Share

Panik

Wanita setengah tua itu berkali-kali memandang layar jendela, mengharap Shofi pulang menggiring langkahnya yang senantiasa terburu-buru. Sudah tiga hari semenjak dirinya menyuruh Shofi mampir ke pondok, anak perawannya tersebut tidak kunjung pulang. Sosok yang kerap dipanggil Bunda oleh Shofi itu mulai dikerubungi perasaan khawatir. Tidak seperti biasanya Shofi menginap di pabrik tanpa ijin. Memang pabrik roti yang dikerjai oleh Shofi juga menyediakan mess bagi karyawan, tetapi Shofi memilih datang dan pergi. Lebih dari itu rasanya mustahil jikalau Shofi menginap di pondok Yumna mencari ilmu, kecuali ada hal-hal urgent.

Bunda mulai memastikan. Terdorong kontak Shofi yang tiba-tiba tidak bisa dihubungi, ia nekat datang ke tempat kerja Shofi. Sayangnya kabar yang digiring oleh buruh pabrik roti justru membuat suasana batinnya bertambah kacau.

“Shofi sudah dua hari tidak berangkat kerja, bahkan tanpa keterangan, kami kira dia sakit!” tutur seorang rekan kerja hari itu.

“Dia belum pulang tiga hari ini,” kata Bunda sambil menyeka bulir air mata yang terus mengalir.

Anggi yang mengaku menjadi sahabat dekat datang menghampiri Bunda, menutup rapat kejadian buruk itu dengan prasangka, mengalihkan pusat perhatian.

“Barangkali nginap di pondok pesantren, Bu. Soalnya setahu kami Shofi suka mampir ke pondok!” ucap Anggi sambil mengulum senyum sehangat mungkin.

Bunda menyalakan sepeda motor matic, mengarahkan langkah menuju pondok Asmaul Khusna. Di sanalah harapan terakhir Bunda, jika juga tidak ada, hatinya akan hancur luluh lantah. Anak gadis kesayangannya hilang tanpa kabar.

Bunda mendatangi kantor pondok pesantren. Ia duduk di sebuah sofa sambil menunggu kabar yang akan disampaikan oleh pengurus pondok.

“Saya Bunda Shofi, anak saya belum pulang sejak tiga hari yang lalu, apakah Shofi menginap di pondok ini?” tanya Bunda sambil menahan air mata.

Sesungguhnya ia merasa malu karena cairan hangat itu terus mengalir deras tanpa disuruh.

Kekhawatirannya bertambah kalut, ia sangat takut jika ada hal buruk yang menimpa Shofi.

Kang Zaki meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, menyuruh Bunda Shofi meminumnya sebentar suara lebih tenang.

“Ngapunten, Bu. Shofi siapa ya? Nanti biar kami bantu konfirmasi ke pondok putri,”

“Shofi temannya Yumna, kemarin dia saya suruh mampir ke pondok untuk mengantar titipan dari orang tua Yumna.” Keterangan Bunda dipahami oleh Kang Zaki. Ia ingat suara gadis ketus yang tidak sopan saat memanggil Gus Farhan. Gadis itu kemarin mengggerkan asrama pondok karena mengaku kunci motornya hilang.

“Oalah Shofi … Mbak Shofi yang kemarin kehilangan kontak sepeda motor?”

“Apa? Sepeda motornya hilang?” Bunda panik.

“Kontaknya saja, Bu. Namun sudah ditemukan oleh Gus Farhan dan dia sudah pulang, maksudnya sudah pergi dari pondok ini. Dia tidak menginap di sini, Bu.”

Jika tidak di pondok Asmaul Khusna, lalu kemana Shofi pergi? Pasalnya Shofi tidak pernah menginap di rumah teman-temannya. Ia juga bukan tipe gadis yang pergi tanpa pamit. Mungkinkah terjadi kecelakaan di jalanan, lantas Shofi terjebak di rumah sakit, atau mungkin tergulung ke dalam jurang yang curam? Atau jangan-jangan detik itu ia telah dikerubungi lalat menjadi mayat? Pikiran Bunda sangat semrawut. Air mata yang sempat surut kembali cair sederas hujan di musim basah.

“Tolong saya, Ustadz, tolong bantu saya mencari Shofi …,” suaranya bergetar dan serak. Bunda pasrah dan bingung harus bertindak apa lagi. Ia sudah berusaha mencari ke pabrik tempat Shofi bekerja, menanyakan keberadaan Shofi ke teman-teman yang pernah diceritakan Shofi, mendatangi rumah demi rumah membawa harapan Shofi ada di sana, sedang duduk menonton televisi atau sekadar scroll ponsel untuk chattingan dengan teman maya.

“Panggil saya Kang Zaki saja, Bu. Saya bukan guru di sini, hanya membantu administrasi pondok ,” Kang Zaki merendah diri.

Selanjutnya Kang Zaki menyuruh Bunda tenang terlebih dahulu, ia melangkah menuju kelas yang diampu Gus Farhan. Suara Gus Farhan menerangkan isi kitab terdengar lembut disapu angin sore. Udara dingin membuat kekhusukan santri terangkum dengan kehangatan. Mata-mata terpusat kepada Gus Farhan yang berdiri di depan kelas, menuding papan tulis menggunakan kayu rotan panjang. Sayangnya Kang Zaki menyela kegiatan khidmat itu, mengetuk pintu kelas, membuat mata teralih kepadanya.

