Beranda / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 1 - Waktunya Cerai

Share

No Cerai No Pisah!
No Cerai No Pisah!
Penulis: Elodri

Chapter 1 - Waktunya Cerai

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 15:10:47

"Kita harus cerai."

Rosa nyaris tersedak. Dia buru-buru menelan sisa makanan di mulutnya, lalu mengusap bibir dengan cepat. Gerakannya tidak seperti Devon yang mengusap bibir dengan elegan seolah tidak terganggu sama sekali dengan perpisahan mereka.

Jantung Rosa berdegup tak beraturan saat menyaksikan betapa serius air muka Devon. "... Sayang?"

Mata Rosa membulat. Kata-kata Devon terlalu di luar prediksinya. Rosa sangat terkejut sampai kesulitan mencerna maksud Devon. Waktu kian berlalu, tetapi dia masih terpaku, menatap pria di hadapannya.

Suara halus Rosa mengalir di udara, "Kenapa?"

"Bukannya hubungan kita baik-baik aja?" tambah Rosa dengan wajah bingung.

Devon menatap datar sepasang mata coklat di hadapannya. "Kau pikir begitu?"

Kesabarannya telah tergerus habis. Kini yang Devon inginkan hanya menceraikan wanita yang dijodohkan dengannya dan terlepas dari belenggu pernikahan paksa ini. Dia juga muak mendengar kata "cucu" terucap dari mulut kakeknya. 

"... Apa harus sampai cerai?"

"Aku bisa melakukannya dengan atau tanpa persetujuanmu."

Kening Rosa lantas berkerut samar. Dia langsung mengerti kalau Devon sedang memperingatinya. Rosa menggigit bibir. "Kakek tidak akan setuju."

Situasi restoran memang tidak ramai sampai- sampai Rosa bisa mendengar suara angin berhembus di area outdoor itu. Terpaannya mengenai kedua sisi lengan Rosa, membuatnya bergidik kecil. Ketika dia memperhatikan raut wajah Devon yang tampak tak bergejolak, Rosa merasa tambah tidak nyaman.

"Itu urusanku," jawab Devon dingin.

"T-tapi! Apa nggak bisa kita bicarakan lagi?"

"Tidak."

"Aku melakukan kesalahan?"

Devon terdiam. Mata elangnya menyipit tajam. Rosa tak yakin apakah itu artinya benar atau tidak, jadi ia mencecar, "Benar? Aku menyinggungmu? Atau bagaimana? Biar aku perbaiki. Aku janji tidak mengulanginya."

"Tidak ada yang bisa kau ubah," balas Devon tanpa menunggu lama. 

Rosa sekali lagi mencoba mengubah pikiran Devon. Ragu-ragu, ia berbisik, "Kamu serius?"

"Hm," gumam Devon yakin.

Devon melipat kaki dan menaruh kedua tangan di pangkuan. Postur badannya tegap dengan dagu terangkat serta pandangan lurus. Sementara bola matanya berputar ke bawah seakan sedang menatap sesuatu yang tidak layak mendapat perhatiannya.

Devon berujar kepada asisten pribadinya, "Bawa ke sini."  

Asisten Rama yang berdiri tak jauh dari mereka menyerahkan sebuah amplop coklat. Devon menerima amplop itu dan dengan enteng melemparnya ke Rosa. Ia berkata, "Buka."

Rosa menatap amplop itu tanpa berniat menyentuhnya sama sekali. "Ini ...?"

Asisten Rama menjelaskan, "Nona hanya perlu menandatangani surat cerai tersebut. Saya dan Pengacara Lin akan mengurus sisanya."

Rosa tertegun lama. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Helai-helai rambut berjatuhan menutupi wajahnya, menutupi sebagian ekspresi Rosa. Walau Asisten Rama tahu dia harus memaksa Rosa menandatanganinya, dia juga tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat. 

'Nona pasti masih syok dan butuh waktu untuk memproses,' batin Asisten Rama iba. 

Devon tersenyum sinis menantikan reaksi Rosa. Akan lebih bagus jika Rosa tahu diri dan menerima keputusan ini. Dengan begitu, Devon jadi tidak perlu merasa kasihan.

Sejujurnya, selain tidak ingin mempunyai anak dalam waktu dekat, dia tidak suka Rosa.

Rosa terlalu penurut dan penjilat bagi Devon. Usaha Rosa dalam mendekati Devon terlalu berlebihan, membuatnya mual. Senyumnya yang terpasang tiap menyambut Devon terlihat begitu palsu. Kehangatannya saat menghadapi Devon, malah membuatnya tak habis pikir. Bahkan caranya bersikap seperti seorang tuan putri di rumah semakin meyakinkannya kalau Rosa tidak berbeda dengan wanita di luar sana.

