Dewi yang terus mendesak perihal artis yang mengirimkan hadiah kecil kepada Jessica terus saja mendesak usai sahabatnya tetap bersikukuh menolak untuk memberikan klarifikasi atas lelaki yang saat ini digandrungi oleh banyak wanita sebagai bintang muda berbakat. Dimana ia juga suka dengan penampilan Candra Wiguna. Namun, hanya sebatas akting dan permainan filmnya.
Hingga akhirnya, sebelum Dewi pulang ke rumahnya, ia pun menarik kesimpulan atas hubungan mereka usai mengingat tanda merah di bagian kenyal milik Jessica.Dengan berjalan menuju mobilnya untuk kembali ke rumah, Dewi pun berucap, “Jessi ... Gue tau sapa yang kasih tanda cupang di toket elo.”Jessica yang terkejut atas ucapan Dewi hanya menggelengkan kepalanya dan berucap, “Say..., next gue cerita sama elo. Untuk saat ini gue keep dulu..., Thanks for your time.”Mereka pun saling berpelukan dan Dewi yang tahu kalau sahabat karibnya tetap tidak mengaku atas tudingannya pun, hanya menjawab, “Ok! Gue percaya sama elo dan gue tunggu janji elo. Byee...., Thanks a lot too.”Dewi masuk ke dalam mobilnya dan berlalu dari halaman besar rumah mewah Jessica yang memandangi kepergian Dewi bersama mobil yang dikendarainya. Setelah itu Jessica masuk ke dalam rumah dan melangkahkan kakinya menuju kamar.Sesampai di kamar, Jessica memandang ke arah meja rias dan lemari serta televisi yang telah di pecahkan dengan hati yang teramat sangat sakit. Tanpa terasa, air matanya meluncur bebas melewati pipi ranum nan mulus. Ada sebongkah penyesalan bergelayut di dalam hatinya dan sakit.“Ternyata lelaki brengsek itu artis. Sialan sekali dia udah memperkosa gue. Bisa aja sih, gue hancurin karir dia dengan lapor ke polisi atas tindakannya. Tapi, nama gue juga hancur... Dasar kunyuk!” Umpatnya kembali dengan menghapus air mata yang membasahi pipinya.Dengan menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan, Jessica memejamkan matanya dan terlelap dengan membawa sebuah penyesalan yang teramat sangat disesalkan dan akan menjadi pengalaman pahit dalam menjalani kehidupannya.Keesokan paginya sekitar pukul tujuh pagi, di hari Senin ceria. Seperti biasa, Jessica yang sebelum berangkat ke kantor selalu melakukan olah raga dengan berlari-lari kecil di halaman itu pun, menjalankan aktivitasnya seperti biasa hingga jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Setelah itu Jessica berjalan menuju taman anggrek, duduk pada sebuah kursi rotan.Segelas kopi selalu di sajikan oleh Wati bersama roti bakar berisi coklat di atas meja bundar dekat taman anggrek yang berada di halaman depan sisi kiri rumah mewah tersebut.“Ini Non, kopi dan rotinya. Untuk sarapan nanti Non Jessica mau makan apa?” tanya Wati yang berdiri di dekat sisi kiri Jessica yang tengah menyeka keringat dengan sebuah handuk kecil.“Aku nggak sarapan. Tapi, nanti buatkan aja aku nasi goreng isi udang dan sosis. Aku akan bawa sarapannya ke kantor,” perintah Jessica sembari meraih setangkup roti bakar dan mengunyahnya dengan berbicara.“Non Jessica, semalam itu waktu Nona udah tidur sekitar jam sepuluh malam, ada yang akan bertamu. Tapi, langsung di tolak sama pak Darma.”Dengan tetap menikmati roti bakar berisi isian coklat Jessica mendengarkan apa yang dikatakan oleh Wati dan bertanya pada pelayan yang telah cukup lama mengabdi pada keluarga itu.