"Kita harus cerai."
Rosa nyaris tersedak. Dia buru-buru menelan sisa makanan di mulutnya, lalu mengusap bibir dengan cepat. Gerakannya tidak seperti Devon yang mengusap bibir dengan elegan seolah tidak terganggu sama sekali dengan perpisahan mereka.
Jantung Rosa berdegup tak beraturan saat menyaksikan betapa serius air muka Devon. "... Sayang?"
Mata Rosa membulat. Kata-kata Devon terlalu di luar prediksinya. Rosa sangat terkejut sampai kesulitan mencerna maksud Devon. Waktu kian berlalu, tetapi dia masih terpaku, menatap pria di hadapannya.
Suara halus Rosa mengalir di udara, "Kenapa?"
"Bukannya hubungan kita baik-baik aja?" tambah Rosa dengan wajah bingung.
Devon menatap datar sepasang mata coklat di hadapannya. "Kau pikir begitu?"
Kesabarannya telah tergerus habis. Kini yang Devon inginkan hanya menceraikan wanita yang dijodohkan dengannya dan terlepas dari belenggu pernikahan paksa ini. Dia juga muak mendengar kata "cucu" terucap dari mulut kakeknya.
"... Apa harus sampai cerai?"
"Aku bisa melakukannya dengan atau tanpa persetujuanmu."
Kening Rosa lantas berkerut samar. Dia langsung mengerti kalau Devon sedang memperingatinya. Rosa menggigit bibir. "Kakek tidak akan setuju."
Situasi restoran memang tidak ramai sampai- sampai Rosa bisa mendengar suara angin berhembus di area outdoor itu. Terpaannya mengenai kedua sisi lengan Rosa, membuatnya bergidik kecil. Ketika dia memperhatikan raut wajah Devon yang tampak tak bergejolak, Rosa merasa tambah tidak nyaman.
"Itu urusanku," jawab Devon dingin.
"T-tapi! Apa nggak bisa kita bicarakan lagi?"
"Tidak."
"Aku melakukan kesalahan?"
Devon terdiam. Mata elangnya menyipit tajam. Rosa tak yakin apakah itu artinya benar atau tidak, jadi ia mencecar, "Benar? Aku menyinggungmu? Atau bagaimana? Biar aku perbaiki. Aku janji tidak mengulanginya."
"Tidak ada yang bisa kau ubah," balas Devon tanpa menunggu lama.
Rosa sekali lagi mencoba mengubah pikiran Devon. Ragu-ragu, ia berbisik, "Kamu serius?"
"Hm," gumam Devon yakin.
Devon melipat kaki dan menaruh kedua tangan di pangkuan. Postur badannya tegap dengan dagu terangkat serta pandangan lurus. Sementara bola matanya berputar ke bawah seakan sedang menatap sesuatu yang tidak layak mendapat perhatiannya.
Devon berujar kepada asisten pribadinya, "Bawa ke sini."
Asisten Rama yang berdiri tak jauh dari mereka menyerahkan sebuah amplop coklat. Devon menerima amplop itu dan dengan enteng melemparnya ke Rosa. Ia berkata, "Buka."
Rosa menatap amplop itu tanpa berniat menyentuhnya sama sekali. "Ini ...?"
Asisten Rama menjelaskan, "Nona hanya perlu menandatangani surat cerai tersebut. Saya dan Pengacara Lin akan mengurus sisanya."
Rosa tertegun lama. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Helai-helai rambut berjatuhan menutupi wajahnya, menutupi sebagian ekspresi Rosa. Walau Asisten Rama tahu dia harus memaksa Rosa menandatanganinya, dia juga tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat.
'Nona pasti masih syok dan butuh waktu untuk memproses,' batin Asisten Rama iba.
Devon tersenyum sinis menantikan reaksi Rosa. Akan lebih bagus jika Rosa tahu diri dan menerima keputusan ini. Dengan begitu, Devon jadi tidak perlu merasa kasihan.
Sejujurnya, selain tidak ingin mempunyai anak dalam waktu dekat, dia tidak suka Rosa.
