Hanum tidak pernah pacaran dengan hubungan yang sangat intim. Selama ini dia hanya sibuk bertahan hidup. Orang tua kandungnya mengalami kecelakaan mobil saat dia berusia 9 tahun. Dia harus ikut dengan Thana, pamannya. Di rumah sang paman dia diperlakukan semena-mena oleh Husna selama bertahun-tahun. Jadi, tidak ada waktu untuknya berpacaran.
Pengalaman Hanum hanya dengan seniornya di kampus yang sama. Namun, daripada pacar, mereka lebih bisa disebut sebagai hubungan tanpa status. Mereka tahu bahwa mereka menyukai satu sama lain, tapi hanya sebatas itu. Mereka juga berjalan ke arah tujuan masing-masing tanpa melibatkan satu sama lain. Karena itu sekarang mereka sudah tidak berhubungan. Pria itu sibuk mengejar karirnya sendiri, sedang Hanum terus terpesorok sejak penelitian skripsinya tidak berjalan lancar. Hanum menjadi mudah melupakan seniornya itu. Setelahnya, Hanum tidak pernah menjalin hubungan dengan orang lain lagi.Sekarang, saat tiba-tiba Hanum harus menikah dan melakukan malam pertama, tentu saja dia sangat takut. Dinginnya ac bahkan tak mampu menenangkan tubuhnya yang seperti terbakar saat ini. Walaupun Hajin memperlakukannya dengan lembut, tetap saja dia gugup. Sebagai orang yang tak pernah bergandengan tangan, cara berciuman pun dia tidak tahu."Buka mulutmu, Hanum …"Mendengar ucapan Hajin, Hanum gugup dan takut meski dia memejamkan mata. Namun, dia tetap harus mengikuti Hajin, bukan?Hanum pun menyakinkan dirinya sendiri.Ini pilihanmu, Hanum. Jadi, jangan takut. Dia suamimu sekarang. Meskipun pernikahan kalian tidak normal, kamu tetap berdosa jika menolaknya. Ini juga tujuanmu menikah, bukan? Menyerahkan tubuh demi hutang sekaligus menyelamatkan diri dari keluarga laknatmu, ujar Hanum dalam hati.Dia terus-menerus mengatakan hal itu, tetapi sebanyak apapun dia berusaha, dia tetap gemetar dan ketakutan. Sentuhan tangan Hajin yang menyusuri jengkal demi jengkal dirinya membuat Hanum merasa panas, tegang dan sangat tidak bisa rileks.Hanum yang terus saja kaku membuat Hajin menenangkannya dengan membelai rambut Hanum dan memberinya ciuman kening. Hanum bisa merasakan sebuah kehangatan di sana."Tenanglah, Sayang … aku tidak akan menyakitimu. Kamu tahu, aku tidak akan dengan sengaja merusak barang milikku bukan?"Hanum mengedip-ngedipkan matanya. Napasnya memburu. Dia menahan dada Hajin lalu mengatakan,"Tunggu sebentar. Saya tidak bisa bernapas, Pak …"Hanum berbicara dengan polosnya. Hajin jadi gemas dan ingin menertawainya. Di saat bersamaan, pandangannya kian bertambah gelap."Padahal, ini belum apa-apa. Tapi, kamu sudah tidak bisa bernapas saja."Hajin menjeda ucapannya. Tangan Hajin turun dari dada ke pinggang Hanum."Ekspresi dan tubuhmu sekarang, benar-benar membuatmu gila, Hanum. Jangan mati dulu, bernapaslah dengan benar."Hajin menciumnya lagi. Hanum masih merasa tidak karuan. Ini benar-benar hal baru baginya. Hajin menyatukan kening mereka dan kembali berbicara."Tenang saja. Aku orang yang menepati ucapanku. Saat aku bilang selalu menjaga milikku, aku pasti menjaganya dengan baik. Aku tidak akan merusaknya sedikit pun. Jadi, percayalah padaku, Hanum?"Sekian detik Hanum merasa tersihir dengan kata-kata Hajin. Sungguh, saat ini, Hajin terlihat seperti pria yang paling menjanjikan di dunia dengan bibir lembut dan kata-kata manisnya. Tapi, hal itu tak bertahan lama. Hanum tersentak dengan apa yang dilakukan Hajin sekarang.Wajahnya memerah antara panas sekaligus malu. Napasnya pun memburu."Pak … bisa Bapak keluarkan tangan Bapak dari sana? Rasanya aneh."Mata Hanum mulai berkaca akibat sentakan yang dirasakannya tadi. Dia memegang lengan Hajin. Namun, Hajin hanya menciumi wajahnya."Tidak apa, aku melakukannya dengan baik. Jadi, jangan khawatir dan nikmati