"Han, besok gantikan abah ceramah di depan warga ya!" perintah Abah Aziz sambil menatap putra kesayangannya dari ambang pintu. Gus Farhan yang semula rebahan, langsung mengambil posisi duduk. Detik itu malam datang lebih cepat. Rutinitas di pondok Asmaul Khusna yang telah berjalan teratur, mengikis pergerakan waktu. Tak disadari menit menjadi masa lalu. Abah Aziz baru saja pulang dari Demak, silaturahmi ke pesantren salaf milik kyai yang dulu pernah menjadi guru. Raut wajah Abah Aziz terlihat kusut karena disapu angin lelah dan debu-debu selama perjalanan. "Wah … ilmu Farhan masih sekecil pasir di pesisir, tidak ada apa-apanya dengan Abah, alangkah baiknya jika guru lain yang menggantikan," kata Gus Farhan dengan lembut. Abah Aziz mendekat, ia meletakkan tangan kanan di bahu Gus Farhan, menitipkan sebuah kepercayaan melalui gerakan tersurat. "Maka belajarlah, ilmu semakin disebarkan maka akan bertambah manfaatnya, tidak ada yang rugi dari berbagi ilmu, Han. Sekecil apa pun hal ya
"Jadi temannya Shofi memberikan surat ini kepada saya," Bunda mulai membuka suara. Ia menyeka riak tangis kemudian fokus memandang wajah Gus Farhan yang penuh dengan minyak. Lelah pemuda itu tersurat di parasnya yang teduh. Meski demikian ia tidak mungkin mengabaikan tamu yang telah menunggunya sejak tadi. Bunda membenarkan letak kerudung. Surat yang dimaksud diserahkan kepada Gus Farhan dengan meletakkan di atas meja. Gus Farhan menyeret kertas itu sebelum di lembar di ambang udara. Helai-demi helai kata ia baca seksama. "Jadi Shofi tidak hilang, Bu?" Gus Farhan memastikan. "Menurut surat tersebut, begitu Han. Tetapi Agam tidak yakin dengan tulisan itu, saya sempat berusaha tenang, belajar percaya, akan tetapi batin saya terasa tidak tenang. Bisakah Farhan memberi solusi?" Bunda yang sudah terlalu pesimis, mengharap bantuan kepada Gus Farhan lagi. "Haruskah saya melaporkan kepada polisi?" Gus Farhan merenung sejenak. Lapor polisi dibenarkan. Setidaknya ada tim yang akan memban
Shofi melintasi lorong temaram yang menghubungkan diskotik dengan pintu keluar masuk para karyawan di bagian belakang gedung. Ia nyaris tidak bisa bernapas selama melangkah—detik demi detik. Gadis yang menutup kepala dengan topi hitam itu mulai mengembuskan napas pasrah usai tiba di area parkiran. Ia bersegera mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dadanya bergemuruh, air mata mengalir riuh, suaranya tertahan, ingin sekali berteriak 'tolong!' tetapi tidak mau menimbulkan kecurigaan. Tiba-tiba jantungnya terasa mencelos. Sebuah suara lembut, yang kental dan sering ia dengar sebelum dijebak di tempat berlumpur dosa itu, meletakkan tangan di atas bahu Shofi. "Shofi … kaukah itu?" Lantas wajah ketakutan Shofi menoleh ke sumber suara. "Jahat kamu, Nggi!" Kalimat menuntut yang dibarengi dengan isak. Buru-buru Anggi membekap mulut Shofi, menyeret lengan keluar dari area parkiran—menjauhi arena diskotik. Pada akhirnya mereka duduk di sebuah angkringan lusuh berkawan debu dan kesunyian, s
Air mata tidak akan pernah cukup menampung kekesalan Shofi kepada Anggi. Harusnya ia tidak pernah menghabiskan waktu untuk duduk bersama di angkringan itu, ia bisa saja langsung lari, berteriak meminta bantuan kepada orang-orang yang melintas di pinggiran malam. Mengapa ia sangat ceroboh? Mengapa kembali percaya pada rekan yang sudah dipenuhi dengan kecurigaan? Intinya ia menyesal dan sesanya menjadi hal percuma. Shofi lagi-lagi terjebak di ruang asing yang tidak pernah berniat ia singgahi. Terkurung pada kamar bagus dengan fasilitas mewah, kasur yang empuk, lemari pakaian modern tidak butut apalagi dihuni rayap-rayap, cermin yang bisa menangkap seluruh tubuh sampai ujung kaki, meja rias, rak souvenir, sebuah foto figura menampilkan sosok pemuda yang merangkul Bos Bagong. Ia hanya mampu memandang wajah di bingkai itu dengan tatapan nanar. Kalau saja Bos Bagong paham bahwa dirinya pun adalah seorang anak dari ayah yang usianya telah purna. Ia pernah sangat diharga dan dilindungi oleh