Rosa terlalu penurut dan penjilat bagi Devon. Usaha Rosa dalam mendekati Devon terlalu berlebihan, membuatnya mual. Senyumnya yang terpasang tiap menyambut Devon terlihat begitu palsu. Kehangatannya saat menghadapi Devon, malah membuatnya tak habis pikir. Bahkan caranya bersikap seperti seorang tuan putri di rumah semakin meyakinkannya kalau Rosa tidak berbeda dengan wanita di luar sana.
Mereka semua hanya mendambakan harta dan kedudukan seorang menantu di keluarga Haryanto. Para wanita itu, termasuk Rosa, selalu mencoba menampilkan perangai yang tak sesuai dengan posisi mereka.
Devon lanjut menyesap kopi dengan tenang. Dia rasa semua telah selesai, hingga dia pun lengah.
Diam-diam, mata Rosa terpaku menatap kosong tanggal di map surat cerai. Tak ada yang tahu pasti apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas, sinar matanya yang tadi redup kini berkelip dalam sekejap.
Rosa mendongak dan memandang Devon lekat-lekat. Lalu bertanya pelan, "Keputusanmu udah final?"
Devon menunjuk surat cerai di depan Rosa dengan dagu. Wajah tanpa ekspresi pria itu dibubuhi bercak-bercak kesombongan. "Tanda tangan."
Keheningan mengambil alih ruangan dengan kedua pasang mata yang saling beradu pandang. Rosa menegakkan badan dan balas menatap lurus Devon. Selang beberapa waktu, Rosa melontarkan pertanyaan, "Berapa lama proses cerai ini?"
Devon yang semula percaya diri, terdiam sesaat begitu mendengar tanggapan Rosa.
Aneh.
Raut wajah wanita itu terlampau tenang dan pandangannya seolah menyimpan sesuatu yang tidak Devon mengerti.
Perasaan waswas muncul. Tetapi belum sempat Devon memikirkannya, Rosa dengan cepat berujar, "Aku belum beresin barang-barangku, belum cari tempat tinggal yang baru juga. "
Devon menilik dengan curiga, tapi dengan sabar menunggu Rosa menyelesaikan kalimatnya. Rosa terbatuk kecil sebelum melanjutkan, "Kamu terlalu mendadak. Aku butuh waktu untuk siap-siap."
"Minimal, kasih aku waktu sebulan."
"Lalu?"
Tatapan Rosa terpaku pada Devon. Kemudian dia berkata, "Akan kutandatangani surat cerainya dan angkat kaki dari rumah kamu."
Alis Devon tertarik menyatu. Tawaran yang menarik.
Devon berpikir sejenak dan merasa satu bulan akan berlalu dengan cepat. Devon sanggup menahan diri asal dia tidak pulang ke rumah dan bertemu Rosa. Namun yang membuatnya ragu adalah sikap tenang Rosa.
Devon masih mempertanyakan tanggapan Rosa yang terlihat biasa saja ketika Rosa tiba-tiba merapikan bajunya.
"Kau-"
Panggilan Devon menghentikan Rosa yang sedang beranjak bangun. Rosa melirik sekilas. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya memandangi Devon dalam diam, sebelum akhirnya tetap melangkah pergi karena Devon tak kunjung bicara.
Tawa yang bercampur amarah nyaris tersembur keluar dari bibir Devon. Emosinya tiba-tiba meradang melihat Rosa melenggokkan badan, meninggalkan ruang outdoor restoran tanpa beban.
Kenapa jadi seperti dia yang dicampakkan?
"Kembali kesini!" seru Devon dengan nada tertahan.
Sayangnya Devon perlu lebih dari perintah agar Rosa berbalik. Dan mungkin, Tuhan sedang membukakan jalan untuknya.
JDERR!!
BOOM!
BZZZTT
Tanpa hujan, tanpa mendung, petir datang menyambar pria itu.
Rosa terhempas beberapa meter dari dorongan angin kencang. Guncangan petir pada permukaan lantai memaksa Rosa jatuh bertumpu dengan kedua lutut dan telapak tangannya menempel lantai.
