Home / Romansa / Nikah Yuk, Gus! / Bantuan Kemanusiaan

Share

Bantuan Kemanusiaan

last update Last Updated: 2023-04-16 08:18:49

Konon alasannya sederhana, demi menghargai dan menghormati perasaan seorang ibu, maka Gus Farhan mulai mencampuri urusan orang lain yang bukan mahram-nya. Ia banyak belajar perihal kehidupan manusia yang memang diperintahkan saling bahu-membahu untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Bukan hal aneh jika tiba-tiba Gus Farhan menawarkan untuk mengantar pulang Bunda Shofi. 

“Sebaiknya ibu saya antar pulang, tidak baik mengendarai sepeda motor dalam keadaan bimbang seperti itu, sepeda motor ibu biar diantar oleh santri saya, bagaimana?” tawar Gus Farhan. 

Bunda memandang wajah Gus Farhan yang seputih awan, menelusuri ketulusannya lebih dalam, menjangkau pikiran yang tidak bisa ia tebak bahkan meluruhkan segenap ketidakmampuannya kepada Gus Farhan. Untuk kali itu pemuda putra Abah Aziz tersebut merupakan sandaran sekaligus harapan. 

“Baiklah Farhan, mungkin itu jalan yang tepat. Pikiran saya memang sedang semrawut, ibu mana yang akan tenang jika putrinya tidak pulang? Kamu pasti memahami hal itu.” 

Kemudian Gus Farhan mengambil mobil van milik pondok, menyuruh Bunda naik sementara sepeda motor dikendarai oleh santrinya yang diijinkan keluar. Abah Aziz yang baru saja selesai tadarus Al-Quran melongok dari jendela masjid, bertanya-tanya hendak kemana tujuan putranya menggunakan mobil. Jarang sekali Gus Farhan berpergian menggunakan mobil, ia lebih nyaman dan terbiasa menggunakan sepeda motor. 

“Apa yang terjadi? Apa ada santri yang sakit?” terka Abah Aziz sambil melangkah ke beranda masjid, menatap kepergian mobil keluar dari gapura pondok. 

Ketika menyetir mobil, Gus Farhan melihat CCTV pondok yang terpasang di atas gapura. Ia akan melacak sepulang dari rumah Shofi. 

“Terima kasih Farhan, maaf sangat merepotkanmu,” ucap Bunda di dalam mobil. 

Tubuhnya gemetar, air mata yang tidak diinginkan mengalir justru bertambah deras. Bunda perlahan mengeluarkan ponsel, menghubungi adik laki-laki Shofi yang bekerja di luar kota. Obrolan yang berlangsung itu terdengar oleh Gus Farhan. 

‘Agam, bisakah kamu pulang?’

‘Kak Shofi sudah tiga hari tidak pulang, dia tidak memberi kabar!’

‘Bunda tidak bisa tenang, tidak pernah sekalipun kakakmu pergi tanpa pamit.’

‘Bunda tidak berlebihan, Agam. Kakakmu hilang dan kontaknya tidak aktif.’

‘Sudah Bunda cari dan tanya kepada teman terdekat, tetapi tidak juga menemukan hasil.’

‘Apa? Menunggu sepekan, Agam Bunda serius tidak sedang bergurau!’

Gus Farhan memperhatikan aura wajah Bunda Shofi dari kaca depan, menghela napas panjang usai menarik sebuah kesimpulan. Shofi gadis ketus, tetapi memiliki latar belakang pola asuh baik dari orang tuanya. Ia membaca dengan jelas sebuah kepedulian yang tersurat dalam kasih sayang secara utuh, sebagaimana sikap Abah Aziz dan Umi. 

Selama di luar negeri, ia sering mendapat telpon secara rutin dari Indonesia, terkadang mereka hanya menanyakan kabar yang selalu diulang-ulang. Terdengar membosankan, tetapi cinta orang tua tidak pernah memiliki sisi bosan. Pernah suatu hari ponselnya mati, Abah dan Umi sulit menghubungi, pada hari selanjutnya Umi menelpon dengan riak tangis, khawatir ada hal buruk yang menimpa. Lantas kini seorang ibu menghadapi kenyataan pahit, putrinya sudah tiga hari tidak pulang. 

“Farhan, tolong bantu saya menemukan Shofi, ya! Jika ada informasi segera kabari saya.” Permintaan dari Bunda sewaktu berada di depan rumah. Tempat tinggal sederhana, tidak begitu luas, berlantai satu dengan pekarangan yang dipenuhi dengan tanaman hias. Bunga bugenvil berguguran di atas rumput jepang. Kelopak-kelopaknya disiram cahaya matahari sore. 

Gus Farhan mengulum senyum, berjanji akan bersegera memberi kabar jika memang ia mengetahui keberadaan Shofi. Selain itu ia juga masih ingin mengembalikan tote bag Shofi. 

Sore berpulang seiring kepergian Gus Farhan dari halaman rumah Shofi, membiarkan wanita separuh senja itu menatap redup ke arah jalanan–menanti buah hatinya berlarian kecil memohon pelukan hangat. 