Mereka semua hanya mendambakan harta dan kedudukan seorang menantu di keluarga Haryanto. Para wanita itu, termasuk Rosa, selalu mencoba menampilkan perangai yang tak sesuai dengan posisi mereka.

Devon lanjut menyesap kopi dengan tenang. Dia rasa semua telah selesai, hingga dia pun lengah.

Diam-diam, mata Rosa terpaku menatap kosong tanggal di map surat cerai. Tak ada yang tahu pasti apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas, sinar matanya yang tadi redup kini berkelip dalam sekejap.

Rosa mendongak dan memandang Devon lekat-lekat. Lalu bertanya pelan, "Keputusanmu udah final?"

Devon menunjuk surat cerai di depan Rosa dengan dagu. Wajah tanpa ekspresi pria itu dibubuhi bercak-bercak kesombongan. "Tanda tangan."

Keheningan mengambil alih ruangan dengan kedua pasang mata yang saling beradu pandang. Rosa menegakkan badan dan balas menatap lurus Devon. Selang beberapa waktu, Rosa melontarkan pertanyaan, "Berapa lama proses cerai ini?" 

Devon yang semula percaya diri, terdiam sesaat begitu mendengar tanggapan Rosa.

Aneh.

Raut wajah wanita itu terlampau tenang dan pandangannya seolah menyimpan sesuatu yang tidak Devon mengerti. 

Perasaan waswas muncul. Tetapi belum sempat Devon memikirkannya, Rosa dengan cepat berujar, "Aku belum beresin barang-barangku, belum cari tempat tinggal yang baru juga. "

Devon menilik dengan curiga, tapi dengan sabar menunggu Rosa menyelesaikan kalimatnya. Rosa terbatuk kecil sebelum melanjutkan, "Kamu terlalu mendadak. Aku butuh waktu untuk siap-siap."

"Minimal, kasih aku waktu sebulan."

"Lalu?" 

Tatapan Rosa terpaku pada Devon. Kemudian dia berkata, "Akan kutandatangani surat cerainya dan angkat kaki dari rumah kamu."

Alis Devon tertarik menyatu. Tawaran yang menarik.

Devon berpikir sejenak dan merasa satu bulan akan berlalu dengan cepat. Devon sanggup menahan diri asal dia tidak pulang ke rumah dan bertemu Rosa. Namun yang membuatnya ragu adalah sikap tenang Rosa.

Devon masih mempertanyakan tanggapan Rosa yang terlihat biasa saja ketika Rosa tiba-tiba merapikan  bajunya.

"Kau-"

Panggilan Devon menghentikan Rosa yang sedang beranjak bangun. Rosa melirik sekilas. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya memandangi Devon dalam diam, sebelum akhirnya tetap melangkah pergi karena Devon tak kunjung bicara. 

Tawa yang bercampur amarah nyaris tersembur keluar dari bibir Devon. Emosinya tiba-tiba meradang melihat Rosa melenggokkan badan, meninggalkan ruang outdoor restoran tanpa beban.

Kenapa jadi seperti dia yang dicampakkan?

"Kembali kesini!" seru Devon dengan nada tertahan. 

Sayangnya Devon perlu lebih dari perintah agar Rosa berbalik. Dan mungkin, Tuhan sedang membukakan jalan untuknya. 

JDERR!!

BOOM!

BZZZTT

Tanpa hujan, tanpa mendung, petir datang menyambar pria itu.

Rosa terhempas beberapa meter dari dorongan angin kencang. Guncangan petir pada permukaan  lantai memaksa Rosa jatuh bertumpu dengan kedua lutut dan telapak tangannya menempel lantai. 

Wusss

Klak. Klak. Bunyi bebatuan kecil yang terjatuh.

"Kyaaaaaa!"

Ditemani teriak histeris seorang wanita, Rosa spontan menoleh ke belakang. Kelopak matanya perlahan-lahan membesar tidak percaya dan bertubrukan dengan Devon yang sama-sama membulatkan mata tercengang.

"......"

"......"

Asisten Rama memekik, "Tuan Muda!"

Pengunjung restoran bersusulan menjerit-jerit, menyaksikan peristiwa aneh yang menimpa Devon. Percikan-percikan listrik kadang terlihat mencetus di sudut-sudut tempat terbuka itu, hingga menyambar beberapa tanaman dan menyebabkan kebakaran kecil.

Para pelayan restoran berlari kelabakan tidak tahu mesti bagaimana. Ada yang buru-buru menelepon pemadam kebakaran, berusaha mematikan api sendiri, dan ada pula yang langsung berlari keluar restoran untuk mencari bala bantuan. Tapi tak seorang pun menelepon ambulans.

