Kicau burung kolibri yang tadi pagi membangunkan Diwana kembali terdengar, tapi kali ini bukan dari balik jendela kamar Diwa.
Diwana dan Nilakandi kini duduk di bangku taman apartemen. Perempuan itu duduk di ujung bangku, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari lelaki asing disampingnya.
Matanya berkeliling sebentar, lega dirasa saat matanya menangkap pos satpam disamping gerbang utama, lengkap dengan seorang satpam yang tengah bertugas. Bagaimanapun juga, ia sedang bersama orang asing saat ini. Awalnya hening, tak ada yang memulai.
"Saya.. Diwana" ucap Diwa tanpa melirik kearah gadis disampingnya, mengulangi kalimatnya di lift tadi. Jika boleh jujur, hatinya masih berdegup kencang memandang Biru, maksudnya Nilakandi.
"Saya penghuni rumah 903, calon tetangga kamu. Maaf atas apa yang saya lakukan tadi. Saya hanya salah orang." Ia masih terus memandang tanah berselimut rumput dikakinya, sambil memainkan sapu tangan penuh bercak darah ditangan.
Mimisannya sudah berhenti dan pening dikepalanya sudah tidak ia rasakan lagi seakan memang tak pernah ada, meskipun badannya masih demam. Perempuan yang diajak bicara hanya terdiam tak tahu harus menanggapi apa.
"Mmm, sapu tangannya akan saya kembalikan nanti kalau sudah saya cuci." Begitu Diwa menoleh kesamping, jantungnya kembali dibuat berpacu ketika tangan kanan Kandi tiba-tiba menyentuh keningnya.
Deg. Bunyi lonceng kembali sama-samar terdengar ditelinga Diwa, bersamaan dengan degup jantungnya yang berpacu.
"Kakak panas, makannya sampai mimisan. Pantesan dari tadi pucet banget."
“Tadi takut dibawa orang asing ini, kenapa sekarang malah sok perhatian kaya gini, wahai Dewangga Nilakandi?” ucap Kandi dalam hati.
Nampaknya otak dan hatinya sedang berdebat ria. Begitu ia sadar lelaki didepannya memandang dengan tatapan terkejut dan mata yang melebar, ia pun menarik tangannya cepat.
"Ah iya, saya agak demam. Saya boleh panggil kamu Kandi?" tanya Diwana mencoba mengalihkan pandangan ke semak belukar.
"Hm? Ya boleh-boleh aja, kan itu nama saya. Sebetulnya saya ada panggilan lain, tapi khusus untuk orang-orang terdekat aja." Jawaban polos Kandi sukses membuat senyum mengembang diwajah Diwa.
Suasana canggung menyelimuti keduanya, lagi. Jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Jika ini Diwana yang biasanya, ia pasti sudah panik buru-buru berangkat ke kantor.
Tapi begitu melihat jam ditangannya, ia justru tersenyum dengan santai. Mungkin merasa tidak habis pikir, kenapa ia bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu didepan wanita. Diam-diam Diwana menertawai dirinya sendiri
"Kalau saya pakai aku-kamu, boleh?" Kali ini Diwana menatap lekat kedua netra Nilakandi yang ditatap hanya diam memaku, seperti sedang disihir oleh suasana.
Surai hitamnya menari-nari dibelai angin pagi, cantik sekali. Jantung Diwana kembali berdebar, rasanya seperti sedang berbicara pada lukisan Gadis Bergaun Biru diatas nakas. Pun seperti sedang melihat sketsa Biru tiba-tiba hidup dan bahkan kini duduk disampingnya.
"B-boleh" jawab Nilakandi seraya tersenyum.
“Hei, jangan tersenyum... aku bisa mati,” rapal Diwana dalam hati.
"Oiya, ini kartu nama SE gedung ini. Maaf karena aku malah jadi kelupaan." Saat Kandi mengulurkan tangan mengambil kartu nama dari genggaman Diwa, lelaki itu melihat sekilas bekas luka sayatan ditelapak tangan perempuan itu. Tapi dihiraukannya sebisa mungkin, tak ingin ikut campur lebih jauh.
"Kak Diwana, aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, silahkan."
"Memangnya aku mirip dengan siapanya Kak Diwana?"
Skak mat.
Mau Diwa jawab apa pertanyaan Kandi ini? Kalau ia bilang mirip perempuan di mimpinya selama bertahun-tahun, berani bertaruh Nilakandi akan menertawakannya. Masih bagus hanya ditertawakan, Diwa menduga bahkan mungkin gadis ini akan jadi takut padanya.
"Mmm, mungkin cinta pertamaku?" jawab Diwana dengan nada ragu-ragu.
Perempuan didepannya justru tertawa, tanpa Diwa duga."Serius? Maaf Kak, kukira skenario kaya gini cuma ada di film-film aja."
"Ketawa aja nggak papa, tapi dia itu betul-betul mirip kamu. Semuanya. Makannya saya eh aku kaget waktu pertama kali lihat kamu tadi."
"Namanya siapa kalau boleh tau?"
