Share

Chapter 9. Cinta Pertama?

Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa.

Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya.

Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai.

"Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi.

"Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan.

Mimisannya sudah berhenti dan pening dikepalanya sudah tidak ia rasakan lagi seakan memang tak pernah ada, meskipun badannya masih demam. Perempuan yang diajak bicara hanya terdiam tak tahu harus menanggapi apa.

"Mmm, sapu tangannya akan saya kembalikan nanti kalau sudah saya cuci." Begitu Diwa menoleh kesamping, jantungnya kembali dibuat berpacu ketika tangan kanan Kandi tiba-tiba menyentuh keningnya.

Deg. Bunyi lonceng kembali sama-samar terdengar ditelinga Diwa, bersamaan dengan degup jantungnya yang berpacu.

"Kakak panas, makannya sampai mimisan. Pantesan dari tadi pucet banget."

“Tadi takut dibawa orang asing ini, kenapa sekarang malah sok perhatian kaya gini, wahai Dewangga Nilakandi?” ucap Kandi dalam hati.

Nampaknya otak dan hatinya sedang berdebat ria. Begitu ia sadar lelaki didepannya memandang dengan tatapan terkejut dan mata yang melebar, ia pun menarik tangannya cepat.

"Ah iya, saya agak demam. Saya boleh panggil kamu Kandi?" tanya Diwana mencoba mengalihkan pandangan ke semak belukar.

"Hm? Ya boleh-boleh aja, kan itu nama saya. Sebetulnya saya ada panggilan lain, tapi khusus untuk orang-orang terdekat aja." Jawaban polos Kandi sukses membuat senyum mengembang diwajah Diwa.

Suasana canggung menyelimuti keduanya, lagi. Jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Jika ini Diwana yang biasanya, ia pasti sudah panik buru-buru berangkat ke kantor.

Tapi begitu melihat jam ditangannya, ia justru tersenyum dengan santai. Mungkin merasa tidak habis pikir, kenapa ia bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu didepan wanita. Diam-diam Diwana menertawai dirinya sendiri

"Kalau saya pakai aku-kamu, boleh?" Kali ini Diwana menatap lekat kedua netra Nilakandi yang ditatap hanya diam memaku, seperti sedang disihir oleh suasana.

Surai hitamnya menari-nari dibelai angin pagi, cantik sekali. Jantung Diwana kembali berdebar, rasanya seperti sedang berbicara pada lukisan Gadis Bergaun Biru diatas nakas. Pun seperti sedang melihat sketsa Biru tiba-tiba hidup dan bahkan kini duduk disampingnya.

"B-boleh" jawab Nilakandi seraya tersenyum.

“Hei, jangan tersenyum... aku bisa mati,” rapal Diwana dalam hati.

"Oiya, ini kartu nama SE gedung ini. Maaf karena aku malah jadi kelupaan." Saat Kandi mengulurkan tangan mengambil kartu nama dari genggaman Diwa, lelaki itu melihat sekilas bekas luka sayatan ditelapak tangan perempuan itu. Tapi dihiraukannya sebisa mungkin, tak ingin ikut campur lebih jauh.

"Kak Diwana, aku boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, silahkan."

"Memangnya aku mirip dengan siapanya Kak Diwana?"

Skak mat.

Mau Diwa jawab apa pertanyaan Kandi ini? Kalau ia bilang mirip perempuan di mimpinya selama bertahun-tahun, berani bertaruh Nilakandi akan menertawakannya. Masih bagus hanya ditertawakan, Diwa menduga bahkan mungkin gadis ini akan jadi takut padanya.

"Mmm, mungkin cinta pertamaku?" jawab Diwana dengan nada ragu-ragu.

Perempuan didepannya justru tertawa, tanpa Diwa duga.

"Serius? Maaf Kak, kukira skenario kaya gini cuma ada di film-film aja."