Wusss
Klak. Klak. Bunyi bebatuan kecil yang terjatuh.
"Kyaaaaaa!"
Ditemani teriak histeris seorang wanita, Rosa spontan menoleh ke belakang. Kelopak matanya perlahan-lahan membesar tidak percaya dan bertubrukan dengan Devon yang sama-sama membulatkan mata tercengang.
"......"
"......"
Asisten Rama memekik, "Tuan Muda!"
Pengunjung restoran bersusulan menjerit-jerit, menyaksikan peristiwa aneh yang menimpa Devon. Percikan-percikan listrik kadang terlihat mencetus di sudut-sudut tempat terbuka itu, hingga menyambar beberapa tanaman dan menyebabkan kebakaran kecil.
Para pelayan restoran berlari kelabakan tidak tahu mesti bagaimana. Ada yang buru-buru menelepon pemadam kebakaran, berusaha mematikan api sendiri, dan ada pula yang langsung berlari keluar restoran untuk mencari bala bantuan. Tapi tak seorang pun menelepon ambulans.
Yah, mereka tidak salah juga.
Sosok Devon sudah menyerupai sebongkah arang yang diletakkan begitu saja.
Kaku, tidak bergerak. Yang apabila seseorang berani menyenggol pria itu, dia akan segera tumbang tanpa perlawanan.
Rosa mencubit pelan pipinya, lalu menggosok-gosok kedua matanya dengan harapan ia sedang bermimpi.
Namun, hasilnya?
Pemandangan ajaib ini terus berlangsung.
Keringat dingin menetes dari ujung dagu Rosa. Di tengah keributan restoran dan kepanikan orang-orang, waktu Rosa berjalan slow motion. Ia bisa melihat jeli keterkejutan petir tadi menarik fokus Devon darinya.
Namun bagi Rosa hanya ada satu hal penting.
Apakah Devon mati berdiri?!
Eh, bukan.
Apakah Devon mati terduduk?!
"Dev-devon?"
"Uhuk!" kepulan asap hitam keluar dari mulut pria itu.
Untungnya, firasat buruk Rosa tidak terkabul.
Saking hebatnya dia. Devon memukau semua penonton yang tidak ikut repot menolong. Dia selamat, meski harus terbatuk-batuk keras.
Rosa berusaha menutup mata dari rambut kribo Devon yang mengeluarkan asap hitam mengebul. Sambil merasa setengah panik, setengah kagum dengan ketangguhan Devon, Rosa lekas berlari menghampirinya. Ia menepis jauh perasaan takjub itu dan mulai mengucurkan derai air mata.
"Ja-jangan mati!!!! Ambulans! Tolong, siapa saja panggil ambulans!" jerit Rosa setelah memeluk kepala Devon ke dalam dekapannya.
"Suami saya sekarat!!"
"Ah ... Sayang ... Semua ini bercanda, kan? Uh ... Kamu masih hidup kan??"
Rosa heboh meraung-raung dan menangis sembari bergelantungan di lengan Devon. Air mata Rosa begitu deras sampai berjatuhan seperti air terjun yang mengalir turun membasahi wajah Devon.
Isak tangis Rosa bak sedang menghadapi langit runtuh. Terdengar sangat menderita dan menyayat hati. Tetapi pria itu tidak bergeming.
Bagaimana tidak?
'Haihh, untungnya Devon belum mati. Dia belum boleh mati dulu, walau tadi aku berharap dia dapat ganjarannya gara-gara bikin aku kesel. Aku nggak nyangka begitu balik badan, beneran kesambar petir si Devon.'
'Siapa suruh minta cerai? Hahaha! Makan, tuh, cerai! Rasain kamu. Hitam gosong gini jadi jelek.'
"G-gimana ini? Hik ...." racau Rosa dengan sesenggukan.
'Bau gosong, ih! Huek!'
'Sampe rumah aku harus cepet-cepet mandi karena kotor abis megang Devon. Terus tiduran di kasur sambil scroll I* cowok-cowok ganteng! Hihi, cuci mata. Siapa bilang laki-laki ganteng di dunia ini cuma Devon? Cuih! Manusia macam dia mending bertapa di gunung jadi biksu. Percuma dikasih istri secantik aku kalo matanya nggak dipake.'
