Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.
Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya.
Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya.
Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya.
'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?'
Rosa menggerakkan matanya ke segala arah, menghindari tatapan Devon. Dia sesekali mengangkat kakinya sejengkal demi sejengkal ke depan, yang hanya untuk diseret balik ke tempat semula ia berdiri.
Devon menonton aksi Rosa dengan penuh arti. Kalau biasanya dia sudah menunjukkan rasa jijiknya terhadap Rosa, kini Devon sedikit terkejut dia tidak merasa apa-apa. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rosa selanjutnya.
'Ayo! Maju, aku harus maju. Aku pasti bisa! Jangan sampe Devon mikir yang aneh-aneh.'
Rosa akhirnya mengertakkan gigi dan dengan berat hati melangkah masuk setelah lama berkomat-kamit demi meyakinkan dirinya sendiri.
'Badannya pasti kaku karena baru bangun. Haruskah aku pijitin? Hmmm. Dia juga pasti haus. Aku ambilin minum dulu? Atau sekalian makan? Eh, tanya gimana perasaannya, ya. Gimana rasanya hampir mati? Menyenangkan? Hehe. Pasti mendebarkan.'
Rosa terdengar sangat ceria dalam hati sampai bisa mencemooh Devon. Sungguh berbanding terbalik dengan sikapnya yang ragu-ragu. Devon hanya memandangi Rosa dalam diam walau kelopak matanya berkedut, "...."
Ketika Rosa mendekat, dia memutuskan. 'Ku siapin teh dulu deh, biar tenggorokannya nggak kering. Seingatku Devon selalu minum teh waktu lagi capek.'
Rosa meraih teko elektrik di meja. Ia secepat kilat membuat teh, kemudian membawakannya ke Devon.
Devon mengangkat sedikit sebelah alisnya. Tadinya dia skeptis Rosa beneran menyukainya karena suara pikiran wanita itu tidak terlihat layaknya orang yang jatuh cinta. Tetapi tampaknya semua masih sama. Selain perkataan Rosa yang diam-diam menusuk, tidak ada yang berubah. Rosa begitu perhatian padanya.
Karena Devon berjiwa besar, dia tak akan menaruh dendam setelah diolok-olok Rosa. Jari-jarinya tergerak untuk mengambil gelas ditangan Rosa.
Nahas, ekspektasinya terlalu tinggi.
Teh yang asapnya mengepul-ngepul itu disodorkan dengan cepat dan tepat di sebelah wajah Devon. Gelombang air teh itu bergoyang kencang karena hentakan tangan Rosa hingga airnya terciprat sedikit ke pipi Devon. Untung Rosa memegang erat-erat gelasnya jadi tidak tumpah. Meski begitu, Devon tetap mendesis kepanasan.
Dia melirik Rosa yang balik menatapnya dengan antisipasi. Devon menerka-nerka niat baik Rosa dari wajahnya yang tampak polos itu. Firasatnya berkata Rosa sengaja memberikan teh dengan asal-asalan. Mungkin Rosa berpikir, bagus kalau teh panas itu mengenai Devon, tapi kalau tidak juga dia bisa coba lagi.
Kening Devon mengerut kesal usai mengambil kesimpulan bahwa Rosa berniat buruk. Devon berujar dingin, "Singkirkan dariku."
Rosa berjengit kecil mendengar suara parau Devon. "... Okay."
"Kamu mau air putih aja?" Tanya Rosa selagi menaruh gelas di nakas meja. Ia berbalik dan mengambil botol air putih.
Namun Devon malah membuang muka dan tak kunjung merespons. Melihat Devon seperti itu, Rosa menghembuskan napas. Lalu, dia memeletkan lidah dibelakang Devon dan mencibir diam-diam, 'Banyak mau! Kalo nggak ada orang, udah ku racunin, nih, air.'
Devon terdiam kehilangan kata-kata. "...."
Ingin sekali Devon membalas 'Makanya, nggak usah sok baik!'. Tetapi Devon ogah dianggap kekanakan karena meladeni Rosa.
"Nggak usah repot-repot. Pergi sana," usir Devon ketus. Dia membuat catatan mental di otaknya untuk tidak menyentuh makanan dan minuman yang Rosa siapkan.
Rosa mengernyit samar. "Jangan begitu. Suara kamu serak."
"Iya. Suara Tuan Muda ngalah-ngalahin guntur. Udah berat, nyeremin pula. Hiii!" Timpal Rama sambil merinding.
"Jangan ikut campur," tukas Devon.
"Bukannya mau ikut campur, Tuan Muda. Kasian tangannya Nona pegel," jawab Rama seraya menunjuk botol di genggaman Rosa yang masih terulur.