“Kenapa gitu? Orang mau minta sumbangan? Suruh aja besok ke rumah lagi,” timpal Jessica seraya meraih kopi dan menyeruputnya.“Bukan Non..., itu lelaki yang namanya Candra ... Dia mau ketemu sama Nona. Malah dia itu sampai ngotot mau masuk ke rumah dan ingin bertemu sama Nona,” jelas Wati pada sang majikan.“Apa?!” kejut Jessica dengan mendorong sisa roti di tenggorokannya bersama kopi yang untungnya sudah tidak panas lagi.Wati yang melihat mata indah Jessica sampai melotot kala mendengar ceritanya pun, hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menambahkan cerita yang terjadi di luar pintu gerbang rumah mewah tersebut.“Benar Non..., pak Darma yang waktu itu kesal juga lapor sama kesatuan pengamanan kompleks, sesuai dengan perintah Non Jessica untuk menolak lelaki itu.”Imbuh Wati dalam ceritanya dan terhenti sejenak saat dilihat raut wajah sang majikan telah tenang dan menyeka bibirnya yang terdapat sisa coklat pada sudut bibir dengan tisu.“Lalu? Uhm..., Bik mulai sekarang..., jangan sebut nama dia di hadapanku. Cukup panggil dia dengan sebutan si brengsek. Nanti bik Wati kasih tau yang lainnya juga ya. Kalau nama itu nggak mau aku dengar di rumah ini. Paham yaa...?” tanya Jessica telah mampu mengendalikan diri atas keterkejutannya.Wati pun menganggukkan kepalanya dan saat di tanya kelanjutan dari cerita itu malah pembantu tersebut tersenyum lebar. Sehingga, membuat Jessica melirik tajam ke arahnya dan bertanya, “Kok tersenyum sih Bik...? Emang pertanyaanku lucu? Atau ... Si brengsek itu diusir dan dipukuli sama beberapa sekuriti lainnya?”Sepintas Jessica tersenyum kala membayangkan kejadian yang ia pikirkan dengan memandang Wati dalam posisi masih berdiri sembari bercerita.“Bukan begitu kejadiannya Non..., justru mereka berdua malah minta tanda tangan dan foto bersama, karena ternyata si brengsek itu ar..”“Apa!” potong Jessica dengan dahi mengerut.“Iya Non Jessica, lelaki brengsek itu ternyata artis. Saya juga baru tau tadi pagi, waktu nyapu di halaman. Malah, Pak Darma tadi tanya saya, jam berapa Nona biasanya bangun pagi,” tutur Wati masih dengan sisa senyum yang melekat di wajahnya.“Untuk apa dia tanya? Kurang ajar!” ketus Jessica.“Maaf Non Jessica ... Jangan marah sama pak Darma, hanya saja lelaki brengsek itu, katanya ada rencana mau ke rumah pagi ini. Jadi pak Darma cuma mau sampaikan hal itu aja,” bela Wati atas rekan sejawatnya.Dengan menghela napas panjang dan wajah ditekuk, Jessica pun berkata tegas, “Ingatkan ke semuanya, Bik! Jangan ada satu pun pekerja di rumah ini yang kasih bocoran dimana aku berkantor. Apalagi, ngasih alamat mamiku. Dan satu lagi ... jangan kasih lelaki brengsek itu masuk ke dalam rumah ini. Kalau sampai dia masuk rumah..., lapor ke polisi! Aku nggak mau lelaki itu masuk ke halaman rumahku. Sekarang ... bik Wati kasih tau semuanya apa yang jadi perintahku dan suruh Samsuri siapkan mobil buat aku. Sebelum si brengsek ke rumah ini aku mau ke kantor aja. Bikin kesel kesal aja itu, manusia. Cepat!”Mendengar suara keras Jessica yang tampak kesal dengan cerita yang di dengar tentang artis bernama Bintang itu, membuat Wati terdiam dan memandang kepergian Jessica ke dalam rumah saat akan bersiap-siap ke kantornya. Setelah tersadar atas apa yang harus dilakukannya, Wati pun tergopoh-gopoh menuju rumah besar dan mewah