Beranda / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 2 - Devon Sadar

Share

Chapter 2 - Devon Sadar

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 15:10:52

"Mmm," Rosa bergumam.

Sambil berjalan mondar-mandir di depan ruang periksa Devon, Rosa sesekali menyempatkan diri untuk mengintip melalui lubang kunci pintu. Dia tidak peduli dengan citranya yang terlihat seperti penguntit atau lirikan ganjil perawat yang berlalu-lalang.

Setelah semalaman menunggu kabar, Rosa tidak kuat lagi. Rasa penasarannya menggebu-gebu. Namun, pintu terbuka dan Rama muncul tepat di waktu Rosa ingin menerobos masuk. Mukanya kusut dan kemejanya mencuat di sana-sini.

"Oh, Nona," kata Rama lelah.

Rosa bertanya cemas, "Jadi? Gimana keadaan Devon??"

Rama menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan senyum menenangkan. "Nona bisa tenang, keadaan Tuan Muda Devon baik-baik saja."

"Yang benar?"

"Betul, Nona. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan kalau saya boleh bilang, saya sendiri ikut heran kenapa bisa begitu," ujarnya seraya membuka mata lebar dan alis terangkat tinggi. Rama menatap Rosa tanpa menutupi ketakjubannya.

Mereka beralih pindah ke bangku dan melanjutkan pembicaraan. Rosa masih belum bisa selepasnya lega, ia mengerutkan dahi bingung. "Maksudnya?"

"Hasil CT-scan Tuan Muda normal. Dokter-dokter yang memeriksanya sampai mendatangi saya, loh. Wah, Nona harus tahu bagaimana ekspresi mereka. Seperti ingin menguliti Tuan Muda Devon hidup-hidup! Hahahaha."

Rosa mengerjap hampa. 'Aku juga nggak menyangka pria itu tahan banting banget. Kayaknya, kalo nggak dijemput langsung sama malaikat maut, dia nggak bakalan mau mati dengan tenang.'

Meski bagi Rama hal itu adalah sesuatu yang lucu, Rosa tidak ikut tertawa. Ia hanya bisa menampilkan senyum canggung. Rama langsung berdehem, sadar dia melewati batas.

"Tetapi Nona harus tau, jika ada yang dokter menghampiri Nona untuk mendiskusikan tentang kondisi Tuan Muda, sebaiknya ditolak saja. Kasus seperti ini sangat jarang ditemukan, jadi mereka ingin melakukan penelitian," Rama menggeleng lalu meneruskan, "Tuan Muda tidak akan menyukainya."

"Uh ... okay. Daripada itu, um, mmm ... Bagaimana soal perceraianku?" Rosa bertanya ragu. Sejak tadi, hal ini membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kondisi Devon itu belakangan, sebab Rosa sudah tau seberapa tangguhnya pria itu sekarang.

Pertanyaan Rosa membuat Rama terdiam sebentar. Bisa jadi karena terlalu tiba-tiba, dia jadi tidak yakin mesti ngomong apa. Namun, melihat Rosa tampak begitu cemas dengan kedua matanya yang berputar ke sana kemari dan tak mau lurus menghadap ke arahnya, dia samar-samar mengerti.

Ah! Mungkinkah?

Rama menghela napas prihatin. "Nona ... Saya mengerti."

"??"

"Nona berubah pikiran karena khawatir dengan kondisi Tuan Muda, bukan?"

"Ng-"

"Sayangnya saya tidak mampu berbuat banyak. Sekali saja Tuan Muda sudah memutuskan, akan sulit untuk mengubahnya. Walaupun, mungkin, saat ini rasanya Nona tidak bisa meninggalkan sisi Tuan Muda, saya yakin perasaan Nona akan tersampaikan. Jadi, tolong jangan terlalu bersedih Nona Rosa."

"Buka-" Rosa berusaha menyela ucapan Rama, yang sayangnya tidak digubris oleh si lawan bicara.

