akan keselamatan anaknya. "Nyonya, kemarin malam. Tuan keluar dari kamar dengan raut marah, dan terus berada di ruang kerja hingga pagi." "Benarkah?" tanya Mlathi sembari mengkerut, berpikir apa sebenarnya yang terjadi padanya. Bahkan Eric tidak peduli lagi ketika ia kesakitan, tidak seperti beberapa hari lalu saat ia mual
Setelah menimang begitu lama hingga akhirnya ia menerima tawaran itu. Dan malam ini adalah hari pertama ia bekerja. Masalah baru kembali muncul, sekarang bagaimana caranya kuluar dari rumah ini tanpa sepengetahuan dari Eric. Mlathi terus berjalan dengan gelisah sembari memainkan jari jemarinya, hingga kini ia telah berdiri di depan pintu kamar Eric. Ia menarik napas dalam, setelah itu tangannya mengayun membuka daun pintu. Sreeettt. Mlathi langsung termundur ke belakang karena begitu kaget ketika melihat sesosok tubuh tegap dengan balutan jas biru dongker telah berdiri di dekat pintu. Ia terus mengusap dadanya untuk mengendur keterkejutan sembari mengambil napas sebanyak-banyaknya. "Kau mengagetkan saja." Eric hanya berwajah datar melihat sosok wanita di depannya. Ia bahkan sama sekali tidak memiliki mood untuk bicara atau sekedar membalas ucapannya. Mungkin karena terlalu kecewa. Tunggu saat ia memiliki waktu untuk memperg
"Kak Rossa."Wanita yang dipanggil Rossa itu kini sedikit terkejut melihat Mlathi di sana. Ditambah dengan pakaian yang ia kenakan, sungguh sangat tidak disangka."Mlathi, kau ...." Rossa menatap penampilan Mlathi dari atas hingga ke bawah dengan tatapan mengejek."Jadi ini pekerjaanmu di jakarta. Tidak disangka yah, kau rela menjatuhkan harga dirimu demi uang. Anak yang polos tiba-tiba menjadi begitu liar," ejek Rossa yang membuat Mlathi hanya menunduk."Rossa siapa dia?" tanya wanita yang ada di sampingnya."Dia, bukan siapa-siapa. Hanya tetangga miskin."Mlathi sedih mendengar ucapan kasar dari Rossa yang tidak mengakui bahwa mereka adalah kakak beradik meski hanya tiri."Mari Kak, Mlathi antar ke dalam.""Sudah berapa banyak pria yang kau puaskan," ucap Rossa sengaja
"Carikan aku info tentang keluarga Mlathi, beritahu itu secara terperinci," perintah Eric pada Tony melalui ponselnya.Maniknya terus memandang ke arah Mlathi yang kini telah tertidur setelah makan bebarapa sendok sup hangat."Baik.""Tuan, ada kabar buruk dari kantor," lanjut Tony agak ragu. Tetapi bagaimana pun Eric harus tahu mengenai apapun masalah di perusahaan."Katakan.""Perusahaan kamboja yang baru saja bekerja sama dengan kita, tiba-tiba membatalkan kontrak. Besar kemungkinan itu karena video di pesta tadi saat Anda mengakui status Nyonya di depan banyak orang. Banyak komentar buruk dari netizen yang mengatakan bahwa Anda begitu tega kepada istri yang tengah mengandung menjadi pagar ayu." Tony menjelaskannya secara rinci tanpa menambah-nambahkan. Pasalnya ia juga ikut sedih akan komentar buruk dari netizen."Janga