itu untuk memberitahukan ketentuan yang harus dijalankan oleh pekerja di rumah itu tanpa mengetahui alasan Jessica untuk menolak kehadiran artis yang saat itu sedang melejit.Tepat pukul delapan kurang lima belas menit, sebuah mobil mewah meluncur keluar dari dalam rumah Jessica meninggalkan kompleks perumahan elite tersebut. Di dalam mobil tampak Jessica dengan menggunakan setelan blazer berwarna biru muda dipadu kemeja polos lengan panjang dan leher berbentuk V serta bawahan berwarna biru tua membungkus tubuh langsingnya.Sementara, kaki jenjangnya dihiasi oleh sepatu high heels dengan sebuah tas tangan dan tas gendong yang berisi laptop menyertai perjalanannya menuju sebuah kantor yang bergerak dalam bidang ekspor impor yang telah dipegangnya beberapa tahun sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk menikmati masa tua mereka pada sebuah tempat yang sejuk dikelilingi oleh kebun teh di kawasan Ciwidey.Sampai akhirnya mobil mewah tersebut masuk pada sebuah halaman bangunan gedung berlantai 21. Samsuri yang menghentikan mobilnya, memarkirkan kendaraan pada bagian depan gedung tersebut dan membukakan pintu mobil untuk Jessica serta meraih tas jinjing berisi laptop serta menutup pintu mobil kembali, kala dilihat Jessica telah bersiap melangkahkan kakinya menuju Lobby gedung berlantai 21, Samsuri juga mengikuti dari belakang langkah dari wanita cantik tersebut.Jessica melangkahkan kakinya menuju lift diikuti Samsuri yang setiap harinya membawakan laptop dari sang majikan nan cantik jelita dan ikut masuk ke dalam lift menuju lantai 15. Dimana seluruh kegiatan perkantoran perusahaan tersebut dilakukan pada lantai 15 dan lantai 16. Sedangkan untuk bagian operasionalnya dilakukan di sebuah area pabrik yang berada di kawasan utara Jakarta.Ting!Jessica melangkah keluar saat lift berhenti di lantai 15. Jam baru menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Beberapa staf yang berada di lantai tersebut berdiri memberikan salam pada Jessica yang hanya tersenyum tipis kala beberapa staf menyapa dengan menganggukkan kepalanya.“Pagi Buu...,” sapa Intan sekretaris pribadinya yang selalu datang pagi, saat Jessica masuk ke dalam ruangan kerjanya yang cukup besar.Samsuri menyerahkan tas laptop milik Jessica pada Intan dan selalu dengan pola yang sama dengan berpamitan pada Jessica, “Permisi Non..., saya balik ke rumah.”“Pak Sam! Ingatkan bik Wati, untuk urus rumah dengan baik!” perintah Jessica dalam bahasa kiasannya yang pasti dimengerti apa maksud perkataan Jessica.“Siap! Baik Nona...,” jawab Samsuri menganggukkan kepalanya dan keluar dari ruang kerja Jessica.Setelah Samsuri keluar dari ruang kerja Jessica, Intan yang ruang kerjanya berada di sebelah ruangan Jessica pun, masuk ke dalam ruangan sang bos dan bertanya, “Buu..., saya buatkan kopi atau teh?”“Aku sudah mengopi. Uhm, aku minta air mineral dalam kemasan botol yang sedang dan dingin. Aku mau sarapan di meja kerjaku. Jadi, jangan biarkan staf masuk ke dalam ruanganku,” tegas perintah Jessica.“Baik, siap Buu...,” tutur Intan meninggalkan ruangan Jessica untuk menyiapkan hal yang diminta sang bos.Beberapa menit kemudian, usai menikmati sarapannya, Intan pun merapikan meja kerja Jessica dan melaporkan rencana kerja yang harus dilakukan oleh Jessica melalui Schedule yang telah dibuat dan disetujuinya dua minggu lalu bahkan sampai tiga pekan ke depan.