"Saya tau. Membuka hati itu tidak mudah. Hah ... Saya akan coba lagi bicarakan dengan Tuan Muda. Nona tenang saja."

"Jangan!" Rosa segera memotong cepat.

Sebelumnya ia tidak keberatan bila Rama salah paham dengan maksudnya. Namun, kalau Rama ingin mencoba membujuk Devon, hasilnya akan berbanding terbalik!

Bagaimana kalau ternyata Devon sudah melupakan soal cerai itu saat dia bangun nanti? Atau, kan, dia bisa berubah pikiran mengingat betapa sedihnya Rosa saat dia terbujur lemah di kafe, dan berpikir, 'Oh, istriku sangat mulia, aku tidak bisa menceraikannya.'

Kan, bisa jadi begitu!

Makanya ... lebih baik tidak usah diingatkan.

Mulut Rama terbuka sedikit dengan mata belo. Belum sempat ia menanyakan kenapa, Rosa terburu-buru bangun dan berkata, "Aku cari angin dulu," setelah itu figurnya melesat di koridor. Suster yang berjaga di meja administrasi berbisik 'sshh' saat Rosa melewatinya yang disambut terpaan angin kencang sampai rambut suster itu tersibak. 

Suster, "!!"

Tepat saat Rosa hampir berbelok di sudut, seorang dokter paruh baya keluar dari salah satu ruangan. Dokter itu menoleh lalu mengernyit sejenak.

"Ada apa, Pak Dok?" tanya suster yang berdiri di belakangnya.

"Hmm. Tidak. Sepertinya saya salah lihat," ujarnya seraya memerhatikan bayangan Rosa yang telah hilang di ujung. Dia menggeleng-geleng pelan dan berlalu ke arah berlawanan.

---

Rosa berjalan di lorong panjang rumah sakit tanpa melihat ke mana arahnya pergi. Matanya terpaku ke layar ponsel, membaca berita yang memaparkan insiden Devon. Judul berita 'APAKAH DEVON HARYANTO BERMAIN DEBUS?' tampak mencolok.

"...."

Itu maksudnya menghina atau mengagumi keperkasaan Devon?

Kelihatannya bukan cuma Rosa yang kacau, tapi dunia ini juga.

Rosa bertanya-tanya siapa yang berani membuat headline seperti ini. Keberanian untuk mengusik image Devon patut diacungi dua jempol. 

Tanpa sadar, ia sudah sampai pada bagian lain paviliun rumah sakit yang sarat akan orang berlalu lalang. Desas-desus angin menderu pelan melewatinya. Temperatur di sekitarnya lebih rendah dari suhu tubuh Rosa, sehingga bulu-bulu kuduknya berdiri. 

Pandangnya berputar ke sekeliling taman terpencil ini. Sebenarnya tempat ini tidak bisa disebut taman juga. Karena hanya terdapat satu pohon rindang dengan bangku panjang di bawahnya serta dua petak kebun bunga. Ia mendapati sebuah palang tertanam di kebun itu yang bertuliskan 'Cukup kau dan Tuhan yang tahu.'

Rosa menghela napas lembut.

Keheningan menyelimuti seluruh penjuru taman. Bulan-bulan hujan ini termasuk yang paling parah dibanding masa sebelumnya. Tak ayal, tanpa rintik air jatuh pun, suhu udara tetap tidak bersahabat.

Rosa memasukkan ponselnya ke saku sebelum berjalan menuju bangku panjang, lalu duduk dengan lemas. Terasa denyutan halus memusingkan kepalanya. Setelah akhirnya mendapatkan waktu untuk bernapas, Rosa merasa energinya langsung menguap, tersedot habis.

Semua terjadi begitu cepat dan keadaan tidak memberikan Rosa banyak waktu untuk berpikir.

Rosa mencebik sebal. Kemarahan yang ada setelah Devon meminta cerai masih tersisa di hatinya. Namun gelagat Rosa yang menggigit bibir bawah, lalu mengerang pasrah itu seperti bukan orang marah. Justru tampak kekhawatiran berenang di bayangan tubuh ramping Rosa.

