Home / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 3 - Aku Cinta Kamu!

Share

Chapter 3 - Aku Cinta Kamu!

Author: Elodri
last update Last Updated: 2025-05-22 15:10:56

Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.

Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya. 

Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya. 

Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya. 

'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?' 

Rosa menggerakkan matanya ke segala arah, menghindari tatapan Devon. Dia sesekali mengangkat kakinya sejengkal demi sejengkal ke depan, yang hanya untuk diseret balik ke tempat semula ia berdiri. 

Devon menonton aksi Rosa dengan penuh arti. Kalau biasanya dia sudah menunjukkan rasa jijiknya terhadap Rosa, kini Devon sedikit terkejut dia tidak merasa apa-apa. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rosa selanjutnya.

'Ayo! Maju, aku harus maju. Aku pasti bisa! Jangan sampe Devon mikir yang aneh-aneh.'

Rosa akhirnya mengertakkan gigi dan dengan berat hati melangkah masuk setelah lama berkomat-kamit demi meyakinkan dirinya sendiri. 

'Badannya pasti kaku karena baru bangun. Haruskah aku pijitin? Hmmm. Dia juga pasti haus. Aku ambilin minum dulu? Atau sekalian makan? Eh, tanya gimana perasaannya, ya. Gimana rasanya hampir mati? Menyenangkan? Hehe. Pasti mendebarkan.'

Rosa terdengar sangat ceria dalam hati sampai bisa mencemooh Devon. Sungguh berbanding terbalik dengan sikapnya yang ragu-ragu. Devon hanya memandangi Rosa dalam diam walau kelopak matanya berkedut, "...."

Ketika Rosa mendekat, dia memutuskan. 'Ku siapin teh dulu deh, biar tenggorokannya nggak kering. Seingatku Devon selalu minum teh waktu lagi capek.'

Rosa meraih teko elektrik di meja. Ia secepat kilat membuat teh, kemudian membawakannya ke Devon. 

Devon mengangkat sedikit sebelah alisnya. Tadinya dia skeptis Rosa beneran menyukainya karena suara pikiran wanita itu tidak terlihat layaknya orang yang jatuh cinta. Tetapi tampaknya semua masih sama. Selain perkataan Rosa yang diam-diam menusuk, tidak ada yang berubah. Rosa begitu perhatian padanya. 

Karena Devon berjiwa besar, dia tak akan menaruh dendam setelah diolok-olok Rosa. Jari-jarinya tergerak untuk mengambil gelas ditangan Rosa.

Nahas, ekspektasinya terlalu tinggi. 

Teh yang asapnya mengepul-ngepul itu disodorkan dengan cepat dan tepat di sebelah wajah Devon. Gelombang air teh itu bergoyang kencang karena hentakan tangan Rosa hingga airnya terciprat sedikit ke pipi Devon. Untung Rosa memegang erat-erat gelasnya jadi tidak tumpah. Meski begitu, Devon tetap mendesis kepanasan. 

Dia melirik Rosa yang balik menatapnya dengan antisipasi. Devon menerka-nerka niat baik Rosa dari wajahnya yang tampak polos itu. Firasatnya berkata Rosa sengaja memberikan teh dengan asal-asalan. Mungkin Rosa berpikir, bagus kalau teh panas itu mengenai Devon, tapi kalau tidak juga dia bisa coba lagi.

Kening Devon mengerut kesal usai mengambil kesimpulan bahwa Rosa berniat buruk. Devon berujar dingin, "Singkirkan dariku."

Rosa berjengit kecil mendengar suara parau Devon. "... Okay."

"Kamu mau air putih aja?" Tanya Rosa selagi menaruh gelas di nakas meja. Ia berbalik dan mengambil botol air putih. 

Namun Devon malah membuang muka dan tak kunjung merespons. Melihat Devon seperti itu, Rosa menghembuskan napas. Lalu, dia memeletkan lidah dibelakang Devon dan mencibir diam-diam, 'Banyak mau! Kalo nggak ada orang, udah ku racunin, nih, air.'

Devon terdiam kehilangan kata-kata. "...."

Ingin sekali Devon membalas 'Makanya, nggak usah sok baik!'. Tetapi Devon ogah dianggap kekanakan karena meladeni Rosa. 

"Nggak usah repot-repot. Pergi sana," usir Devon ketus. Dia membuat catatan mental di otaknya untuk tidak menyentuh makanan dan minuman yang Rosa siapkan. 

Rosa mengernyit samar. "Jangan begitu. Suara kamu serak."

