"Mmm," Rosa bergumam.
Sambil berjalan mondar-mandir di depan ruang periksa Devon, Rosa sesekali menyempatkan diri untuk mengintip melalui lubang kunci pintu. Dia tidak peduli dengan citranya yang terlihat seperti penguntit atau lirikan ganjil perawat yang berlalu-lalang. Setelah semalaman menunggu kabar, Rosa tidak kuat lagi. Rasa penasarannya menggebu-gebu. Namun, pintu terbuka dan Rama muncul tepat di waktu Rosa ingin menerobos masuk. Mukanya kusut dan kemejanya mencuat di sana-sini. "Oh, Nona," kata Rama lelah. Rosa bertanya cemas, "Jadi? Gimana keadaan Devon??" Rama menarik napas dalam-dalam sebelum memberikan senyum menenangkan. "Nona bisa tenang, keadaan Tuan Muda Devon baik-baik saja." "Yang benar?" "Betul, Nona. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan kalau saya boleh bilang, saya sendiri ikut heran kenapa bisa begitu," ujarnya seraya membuka mata lebar dan alis terangkat tinggi. Rama menatap Rosa tanpa menutupi ketakjubannya. Mereka beralih pindah ke bangku dan melanjutkan pembicaraan. Rosa masih belum bisa selepasnya lega, ia mengerutkan dahi bingung. "Maksudnya?" "Hasil CT-scan Tuan Muda normal. Dokter-dokter yang memeriksanya sampai mendatangi saya, loh. Wah, Nona harus tahu bagaimana ekspresi mereka. Seperti ingin menguliti Tuan Muda Devon hidup-hidup! Hahahaha." Rosa mengerjap hampa. 'Aku juga nggak menyangka pria itu tahan banting banget. Kayaknya, kalo nggak dijemput langsung sama malaikat maut, dia nggak bakalan mau mati dengan tenang.' Meski bagi Rama hal itu adalah sesuatu yang lucu, Rosa tidak ikut tertawa. Ia hanya bisa menampilkan senyum canggung. Rama langsung berdehem, sadar dia melewati batas. "Tetapi Nona harus tau, jika ada yang dokter menghampiri Nona untuk mendiskusikan tentang kondisi Tuan Muda, sebaiknya ditolak saja. Kasus seperti ini sangat jarang ditemukan, jadi mereka ingin melakukan penelitian," Rama menggeleng lalu meneruskan, "Tuan Muda tidak akan menyukainya." "Uh ... okay. Daripada itu, um, mmm ... Bagaimana soal perceraianku?" Rosa bertanya ragu. Sejak tadi, hal ini membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kondisi Devon itu belakangan, sebab Rosa sudah tau seberapa tangguhnya pria itu sekarang. Pertanyaan Rosa membuat Rama terdiam sebentar. Bisa jadi karena terlalu tiba-tiba, dia jadi tidak yakin mesti ngomong apa. Namun, melihat Rosa tampak begitu cemas dengan kedua matanya yang berputar ke sana kemari dan tak mau lurus menghadap ke arahnya, dia samar-samar mengerti. Ah! Mungkinkah? Rama menghela napas prihatin. "Nona ... Saya mengerti." "??" "Nona berubah pikiran karena khawatir dengan kondisi Tuan Muda, bukan?" "Ng-" "Sayangnya saya tidak mampu berbuat banyak. Sekali saja Tuan Muda sudah memutuskan, akan sulit untuk mengubahnya. Walaupun, mungkin, saat ini rasanya Nona tidak bisa meninggalkan sisi Tuan Muda, saya yakin perasaan Nona akan tersampaikan. Jadi, tolong jangan terlalu bersedih Nona Rosa." "Buka-" Rosa berusaha menyela ucapan Rama, yang sayangnya tidak digubris oleh si lawan bicara. "Saya tau. Membuka hati itu tidak mudah. Hah ... Saya akan coba lagi bicarakan dengan Tuan Muda. Nona tenang saja." "Jangan!" Rosa segera memotong cepat. Sebelumnya ia tidak keberatan bila Rama salah paham dengan maksudnya. Namun, kalau Rama ingin mencoba membujuk Devon, hasilnya akan berbanding terbalik! Bagaimana kalau ternyata Devon sudah melupakan soal cerai itu saat dia bangun nanti? Atau, kan, dia bisa berubah pikiran mengingat betapa sedihnya Rosa saat dia terbujur lemah di kafe, dan berpikir, 'Oh, istriku sangat mulia, aku tidak bisa menceraikannya.' Kan, bisa jadi begitu! Makanya ... lebih baik tidak usah diingatkan. Mulut Rama terbuka sedikit dengan mata belo. Belum sempat ia menanyakan kenapa, Rosa terburu-buru bangun dan berkata, "Aku cari angin dulu," setelah itu figurnya melesat di koridor. Suster yang berjaga di meja administrasi berbisik 'sshh' saat Rosa melewatinya yang disambut terpaan angin kencang sampai rambut suster itu tersibak.Suster, "!!"