“Bu, sekitar jam 10 nanti akan ada pertemuan dengan perusahaan pakaian renang yang telah melakukan MOU atas impor yang kita lakukan. Mereka mengagendakan untuk membuat promosi pada media televisi dengan menggunakan artis. Jadi, kita sebagai importir diminta untuk memberikan saran atas hal tersebut,” urai Intan atas pertemuan yang akan dilakukan oleh pihak perusahaan pakaian renang rekanan bisnis perusahaan tersebut.“Ok! Baiklah..., apa kamu sudah tau berapa orang yang akan ikut dalam rapat?” tanya Jessica memandang ke arah Intan.“Empat orang aja Bu, dari rencana 5 orang yang akan ikut. Karena model yang akan memakai pakaian renang sangat sibuk dan menurut Tuan Michael dan Tuan Andi tidak jadi masalah. Karena model itu hanya bagian akhir dari pelaksanaannya saja,” tutur Intan menyampaikan hal yang jadi keputusan dari rekanan bisnis perusahaan pakaian renang branded tersebut.Setelah menyampaikan hal yang jadi agenda rapat hari ini, Intan pun keluar dari ruangan Jessica dan mulai menyiapkan ruangan rapat bagi rekanan bisnis perusahaan itu. Tepat pukul sepuluh pagi, Jessica memasuki ruang rapat dengan menyalami empat orang yang jadi rekanan bisnis mereka.“Selamat datang Mr. Michael, Pak Andi, Bu Cintya dan..., maaf sepertinya kita belum kenal ya...,” sapa Jessica dengan ramah.“Kenalkan saya dengan Santi, Buu. Manajer dari model yang akan menggunakan pakaian renangnya,” jawab Santi memperkenalkan diri.Lalu, rapat pun dibuka dengan membacakan kembali MOU yang telah ditanda tangani di antara mereka dan menjabarkan rencana menggunakan seorang model pria untuk menggunakan pakaian renang tersebut. Awalnya, Jessica tidak peduli siapa pun model pria yang akan mendapat tawaran tersebut. Namun, ketika Andi orang kepercayaan Michael, berbicara dengan Santi perihal rencananya bertemu dengan model tersebut, membuat Jessica angkat bicara.“Santi, kapan kami bisa bertemu dengan Bintang? Soalnya Mr Michael hanya 4 hari saja di Indonesia,” tanya Andi.“Dua hari lagi bisa saya jadwalkan untuk bertemu dengan Bintang. Karena hari ini jam 11 siang dia akan jalan ke Bandung dan akan lanjut ke Surabaya untuk ikut mempromosikan film yang akan tayang serentak,” ujar Santi menyampaikan jadwal sang model.Jessica yang awalnya ragu kalau model yang dimaksud Andi adalah Bintang seorang pemain film yang dibencinya, maka usai Santi menjabarkan kesibukan artis tersebut, Jessica yang berbicara serius pada Michael, bertanya langsung pada Santi.“Bu Santi..., siapa nama asli artis ini?” tanya Jessica serius menatap tajam ke arah Santi dan itu membuat tiga orang yang hadir terkejut dengan pertanyaan Jessica.“Candra Wiguna..., dia memakai nama Bintang karena mamanya...”“Jangan jelaskan hal itu, karena itu tidak penting!” ucap Jessica dengan nada tinggi.“Maaf..., apa ada yang salah ya Buu?” tanya Santi memandang lekat pada wajah cantik Jessica yang tampak menegang.Tanpa mendapat jawaban atas pertanyaannya, justru Santi mendengar perkataan Jessica yang ditujukan pada Michael dengan berucap, “Sorry Mr. Michael..., saya ingin model tersebut diganti saja dengan model yang mampu menghormati kita sebagai orang yang membayar dirinya. Dia mengesampingkan pekerjaan yang kita berikan, berarti dia tidak berniat dengan pekerjaan ini. Saya akan menghubungi sahabat saya untuk mencarikan model yang terbaik untuk menggunakan produk baju renang tersebut.”