"Iya. Suara Tuan Muda ngalah-ngalahin guntur. Udah berat, nyeremin pula. Hiii!" Timpal Rama sambil merinding. 

"Jangan ikut campur," tukas Devon.

"Bukannya mau ikut campur, Tuan Muda. Kasian tangannya Nona pegel," jawab Rama seraya menunjuk botol di genggaman Rosa yang masih terulur. 

Devon memelototi Rama. Dia menekan suaranya ke titik terendah sampai menyerupai bisikan malaikat maut di telinga Rama. "Kau cari gara-gara denganku?"

"Tidak, tidak! Ehem. Maksud saya, tuh, Nona Rosa benar. Tuan Muda harus minum supaya nggak seret."

"Proyek baru kita sepertinya kurang orang. Kamu bantu mereka dan jangan pulang sebelum draf pertamanya selesai," titah Devon. Setelah itu dia memalingkan muka dari Rama yang langsung pucat.

Rama menyesal sedalam-dalamnya! Padahal dia cuma ngeledek sedikit, tapi Tuan Muda sensi sekali. Rama tidak suka lembur meskipun insentifnya lumayan. Percuma gaji besar kalau dia harus menginap berhari-hari di kantor.

Rama tersenyum profesional untuk yang ke sekian kalinya sebelum pergi dengan terhuyung-huyung.

Sekarang tinggal mereka berdua di kamar. Dan ini adalah kesempatan bagus buat menjilat Devon!

"Kamu lapar? Aku suapin ya," kata Rosa. 

Rosa datang berpas-pasan dengan suster yang mengantar makanan keluar dari kamar. Sehingga jejeran makanan di meja panjang sebelah sofa masih hangat. Rosa bertanya lembut, "Kamu mau makan apa dulu? Ada bubur, nasi tim, buah, sup, omelet, puding, atau mau jus?"

Selagi berbicara, Rosa berdecak kagum melihat berbagai pilihan makanan yang disediakan untuk VVIP. Bahkan Rosa belum selesai menyebutkan menu lainnya karena terlalu banyak. Benar-benar kayak bufet di hotel, dibanding sarapan rumah sakit. 

Tiba-tiba, perut Rosa berbunyi krucuk sehabis melihat sarapan untuk Devon. Semburat merah muda menyusupi kedua pipinya. Rosa berusaha terlihat normal. Dia berdehem untuk menutupi bunyi perutnya. 

Rosa merapal, 'Devon tuli, Devon tuli, Devon tuli.'

Raut wajah Devon menggelap. Devon menggunakan telapak tangan untuk mengusap-usap tengkuknya. Lama-lama dia bisa kena stroke karena darah tinggi! Rosa selalu membuatnya emosi setiap membuka mulut.

"Aku hampir lupa. Kamu belum tanda tangan di surat cerai, kan? Nanti akan ku suruh Rama membawakan suratnya. Kamu cukup duduk manis dan terima beres. Jangan lakukan hal yang nggak perlu," kata Devon tenang, namun setengah mengancam.

Rosa refleks memekik, "Nggak!"

"Kenapa nggak?" 

"A-aku ...." Rosa tergagap. 

Devon tersenyum mengejek. "Aku bisa selesaikan prosesnya minggu ini sesuai keinginan kamu." 

'Mana mungkin! Sejak kapan aku minta dipercepat? Dia bercanda, ya?'

Rosa spontan berlari mendekati Devon, kemudian dengan nekat memeluk lengan kanan pria itu. Rosa buru-buru berkata, "Aku cinta kamu! Aku nggak sanggup jauh-jauh dari kamu walaupun cuma sejengkal. Aku pengen liat kamu setiap saat, kalau nggak, aku bakalan kangen berat. Rasanya sesak banget nggak bisa ngobrol bareng kamu. Hari-hari aku jadi terasa kurang tanpa kamu. Aku mohon kita jangan cerai ...."

Suara lantang Rosa memenuhi setiap sudut kamar. Devon seperti bisa mendengar kalimat Rosa berdengung memantul di otaknya. Tubuh Devon berubah kaku.

Sementara itu, Rosa semakin mengeratkan pelukannya di lengan Devon sambil menundukkan kepala. Pegangan Rosa bergetar samar, seakan sedang mengirim sinyal-sinyal kegelisahan. 

Sejurus kemudian, Devon tersadar. Dia melemparkan pandangannya ke pucuk kepala Rosa yang terlihat gemetaran. Ratusan pikiran melintasi benak Devon. Namun, pada akhirnya Devon menghembuskan napas kasar setelah sekian lama terdiam.

Sebelah tangan Devon memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia tidak butuh ungkapan cinta Rosa. Tidak perlu sejauh itu. Devon hanya ingin cerai. Cukup. 