Orang-orang memanggilnya demikian. Mereka menganggap Putra terlahir dari keluarga kaya raya, maka sangat ingin didekati dan diimpikan berpindah nasibnya. Putra pemuda berperawakan tinggi dengan wajah manis. Kulitnya tidak begitu putih, sawo matang serupa orang Indonesia kebanyakan. Senyumnya menawan, senantiasa membuat hati kaum hawa bergetar. Ia idola di kampus karena rupa fisik dan latar belakang keluarga yang kaya raya. Tetapi, tidak dalam pola pikir dan sikap. Putra menjadi bual-bualan di kantin-kantin kampus, di punggung -punggung malam sewaktu mereka tongkrong, maupun ketika mengerjakan tugas. Meskipun demikian, Putra tidak peduli. Ia memiliki dunia yang lebih menggairahkan ketimbang kampus menundukkan kepala di kampus. Minum alkohol, berkawan dengan preman-preman, menyatu dengan geng motor, ikut balap liar tanpa sepengetahuan kedua orang tua, bahkan suka berfoya-foya. Putra tidak sekali pun merasa dirugikan dengan kegiatan tersebut. Selama ini ia enjoy menjalani hidup suram yan
Bos Bagong mendobrak pintu kamar. Shofi yang semula mulai terpejam karena kelelahan, tiba-tiba membelalakkan mata. Rasanya baru tiga jam lalu Bos Bagong meninggalkan kamar mewah yang digunakan untuk menyekab kebebasannya, rasanya baru tadi ancaman dilayangkan penuh bara emosi, juga belum lama ia merasakan hening mengalir dengan tentram di penghujung malam. Lagi-lagi lelah yang hendak diistirahatkan terganggu gebrakan kasar Bos Bagong. "Apa yang kau minta kepada Tuhan?" sentak Bos Bagong sambil menendang lutut Shofi. Gadis itu terduduk di lantai, bersandar badan dipan yang keras, kedua tangan diikat erat, bibir dilakban hitam, anak-anak rambut berserak di kening. Kalau saja kedua tangannya bebas, jilbab kusutnya sudah dirapikan sejak tadi. Bos Bagong menarik lakban dari bibir Shofi dengan kasar. Suara merintih terdengar nyaring, menyayat hilir malam yang akan berakhir. "Beginikah caramu memperlakukan manusia? Kau sungguh tidak manusiawi, Pak!" "Persetan! Apa yang kau kirim ke langi
Pagi tiba lebih awal. Sejujurnya pergerakan detik tidak pernah berubah, senantiasa stabil tanpa memgurangi atau menambahkan kecepatan. Sayangnya bagi Gus Farhan yang kesulitan tidur tadi malam tentu pagi terasa berbeda dari biasanya. Dari bingkai jendela masjid, ia memandangi lahan sawah nan luas, mengembangkan pikiran pada hal-hal abstrak yang tidak seharusnya ia lakukan. Jamaah subuh santri telah menutup bacaan Al-Quran. Mengemas langkah usai merapikan sajadah dan membersihkan area sembahyang. Gema ayat suci yang semula menentramkan jiwa, tetiba dipangkas kesunyian dalam kedamaian waktu esok. Kang Zaki menghampiri Gus Farhan, menanyakan lamunan yang diedarkan oleh tatapan hampa. "Mau olahraga tidak, Gus?" tanya Kang Zaki sebagai basa-basi, niatnya untuk memecah lamunan Gus Farhan. Sebetulnya ia hendak mengajak keluar dari masjid. Pasalnya sudah tidak ada santri di sana, berdiam diri dengan lamunan alias bengong terlalu lama bukanlah perbuatan baik. Di luar sana, santri laki-laki
Faktanya pesan yang diharapkan sampai ke Abah Aziz dihalau oleh takdir. Pemuda pencuri foto Gus Farhan sedang berada di diskotik itu berkali-kali melenguh napas kesal, sebab kontak Abah Aziz sudah tidak aktif. Ia menanam kecewa atas tindakan Gus Farhan yang mangkir di tempat terlarang, bukan karena ia merasa sok suci dengan menghakimi perbuatan orang lain, tetapi kesal karena sosok yang diidolakan banyak mahasiswa itu terciduk duduk di hadapan miras—meski itu bukan minuman Gus Farhan. Selama ini Mahes sering mengikuti kajian kampus bersama Gus Farhan. Biasanya ada kegiatan rohani yang memang diselenggarakan secara rutin. Gus Farhan mendapatkan kepercayaan dari pihak kampus untuk membimbing jiwa lena para mahasiswa. Setidaknya ucapan dan perilaku Gus Farhan pernah didengar dan dijadikan panutan kaum muda. Mahes sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Gus Farhan hari itu. Ia sudah terlanjur sengasara karena rekan dekatnya sekarat di rumah sakit, tambah dengki karena figur yang dik