“Tapi Bu Jessica ... Nama artis itu sedang naik daun,” sanggah Andi yang terkejut dengan permintaan Jessica di sesi akhir rapat tersebut.“Pak Andi ... Daun yang berada di atas pohon pun, sewaktu-waktu akan jatuh. Saya melihat model tersebut tidak bisa punya komitmen atas apa pun. Jadi, saya ingin diganti saja. Atau Pak Andi juga boleh mencari lagi model lain. Bukankah begitu Mr. Michael?” tanya Jessica memandang ke arah lelaki asing berkebangsaan Indonesia Amerika yang menetap di negeri Paman Sam.Dan Michael yang menghormati keputusan Jessica hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Sementara Santi yang mendengar penolakan tak mendasar dari Jessica menepis dugaan tersebut dengan berkata pada Jessica.“Bu Jessica, maaf bila Bintang tidak hadir. Tapi, saya bisa menjamin dia orang yang sangat berkomitmen."“Oh ya?” tanya Jessica dengan alis dinaikkan dan senyum miring.“Tolong pertimbangkan lagi Bu, agar tidak mengganti dengan model lainnya,” pinta Santi lagi.Jessica memandang ke arah Michael. Lalu, Michael pun angkat bicara, “Apa yang dikatakan oleh Ibu Jessica sudah benar. Padahal kami sudah jauh hari minta waktu. Tapi, model kamu tidak menghormati dan tidak ingin pekerjaan ini. Bisa kamu carikan model lainnya? Karena yang nanti berhubungan dengan model tersebut adalah Ibu Jessica. Jadi, kalau dia tidak nyaman..., tidak akan membuat pekerjaan ini lancar."“Baik Mr. Michael..., saya punya beberapa model yang bisa dipakai,” jawab Santi menunduk lesu dan menganggukkan kepalanya selaku manajer dari beberapa model yang bernaung dalam agensinya.Mendengar hal itu dalam hati Jessica pun bersorak-sorai, ‘Untung aja gue langsung tolak. Kalau kagak..., gimana cara gue menghindari manusia kampret itu. Rasain tuh brengsek..., gue tolak pekerjaan buat lo!’Setelah rapat selesai mereka pun saling bersalaman dan keluar dari ruangan tersebut. Jessica pun, kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaannya, usai mengantar keempat tamu hingga memasuki lift.Namun sepuluh menit kemudian, Intan masuk ke ruangan Jessica dan berkata, “Siang Buu..., apa hari ini Ibu ada janji lagi dengan Ibu Santi?”“Santi...? Ok! Suruh dia masuk,” jawab Jessica tenang dan yakin kalau manager dari Bintanv akan melobinya.Satu menit kemudian, Santi masuk ke ruangan Jessica dan duduk persis di depan meja kerja wanita cantik yang menatapnya datar. “Ada yang bisa dibantu?”“Bu Jessica ... Maaf sebelumnya. Uhm, Bu ... Tadi saya bicara dengan pak Andi dan Mr. Michael perihal model yang dipakai. Dan, mereka menyerahkan semuanya pada Ibu. Bisa saya minta tolong, agar Job itu diberikan pada Bintang saja. Karena, saat ini Bintang sedang perlu dana besar untuk membiayai penyakit kanker mamanya.”“Sorry nggak bisa. Pokoknya saya mau dia tetap diganti. Kalau kamu nggak sanggup cari penggantinya, saya akan mencari dari agensi lain,” tegas Jessica.“Bu Jessica ... Tolong ... kasihanilah model saya yang berbakat ini. Dia benar-benar perlu dana untuk sakit kanker mamanya, karena hanya dia tulang punggung di keluarga itu. Semoga Ibu bisa menolongnya,” pinta Santi mengiba.