Yah, mereka tidak salah juga.

Sosok Devon sudah menyerupai sebongkah arang yang diletakkan begitu saja.

Kaku, tidak bergerak. Yang apabila seseorang berani menyenggol pria itu, dia akan segera tumbang tanpa perlawanan.

Rosa mencubit pelan pipinya, lalu menggosok-gosok kedua matanya dengan harapan ia sedang bermimpi.

Namun, hasilnya?

Pemandangan ajaib ini terus berlangsung.

Keringat dingin menetes dari ujung dagu Rosa. Di tengah keributan restoran dan kepanikan orang-orang, waktu Rosa berjalan slow motion. Ia bisa melihat jeli keterkejutan petir tadi menarik fokus Devon darinya.

Namun bagi Rosa hanya ada satu hal penting.

Apakah Devon mati berdiri?!

Eh, bukan.

Apakah Devon mati terduduk?!

"Dev-devon?"

"Uhuk!" kepulan asap hitam keluar dari mulut pria itu. 

Untungnya, firasat buruk Rosa tidak terkabul.

Saking hebatnya dia. Devon memukau semua penonton yang tidak ikut repot menolong. Dia selamat, meski harus terbatuk-batuk keras.

Rosa berusaha menutup mata dari rambut kribo Devon yang mengeluarkan asap hitam mengebul. Sambil merasa setengah panik, setengah kagum dengan ketangguhan Devon, Rosa lekas berlari menghampirinya. Ia menepis jauh perasaan takjub itu dan mulai mengucurkan derai air mata.

"Ja-jangan mati!!!! Ambulans! Tolong, siapa saja panggil ambulans!" jerit Rosa setelah memeluk kepala Devon ke dalam dekapannya. 

"Suami saya sekarat!!"

"Ah ... Sayang ... Semua ini bercanda, kan? Uh ... Kamu masih hidup kan??"

Rosa heboh meraung-raung dan menangis sembari bergelantungan di lengan Devon. Air mata Rosa begitu deras sampai berjatuhan seperti air terjun yang mengalir turun membasahi wajah Devon.

Isak tangis Rosa bak sedang menghadapi langit runtuh. Terdengar sangat menderita dan menyayat hati. Tetapi pria itu tidak bergeming.

Bagaimana tidak?

'Haihh, untungnya Devon belum mati. Dia belum boleh mati dulu, walau tadi aku berharap dia dapat ganjarannya gara-gara bikin aku kesel. Aku nggak nyangka begitu balik badan, beneran kesambar petir si Devon.'

'Siapa suruh minta cerai? Hahaha! Makan, tuh, cerai! Rasain kamu. Hitam gosong gini jadi jelek.'

"G-gimana ini? Hik ...." racau Rosa dengan sesenggukan.

'Bau gosong, ih! Huek!'

'Sampe rumah aku harus cepet-cepet mandi karena kotor abis megang Devon. Terus tiduran di kasur sambil scroll I* cowok-cowok ganteng! Hihi, cuci mata. Siapa bilang laki-laki ganteng di dunia ini cuma Devon? Cuih! Manusia macam dia mending bertapa di gunung jadi biksu. Percuma dikasih istri secantik aku kalo matanya nggak dipake.'

"...."

Gigi Devon bergemeletuk menahan amarah.

Entah kenapa, dia bisa mendengar suara isi pikiran Rosa.

"ROSA!!" Teriakan Devon bergemuruh keras. 

Bagai tak mendengar geraman memekak Devon, Rosa terus melanjutkan isak tangisnya.

'Hm? Kenapa marah-marah? Nggak jelas.'

'Oh iya, udah lama aku nggak ke bar. Aku mau pegang otot six-packs cowok ganteng lain!' pikir Rosa asal. 

Devon sedang terbujur kesakitan tetapi pikiran Rosa malah melalang buana. Lagi pula, dia masih hidup dan mereka belum berpisah. Wanita itu sudah berani melirik dan memegang tubuh laki-laki lain?!

Harga diri Devon terinjak-injak, merasa kalah dengan lelaki liar di luar sana.

"Awas ka-!" 

