[My heart!]Hati Rosa seakan ditembak anak panah cupid bersayap. Senyum menawan Devon begitu memesona. Benar-benar ... mematikan. Lelaki dingin yang tak biasa tersenyum dan selalu memasang wajah kaku suntuk itu, kalau sekali saja meleleh, sungguh bisa menjadi matahari. Senyumnya menerangi dunia.Rosa pernah dengar dari Felina bahwa lelaki dengan ciri-ciri seperti Devon ini, bila bertemu dengan wanita yang benar-benar dia sukai, dapat berubah 180 derajat. Dia bisa menjadi sangat hangat dan pengertian, serta perhatiannya hanya tertuju pada sang wanita pemilik hatinya. Rosa meragukannya. Tetapi, di saat bersamaan juga percaya. Sebab tak ada alasan lain dibalik perlakuan istimewa Devon terhadapnya kalau bukan karena suka. Rosa tak bisa mengelak lagi. Setidaknya, Devon bukan sekedar tertarik saja. Dia betulan suka.Meskipun begitu, perasaannya masih belum cukup untuk meyakinkan Rosa.[Biar kulihat performamu hari ini!]Devon tersenyum samar, kemudian memiringkan badan untuk memberi Rosa
Rosa terlentang menghampar di kasur. Dia melamun lama dan memikirkan motif Devon menemaninya belanja.[Kayaknya bukan kencan kalo cuma pergi beli keperluanku.]Devon kelihatannya tidak tahu harus menyiapkan apa untuk dibawa, makanya ingin ikut Rosa belanja.Rosa yakin, seharusnya begitu.Namun terbesit di kepalanya, kalau Pak Sugi-lah yang selalu merapikan barang bawaan Devon. Sementara pria itu tinggal terima beres.Devon tidak perlu repot memikirkan harus bawa apa.Selama beberapa saat Rosa hanya bisa bengong, sebelum akhirnya bangun dan berjalan menuju lemari baju.Dia melihat tumpukan bajunya dengan ragu.[Well … bagaimanapun juga, nggak ada salahnya siap-siap dari sekarang. Biar besok aku nggak usah bingung mau pakai baju apa.]Tentu saja, ini cuma sekedar siap-siap. Bukan karena Rosa mengantisipasi kencan dengan Devon.[Um … kenapa rasanya seperti aku nggak punya baju?]Baju-baju ini tak nampak spesial untuk dipakai keluar bersama Devon.Rosa menghela napas. Malam ini akan menja
Napas Rosa tertahan dan matanya membulat. Bola matanya bergetar samar. Segelintir emosi bergumul di dalamnya. Namun pada akhirnya, Rosa tak mengucapkan apapun. Setelah keterkejutannya reda, Rosa mengubah arah pandangnya dalam diam. “Gimana soal acara TV itu? Kamu mau datang?”Tatapan Devon berubah kelam. “Kamu masih ingin ikut?” “En.” Rosa menarik tangannya dari genggaman Devon dan memberi jarak yang sesuai di antara mereka. Semanis-manisnya kalimat Devon, Rosa tak akan terlena. Dia tetap harus menyiapkan jalan keluarnya sendiri untuk berjaga-jaga kalau Devon berubah pikiran nantinya. Mimik muka Devon kaku dan dingin. Dia menurunkan pandangannya untuk menyembunyikan badai yang bergemuruh di matanya. Ironis sekali. Begitu dia berbalik dan mengejar Rosa, dia malah dihadapkan dengan penolakan dan perlawanan Rosa. Devon menyunggingkan senyuman sinis. “Kenapa aku harus setuju?”“Kalo kamu peduli sama keinginan aku, harusnya kamu mau. Tapi kalo emang kamu nggak peduli, aku cuma bis
"Kenapa harus malu? Itu hal wajar yang dilakukan setiap suami istri," ujar Devon tenang. Rosa, "...."[Benar-benar tidak senonoh.]Devon memerhatikan warna muka Rosa. "Kamu masih pucat. Sudah minum obat?""Belum. Tapi aku udah baikan, kok. Nggak usah minum obat lagi sepertinya aman." Rosa menggeleng pelan dan menyesap tehnya yang baru. [Pahit. Aku nggak suka minum obat.]Devon menghembuskan napas kasar, lalu menarik pelan pergelangan tangan Rosa. "Ikut aku. Kamu harus habiskan obatnya walaupun sudah merasa lebih baik."Devon menuntun Rosa ke kamarnya dan mendudukkannya di pinggir kasur. "Minum dan istirahatlah."Rosa memberengut, diam tak berkutik di bawah pengawasan Devon. Rosa bisa minum obat kalau dalam keadaan kurang sadar seperti kemarin. Tetapi ketika kesadarannya pulih, akan susah baginya untuk menelan obat pahit.Devon dengan tegas mengambilkan obatnya dan memaksa Rosa untuk minum."Iya, habis ini kuminum. Kamu kerja aja, nggak apa-apa." Rosa menerimanya dengan sangat terpak
Rosa perlahan menghampiri mereka dengan langkah ringan. Dia mengenakan dress terusan putih dan sweater cream. Rambut hitam legamnya terurai halus—berkilau, bulu mata panjangnya tersibak lembut. Kulit seputih susu Rosa kini lebih pucat dan kehilangan cahayanya. Bibir merah cerinya sedikit memutih. Tetapi bila dipadu padankan dengan tubuh ramping dan betapa lemah gemulainya Rosa, dia jadi kelihatan begitu ringkih dan rentan akan tersakiti.Keadaan Rosa memancing simpati Devon dan bahkan Brian, yang datang menemani Kirana untuk meminta maaf atas kegaduhan kemarin. "Kamu nggak istirahat?" tanya Devon. Alisnya bertaut tidak setuju melihat Rosa yang malah duduk di sampingnya. "Aku capek tiduran terus," balas Rosa santai, lalu mengalihkan perhatiannya pada sepasang kakak adik ini.Brian tersenyum bersalah. "Maaf, ya, mengganggu istirahatmu. Aku dengar dari Pak Sugi kamu sakit setelah pulang dari hotel kemarin, jadi aku dan Kirana kemari untuk menjengukmu. Sekalian ....""... Minta maaf su
Devon terlihat dingin dan marah. Yang dia butuhkan adalah waktu untuk menenangkan diri. Namun, tarikan kecil di bajunya bagai ikut menarik benang hati Devon. Dia berpaling menatap Rosa yang memasang ekspresi sungkan tapi tak mau melepaskannya. [Apa bicaraku keterlaluan?]Rosa mau ditemani Devon, hanya saja dia tak bisa mengucapkannya. [Aku harus gimana, ya?]Kening Rosa berkerut halus, alis bertaut. Sesekali dia melemparkan pandangan tersirat pada Devon, lalu mengatupkan bibir rapat. Devon melunak ketika dihadapkan dengan gerak-gerik malu tapi mau Rosa. Pria itu melepaskan tangan Rosa dari lengannya dan duduk bersender sambil menyelonjorkan kaki. Rosa melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya. Tetapi Devon malah memejamkan mata seraya melipat kedua tangan di dada.Devon berujar tegas, "Tidurlah."Setelah termenung beberapa saat, Rosa menurut dan kembali berbaring walaupun dia tidak langsung menutup mata seperti Devon. Dia sibuk memandangi langit-langit kamar dan memikirkan percakap