Tanpa basa basi lagi, Devon mendorong kepala Rosa dan melepaskan pegangannya. Rosa agak linglung ketika didorong. Tapi dengan sergap, dia berdiri tegak beberapa meter dari Devon dengan bekas-bekas air mata mengalir di pipinya. Dia berdiri dalam kesunyian dan tatapannya terpaku pada wajah Devon. Sikapnya persis murid yang sedang dihukum.

"Aku tidak peduli," kata Devon dengan nada tidak sabaran.

Rosa termenung tanpa melepas perhatiannya dari Devon. 'Dia masih belum tersentuh walaupun aku udah kayak gini? Hatinya terbuat dari batu, ya?'

Devon menahan diri untuk tidak menanggapi sindiran Rosa. Dia berujar, "Kamu bisa temuin Kakek setiap saat kamu mau. Tapi, jaga bicaramu. Kakek nggak perlu tau soal perceraian kita."

"Kamu bohongin Kakek?" tanya Rosa gusar.

"Kita tidak perlu mengatakannya." Devon memperjelas. 

Rosa menggeleng, lalu dengan halus namun tegas dia berujar, "Aku nggak setuju. Biar bagaimanapun, Kakek harus tahu masalah kita. Aku nggak akan sembunyi-sembunyi dari Kakek. Jangan berharap banyak padaku soal ini."

"Hah. Memangnya kamu peduli sama perasaan Kakek?"

"Iya." Rosa menjawab lugas. 

'Aku boleh bohong ke semua orang, kecuali kakek.'

Jawaban Rosa membuat Devon tertegun. Sejak pertama kali dia mendengar suara pikiran Rosa, Devon menyadari bahwa wanita itu bermuka dua. Isi pikiran dan ucapan Rosa terus bertentangan. Jadi baru kali ini Devon merasakan langsung kejujuran Rosa luar dan dalam. 

Devon diam dan menatap Rosa dengan misterius. Raut wajahnya kosong, kehilangan emosi. Ekspresinya sulit dibaca. Namun, semakin diperhatikan, semakin Rosa merasa ada sesuatu yang salah dari Devon. Meskipun Rosa tidak tahu bagian mananya yang salah.

Keduanya terbalut dalam kesunyian selama beberapa saat. 

Ujung-ujungnya, Devonlah yang memecah keheningan di antara mereka. Dia berkata, "Kalau gitu, katakan padaku kenapa kita tidak usah berpisah."

Rosa menangkap makna dibalik kalimat Devon. Bukan pernyataan cinta lagi yang ingin didengar Devon, melainkan jawaban yang 'benar'.

Jawaban yang dapat diterima oleh Devon.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 8 - Tipu Daya

    Telepon itu berakhir dengan tak mengenakkan. Rosa menutup matanya. Keningnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Ekspresi wajahnya seolah menahan memori-memori yang sedang berusaha mati-matian berenang ke permukaan untuk mengacaukan hari Rosa. Dia merasakan di suatu sudut hatinya bagai tertusuk jarum pentul. Tak terlalu sakit, tapi tetap meninggalkan bekas setiap kali dia mengingat kejadian-kejadian menyedihkan itu. Rosa tidak sembarangan bicara saat berkata temannya akan menemukan jasadnya nanti kalau dia tak mau menolong. Semoga saja apa yang dia inginkan berjalan lancar. Rosa berdoa dengan segenap sisa-sisa harapannya. ---Ketika rapat usai, Devon kembali ke ruangan dan melihat Rosa duduk manis di sofa, tampak serius. Entah mungkin membaca novel picisan tadi. Devon berhenti di depan Rosa, terpisahkan oleh meja di antara mereka. Namun, Rosa masih belum sadar. Devon sudah memikirkannya selama rapat. Dia tidak nyaman bekerja ditemani Rosa begini. Lebih baik pulang dan meneruska

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 7 - Menjaga Setan

    "Kenapa ... mendadak?" Devon mengangguk ringan. "Sesekali aku harus pulang menengok keadaan rumah."Rosa serta merta menghembuskan napas panjang dan lega. 'Mungkin dia cuma mau nginap semalam. Nggak apa-apa. Aku masih tahan kalo sehari doang.'Namun, Devon seperti tak puas. Dia melemparkan bom berikutnya. "Aku akan tinggal di rumah sampai waktunya kita cerai."Air muka Rosa berubah keruh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kaku saat berkata, "Sayang, aku bahagia banget kamu mau pulang. Tapi, apartemen kamu gimana? Tempat tinggal yang lama dibiarkan kosong bakal memancing hawa buruk."Devon menaikkan sedikit sebelah alisnya. Dia bertanya skeptis, "Sirkulasi udaranya bagus. Apanya yang hawa buruk?""Sayang, setan.""Kamu ngatain aku setan?""Bukan, Sayang. Setan suka tempat-tempat kosong tak berpenghuni," ucap Rosa sambil memasang ekspresi meyakinkan. Devon lantas mencibir, "Kebanyakan nonton film horor.""Kamu belum ngalamin kejadian mistis, jadi nggak tahu seberapa menakutkannya hal