Tepat saat Rosa hampir berbelok di sudut, seorang dokter paruh baya keluar dari salah satu ruangan. Dokter itu menoleh lalu mengernyit sejenak.
"Ada apa, Pak Dok?" tanya suster yang berdiri di belakangnya. "Hmm. Tidak. Sepertinya saya salah lihat," ujarnya seraya memerhatikan bayangan Rosa yang telah hilang di ujung. Dia menggeleng-geleng pelan dan berlalu ke arah berlawanan. --- Rosa berjalan di lorong panjang rumah sakit tanpa melihat ke mana arahnya pergi. Matanya terpaku ke layar ponsel, membaca berita yang memaparkan insiden Devon. Judul berita 'APAKAH DEVON HARYANTO BERMAIN DEBUS?' tampak mencolok."...."
Itu maksudnya menghina atau mengagumi keperkasaan Devon?
Kelihatannya bukan cuma Rosa yang kacau, tapi dunia ini juga.
Rosa bertanya-tanya siapa yang berani membuat headline seperti ini. Keberanian untuk mengusik image Devon patut diacungi dua jempol.
Tanpa sadar, ia sudah sampai pada bagian lain paviliun rumah sakit yang sarat akan orang berlalu lalang. Desas-desus angin menderu pelan melewatinya. Temperatur di sekitarnya lebih rendah dari suhu tubuh Rosa, sehingga bulu-bulu kuduknya berdiri.
Pandangnya berputar ke sekeliling taman terpencil ini. Sebenarnya tempat ini tidak bisa disebut taman juga. Karena hanya terdapat satu pohon rindang dengan bangku panjang di bawahnya serta dua petak kebun bunga. Ia mendapati sebuah palang tertanam di kebun itu yang bertuliskan 'Cukup kau dan Tuhan yang tahu.'
Rosa menghela napas lembut.
Keheningan menyelimuti seluruh penjuru taman. Bulan-bulan hujan ini termasuk yang paling parah dibanding masa sebelumnya. Tak ayal, tanpa rintik air jatuh pun, suhu udara tetap tidak bersahabat.
Rosa memasukkan ponselnya ke saku sebelum berjalan menuju bangku panjang, lalu duduk dengan lemas. Terasa denyutan halus memusingkan kepalanya. Setelah akhirnya mendapatkan waktu untuk bernapas, Rosa merasa energinya langsung menguap, tersedot habis.
Semua terjadi begitu cepat dan keadaan tidak memberikan Rosa banyak waktu untuk berpikir.
Rosa mencebik sebal. Kemarahan yang ada setelah Devon meminta cerai masih tersisa di hatinya. Namun gelagat Rosa yang menggigit bibir bawah, lalu mengerang pasrah itu seperti bukan orang marah. Justru tampak kekhawatiran berenang di bayangan tubuh ramping Rosa.
Dia memikirkan kemungkinan terburuk setelah Devon sadar.
Bahunya tegang seiring dengan pemikiran bahwa Devon bisa membuangnya kapan saja ia mau jika pria itu tetap kekeh dengan pendiriannya.