saja, Sayang …"Hanum menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menggerakkan kakinya karena dia merasakan sensasi aneh dari sana. Dia memegang lengan Hajin lebih erat. Dia menatap Hajin dengan tatapan memohon cenderung sangat memelas."Tidak. Tidak. Tolong, keluarkan itu dulu. Ini tidak benar, Pak. Seharusnya kita salat pengantin dan Bapak harus mendoakan ssya. Atau setidaknya Bapak harus membaca doa dulu. Saya tidak ingin ada setan yang terlibat dalam hubungan kita … saya mohon … Pak …"Deg!Seketika Hajin membeku. Dia menghentikan pergerakannya dan menyibak rambutnya ke atas dengan amarah. Dia lalu membentak."Ha, jadi ini caramu?"Hanum terperanjat karena Hajin sangat marah."Ini cara agar kamu lepas dariku malam ini?" tuduhnya.Hanum menyangga dirinya untuk duduk dan menutup tubuhnya dengan selimut."Tidak, tidak, Pak. Saya tidak bermaksud begitu. Saya-hwaaa …"Hanum berteriak karena Hajin menarik kedua kakinya. Dia jadi sangat ketakutan sekarang. Apalagi mata Hajin yang gelap dengan kabut bertambah ngeri dengan amarah."Pak … Bapak … saya …"Hanum terbata-bata dengan perasaan takut, tetapi Hajin tidak menggubrisnya."Aku tidak peduli. Yang pasti aku akan mematahkan ekspektasimu sekarang, karena aku tidak akan berhenti. Ini justru membuatku bertambah semangat, Hanum."Setelahnya hanya terdengar teriakan Hanum. Tidak ada lagi sentuhan lembut Hajin sampai Hanum benar-benar menangis dan memohon."Seharusnya, kamu menurut saja, kenapa harus menyinggungku?"Hajin mencium pelipis Hanum yang mengalir air mata."Sudah baik, aku menikah denganmu. Jadi, jangan bersikap seolah kita menikah dengan benar. Kamu cuma pelacur, Hanum."Air mata Hanum merembes ke bantal saat memalingkan wajahnya antara malu juga sakit hati."Iya, saya memang pelacur. Tapi, saya pelacur halal buat Bapak …"Hajin tidak membalas. Dia hanya melanjutkan kegiatan mereka sampai dini hari, tentu dengan lebih lembut. Akan tetapi, selembut apapun itu … Hanum tidak bahagia.Bodoh sekali dirinya mengharap malam pertamanya akan bisa juga dia lalui sesuai syariat seperti akad nikahnya. Padahal, sejak awal ini hanya pernikahan nafsu.Apa yang bisa Hanum harapkan?***
"Lelah? Masih sakit?"Hajin bertanya setelah mereka selesai mandi.Dia membelai kepala Hanum. Perempuan itu memegangi selimutnya sampai leher."Iya, sakit, Pak."Hajin mencium keningnya."Gak papa, itu normal. Nanti juga membaik. Kamu libur aja, gak usah masuk kantor hari ini. Aku bakal bawa kamu ke rumah. Kamu bisa istirahat dulu."Hajin berkata begitu. Hanum jadi ingin menangis saja.Setelah memperlakukannya dengan kasar meski sebentar, tetap saja hati Hanum terluka. Dia jadi takut untuk membantah."Iya."Mendengar jawaban Hanum yang patuh, Hajin menarik tubuhnya dan mendekapnya."Tidur aja. Masih ada waktu sebelum pagi."Saat itu Hanum menggigit bibirnya."Saya harus salat subuh, Pak," cicitnya.Dia takut Hajin akan menyentaknya lagi."Ya, masih ada 2 jam sebelum jam 4. Tidur aja. Tubuhmu pasti lelah. Aku bakal stel alarm."Mendengar jawaban Hajin, Hanum langsung lega. Debar-debar takut di dadanya berangsur hilang.Hanum masih belum sepenuhnya tahu bagaimana karakter Hajin. Sebagai seorang CEO, dia dingin dan menakutkan. Tapi, sebagai pria? Adakalanya dia sangat dingin, tetapi ada juga kalanya dia memakluminya seperti sekarang.Hanum tidak mau berpikir panjang dan membuatnya kian merasa rumit. Dia pun memutuskan untuk tidur. Perlahan kesadaran Hanum mulai menghilang dalam pelukan Hajin yang kini terasa hangat.Hanum yakin sekali, Hajin menikahinya dengan akad agama Islam. Hanum juga mendengar Hajin mengucapkan basmalah dan semua rentetannya mengikuti Pak Kyai saat ijab kabul dengan baik. Dia bukan seperti amatir yang agama hanya untuk pelengkap KTP. Namun, kenapa? Malam