“Bu Santi ... Itu bukan urusan saya dan lagi di sini bukan tempat departemen sosial. Mengerti kan, maksud saya? Silakan hubungi saya lagi, jika model lainnya sudah siap.”Santi terdiam membisu memandang ke arah Jessica yang tampak sedingin es kala menolak permintaannya. Hingga Santi tersadar, kalau Jessica meminyanya keluar ruangan tersebut saat Jessica menghubungi sekretarisnya.“Intan..., antar Bu Santi sampai lift!” perintah Jessica dalam sambungan telepon direct pada perusahaan tersebut.Mendengar perintah Jessica pada Intan, membuat Santi beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan pada Jessica yang dianggap tidak punya hati. “Permisi Buu..., dua hari lagi saya berikan model lainnya.”“Silakan ... Terima kasih,” ujar Jessica tersenyum manis dan berdiri melepas kepergian Santi yang kecewa atas penolakan Jessica tanpa tahu latar belakang penolakan wanita cantik pemimpin perusahaan tersebut.Langit Ubud pagi itu berwarna jingga lembut, menyapa sawah hijau yang membentang di depan vila kecil Jessica dan Andy. Aroma kopi Bali menguar dari dapur, bercampur dengan tawa riang seorang anak laki-laki yang berlari di halaman. Arjuna, yang kini berusia lima tahun, sedang mengejar kupu-kupu, rambut ikalnya berkibar tertiup angin. Wajahnya, dengan mata besar dan lesung pipi, mengingatkan pada seseorang dari masa lalu—Candra. Tapi bagi Jessica dan Andy, Arjuna adalah milik mereka, titik darah yang mereka rawat dengan cinta tanpa syarat.Jessica berdiri di teras, tangannya meraba perutnya yang kembali membulat. Kehamilan keduanya, kali ini benar-benar anak Andy, membawa kebahagiaan baru dalam hidup mereka. Ia tersenyum melihat Arjuna, yang kini berlari ke arah Andy yang baru keluar dari dapur dengan secangkir kopi di tangan.“Papi! Lihat, kupu-kupu!” seru Arjuna, tangannya menunjuk ke udara dengan penuh semangat.Andy tertawa, mengangkat Arjuna ke pundaknya. “Wah, Ju, kamu mau tangkap
Malam di Ubud terasa lebih dingin dari biasanya, meski angin hanya bertiup pelan membawa aroma bunga kamboja. Jessica duduk di tepi ranjang, tangannya meraba perutnya yang semakin membulat. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Candra, kata-katanya yang penuh penyesalan, dan tatapan Andy yang teguh melindunginya. Di sisi lain ranjang, Andy sedang membaca dokumen ekspor, kacamatanya sedikit melorot di hidungnya. Ia sesekali melirik Jessica, tahu bahwa istrinya sedang bergulat dengan pikiran yang tak diucapkannya.“Jess, kamu nggak apa-apa?” tanya Andy lembut, meletakkan dokumennya ke meja samping ranjang.Jessica menoleh, tersenyum kecil untuk menenangkan suaminya. “Aku baik-baik aja, Andy. Cuma… aku nggak nyangka Candra bakal dateng ke sini. Aku pikir dia udah lupain aku, lupain semua yang pernah ada di antara kami.”Andy merangkak mendekat, tangannya meraih tangan Jessica, menggenggamnya erat. “Dia nggak punya hak atas kamu, Jess. Nggak atas kamu, nggak atas anak kita. Aku janji, a