Rosa tidak mau meninggalkan Devon. Tidak sekarang. Dia masih membutuhkan perlindungan keluarga Haryanto.
Hidung Rosa terasa sedikit pedih dan panas. Cengkeraman Rosa pada pinggiran bangku mengencang. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dia tidak boleh menangisi kejadian kemarin.
Dia bodoh kalau sampai membiarkan Devon berkata 'cerai' lagi. Lebih bodoh lagi, kalau dia diam saja!
Semangat Rosa bangkit dan berkobar kembali. Ia mengelap hidung dan sudut matanya yang sedikit basah, menata rambut, kemudian melompat bangun. Rosa menautkan alis. Dengan mata berapi-api, ia memutuskan.
Rosa harus melakukan sesuatu.
Menyekap Devon? Menginterogasinya? Mengancamnya? Memaksanya menarik kembali kata-katanya?
Rosa seketika terdiam.
Menilai dari gaya Devon mengeksekusi musuh dan saingan di dunia bisnis, Rosa langsung bergidik ngeri.
Sewaktu kekuasaan perusahaan baru saja beralih kepada Devon 5 tahun lalu, banyak yang mengira pemuda itu tidak mungkin mampu mengendalikannya sebaik Kakek Haryanto. Mereka meremehkan dan tak menganggap serius Devon.
Jadi, Devon mengejutkan semua orang dengan style kepemimpinannya yang ternyata sangat tegas dan tidak pandang bulu. Bahkan beberapa kenalan dekat Kakek Haryanto tidak bisa lepas dari pengawasannya.
Pak Budi pernah mengorupsi anggaran proyek Starlet, dan entah bagaimana, hanya dalam waktu seminggu Devon berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan dan memenjarakan Pak Budi. Jerit tangis keluarga, maupun keributan yang dibuat anak dan istri Pak Budi di internet, tak menggerakkan belas kasihan Devon.
Kakek Haryanto sedikit tersentuh dengan drama yang mereka buat. Beliau menasihati Devon untuk memberikan keluarga Pak Budi jalan keluar. Namun, ditolak mentah-mentah oleh pria itu.
Esoknya, tidak terdengar lagi suara keluarga Pak Budi. Seperti hilang tertelan bumi, mereka hilang dan tanpa meninggalkan jejak. Terutama seluruh barang-barang di kediaman mereka yang ikut kosong melompong seolah-olah rumah itu tidak pernah dihuni.
Netizen berspekulasi kalau Devon telah menghabisi sisa-sisa kehidupan Pak Budi. Meski rumor itu keterlaluan, tak ada juga yang bisa membuktikan apa yang Devon lakukan sebenarnya.
Who knows?
Bisa jadi Devon sekejam itu, bisa juga tidak. Tetapi yang jelas, dia mendapat julukan baru sebagai Tangan Besi.
Rosa membayangkan kesuksesan rencananya dan tak memungkiri bahwa dia terlalu percaya diri. "...."
Mendingan memberi perhatian ekstra dan pelayanan khusus agar Devon melunak lalu berubah pikiran. Pepatah bilang, lebah lebih tertarik pada madu daripada cuka. Artinya, manusia cenderung merespons lebih baik terhadap pendekatan yang lembut, penuh kasih, dan kebaikan, dibandingkan dengan pendekatan yang kasar atau memaksa.
'It's ok. Aku udah minta waktu satu bulan. Akan kugunakan baik-baik untuk merayu Devon.'
Saat ini Rosa hanya bisa berharap keberuntungan ada di pihaknya. Jika sebelumnya dia sudah perhatian ke Devon, berarti nanti dia akan super-duper ekstra perhatian!
Tiba-tiba, ponsel di sakunya bergetar. Rosa mengeluarkannya dan melihat WA dari Rama. Dia bilang Devon sudah siuman, oleh karena itu Rosa harus sesegera mungkin kembali ke kamar inap.
Sesaat, tubuh Rosa menjadi kaku sampai jarinya sulit bergerak untuk membalas Rama. Dia melamun sebentar, tidak yakin harus apa.