Devon memelototi Rama. Dia menekan suaranya ke titik terendah sampai menyerupai bisikan malaikat maut di telinga Rama. "Kau cari gara-gara denganku?"
"Tidak, tidak! Ehem. Maksud saya, tuh, Nona Rosa benar. Tuan Muda harus minum supaya nggak seret."
"Proyek baru kita sepertinya kurang orang. Kamu bantu mereka dan jangan pulang sebelum draf pertamanya selesai," titah Devon. Setelah itu dia memalingkan muka dari Rama yang langsung pucat.
Rama menyesal sedalam-dalamnya! Padahal dia cuma ngeledek sedikit, tapi Tuan Muda sensi sekali. Rama tidak suka lembur meskipun insentifnya lumayan. Percuma gaji besar kalau dia harus menginap berhari-hari di kantor.
Rama tersenyum profesional untuk yang ke sekian kalinya sebelum pergi dengan terhuyung-huyung.
Sekarang tinggal mereka berdua di kamar. Dan ini adalah kesempatan bagus buat menjilat Devon!
"Kamu lapar? Aku suapin ya," kata Rosa.
Rosa datang berpas-pasan dengan suster yang mengantar makanan keluar dari kamar. Sehingga jejeran makanan di meja panjang sebelah sofa masih hangat. Rosa bertanya lembut, "Kamu mau makan apa dulu? Ada bubur, nasi tim, buah, sup, omelet, puding, atau mau jus?"
Selagi berbicara, Rosa berdecak kagum melihat berbagai pilihan makanan yang disediakan untuk VVIP. Bahkan Rosa belum selesai menyebutkan menu lainnya karena terlalu banyak. Benar-benar kayak bufet di hotel, dibanding sarapan rumah sakit.
Tiba-tiba, perut Rosa berbunyi krucuk sehabis melihat sarapan untuk Devon. Semburat merah muda menyusupi kedua pipinya. Rosa berusaha terlihat normal. Dia berdehem untuk menutupi bunyi perutnya.
Rosa merapal, 'Devon tuli, Devon tuli, Devon tuli.'
Raut wajah Devon menggelap. Devon menggunakan telapak tangan untuk mengusap-usap tengkuknya. Lama-lama dia bisa kena stroke karena darah tinggi! Rosa selalu membuatnya emosi setiap membuka mulut.
"Aku hampir lupa. Kamu belum tanda tangan di surat cerai, kan? Nanti akan ku suruh Rama membawakan suratnya. Kamu cukup duduk manis dan terima beres. Jangan lakukan hal yang nggak perlu," kata Devon tenang, namun setengah mengancam.
Rosa refleks memekik, "Nggak!"
"Kenapa nggak?"
"A-aku ...." Rosa tergagap.
Devon tersenyum mengejek. "Aku bisa selesaikan prosesnya minggu ini sesuai keinginan kamu."
'Mana mungkin! Sejak kapan aku minta dipercepat? Dia bercanda, ya?'
Rosa spontan berlari mendekati Devon, kemudian dengan nekat memeluk lengan kanan pria itu. Rosa buru-buru berkata, "Aku cinta kamu! Aku nggak sanggup jauh-jauh dari kamu walaupun cuma sejengkal. Aku pengen liat kamu setiap saat, kalau nggak, aku bakalan kangen berat. Rasanya sesak banget nggak bisa ngobrol bareng kamu. Hari-hari aku jadi terasa kurang tanpa kamu. Aku mohon kita jangan cerai ...."
Suara lantang Rosa memenuhi setiap sudut kamar. Devon seperti bisa mendengar kalimat Rosa berdengung memantul di otaknya. Tubuh Devon berubah kaku.
Sementara itu, Rosa semakin mengeratkan pelukannya di lengan Devon sambil menundukkan kepala. Pegangan Rosa bergetar samar, seakan sedang mengirim sinyal-sinyal kegelisahan.
Sejurus kemudian, Devon tersadar. Dia melemparkan pandangannya ke pucuk kepala Rosa yang terlihat gemetaran. Ratusan pikiran melintasi benak Devon. Namun, pada akhirnya Devon menghembuskan napas kasar setelah sekian lama terdiam.
Sebelah tangan Devon memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia tidak butuh ungkapan cinta Rosa. Tidak perlu sejauh itu. Devon hanya ingin cerai. Cukup.
Tanpa basa basi lagi, Devon mendorong kepala Rosa dan melepaskan pegangannya. Rosa agak linglung ketika didorong. Tapi dengan sergap, dia berdiri tegak beberapa meter dari Devon dengan bekas-bekas air mata mengalir di pipinya. Dia berdiri dalam kesunyian dan tatapannya terpaku pada wajah Devon. Sikapnya persis murid yang sedang dihukum.