Di bawah kaki langit yang lain, riak tangis beradu dengan suara serak Shofi. Ia merintih penuh permohonan supaya dikeluarkan dari ruang yang begitu gelap dan pengap. Sayangnya Bawon tidak mengindahkan. Kedua tangan diikat, mulut disumpal menggunakan kain putih, sementara pintu ruang selalu dikunci rapat. Bawon masuk hanya untuk mengantarkan makanan dan suplemen kapsul, serupa vitamin entah apa, Shofi jarang mengkonsumsi vitamin. 

“Kesialan hidup lo adalah memiliki teman sebrengsek Anggi. Jika ada kehidupan yang kedua, berhati-hatilah dalam bergaul!” ujar Bawon berlagak memberi simpati, sejujurnya ia sendiri tidak peduli.  Bawon hanya peduli dengan nasib dompet dan hidupnya sendiri. 

Shofi tidak pernah menyangka jikalau Anggi yang selama ini merupakan gadis ramah dan senantiasa tertawa renyah, memiliki sisi kelam sehitam jurang tanpa cahaya kehidupan. Anggi bagaikan lubang hole penuh kesesatan. Ia sulit ditebak karena pandai menyembunyikan masalah. Ekspresi riang selama ini merupakan kepalsuan. Sekali lagi ia tidak menyangka akan terjebak di ruang berbau apek, sebuah ruang yang ditafsir jarang dihuni anak manusia, banyak properti perabot rumah yang berantakan, kayu penyangga yang entah pernah ditakdirkan mengamankan apa, kursi-kursi yang terbalik, kardus-kardus berisi entah, setumpuk koran, kipas angin rusak, televisi pecah dan lainnya. Shofi disekap di dalam gudang berteman tikus lapar dan kecoa. 

“Ingat lo harus betah di sini, ini tempat paling aman sementara waktu. Bos Bagong sedang berdiskusi untuk menempatkan posisi mulia, jangan main-main apalagi mencoba kabur! Lo sah menjadi milik Bos Bagong,” ucap Bawon lagi kemudian menarik sumpalan kain di mulut Shofi. 

“Apa salahku? Lepaskan! Tolong keluarkan aku dari tempat ini, Bunda akan sedih jika aku tidak pulang!”

“Persetan dengan nyokab lo! Jangan bermimpi kau bisa pulang ke rumah masa kecil lo, mulai detik ini hidup lo adalah milik Bos Bagong!” seru Bawon dengan mata mendelik. “...termasuk kehormatan lo!” Bawon melirik area bawah tubuh Shofi. 

Gadis itu merasa risih dengan tatapan Bawon yang mengandung pikiran kotor. 

“Makan!”

“Nggak … aku mau pulang! Tolong lepaskan aku!”

“Berisik! Jaga diri lo agar selalu sadar, atau harga diri lo akan lenyap serupa laron yang hanya hidup sesaat!”

Harga diri Shofi tidak boleh lenyap. Ia punya masa depan yang diangankan akan indah. Sungguh ia tidak mau terjebak dalam kesuraman hidup, ia harus bisa menyelamatkan diri. Mencuri ponsel siapa pun, menghubungi rumah agar bisa memberi pertolongan. 

“Haaaa … aku akan membuatmu menyesal suatu hari nanti!”

“Lakukan jika memang bisa, gue tunggu dengan senang hati. Hahaha.”

Bawon mendekatkan sepiring nasi beserta mineral dalam botol yang sudah dibuka dan dipasangi sedotan. “Makan langsung pakai mulut lo, jangan berontak atau nikmati saja rasa lapar yang akan merenggut kesadaran lo sendiri!”

Pemuda dengan tindik itu berdiri, membalik tubuh meninggalkan Shofi. Pintu gudang kembali ditutup rapat. Jika semula gelap, maka tidak untuk detik itu, pada jam-jam makan ruangan dibiarkan terang. Shofi menatap pedih sepiring nasi berlauk tempe goreng dengan sayur ca kangkung. Kalau saja itu hidangan yang disajikan oleh Bunda, pasti terasa nikmat. 

Bagaimapun juga ucapan Bawon mengandung kebenaran. Ia harus tetap terjaga, tidak boleh hilang kesadaran demi memastikan dirinya baik-baik saja. Ia tidak mau disentuh oleh pria brengsek yang mengedepankan hawa nafsu. Makan langsung menjilat serupa anjing ia lakukan demi keselamatan–demi Bunda di rumah. Air mata menjadi kuah pelengkap hidangan malam itu. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nikah Yuk, Gus!   Extra Chapter

    Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki

  • Nikah Yuk, Gus!   Di Suatu Pagi

    Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel

  • Nikah Yuk, Gus!   Ambil Keputusan

    Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase

  • Nikah Yuk, Gus!   Tertarik

    Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe

  • Nikah Yuk, Gus!   Suara Netizen

    Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit

  • Nikah Yuk, Gus!   Penilaian

    "Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status