Tenggorokannya terasa kering. Rosa menelan ludahnya dengan susah payah. Seluruh tubuhnya seperti terjebak dalam kukungan Devon. Ketika Rosa mengintip ke atas, raut wajah pria itu tampak menakutkan. Rasa gugup menyelinap masuk meski Rosa tidak yakin mengapa. Dia berkata jujur, "Ketemu teman dekatku.""Kamu punya teman?" tanya Devon sambil mengernyit. Pertanyaan Devon menyentilnya. Rosa menjawab, "... Punya.""Hmm," Devon bergumam sesaat, seolah meragukan, "Dia tidak hadir di resepsi kita."Wajar Devon bertanya-tanya karena tidak ada yang hadir dari sisi Rosa di pesta pernikahan mereka. Rosa menghindari tatapan menusuk Devon. "Aku nggak ngundang dia."'Sani bahkan masih nggak tahu aku sudah menikah. Kuharap tetap seperti ini sampai urusanku beres.'Selama ini Devon mengira Rosa antisosial, selain sebatang kara. Ternyata, Devon separuh benar. Tapi, cukup mengganjal jika Rosa menahan teman terdekatnya hadir. Urusan apa yang dia maksud?"Kenapa tidak? Kamu merahasiakan pernikahan ini dar
Setelah malam yang merenggut nyawa Tuan dan Nyonya Haryanto, Devon kecil tak lagi sama. Dia dididik dengan keras oleh Kakek agar lebih tangguh, lebih kuat dari orang lain yang kehilangan juga. Dia tidak diperbolehkan menangis sebab air mata merapuhkan pertahanan yang telah dibangun susah payah. Menangis membuatmu cengeng dan direndahkan. Menangis akan menghancurkan segala pondasimu. Kau akan jadi lembek. Tak berpendirian. Devon kecil dibentuk sedemikian rupa hingga tidak tersisa lagi masa-masa kekanakannya. Senyumnya memudar seiring tegasnya hukuman Kakek ketika dia salah. Eskpresinya perlahan-lahan kehilangan warna. Tidak tahu bagaimana menunjukkan kebahagiannya, kemarahan, bahkan kekecewaannya.Semua bagai terkubur bersama kematian orang tuanya. Rumah yang semula terasa begitu hangat, berubah suram dan dingin, seperti pemilik mudanya. Devon mengganti seluruh desain interior rumah demi menghapus jejak-jejak kala itu. Dengan keji, dia membuang barang-barang peninggalan orang tuanya
"Ah, iya, Pak Sugi tolong siapkan bekal untuk Devon, ya. Antarkan ke kantor," kata Rosa sambil menonton drama korea yang lagi hot di TV. Matanya tidak lepas dari layar. Pak Sugi menatap Rosa sejenak dengan terkejut sebelum mengangguk-angguk antusias. "Baik, Nona! Tapi apa nggak sebaiknya Nona antar langsung ke kantor?""Nggak," jawab Rosa sekenanya.Sekarang mereka sudah tinggal satu rumah, berbeda dari kemarin. Rosa tidak melihat adanya keharusan untuk menempeli Devon di luar rumah lagi. Dia tinggal menunggu Devon pulang, lalu beraksi. Namun, takut kalau Devon mengira perhatiannya berkurang, Rosa mengambil kertas dan amplop putih lucu dengan sticker hati dari kamarnya. Rosa menulis banyak sanjungan sebagai pembukaan surat, seperti mengatakan 'Sayang, sudah bekerja keras' dan 'Langkahmu hari ini mungkin terasa berat, tapi percayalah, tahta kekayaanmu tak akan pernah runtuh.'Kemudian Rosa juga menulis wejangan-wejangan kecil seperti jangan lupa istirahat sebentar, makan yang benar s
Devon gatal ingin mencabut satu per satu duri yang menyelimuti mawar di depannya ini. Dia ingin mengekspos jati diri sejati wanita ini, mengerti dia secara apa adanya, untuk kemudian menguak alasannya bertahan di sisi Devon. Mengapa sejak awal menerima perjodohan tak masuk akal ini?Devon seolah terjerat benang-benang yang menjuntai dari segala ujung jari Rosa, terseret mendekat dengan perlawanan minimal ke dalam pusaran misterinya. Devon memalingkan muka dari Rosa sebelum menyuruhnya, "Kembali ke kamarmu."Rosa diam-diam melemaskan bahunya yang tegang dan melepaskan napas yang tertahan karena gugup. Dia senang tapi masih ingat harus memainkan karakter tergila-gilanya. Rosa bertanya terus terang, "Kenapa? AKu kurang cantik? Kamu nggak yakin sama kemampuanku di ranjang?"Wanita itu memiringkan kepalanya sedikit. Surai-surai rambutnya yang panjang luruh ke kiri, menutupi sebagian pipinya. Namun, kerlingan mata nakal itu tidak tampak redup dan terpaku pada Devon. Devon menatap hampa Ro
Keringat dingin bercucuran dari dahi Rosa setelah mengirim pesan itu. Lingerie di tangannya ini barang keramat yang telah lama dimuseumkan. Rosa dengan berat hati harus mengeluarkannya untuk menebus tamparan tadi. Tentu saja, dia akan memastikan tidak ada persetebuhan berlangsung nanti malam. Usahanya kali ini cukup untuk menghibur Devon dengan harap-harap cemas perlakuan buruk Rosa tidak akan menjadi masalah baru. Rosa membawa lingerie itu dan melemparnya ke kasur, sementara dia bersiap-siap pergi ke salon dan spa untuk menambah daya tariknya sewaktu memakai baju kurang bahan tersebut. ---Rosa pulang menjelang makan malam dengan rona wajah berseri-seri dan kulit yang tampak lebih mengilau di bawah terang lampu. Pelayan-pelayan yang berkeliaran di sekitar ruang tamu hingga ke ruang makan dibuat menganga dan tanpa sadar memuji Rosa cantik sekali. Dengan pengakuan mereka, Rosa makin yakin persiapannya sudah sempurna. "Tuan Muda hari ini pulang cepat, Nona," kata Pak Sugi sebelum Ros
Telepon itu berakhir dengan tak mengenakkan. Rosa menutup matanya. Keningnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Ekspresi wajahnya seolah menahan memori-memori yang sedang berusaha mati-matian berenang ke permukaan untuk mengacaukan hari Rosa. Dia merasakan di suatu sudut hatinya bagai tertusuk jarum pentul. Tak terlalu sakit, tapi tetap meninggalkan bekas setiap kali dia mengingat kejadian-kejadian menyedihkan itu. Rosa tidak sembarangan bicara saat berkata temannya akan menemukan jasadnya nanti kalau dia tak mau menolong. Semoga saja apa yang dia inginkan berjalan lancar. Rosa berdoa dengan segenap sisa-sisa harapannya. ---Ketika rapat usai, Devon kembali ke ruangan dan melihat Rosa duduk manis di sofa, tampak serius. Entah mungkin membaca novel picisan tadi. Devon berhenti di depan Rosa, terpisahkan oleh meja di antara mereka. Namun, Rosa masih belum sadar. Devon sudah memikirkannya selama rapat. Dia tidak nyaman bekerja ditemani Rosa begini. Lebih baik pulang dan meneruskan