"Aku tidak peduli," kata Devon dengan nada tidak sabaran.
Rosa termenung tanpa melepas perhatiannya dari Devon. 'Dia masih belum tersentuh walaupun aku udah kayak gini? Hatinya terbuat dari batu, ya?'
Devon menahan diri untuk tidak menanggapi sindiran Rosa. Dia berujar, "Kamu bisa temuin Kakek setiap saat kamu mau. Tapi, jaga bicaramu. Kakek nggak perlu tau soal perceraian kita."
"Kamu bohongin Kakek?" tanya Rosa gusar.
"Kita tidak perlu mengatakannya." Devon memperjelas.
Rosa menggeleng, lalu dengan halus namun tegas dia berujar, "Aku nggak setuju. Biar bagaimanapun, Kakek harus tahu masalah kita. Aku nggak akan sembunyi-sembunyi dari Kakek. Jangan berharap banyak padaku soal ini."
"Hah. Memangnya kamu peduli sama perasaan Kakek?"
"Iya." Rosa menjawab lugas.
'Aku boleh bohong ke semua orang, kecuali kakek.'
Jawaban Rosa membuat Devon tertegun. Sejak pertama kali dia mendengar suara pikiran Rosa, Devon menyadari bahwa wanita itu bermuka dua. Isi pikiran dan ucapan Rosa terus bertentangan. Jadi baru kali ini Devon merasakan langsung kejujuran Rosa luar dan dalam.
Devon diam dan menatap Rosa dengan misterius. Raut wajahnya kosong, kehilangan emosi. Ekspresinya sulit dibaca. Namun, semakin diperhatikan, semakin Rosa merasa ada sesuatu yang salah dari Devon. Meskipun Rosa tidak tahu bagian mananya yang salah.
Keduanya terbalut dalam kesunyian selama beberapa saat.
Ujung-ujungnya, Devonlah yang memecah keheningan di antara mereka. Dia berkata, "Kalau gitu, katakan padaku kenapa kita tidak usah berpisah."
Rosa menangkap makna dibalik kalimat Devon. Bukan pernyataan cinta lagi yang ingin didengar Devon, melainkan jawaban yang 'benar'.
Jawaban yang dapat diterima oleh Devon.
"Masih kutahan beberapa berita di internet," jawab Devon jujur. Tatapannya bertengger lama dan penuh arti di Rosa. "Kamu tau siapa yang menghapusnya?"Rosa menghindari pandangan Devon dengan kikuk. Rosa tidak tahu pasti siapa, tapi dia punya gambaran jelas tentang kemungkinannya. Hanya ada dua orang yang bisa melakukan hal tersebut dan dengan mudahnya bersaing melawan bawahan Devon. Bisa jadi itu kakaknya. Sebab jika ada orang yang mau membela Rosa hingga sejauh itu, maka kakaknya akan berdiri di barisan terdepan. Sejak kecil, dia selalu overprotektif terhadap Rosa dan telah berpengalaman membereskan setiap kekacauan yang Rosa buat. Namun, sepertinya tidak masuk akal bila itu kakaknya. Rosa merinding sekilas membayangkan kakaknya. Arsen tidak bakal tinggal diam bila terjadi sesuatu padanya, tetapi selaras dengan itu, omelan Arsen tidak akan bisa direm juga. Sembari menghapus berita itu, Arsen paling menyeretnya pulang langsung dan memarahinya. Berhubung kehidupan Rosa masih damai
Rosa tertidur lelap malam itu, meski dunia maya sedang gonjang-ganjing mengabarkan berita yang tidak-tidak mengenai cinta segitiga antara dia, Devon, dan Kirana. Dipikirannya, Rosa merasa tidak begitu dirugikan. Rosa tidak terlalu peduli dengan opini masyarakat yang tak berpengaruh langsung ke kehidupannya. Justru dari kesempatan ini, Rosa sangat penasaran bagaimana Devon akan menyikapinya walau dia bilang akan mengikuti arahan Rosa. Apa pada akhirnya Devon benar-benar berani mengacaukan adik sahabatnya? Bahkan sampai rela mengorbankan reputasi Rosa bila Brian memohon untuk melepaskan Kirana?Atau, Devon tetap memegang ucapannya dan menuruti keinginan Rosa hingga syuting selesai?Ini adalah tes penting yang harus Devon lewati.Jawabannya mungkin dapat mengubah keputusan Rosa.Netizen yang begadang, banyak memposting ulang berita yang mengaitkan antara Kirana dan Devon. Di satu sisi, Kirana adalah artis papan atas yang sedang naik daun, sedangkan Devon adalah CEO termuda dengan kekay