tadi saat Hajin menolak salat pengantin dengannya, Hanum bisa mengerti. Mungkin Hajin ingin melakukan itu dengan wanita yang dia cintai suatu hari nanti. Akan tetapi, Subuh ini ... saat Hajin membangunkan Hanum untuk salat sesuai janjinya, pria itu justru bermain ponsel saja di ranjang.Dia tak bergeming bahkan ketika Hanum sengaja menggelar sajadah di tepi ranjang yang dekat dengan Hajin. Selesai salat, Hanum ingin sekali bertanya, tetapi dia merasa takut pada Hajin. Masih segar di ingatannya, bagaimana semalam Hajin marah dan menyiksa dirinya, meski bukan siksaan dalam arti sebenarnya. Namun, jika tetap diam, Hanum merasa tidak nyaman. Mereka suami-istri sekarang. Ah, tidak! Tidak! Jika Hanum mengatas namakan hubungan yang
Hanum menjadi pusat perhatian saat tiba di kantor. Dia mengentri presensi pukul 10. Sudah terlambat masuk, eh ... pakaiannya juga ikut mencolok. Bukan sebab lusuh atau aneh justru dia mengenakan pakaian baru yang bermerk. Tapi, karena itulah dia jadi sangat berbeda. Bisa-bisanya anak magang yang baru saja menghilangkan uang perusahaan malah datang dengan baju mahal? Apalagi Hanum biasanya hanya mengenakan kemeja murah yang dijual obralan saja. Jadi, bagaimana bisa orang-orang tidak berisik membicarakannya lagi? Tentu saja, dia menjadi sasaran empuk sebagai kopi panas hari ini.Semuanya gara-gara Hajin.Pagi tadi ... saat mengajak keluar dari hotel, Hanum berpikir Hajin akan mengantarkannya ke rumah. Akan tetapi, yang dimaksud rumah oleh pria itu adalah rumahnya sendiri bukan rumah Hanum.Hanum baru tersadar ketika mereka sampai di depan sebuah rumah megah milik Hajin. Saat akan turun, Hanum menghentikan Hajin. "Tunggu sebentar, Pak. Saya gak punya baju ganti buat ngantor. Saya lupa,
Hanum tidak tahu mengapa Husna sangat membencinya. Saat mereka masih kecil, Hanum berpikir … Husna hanya belum dewasa. Kehadirannya yang tiba-tiba dalam hidup Husna pasti mengganggu. Namun, seiring berjalannya waktu dan mereka telah dewasa sekarang. Hanum mulai menyadari bahwa Kakaknya ini hanya tidak suka padanya. Dia hanya tidak suka Hanum hidup dan bernapas seperti perkataannya. Karena itu, rasanya jika Hanum balik membenci Husna pun tidak salah. Husna benar-benar sudah keterlaluan padanya. Plak!"Jaga ucapan kamu, Husna Thana! Kamu pikir, karena siapa aku jadi kayak gini?" Hanum membentak Husna setelah dia melayangkan tamparan. Dia cepat-cepat memperbaiki blazer dan kerudungnya. "Siapa yang ngilangin uang, siapa juga yang tanggung jawab? Kalau kamu emang masih punya nurani, lebih baik kamu diem! Kecuali kamu bisa ngembaliin kehormatanku lagi."Detik itu juga Husna yang tadi akan meledak setelah ditampar kini tercengang. Akan tetapi, tak lama dia malah mendengus tawa. "Ha, jad
"Masuk!"Hajin menyahuti ucapan Hanum dengan cepat. Saat dia sampai di ruangannya, Hajin tidak membalikkan kursinya seperti biasa. Dia sudah menghadap kedepan lengkap dengan beberapa lembar kertas di meja. Itu adalah kertas-kertas yang muncul dari fax mail."Kenapa lama sekali? Aku sudah nyuruh Wina untuk memanggilmu sejak tadi. Kamu ke mana? Jangan-jangan kamu keluyuran lagi pas jam kerja?!" Hajin menatapnya curiga. Hanum sedikit tercengang atas tuduhan Hajin. Jika soal pekerjaan, pria itu jadi sangat menyebalkan. "Tidak, Pak. Mana berani saya begitu. Saya cuma ke toilet tadi. Bukan salah saya juga kan saya jadi lama?" Mendengar jawaban Hanum, Hajin menyentuh pangkal hidungnya seakan sedang pusing."Baiklah. Kemari ..."Hajin memundurkan tempat duduknya sedikit dan mengambil salah satu lembar kertas di mejanya dengan tangan kiri. Hanum mendekat ke depan meja sesuai perintah. Namun, Hajin menyuruhnya untuk lebih dekat. "Mendekatlah ..."Hanum bergerak dari depan meja ke samping.