Dia memikirkan kemungkinan terburuk setelah Devon sadar. 

Bahunya tegang seiring dengan pemikiran bahwa Devon bisa membuangnya kapan saja ia mau jika pria itu tetap kekeh dengan pendiriannya. 

Rosa tidak mau meninggalkan Devon. Tidak sekarang. Dia masih membutuhkan perlindungan keluarga Haryanto. 

Hidung Rosa terasa sedikit pedih dan panas. Cengkeraman Rosa pada pinggiran bangku mengencang. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dia tidak boleh menangisi kejadian kemarin. 

Dia bodoh kalau sampai membiarkan Devon berkata 'cerai' lagi. Lebih bodoh lagi, kalau dia diam saja!

Semangat Rosa bangkit dan berkobar kembali. Ia mengelap hidung dan sudut matanya yang sedikit basah, menata rambut, kemudian melompat bangun. Rosa menautkan alis. Dengan mata berapi-api, ia memutuskan. 

Rosa harus melakukan sesuatu. 

Menyekap Devon? Menginterogasinya? Mengancamnya? Memaksanya menarik kembali kata-katanya? 

Rosa seketika terdiam. 

Menilai dari gaya Devon mengeksekusi musuh dan saingan di dunia bisnis, Rosa langsung bergidik ngeri. 

Sewaktu kekuasaan perusahaan baru saja beralih kepada Devon 5 tahun lalu, banyak yang mengira pemuda itu tidak mungkin mampu mengendalikannya sebaik Kakek Haryanto. Mereka meremehkan dan tak menganggap serius Devon. 

Jadi, Devon mengejutkan semua orang dengan style kepemimpinannya yang ternyata sangat tegas dan tidak pandang bulu. Bahkan beberapa kenalan dekat Kakek Haryanto tidak bisa lepas dari pengawasannya.

Pak Budi pernah mengorupsi anggaran proyek Starlet, dan entah bagaimana, hanya dalam waktu seminggu Devon berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan dan memenjarakan Pak Budi. Jerit tangis keluarga, maupun keributan yang dibuat anak dan istri Pak Budi di internet, tak menggerakkan belas kasihan Devon.

Kakek Haryanto sedikit tersentuh dengan drama yang mereka buat. Beliau menasihati Devon untuk memberikan keluarga Pak Budi jalan keluar. Namun, ditolak mentah-mentah oleh pria itu.

Esoknya, tidak terdengar lagi suara keluarga Pak Budi. Seperti hilang tertelan bumi, mereka hilang dan tanpa meninggalkan jejak. Terutama seluruh barang-barang di kediaman mereka yang ikut kosong melompong seolah-olah rumah itu tidak pernah dihuni.

Netizen berspekulasi kalau Devon telah menghabisi sisa-sisa kehidupan Pak Budi. Meski rumor itu keterlaluan, tak ada juga yang bisa membuktikan apa yang Devon lakukan sebenarnya.

Who knows?  

Bisa jadi Devon sekejam itu, bisa juga tidak. Tetapi yang jelas, dia mendapat julukan baru sebagai Tangan Besi.

Rosa membayangkan kesuksesan rencananya dan tak memungkiri bahwa dia terlalu percaya diri. "...."

Mendingan memberi perhatian ekstra dan pelayanan khusus agar Devon melunak lalu berubah pikiran. Pepatah bilang, lebah lebih tertarik pada madu daripada cuka. Artinya, manusia cenderung merespons lebih baik terhadap pendekatan yang lembut, penuh kasih, dan kebaikan, dibandingkan dengan pendekatan yang kasar atau memaksa.

'It's ok. Aku udah minta waktu satu bulan. Akan kugunakan baik-baik untuk merayu Devon.'

Saat ini Rosa hanya bisa berharap keberuntungan ada di pihaknya. Jika sebelumnya dia sudah perhatian ke Devon, berarti nanti dia akan super-duper ekstra perhatian!