"...."
Gigi Devon bergemeletuk menahan amarah.
Entah kenapa, dia bisa mendengar suara isi pikiran Rosa.
"ROSA!!" Teriakan Devon bergemuruh keras.
Bagai tak mendengar geraman memekak Devon, Rosa terus melanjutkan isak tangisnya.
'Hm? Kenapa marah-marah? Nggak jelas.'
'Oh iya, udah lama aku nggak ke bar. Aku mau pegang otot six-packs cowok ganteng lain!' pikir Rosa asal.
Devon sedang terbujur kesakitan tetapi pikiran Rosa malah melalang buana. Lagi pula, dia masih hidup dan mereka belum berpisah. Wanita itu sudah berani melirik dan memegang tubuh laki-laki lain?!
Harga diri Devon terinjak-injak, merasa kalah dengan lelaki liar di luar sana.
"Awas ka-!"
Devon pingsan duluan sebelum selesai bicara.
Sreeek.Suara tirai digeser membelah keheningan pagi, membangunkan Rosa dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus kaca jendela, mendarat di wajah cantik Rosa yang tak tertutup selimut."Pagi, Nona. Bangunlah dulu, dan minum ini biar nggak sakit," ucap suara paruh baya khas Pak Sugi dari samping tempat tidur. Rosa mengerang panjang. Kepalanya nyut-nyutan hebat. dan kurang lebihnya karena Rosa merasa baru tidur sebentar, dia masih mengantuk. "Sudah saya siapkan ramuan khusus untuk mengobati sakit kepala dan mual habis mabuk," kata Pak Sugi. Beliau mendorong gelas kecil yang sesekali muncul kepulan asap hangat.Dengan mata masih terpejam dan kepala pusing, Rosa duduk perlahan. Satu tangan memijit pelipis, satu tangan terulur mencari gelas yang ditawarkan. Ia meneguknya sedikit-sedikit. Pahit, tapi menghangatkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.Pak tua itu memberikannya dan memperhatikan dengan seksama hingga isinya tandas. Dia mengambil gelas kosong itu, mengangguk puas
Devon kehilangan kata-kata. Bibirnya kelu. Hanya sorot matanya yang keras, sekeras raut wajahnya yang membeku. Rosa tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dengan suara yang bergetar namun penuh ledakan emosi, dia melanjutkan, "Apa susahnya membelaku? Dukung aku, bantu aku saat kesusahan. Jangan biarkan aku sendiri menghadapi semuanya!"Alkohol, rupanya, membuka pintu yang selama ini dikunci rapat. Rosa bicara jujur. Tanpa rem, tanpa topeng. Yang selama ini ditahan, akhirnya lepas juga.Tapi sayangnya, kejujuran itu datang bersama gejolak. Emosinya meluap seperti air bah. Dia jadi lebih rapuh, mudah retak oleh sentuhan kecil.Dia muak.Muak diminta diam, muak disuruh kuat. Muak menjadi orang satu-satunya yang menimbun luka.Dan sekarang, dia kecewa.Kecewa, setelah melarikan diri dari rumah lamanya, dia disuruh menahan diri lagi oleh Devon—tanpa dukungan pria itu. Rosa tak bisa mengandalkan Devon. Dia memukul dada Devon dengan tinjunya, berkali-kali. Tapi bukan rasa sakit yang
CATATAN: Tanda suara isi pikiran Rosa bakal diganti menjadi [...]Contoh: [Devon jelek!]---Devon menatap pucuk kepala Rosa yang bersandar manja di bahunya. Dari bibir wanita itu terus keluar gumaman kecil yang terdengar seperti semilir angin—halus, menggelitik, dan tanpa makna.Rosa melepas pelukanya. Tapi bukan berarti dia mundur. Justru sebaliknya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Devon lagi. Kedua kakinya terangkat, lalu menggelayuti Devon, bergerak naik perlahan demi mencari tempat bertengger baru.Namun di pertengahan jalan, salah satu kaki Rosa tanpa sadar menggesek bagian tubuh Devon yang ... sensitif.Ekspresi dingin pria itu langsung retak. Sejenak, matanya kehilangan fokus, dan napasnya tertahan di tenggorokan.Rosa berhenti saat dia berhasil menggantung seperti koala, mengalungkan lengannya di leher Devon dan menjepit pinggangnya dengan kaki. Devon mesti memegangi kedua paha Rosa dari bawah agar tidak terjatuh.Dengan santai, Rosa berseru pelan, nyaris mendesah, “