“Ngapunten Gus, ada tamu …” Suaranya agak tersendat-sendat. Sejujurnya tamu itu tidak mencari Gus Farhan, tetapi mungkin ia bisa memberi sedikit solusi sebab kemarin guru mengaji itu yang menemukan kontak sepeda motor Shofi.

“Oh ya, sebentar, kalian pelajari secara mandiri terlebih dahulu, saya tinggal sebentar!”

“Nggeh, Gus!” jawab para santri dengan kompak.

Dalam perjalanan menuju kantor asrama Gus Farhan sempat mengorek informasi perihal tamu yang ia anggap mencarinya.

“Siapa yang mencari saya, Kang?”

Langkah kaki mereka beriringan di bawah langit kuning. Bunda mengintip pergerakan dua pemuda yang belum menikah itu dari balik jendela kantor. Memandang penuh harapa sosok yang memakai baju putih dan sarung kotak=kotak itu mengetahui keberadaan Shofi—meski ia tahu itu bahkan terdengar mustahil. Bunda menyeka bulir, ia malu terlihat lemah. Akan tetapi air mata itu terus mengalir tanpa diperintah. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang sedang terjadi, sesuatu yang belum ia ketahui.

“Bukan mencari Gus Farhan, mancari Shofi …”

“Shofi?” Gus Farhan mengingat-ingat satu nama yang mengendap di dalam pikiran, lalu nama itu tertambat pada tote bag yang dia cuci kemarin. “Siapa?”

“Ibunya, dia datang dengan sedih. Katanya Shofi tidak pulang sejak tiga hari yang lalu, dia berpikir Shofi menginap di pondok ini, Gus.”

Gus Farhan mengingat suara Shofi yang berbicara dengannya. Hari saat ia menyerahkan kunci motor itu, langkah Shofi langsung digiring pergi, dipikirnya pulang karena waktu itu hari menjelang malam.

Mereka berdua masuk ke dalam kantor, duduk di seberang Bunda Shofi, memandang dengan senyum sebelum memulai obrolan. “Perkanalkan saya, Farhan, Bu. Jadi bagaimana ceritanya, Bu?”

“Maafkan saya ustadz, saya mengganggu aktivitas di pesantren ini, apakah ustadz …,”

“Panggil saja Farhan,”

“Gus!” sela Kang Zaki. Gus Farhan menyenggol punggung Kang Zaki, merasa tidak berkenan dengan panggilan itu.

Tetapi untuk saat itu sebuah panggilan tidak penting bagi Bunda, ia langsung menyebut nama Farhan seperti permintaan.

“Baik Farhan, jadi putri saya tiga hari yang lalu saya suruh datang ke pondok ini untuk mengantar paket kiriman dari orang tua Yumna. Tetapi setelah itu ia tidak pulang sampai sekarang, saya sudah menghubungi teman-temannya, sudah datang ke pabrik dan terakhir ke pondok ini demi memeriksa keberadaan putri saya, hasilnya tetap nihil. Saya sangat khawatir, tidak tahu lagi harus pergi kemana demi menemukan putri saya, Shofi.”

Gus Farhan bisa merasakan kekentalan kekhawatiran seorang ibu. Sudut mata Bunda merah dan bengkak. Dia sudah menangis selama berjam-jam. Bagaimanapun juga anak adalah hal paling berharga yang dianugerahkan sebagai titipan oleh Sang Khaliq.

“Kang, coba suruh musysrifah untuk memanggil Yumna, barangkali Yumna tahu kemana Shofi pergi.” Gus Farhan berusaha melecak keberadaan Shofi.

Sayangnya Yumna yang sudah tiba di kantor menggelengkan kepala, berkata tidak tahu keberadaan Shofi. Gadis itu tidak berkabar akan pergi ke mana dan dengan siapa.

“Apakah kamu tahu tempat yang sering didatangi oleh Shofi, Mbak?” tanya Gus Farhan dengan tenang.

Mereka memang teman akrab sejak kecil, tetapi setelah Yumna belajar di pondok pesantren, ia tidak tahu lagi kebiasaan Shofi di luar sana kecuali kerja di pabrik roti.

“Saya tidak tahu, Gus.”

Tangis Bunda bertambah histeris. Gus Farhan menjadi iba. Tetapi untuk saat itu ia tidak tahu akan bertindak apa. Pasalnya ia belum mengenal Shofi dan bukan bagian hidupnya. Gus Farhan ingin pamit kembali ke kelas tetapi tidak tega dengan Bunda Shofi. Ia kemudian menyuruh Kang Zaki menggantikan tugasnya.

“Sebaiknya ibu pulang terlebih dahulu, nanti jika ada kabar perihal Shofi, kami akan memberi kabar.”

Gus Farhan mengambil buku tamu, menyuruh Bunda menorehkan kontak pribadi yang bisa dihubungi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status