Langit Bali pagi itu cerah, awan tipis berarak pelan di cakrawala. Di vila kecil di pinggir Ubud, Jessica duduk di teras dengan secangkir teh jahe, tangannya sesekali mengusap perutnya yang kian membesar. Andy, yang baru selesai memeriksa dokumen bisnis di ruang kerja, keluar membawa sepiring pisang goreng. Ia meletakkan piring itu di meja kayu, lalu mencium kening Jessica dengan lembut.“Pagi, cantik. Ini camilan buat kamu sama Arjuna,” godanya, matanya berbinar.Jessica tersenyum lebar, memukul lengan Andy pelan. “Bunga, maksud kamu! Belum tentu Arjuna, lho. Eh, makasih, ya, pisangnya kelihatan enak.”Andy tertawa, duduk di samping Jessica sambil mengambil sepotong pisang. “Bunga atau Arjuna, yang penting sehat. Kamu udah ke dokter minggu ini, kan? Apa kata dokter?”“Semuanya baik-baik aja,” jawab Jessica, menyeruput tehnya. “Bayinya aktif, katanya. Mungkin nanti malah jadi penutup sawah kayak bapaknya, suka jalan-jalan di ladang.”Andy terkekeh, tangannya meraih tangan Jessica. “At
Langit Bali di senja hari berwarna jingga keemasan, menyapa Ubud dengan lembut. Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan sawah yang mengelilingi vila kecil tempat Jessica berdiri. Wanita itu mengenakan kebaya putih sederhana, rambutnya digelung rapi dengan hiasan bunga melati yang harum. Ia menatap cermin kecil di tangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusan ini adalah langkah yang tepat. Di perutnya, anak yang kini berusia lima bulan tumbuh sehat, dan setiap tendangannya mengingatkan Jessica akan kehidupan baru yang menanti. Tapi di hatinya, bayang-bayang Candra masih sesekali muncul, meski kini hanya seperti angin lalu.Di sudut lain vila, Andy sedang mempersiapkan diri. Pria itu mengenakan beskap putih yang serasi dengan kebaya Jessica, wajahnya tenang tapi matanya penuh harap. Ia memandang ke arah sawah, mengingat percakapan panjangnya dengan Jessica tiga bulan lalu, saat ia tiba di Bali dengan hati penuh keberanian. Andy tak pernah membayangkan bahwa Jessica, wanita yang selama
Langit Bali di pagi hari menyapa Jessica dengan lembut. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah jendela vila kecil di Ubud, menggambar garis-garis emas di lantai kayu. Jessica duduk di teras, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul, menatap hamparan sawah yang berkilau oleh embun. Udara segar mengisi paru-parunya, dan untuk sesaat, ia merasa damai. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya masih bergulat dengan bayang-bayang Candra, Anjani, dan anak yang kini tumbuh di rahimnya. Ia menyentuh perutnya, berbisik pelan, “Kita bakal baik-baik aja, ya, Nak.”Di Jakarta, suasana berbeda menyelimuti Andy. Pria berusia 40 tahun itu duduk di kantornya yang sederhana, dikelilingi tumpukan dokumen ekspor-impor. Layar laptopnya menampilkan laporan keuangan, tapi matanya kosong, pikirannya melayang ke Jessica. Sudah dua hari sejak pesan singkatnya ke Jessica, dan balasan “Makasih, Andy. Aku bakal kabarin” masih terngiang di kepalanya. Ia tahu Jessica sedang terluka, dan meski ia hanya
Pagi di apartemen Jessica dan Candra terasa seperti ruang tanpa udara. Aroma kopi yang biasanya mengisi ruang tamu kini hilang, digantikan hawa dingin dan sunyi. Jessica duduk di sudut sofa, matanya sembab, menatap koper yang sudah ia siapkan semalam. Keputusannya bulat: ia akan pergi ke Bali, meninggalkan Jakarta, Candra, dan semua luka yang kini menggerogoti hatinya. Di tangannya, ia memegang tiket pesawat yang dipesan secara impulsif tengah malam, ketika air matanya tak lagi bisa dibendung.Berita tentang kehamilan Anjani, ditambah foto kebersamaan Candra dan Anjani yang dikirim Gendis, masih menghantui pikirannya. Jessica mencoba mengalihkan perhatian dengan memeriksa email terkait bisnis ekspor-impornya, tapi setiap kata di layar ponselnya terasa kabur. Pikirannya terus kembali ke Candra—pria yang ia pikir akan menjadi suaminya, tapi kini hanya menyisakan rasa sakit. Yang lebih membebani, Jessica baru saja mengetahui dirinya hamil. Anak Candra. Tapi ia memutuskan untuk merahasiak