Tiba-tiba, ponsel di sakunya bergetar. Rosa mengeluarkannya dan melihat WA dari Rama. Dia bilang Devon sudah siuman, oleh karena itu Rosa harus sesegera mungkin kembali ke kamar inap. 

Sesaat, tubuh Rosa menjadi kaku sampai jarinya sulit bergerak untuk membalas Rama. Dia melamun sebentar, tidak yakin harus apa.

Pada akhirnya, Rosa tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di depan ruangan Devon. Ketika ia membuka pintu, pandangannya lantas berhadapan dengan sepasang mata hitam gelap, sedalam warna tinta hitam. 

Rosa menahan napas, rasanya seperti tercekik nuansa mencekam dari sepasang mata gelap itu. 

Perlahan, Rosa memanggil, "... Devon," 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 36 - Tidur di kamar Devon

    Sreeek.Suara tirai digeser membelah keheningan pagi, membangunkan Rosa dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus kaca jendela, mendarat di wajah cantik Rosa yang tak tertutup selimut."Pagi, Nona. Bangunlah dulu, dan minum ini biar nggak sakit," ucap suara paruh baya khas Pak Sugi dari samping tempat tidur. Rosa mengerang panjang. Kepalanya nyut-nyutan hebat. dan kurang lebihnya karena Rosa merasa baru tidur sebentar, dia masih mengantuk. "Sudah saya siapkan ramuan khusus untuk mengobati sakit kepala dan mual habis mabuk," kata Pak Sugi. Beliau mendorong gelas kecil yang sesekali muncul kepulan asap hangat.Dengan mata masih terpejam dan kepala pusing, Rosa duduk perlahan. Satu tangan memijit pelipis, satu tangan terulur mencari gelas yang ditawarkan. Ia meneguknya sedikit-sedikit. Pahit, tapi menghangatkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.Pak tua itu memberikannya dan memperhatikan dengan seksama hingga isinya tandas. Dia mengambil gelas kosong itu, mengangguk puas

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 35 - Kamu sanggup pergi dariku?

    Devon kehilangan kata-kata. Bibirnya kelu. Hanya sorot matanya yang keras, sekeras raut wajahnya yang membeku. Rosa tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dengan suara yang bergetar namun penuh ledakan emosi, dia melanjutkan, "Apa susahnya membelaku? Dukung aku, bantu aku saat kesusahan. Jangan biarkan aku sendiri menghadapi semuanya!"Alkohol, rupanya, membuka pintu yang selama ini dikunci rapat. Rosa bicara jujur. Tanpa rem, tanpa topeng. Yang selama ini ditahan, akhirnya lepas juga.Tapi sayangnya, kejujuran itu datang bersama gejolak. Emosinya meluap seperti air bah. Dia jadi lebih rapuh, mudah retak oleh sentuhan kecil.Dia muak.Muak diminta diam, muak disuruh kuat. Muak menjadi orang satu-satunya yang menimbun luka.Dan sekarang, dia kecewa.Kecewa, setelah melarikan diri dari rumah lamanya, dia disuruh menahan diri lagi oleh Devon—tanpa dukungan pria itu. Rosa tak bisa mengandalkan Devon. Dia memukul dada Devon dengan tinjunya, berkali-kali. Tapi bukan rasa sakit yang

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 34 - Aku punya kekuatan super!

    CATATAN: Tanda suara isi pikiran Rosa bakal diganti menjadi [...]Contoh: [Devon jelek!]---Devon menatap pucuk kepala Rosa yang bersandar manja di bahunya. Dari bibir wanita itu terus keluar gumaman kecil yang terdengar seperti semilir angin—halus, menggelitik, dan tanpa makna.Rosa melepas pelukanya. Tapi bukan berarti dia mundur. Justru sebaliknya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Devon lagi. Kedua kakinya terangkat, lalu menggelayuti Devon, bergerak naik perlahan demi mencari tempat bertengger baru.Namun di pertengahan jalan, salah satu kaki Rosa tanpa sadar menggesek bagian tubuh Devon yang ... sensitif.Ekspresi dingin pria itu langsung retak. Sejenak, matanya kehilangan fokus, dan napasnya tertahan di tenggorokan.Rosa berhenti saat dia berhasil menggantung seperti koala, mengalungkan lengannya di leher Devon dan menjepit pinggangnya dengan kaki. Devon mesti memegangi kedua paha Rosa dari bawah agar tidak terjatuh.Dengan santai, Rosa berseru pelan, nyaris mendesah, “