Pukul 12.30, jam istirahat sudah berlalu 30 menit, tapi tak ada tanda-tanda Hajin akan beranjak dari kursinya untuk keluar. Hanum jadi heran, apa setiap hari Haji seperti itu? Hanya kerja? Kerja? Dan kerja? Hanum sungguh tidak paham dengan pikiran orang-orang kaya yang gila kerja. Mereka sudah kaya, tapi karena sifat gila kerjanya itu mereka terus bertambah kaya, sedang orang-orang yang seperti dirinya justru inginnya cepat-cepat rebahan saja. Huh, yang salah memang hanya kebiasaannya. Meski begitu, mana bisa terus bekerja tanpa makan?"Pak ..." Hanum pun memanggil Hajin. Pria itu berdehem karena sedang mengetik di komputernya. "Bapak gak istirahat? Setidaknya, makan?" "Bilang aja kamu yang lapar dan pengen istirahat Hanum," balas Hajin tanpa menatapnya. Dia lantas menghidupkan ponsel pribadinya untuk menelfon seseorang."Na? Udah dapat makanannya belum?"Suara berisik udara luar langsung terdengar. Hajin me-loud speaker panggilan itu hingga Hanum ikut mendengarkan. Hanum memainka
Hanum merutuki kebodohannya sembari menatap ponsel di tangan. Dia baru sadar bahwa dia tidak memiliki nomor pribadi Hajin. Padahal, hari ini dia akan mengambil barangnya dari rumah. Sementara Hajin tidak kembali ke ruangannya bahkan setelah jam pulang kantor. Helaan napas berat terus menemani Hanum sepanjang perjalanannya menaiki bus. Sekarang, dia hanya bisa berdoa semoga Husna tidak langsung pulang ke rumah. Semoga Husna nongkrong sampai malam sehingga mereka tidak perlu bertemu. Jadi, Hanum bisa keluar dari rumah dengan tenang. Sayangnya, harapan dan keinginan selalu saja tak sama dengan kenyataan. Ketika baru saja melangkah dari pintu, suara Husna sudah langsung terdengar. "Nah, datang juga anaknya, Yah! Cepat hukum dia! Dia tidur sama atasan dan mau jadi simpanannya. Malu-maluin keluarga aja."Husna mengadu pada Thana. Pria paruh baya itu masih mengenakan jas formalnya, terlihat dia juga baru saja datang. Husna pun masih memakai rok mini meskipun blazernya telah dia lepas.
"Husna, hentikan!"Hampir saja ujung gunting itu melukai wajah Hanum jika Thana tidak sampai tepat waktu. Dia memang berniat menyusul Hanum ke kamarnya, tetapi karena sakit kepala, dia baru beranjak setelah mendengar bunyi benda dibanting. Saat sampai di depan pintu, Thana terkejut karena Husna memegang gunting. Thana segera menghampiri Husna dan merebut guntingnya."Apa yang kamu lakukan, Husna? Kamu ingin melukai Adikmu? Apa kamu hilang akal? Dan kenapa tangan Hanum berdarah?"Sakit kepala seketika menyerang Thana lagi. Dia memegang kepalanya sebentar kemudian berteriak. "Sudah, cukup, kalian! Ayah sakit kepala sekarang. Jadi, kita bicarain ini lain waktu. Husna kembali ke kamar! Dan Hanum ... obati tanganmu."Saat itu Husna yang masih kesal, ingin protes. Namun, Thana langsung menyentaknya."Kembali ke kamarmu, Husna! Jangan buat ayah bicara 2 kali."Alih-alih langsung kembali ke kamarnya, Husna masih tidak juga beranjak. Dia masih menatap Hanum dengan penuh kebencian. Sementa
"Lukanya tidak dalam, jadi gak perlu dijahit. Jangan kena air dulu ya dan 2 hari lagi, bisa kontrol ke rumah sakit buat bersihin lukanya supaya gak membekas."Dokter mengatakan itu setelah mengobati punggung tangan Hanum. Wanita itu mengiyakan nasehat dokter dan berterima kasih. Setelah itu, dia kembali ke rumah bersama Hajin. Sesampainya di rumah, Karimah-asisten rumah tangga Hajin yang menyambut, langsung terkejut melihat tangan Hanum. "Ya Allah, Nyonya ... kenapa tangannya? Apa ini ulah Tuan?" Karimah lantas menatap dengan menyelidik pada Hajin. Karena sudah merawat Hajin bertahun-tahun, Karimah sudah seperti Bibi sendiri untuk Hajin. "Bukan aku! Memangnya apa yang bisa aku lakuin sampe bikin tangannya kayak gitu, Bi?!"Hajin mengelak. Karimah menghela napas."Ya, siapa yang tahu? Tuan dan nyonya muda kan pengantin baru dan masih semangat-semangatnya. Tuan bisa saja kelewatan.""Astaga! Yang benar saja! Aku tidak sebringas itu, Bi!" ujar Hajin menegaskan."Tolong, siapkan maka