"Ketawa aja nggak papa, tapi dia itu betul-betul mirip kamu. Semuanya. Makannya saya eh aku kaget waktu pertama kali lihat kamu tadi."

"Namanya siapa kalau boleh tau?"

"Mmm, dia nggak punya nama. Tapi aku manggil dia Biru. Aku udah enam tahun penuh selalu mimpiin dia." Kandi justru bingung dengan jawaban-jawaban Diwana

Untuk sepersekian detik Kandi sempat berpikir bahwa lelaki didepannya ini tidak waras.

"Kenapa nggak ditemuin langsung aja? Kan nggak enak kalau sampai kebawa-bawa mimpi kaya gitu."

“Seandainya aku tau siapa dan kenapa, udah kulakukan enam tahun silam.”

"Hmm lupakan, kakak aneh banget kan?" Diwa hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Otak Diwa berkelana lagi, menikmati detik demi detik yang mengalun dari jam tangannya.

Melihat sosok manusia yang sebelumnya hanya ada di mimpi seperti hantu tentu membuatnya merasa campur aduk. Senang, bingung, dan sedikit rasa takut.

Dilihatnya jam tangan dipergelangan, pukul sembilan lewat lima menit. Waktu seakan berjalan ratusan kali lebih cepat saat kita bersama orang yang, mmm entahlah. Diwana hanya merasa nyaman saat ini, tidak peduli dengan sang waktu.

"Ini, kak." Kandi mengulurkan sesuatu yang sepertinya adalah obat, dibungkus plastik bening berjumlah dua macam.

"Hah?"

"Kakak kan panas, pucet gitu, sampai matanya sayu banget." Hati Diwana tak tertolong lagi saat Kandi menatap dalam. Terlihat sekali ketulusan dibalik kalimat-kalimatnya.

"Oh iya, terimakasih. Kamu kok bisa sedia obat di tas gitu? Nanti kakak bisa ke dokter juga sebenernya," jawab Diwa mengambil obat itu juga akhirnya.

"Aku sering demam juga, jadi P3K aku komplit. Aku nggak suka dokter, jadi selalu sedia obat sendiri."

Diwana tak ambil pusing dengan jawaban Kandi, diotaknya justru terbersit pikiran betapa lucunya gadis itu saat berbicara. Cantiknya sama dengan Biru yang ada di mimpi, aneh. Secara fisik semuanya benar-benar sama.

Selagi Diwa dan otaknya berkelana, ada dua pasang mata yang mengintai dibelakangnya sejak tadi. Ya, Jovyan dan Tama.

"Diwana... Lo tuh dica- AAAA SETAN...." Jovyan sontak terkejut, membelalakkan mata pada Nilakandi yang menoleh kearahnya tak kalah terkejut. Ia tergopoh bersembunyi dibalik badan Tama meskipun Jovyan memiliki ukuran badan dua kali lebih besar. Tama juga terkejut, mencoba merangkai adegan didepannya.

"Di-diwa, dia siapa?" tanya Tama masih belum melepaskan pandangan dari Nilakandi. Perempuan itu agak takut tapi sekaligus kebingungan.

Bagaimana tidak, tiga lelaki asing yang baru ia temui bertingkah sangat aneh. Yang satu langsung memeluknya sambil menangis, yang satu lagi langsung memanggilnya setan, dan yang satunya lagi diam terpaku ketakutan.

"Kalian ngapain kesini?" tanya Diwa pada kedua sahabatnya yang masih menatap kelu kearah Nilakandi. Mereka berdua seperti mendadak tuli, karena pertanyaan Diwa sungguh tak terdengar.

"Mmm, Kak maaf. Aku duluan ya, mau ngurusin rumah dulu," pamit Kandi seraya berdiri, hendak meninggalkan ketiga manusia aneh itu.

"K-kandi tunggu" cegah Diwa saat gadis itu sudah menjauh beberapa langkah.

"Iya?"

"Besok, boleh bertemu lagi?"

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status