Pada akhirnya, Rosa tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di depan ruangan Devon. Ketika ia membuka pintu, pandangannya lantas berhadapan dengan sepasang mata hitam gelap, sedalam warna tinta hitam.
Rosa menahan napas, rasanya seperti tercekik nuansa mencekam dari sepasang mata gelap itu.
Perlahan, Rosa memanggil, "... Devon,"
Telepon itu berakhir dengan tak mengenakkan. Rosa menutup matanya. Keningnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Ekspresi wajahnya seolah menahan memori-memori yang sedang berusaha mati-matian berenang ke permukaan untuk mengacaukan hari Rosa. Dia merasakan di suatu sudut hatinya bagai tertusuk jarum pentul. Tak terlalu sakit, tapi tetap meninggalkan bekas setiap kali dia mengingat kejadian-kejadian menyedihkan itu. Rosa tidak sembarangan bicara saat berkata temannya akan menemukan jasadnya nanti kalau dia tak mau menolong. Semoga saja apa yang dia inginkan berjalan lancar. Rosa berdoa dengan segenap sisa-sisa harapannya. ---Ketika rapat usai, Devon kembali ke ruangan dan melihat Rosa duduk manis di sofa, tampak serius. Entah mungkin membaca novel picisan tadi. Devon berhenti di depan Rosa, terpisahkan oleh meja di antara mereka. Namun, Rosa masih belum sadar. Devon sudah memikirkannya selama rapat. Dia tidak nyaman bekerja ditemani Rosa begini. Lebih baik pulang dan meneruska
"Kenapa ... mendadak?" Devon mengangguk ringan. "Sesekali aku harus pulang menengok keadaan rumah."Rosa serta merta menghembuskan napas panjang dan lega. 'Mungkin dia cuma mau nginap semalam. Nggak apa-apa. Aku masih tahan kalo sehari doang.'Namun, Devon seperti tak puas. Dia melemparkan bom berikutnya. "Aku akan tinggal di rumah sampai waktunya kita cerai."Air muka Rosa berubah keruh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kaku saat berkata, "Sayang, aku bahagia banget kamu mau pulang. Tapi, apartemen kamu gimana? Tempat tinggal yang lama dibiarkan kosong bakal memancing hawa buruk."Devon menaikkan sedikit sebelah alisnya. Dia bertanya skeptis, "Sirkulasi udaranya bagus. Apanya yang hawa buruk?""Sayang, setan.""Kamu ngatain aku setan?""Bukan, Sayang. Setan suka tempat-tempat kosong tak berpenghuni," ucap Rosa sambil memasang ekspresi meyakinkan. Devon lantas mencibir, "Kebanyakan nonton film horor.""Kamu belum ngalamin kejadian mistis, jadi nggak tahu seberapa menakutkannya hal
'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati. Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti. 'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan
Lalu, selanjutnya apa?Petanyaan kakek memantul di benak Rosa dan kali ini dia bisa menjawab dengan pasti, "Aku akan membuat Devon berubah pikiran."Agar Rosa tetap berada di samping Devon, dia mengatakan mantap-mantap, "Aku akan mengusahakan yang terbaik."Guratan-guratan halus di wajah kakek Haryanto tertarik karena senyumnya mengembang. Kakek berkata, "Yasudah jika itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan sungkan untuk bilang ke Kakek kalau kamu tidak mau lagi bersama Devon, ya. Nanti biar Kakek carikan suami baru yang lebih baik dari dia!"Rosa tergelak. "Devon cucu Kakek, kan?""Iya. Tapi anak itu benar-benar tidak bisa diatur! Dia terlalu kaku jadi orang dan tidak ada lucunya sama sekali. Masih bagus Kakek jodohkan dengan kamu.”Rama yang sedari tadi sibuk menyimak, tidak bisa menahan diri lagi untuk menyahut, "Kalo ada yang bilang Tuan Muda lucu, mungkin matanya katarak.""Diam kamu!" hardik kakek Haryanto sembari mengayunkan tongkat jalannya untuk menggetok paha Rama yang sedang b
Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh. "Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga. Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?" "Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.Namun, siapa sangka Devon malah b
Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya. Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya. Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya. 'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?'