Bab 4: Pertengkaran Jessica dan CandraMalam telah larut, tapi apartemen Jessica dan Candra masih dipenuhi ketegangan yang tak kunjung reda. Cahaya lampu di ruang tamu menyala redup, mencerminkan suasana hati Jessica yang kacau. Ia duduk di sofa, menatap kotak cincin pertunangan di meja dengan mata kosong. Setiap kilau berlian itu kini terasa seperti pengingat akan janji yang telah dilanggar. Di kamar tamu, Candra masih terjaga, berjalan mondar-mandir dengan ponsel di tangan, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semua kekacauan ini. Ia tahu, ia tak bisa terus bersembunyi. Malam ini, ia harus menghadapi Jessica.Dengan langkah ragu, Candra keluar dari kamar tamu dan menuju ruang tamu. “Jess,” panggilnya pelan, berdiri di ambang pintu. Jessica tak menjawab, hanya melirik sekilas dengan mata penuh luka sebelum kembali menatap kotak cincin itu. Candra mendesah, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di depannya. “Aku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuany
Pagi itu, apartemen Jessica dan Candra masih diselimuti kesunyian yang menusuk. Aroma kopi yang biasanya mengisi udara pagi kini tak tercium, digantikan oleh ketegangan yang hampir bisa diraba. Jessica, berusia 30 tahun, duduk di meja makan, menatap ponselnya dengan wajah pucat. Foto yang dikirim Gendis semalam masih terpampang di layar, menggambarkan Candra dan Anjani dalam keakraban yang tak bisa ia abaikan. Setiap kali ia mencoba menutup aplikasi, gambar itu seolah membakar pikirannya, mengingatkannya pada janji-janji Candra yang kini terasa seperti dusta.Jessica menggenggam ponselnya erat, jari-jarinya gemetar. Sebelum foto itu sampai ke tangannya, Candra bersumpah bahwa hubungannya dengan Anjani hanyalah profesional, bagian dari dunia syuting yang penuh rumor. “Jess, percaya aku, itu cuma kerja,” katanya berulang-ulang, dengan mata yang tampak tulus. Tapi foto itu—dan pesan Gendis—mengoyak semua kepercayaan yang tersisa. Jessica merasa dadanya sesak, seolah dunia yang ia bangun
Keesokan pagi, apartemen Candra dan Jessica yang biasanya dipenuhi aroma kopi dan tawa ringan kini terasa dingin. Jessica duduk di sofa ruang tamu, menatap ponselnya dengan mata sembab. Berita tentang skandal Candra dan Anjani masih bergema di kepalanya, dan setiap notifikasi baru dari media sosial terasa seperti tusukan. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, mengurusi dokumen ekspor-impor yang menumpuk, tapi pikirannya terus kembali ke pengkhianatan Candra. Di sisi lain, Candra, yang baru pulang dari syuting pagi, masuk dengan langkah ragu. Ia tahu Jessica sudah menunggunya, dan konfrontasi tak bisa dihindari.“Jess,” panggil Candra pelan, berdiri di ambang pintu ruang tamu. Jessica tidak menjawab, hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap ponselnya. Candra mendesah, lalu duduk di kursi di depannya. “Aku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuanya.”“Jelasin apa, Can?” tanya Jessica, suaranya dingin. “Semua udah jelas. Foto kamu sama Anjani ada di mana-mana. Ber