"Mmm, dia nggak punya nama. Tapi aku manggil dia Biru. Aku udah enam tahun penuh selalu mimpiin dia." Kandi justru bingung dengan jawaban-jawaban Diwana
Untuk sepersekian detik Kandi sempat berpikir bahwa lelaki didepannya ini tidak waras.
"Kenapa nggak ditemuin langsung aja? Kan nggak enak kalau sampai kebawa-bawa mimpi kaya gitu."
“Seandainya aku tau siapa dan kenapa, udah kulakukan enam tahun silam.”
"Hmm lupakan, kakak aneh banget kan?" Diwa hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Otak Diwa berkelana lagi, menikmati detik demi detik yang mengalun dari jam tangannya.
Melihat sosok manusia yang sebelumnya hanya ada di mimpi seperti hantu tentu membuatnya merasa campur aduk. Senang, bingung, dan sedikit rasa takut.
Dilihatnya jam tangan dipergelangan, pukul sembilan lewat lima menit. Waktu seakan berjalan ratusan kali lebih cepat saat kita bersama orang yang, mmm entahlah. Diwana hanya merasa nyaman saat ini, tidak peduli dengan sang waktu.
"Ini, kak." Kandi mengulurkan sesuatu yang sepertinya adalah obat, dibungkus plastik bening berjumlah dua macam.
"Hah?"
"Kakak kan panas, pucet gitu, sampai matanya sayu banget." Hati Diwana tak tertolong lagi saat Kandi menatap dalam. Terlihat sekali ketulusan dibalik kalimat-kalimatnya.
"Oh iya, terimakasih. Kamu kok bisa sedia obat di tas gitu? Nanti kakak bisa ke dokter juga sebenernya," jawab Diwa mengambil obat itu juga akhirnya.
"Aku sering demam juga, jadi P3K aku komplit. Aku nggak suka dokter, jadi selalu sedia obat sendiri."
Diwana tak ambil pusing dengan jawaban Kandi, diotaknya justru terbersit pikiran betapa lucunya gadis itu saat berbicara. Cantiknya sama dengan Biru yang ada di mimpi, aneh. Secara fisik semuanya benar-benar sama.
Selagi Diwa dan otaknya berkelana, ada dua pasang mata yang mengintai dibelakangnya sejak tadi. Ya, Jovyan dan Tama.
"Diwana... Lo tuh dica- AAAA SETAN...." Jovyan sontak terkejut, membelalakkan mata pada Nilakandi yang menoleh kearahnya tak kalah terkejut. Ia tergopoh bersembunyi dibalik badan Tama meskipun Jovyan memiliki ukuran badan dua kali lebih besar. Tama juga terkejut, mencoba merangkai adegan didepannya.
"Di-diwa, dia siapa?" tanya Tama masih belum melepaskan pandangan dari Nilakandi. Perempuan itu agak takut tapi sekaligus kebingungan.
Bagaimana tidak, tiga lelaki asing yang baru ia temui bertingkah sangat aneh. Yang satu langsung memeluknya sambil menangis, yang satu lagi langsung memanggilnya setan, dan yang satunya lagi diam terpaku ketakutan.
"Kalian ngapain kesini?" tanya Diwa pada kedua sahabatnya yang masih menatap kelu kearah Nilakandi. Mereka berdua seperti mendadak tuli, karena pertanyaan Diwa sungguh tak terdengar.
"Mmm, Kak maaf. Aku duluan ya, mau ngurusin rumah dulu," pamit Kandi seraya berdiri, hendak meninggalkan ketiga manusia aneh itu.
"K-kandi tunggu" cegah Diwa saat gadis itu sudah menjauh beberapa langkah.
"Iya?"
"Besok, boleh bertemu lagi?"
----
Semesta hanya bermain-main, ia suka bercanda.Jangat takut pulang.Rindumu seperti lautan lepas yang tak berujung.Indah, tapi juga bisa membunuhmu.Diwana… apa yang kau cari?Diwana… pulanglah.Alunan puisi menggema di mimpi misterius itu, sedang Diwana masih berdiri terpaku di bibir pantai. Ia memindai ke sekeliling, mencari siapapun sosok bernyawa yang bisa ia temukan.Pandangan matanya pun menangkap sosok tak asing dikejauhan, sekitar dua puluh kaki dari tempat ia berdiri, lebih jauh dari biasanya. Lelaki yang duduk memeluk lutut di pasir pantai yang basah.“Itu… aku?” batin Diwana yang masih enggan bersuara karena takut akan terbangun tiba-tiba.Aoakah peraturan mimpinya masih sama? Entahlah. Dan kenapa mimpi itu datang lagi setelah sekian lama? Entahlah.Saat pikirannya berkecamuk, Diwana muda di depan sana tau-tau bangkit
“Kak Diwana curang, hmm… tapi kalau demi Kak Kai nggakpapa deh,” protes Aiden saat Diwana meminjam motornya untuk berjalan-jalan malam itu.Pasalnya, duo Aiden dan Andini juga hendak berkeliling kota usai makan malam.“Pakai mobil nggakpapa kok, Ai,” timpal Andini, meluluhkan hati Aiden seketika.“Tuh dengar Andini, pakai mobil juga nggak kalah romantis kok. Nanti Kakak kasih uang jajan deh, ajak Andini cari dessert di café yang bagus,” tawar Diwana dengan niat menyogok adiknya.Aiden pun tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia bisa memanfaatkan kakaknya lagi.“Terimakasih, Kakak ganteng,” puji Aiden dengan wajah berseri, membuat Diwana heran tak habis piker. Sedangkan Andini, Nilakandi dan Bunda hanya tertawa kecil melihat tingkah lelaki humoris itu.“Tapi maksimal jam sebelas sudah harus sampai rumah, kamu bawa anak orang,” ucap Diwana menekankan kata jam sebelas.