Udara bagai membeku bersama kengerian yang ditunjukkan Devon. Refleks, Rosa melepaskan diri dari cekalan Devon, lalu bergabung dengan Rama untuk melipir ke sofa demi menjauhi aura menyeramkan Devon. Mereka berdua kompak terdiam dan menunggu rekasi Devon.Entah Devon akan meradang atau masih bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Rosa duduk seraya menghela napas, sementara Rama memilih untuk tetap berdiri di sebelah Rosa. Kerutan di dahi Devon tampak dalam dan bergelombang seperti ombak. Raut wajahnya tertekuk kaku. "Kenapa bisa keluar sebutan seperti itu?"Pertanyaan Devon merujuk pada panggilan Rosa di skandal tersebut yang digadang-gadang sebagai pelakor. Rama yang cepat tanggap, segera melontarkan jawaban lengkapnya, "Karena konten video tersebut, Tuan Muda. Editornya pintar, mengedit bagian-bagian tertentu yang menampilkan seolah-olah Nona telah memisahkan Tuan Muda dan Kirana."Rosa penasaran sekali ingin melihat videonya. Dia mencoba mencarinya sendiri. Tetapi, belum sem
Melodi jazz melantun lembut. Api lilin berdansa manis, bagai menemani detak jantung Rosa yang melompat-lompat tak karuan. Cahaya di sekeliling mereka berseri temaram seakan menyokong suasana romantis ini hingga ke puncaknya. [Curang.]Devon hanya perlu bertanya langsung untuk Rosa menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan Rosa butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan setitik demi setitik informasi mengenai Devon. Dipikir-pikir, rasanya tidak adil. Namun, Rosa tak sanggup menolak permintaan tulus Devon. Lidahnya kelu dan hatinya tak rela membayangkan Devon akan mundur bila Rosa menolak. Rosa hanya mampu menggerutu dalam hati. [Nggak ada yang bisa kuajarkan. Ciuman Devon jauh lebih panas dan ahli. Mm ... penuh gairah dan memabukkan, sampai membuat lututku lemas.]Devon tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu mencondongkan badan ke depan dengan masing-masing siku di tepi meja. Tangannya terangkat ke atas, membentuk segitiga dengan jari-jemarinya yang saling bertaut di tengah—menutupi mu
Rosa nyaris gagal menyembunyikan senyumnya ketika melihat wajah tegang Devon. Begitu sisi usilnya muncul, Rosa tidak bisa berhenti. Senyumnya tersirat jenaka. "Menyenangkan, kok. Cuma ... sangat normal. Nggak seperti yang kukira."Air muka Devon meredup. Terlihat jelas kalau kejujuran Rosa mengusik pikirannya. Saat Devon kembali membuka mulut, dia terdengar seperti habis berpuasa seharian penuh—suaranya parau. "Emang yang kamu pikirkan itu seperti apa?"Berdasarkan sifat arogan Devon, Rosa sudah siap menerima penyangkalan Devon atau pembenaran bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi, Devon malah langsung masuk ke poin utamanya. Rosa yang tak menyangka akan ditanya balik itu, seketika membisu.[Aku juga nggak tau kayak gimana. Aku belum pernah pacaran!]Wajah mungil Rosa terlipat bimbang. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengerucut ke atas. “Um, seharian bersama?” Secara, mereka baru keluar nonton sebentar, belanja kilat, lalu makan. Dan bahkan, makan malam mereka
"Setiap hari yang terlewat akan kukenakan denda karena terlambat."Devon memicingkan mata dan menyudutkan Rosa. "Sekarang sudah lebih dari dua hari."Rosa mengerjap. [Kamu hitung?]Walaupun Rosa terkesima dengan sifat perhitungan Devon dan merasa bersalah, dia tetap tak terima bila harus didenda. "Nggak usah pakai denda, kan, bisa," keluh Rosa."Kalau gitu, kamu harus kasih malam ini." Devon berkompromi, tetapi setengah memaksa. Alisnya bertaut seakan mendesak Rosa.[Segitu pengennya dikasih hadiah? Padahal dia udah dapat banyak kemarin.]"Bisa?" tanya Devon dengan penuh penekanan. Mau tak mau, Rosa mengangguk pasrah. "Okay."[Barang yang kubeli nggak seberapa, itupun juga pakai uangnya. Mungkin masih bagusan hadiah dari tamu yang lain.]Setelah merasa puas dengan jawaban Rosa, Devon menegakkan badan dan membelakangi mereka. Terdengar suaranya sayup-sayup berkata, "Hadiah dari kamu berbeda.""Apa?" tanya Rosa dengan nada meninggi karena tidak dengar. Rama yang berada di sebelah Dev