Devon tak membalas lambaian itu. Dia memutar tubuh dan menghilang kembali ke dalam ruang kerjanya. Tirai kaca bergoyang pelan, tertiup angin sore yang lembut. Seolah menjadi penutup adegan dingin barusan.Sementara itu, Rosa menurunkan tangannya perlahan. Senyum masih menghiasi wajahnya, meski ada getir yang tak bisa ditutupi. Dia menutup bukunya, berdiri anggun, dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak.'Kamu nggak mau lihat aku? Baik. Aku juga males.'Di kamarnya, dia mengganti baju ke dress hitam seksi selutut dan melingkarkan choker senada di leher jenjangnya. Rosa melepas sandal rumah dan menggantinya dengan hak tinggi yang menegaskan langkahnya.Sebelum keluar, Rosa sempat memberi isyarat kepada Pak Sugi dengan satu kedipan jenaka dan tawa kecil yang menggoda.Pak Sugi yang tahu betul arah tujuan Nona-nya itu hanya bisa menghela napas panjang.Kalau Tuan Muda sampai tahu, bisa perang dingin beneran.Rosa keluar dengan riang gembira, tak sabar untuk melepas penat.D
Setelah Rama diseret pergi oleh Pak Sugi, Rosa tak buang-buang waktu dan segera meninggalkan meja makan tanpa mengucap selamat tinggal kepada Devon. Pria itu seperti dicampakkan untuk yang kedua kalinya.Yang pertama tentu saja saat Devon meminta cerai di restoran kala itu.Kejadiannya bagai terulang kembali. Barusan itu mirip sekali dengan Rosa yang pergi tanpa memedulikannya waktu itu. Rasanya sama persis.Devon mendadak kehilangan nafsu makannya.Sendok di tangannya menggantung di udara, tak jadi diarahkan ke mulut. Rasanya hambar. Bahkan makanan semewah apapun tak mampu mengusik perutnya yang perlahan mengeras karena emosi.Ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi jenis yang lebih sunyi—yang datang pelan namun menghantam dalam.Esok paginya, Devon kira keanehan Rosa telah berakhir.Namun, Devon tidak menemukan Rosa di ruang makan. Dan hanya menemukan secarik kertas notes tertempel di meja. Dengan sekali lihat, Devon dapat mengenali i
Tawa Rosa perlahan mereda, hanya tersisa senyum samar yang menggantung di bibirnya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Devon. Tangannya bergerak mengambil dessert yang disediakan Pak Sugi. Puding karamel di piring mungil itu bergoyang lucu saat dia menyenggolnya dengan sendok, membuat senyum tipis kembali menyelinap di wajahnya.Tanpa menoleh, Rosa membuka suara. “Tadi kamu lagi sibuk rapat. Aku nggak mau ganggu kerjaan kamu.”Devon menarik kursi dan duduk, masih menatap Rosa dalam diam. Devon menebak alasan Rosa bukan berdasarkan rasa pengertian—tapi lebih karena sesuatu yang lain.Dia sengaja tidak memanggil Devon. Devon hapal betul kebiasaan Rosa. Sejarang apa pun dia pulang, Rosa selalu punya cara agar mereka tetap bisa makan malam bersama. Entah dengan membangunkannya saat tertidur, atau menunggunya selesai bekerja. Rosa akan memaksanya duduk di meja makan seraya berkata, tidak baik melewatkan jam makan.Tidak peduli sesibuk apa Devon, wanita itu akan mengetuk-ngetuk ruang ke