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 6 - Sebatang Kara

    'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati. Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti. 'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 5 - Berdansa dengan Api

    Lalu, selanjutnya apa?Petanyaan kakek memantul di benak Rosa dan kali ini dia bisa menjawab dengan pasti, "Aku akan membuat Devon berubah pikiran."Agar Rosa tetap berada di samping Devon, dia mengatakan mantap-mantap, "Aku akan mengusahakan yang terbaik."Guratan-guratan halus di wajah kakek Haryanto tertarik karena senyumnya mengembang. Kakek berkata, "Yasudah jika itu yang kamu inginkan. Tapi, jangan sungkan untuk bilang ke Kakek kalau kamu tidak mau lagi bersama Devon, ya. Nanti biar Kakek carikan suami baru yang lebih baik dari dia!"Rosa tergelak. "Devon cucu Kakek, kan?""Iya. Tapi anak itu benar-benar tidak bisa diatur! Dia terlalu kaku jadi orang dan tidak ada lucunya sama sekali. Masih bagus Kakek jodohkan dengan kamu.”Rama yang sedari tadi sibuk menyimak, tidak bisa menahan diri lagi untuk menyahut, "Kalo ada yang bilang Tuan Muda lucu, mungkin matanya katarak.""Diam kamu!" hardik kakek Haryanto sembari mengayunkan tongkat jalannya untuk menggetok paha Rama yang sedang b

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 4 - Perjaka Tua

    Tak ada satu pun ide cemerlang yang muncul, meski Rosa sudah berusaha menggali-gali otaknya. Tapi dia tahu, dia tidak bisa membuat Devon terus menunggu karena kesabaran Devon setipis tisu dibelah dua. Sebelum Rosa kehilangan kesempatan emas ini, dia harus segera berdalih. Alasan apa saja, deh. "Karena ... hmm ... kamu bakal dijodohin lagi sama orang lain abis cerai sama aku?" kata Rosa tak yakin. Tetapi, setelah diucapkan dengan keras, perkataan Rosa ada benarnya juga. Alis Devon bertaut kencang seolah membenci asumsi Rosa dan reaksi Devon itu segera tertangkap mata jeli Rosa. Tatapan Rosa berbinar. 'Itu dia!'Seperti lahan tandus yang akhirnya tersiram hujan, Rosa merasa lega telah mendapat ide. Dia menghasut Devon dengan bersemangat. "Belum tentu orang itu sesuai kriteria kamu dan nggak ada yang bisa jamin, kan, yang dijodohin sama kamu itu bukan orang jahat?" "Percaya orang nggak dikenal itu bahaya," tambah Rosa dengan suara pelan yang menjerat.Namun, siapa sangka Devon malah b

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 3 - Aku Cinta Kamu!

    Tidak terlihat lengkungan senyum di lipatan kelopak mata Devon, maupun kerutan di kedua ujungnya. Sepasang mata hitam pekat itu tampak tak berperasaan. Hidung mancung dan indah, dipadu bibir tipisnya yang bergelombang sempurna itu sekilas memikat perhatian Rosa.Rosa hendak mengatakan sesuatu untuk mematahkan suasana canggung ini. Tetapi, begitu melirik ekspresi Devon yang tidak biasa, Rosa menelan lagi kata-katanya. Disisi lain, saat Devon mendengar sapaan Rosa, terdapat sekelebat cahaya aneh melintasi kedalaman matanya. Devon menyipit. Mulutnya membentuk sebuah garis lurus. Wanita ini tidak pernah memanggil namanya secara langsung. Paling tidak, dia selalu memakai 'Sayangku' atau 'Suamiku' setiap bertemu Devon. Panggilan yang selalu membuat perut Devon bergejolak waktu mengingatnya. Devon menatap Rosa selama beberapa menit tanpa berkedip seakan-akan enggan melewati setiap perubahan kecil di mimik wajahnya. 'Ngapain dia ngeliatin aku gitu banget? Apa dia belum sepenuhnya sadar?'

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status