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 33 - Mabuk

    Devon tak membalas lambaian itu. Dia memutar tubuh dan menghilang kembali ke dalam ruang kerjanya. Tirai kaca bergoyang pelan, tertiup angin sore yang lembut. Seolah menjadi penutup adegan dingin barusan.Sementara itu, Rosa menurunkan tangannya perlahan. Senyum masih menghiasi wajahnya, meski ada getir yang tak bisa ditutupi. Dia menutup bukunya, berdiri anggun, dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak.'Kamu nggak mau lihat aku? Baik. Aku juga males.'Di kamarnya, dia mengganti baju ke dress hitam seksi selutut dan melingkarkan choker senada di leher jenjangnya. Rosa melepas sandal rumah dan menggantinya dengan hak tinggi yang menegaskan langkahnya.Sebelum keluar, Rosa sempat memberi isyarat kepada Pak Sugi dengan satu kedipan jenaka dan tawa kecil yang menggoda.Pak Sugi yang tahu betul arah tujuan Nona-nya itu hanya bisa menghela napas panjang.Kalau Tuan Muda sampai tahu, bisa perang dingin beneran.Rosa keluar dengan riang gembira, tak sabar untuk melepas penat.D

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 32 - Day 2

    Setelah Rama diseret pergi oleh Pak Sugi, Rosa tak buang-buang waktu dan segera meninggalkan meja makan tanpa mengucap selamat tinggal kepada Devon. Pria itu seperti dicampakkan untuk yang kedua kalinya.Yang pertama tentu saja saat Devon meminta cerai di restoran kala itu.Kejadiannya bagai terulang kembali. Barusan itu mirip sekali dengan Rosa yang pergi tanpa memedulikannya waktu itu. Rasanya sama persis.Devon mendadak kehilangan nafsu makannya.Sendok di tangannya menggantung di udara, tak jadi diarahkan ke mulut. Rasanya hambar. Bahkan makanan semewah apapun tak mampu mengusik perutnya yang perlahan mengeras karena emosi.Ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi jenis yang lebih sunyi—yang datang pelan namun menghantam dalam.Esok paginya, Devon kira keanehan Rosa telah berakhir.Namun, Devon tidak menemukan Rosa di ruang makan. Dan hanya menemukan secarik kertas notes tertempel di meja. Dengan sekali lihat, Devon dapat mengenali i

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 31 - Cerminan Rosa

    Tawa Rosa perlahan mereda, hanya tersisa senyum samar yang menggantung di bibirnya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Devon. Tangannya bergerak mengambil dessert yang disediakan Pak Sugi. Puding karamel di piring mungil itu bergoyang lucu saat dia menyenggolnya dengan sendok, membuat senyum tipis kembali menyelinap di wajahnya.Tanpa menoleh, Rosa membuka suara. “Tadi kamu lagi sibuk rapat. Aku nggak mau ganggu kerjaan kamu.”Devon menarik kursi dan duduk, masih menatap Rosa dalam diam. Devon menebak alasan Rosa bukan berdasarkan rasa pengertian—tapi lebih karena sesuatu yang lain.Dia sengaja tidak memanggil Devon. Devon hapal betul kebiasaan Rosa. Sejarang apa pun dia pulang, Rosa selalu punya cara agar mereka tetap bisa makan malam bersama. Entah dengan membangunkannya saat tertidur, atau menunggunya selesai bekerja. Rosa akan memaksanya duduk di meja makan seraya berkata, tidak baik melewatkan jam makan.Tidak peduli sesibuk apa Devon, wanita itu akan mengetuk-ngetuk ruang ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status