“Diwana? Aku tidak tahu kamu tengah berkunjung,” sapa Dokter Tano begitu Diwana membukakan pintu.“Iya, Dok. Dokter apa kabar? Lama tak bertemu.”“Benar juga, aku baik, bagaimana jantungmu?” tanya dokter itu.“Tak pernah sebaik ini,” jawab Diwana.“Oh iya, ayo masuk, Dok. Bunda sedang ke minimarket dengan Aiden.”Keduanya kemudian masuk dan duduk di ruang tamu, Diwana lantas meracikkan teh hangat untuk keduanya.“Bagaimana hidupmu, Diw? Aku mendengar semua cerita tentang tragedi itu dari bundamu, sepertinya harimu berat,” tanya Dokter Tano memecah sunyi.“Baik, Dok. Semuanya perlahan membaik, syukurlah,” jawabnya.“Oh iya, tumben sekali Dokter ke sini? Ada agenda sama Bunda?” tanya Diwana seraya meletakkan dua gelas teh itu di meja.“Ah itu, aku hanya ingin membahas beberapa kasus pasienku saja dengan bundamu. Mungkin bu
“You did well, kamu sudah bekerja keras hari ini, Sayang. Aku bangga,” puji Diwana usai Nilakandi merebahkan diri di sandaran kursi mobilnya sambil terpejam.Kalimat-kalimat itu terdengar memabukkan di telinga Nilakandi, membuatnya mengulas senyum malu-malu. Perlakuan manis tapi sederhana seperti ini selalu membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari.“Mau bertemu Bunda dan Aiden? Mereka khawatir sama kamu, udah telepon terus dari kemarin,” ujar Diwana sambil terus fokus mengemudi.“Aku kangen, tapi… kondisi aku kaya gini,” jawab Nilakandi seraya membuka matanya.“Kaya gini gimana? Pasti lagi insecure lagi, kan?”Nilakandi mengangguk mengiyakan menatap Diwana, membuat lelaki di depannya spontan menatap dalam.“Aku masih selemah ini, Kak. Mau bisa jalan dulu sebelum bertemu Bunda. Memangnya Kak Diwana nggak malu?” protes Nilakandi kemudian.Mendengar hal itu, Diwana diam
Diwana masih setia duduk di samping Nilakandi yang bersandar di bahunya, tangan mereka masih bertaut sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu. Mereka sudah berada di dalam ruang interogasi yang setiap sudut ruangannya memiliki kamera pengintai dan perekam suara.“Ngantuk?” tanya Diwana pada Nilakandi yang sudah membisu beberapa saat.“Nggak kok, pegel ya?” Nilakandi sontak bangun, lalu melirik ke arah bahu Diwana yang langsung menggeleng kencang.“Mau bersandar seratus tahun di bahuku juga nggak akan pernah pegel. Sini.” Lelaki itu membawa kepala Nilakandi kembali bersandar di bahunya, sedang si perempuan hanya tersenyum malu-malu.“Kak, suara kita direkam, tau,” bisik Nilakandi.“Apa aku terlihat peduli? Nggak, sayang,” kelakar Diwana. Lelaki itu berhasil membuat Nilakandi tertawa lagi dengan candaan bucinnya.Tepat saat itu, seorang polisi kemudian masuk ke dalam ruangan,
Diwana mendorong kursi roda Nilakandi dengan telaten. Setelah melalui diskusi panjang dengan para dokter, ia akhirnya bisa mendapatkn ijin untuk membawanya pulang.Sampailah mereka di depan pintu apartemen. Bukan, bukan apartemen Diwana, melainkan apartemen Nilakandi sendiri seperti yang dimintanya.“Udah siap? Kangen rumah, ya?” tanya Diwana, Nilakandi pun mengangguk dengan antusias.Diwana menuntun Nilkandi ke dalam kamarnya, lalu berhenti tepat di samping ranjang. Lelaki itu berlutut di depan kursi roda dan menengadah menatap mata sang kekasih.“I love you, like, so… much,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Nilakandi.“Ih, bucin banget,” komentar Nilakandi.Diwana hanya terkekeh melihat reaksi sang kekasih, ia bangkit dan merapikan bantal untuk NIlakandi sebelum akhirnya membaringkannya di sana dengan hati-hati.“Kak,”“Hm? Ada apa?”“Mau dius