Devon pingsan duluan sebelum selesai bicara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 74 - Menyetir Opini Netizen

    "Masih kutahan beberapa berita di internet," jawab Devon jujur. Tatapannya bertengger lama dan penuh arti di Rosa. "Kamu tau siapa yang menghapusnya?"Rosa menghindari pandangan Devon dengan kikuk. Rosa tidak tahu pasti siapa, tapi dia punya gambaran jelas tentang kemungkinannya. Hanya ada dua orang yang bisa melakukan hal tersebut dan dengan mudahnya bersaing melawan bawahan Devon. Bisa jadi itu kakaknya. Sebab jika ada orang yang mau membela Rosa hingga sejauh itu, maka kakaknya akan berdiri di barisan terdepan. Sejak kecil, dia selalu overprotektif terhadap Rosa dan telah berpengalaman membereskan setiap kekacauan yang Rosa buat. Namun, sepertinya tidak masuk akal bila itu kakaknya. Rosa merinding sekilas membayangkan kakaknya. Arsen tidak bakal tinggal diam bila terjadi sesuatu padanya, tetapi selaras dengan itu, omelan Arsen tidak akan bisa direm juga. Sembari menghapus berita itu, Arsen paling menyeretnya pulang langsung dan memarahinya. Berhubung kehidupan Rosa masih damai

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 73 - Rival Devon

    Rosa tertidur lelap malam itu, meski dunia maya sedang gonjang-ganjing mengabarkan berita yang tidak-tidak mengenai cinta segitiga antara dia, Devon, dan Kirana. Dipikirannya, Rosa merasa tidak begitu dirugikan. Rosa tidak terlalu peduli dengan opini masyarakat yang tak berpengaruh langsung ke kehidupannya. Justru dari kesempatan ini, Rosa sangat penasaran bagaimana Devon akan menyikapinya walau dia bilang akan mengikuti arahan Rosa. Apa pada akhirnya Devon benar-benar berani mengacaukan adik sahabatnya? Bahkan sampai rela mengorbankan reputasi Rosa bila Brian memohon untuk melepaskan Kirana?Atau, Devon tetap memegang ucapannya dan menuruti keinginan Rosa hingga syuting selesai?Ini adalah tes penting yang harus Devon lewati.Jawabannya mungkin dapat mengubah keputusan Rosa.Netizen yang begadang, banyak memposting ulang berita yang mengaitkan antara Kirana dan Devon. Di satu sisi, Kirana adalah artis papan atas yang sedang naik daun, sedangkan Devon adalah CEO termuda dengan kekay

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 72 - Menunggu Saat yang Tepat

    Udara bagai membeku bersama kengerian yang ditunjukkan Devon. Refleks, Rosa melepaskan diri dari cekalan Devon, lalu bergabung dengan Rama untuk melipir ke sofa demi menjauhi aura menyeramkan Devon. Mereka berdua kompak terdiam dan menunggu rekasi Devon.Entah Devon akan meradang atau masih bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Rosa duduk seraya menghela napas, sementara Rama memilih untuk tetap berdiri di sebelah Rosa. Kerutan di dahi Devon tampak dalam dan bergelombang seperti ombak. Raut wajahnya tertekuk kaku. "Kenapa bisa keluar sebutan seperti itu?"Pertanyaan Devon merujuk pada panggilan Rosa di skandal tersebut yang digadang-gadang sebagai pelakor. Rama yang cepat tanggap, segera melontarkan jawaban lengkapnya, "Karena konten video tersebut, Tuan Muda. Editornya pintar, mengedit bagian-bagian tertentu yang menampilkan seolah-olah Nona telah memisahkan Tuan Muda dan Kirana."Rosa penasaran sekali ingin melihat videonya. Dia mencoba mencarinya sendiri. Tetapi, belum sem

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 71 - Rosa Viral!

    Melodi jazz melantun lembut. Api lilin berdansa manis, bagai menemani detak jantung Rosa yang melompat-lompat tak karuan. Cahaya di sekeliling mereka berseri temaram seakan menyokong suasana romantis ini hingga ke puncaknya. [Curang.]Devon hanya perlu bertanya langsung untuk Rosa menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan Rosa butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan setitik demi setitik informasi mengenai Devon. Dipikir-pikir, rasanya tidak adil. Namun, Rosa tak sanggup menolak permintaan tulus Devon. Lidahnya kelu dan hatinya tak rela membayangkan Devon akan mundur bila Rosa menolak. Rosa hanya mampu menggerutu dalam hati. [Nggak ada yang bisa kuajarkan. Ciuman Devon jauh lebih panas dan ahli. Mm ... penuh gairah dan memabukkan, sampai membuat lututku lemas.]Devon tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu mencondongkan badan ke depan dengan masing-masing siku di tepi meja. Tangannya terangkat ke atas, membentuk segitiga dengan jari-jemarinya yang saling bertaut di tengah—menutupi mu

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 70 - Ajari aku caranya

    Rosa nyaris gagal menyembunyikan senyumnya ketika melihat wajah tegang Devon. Begitu sisi usilnya muncul, Rosa tidak bisa berhenti. Senyumnya tersirat jenaka. "Menyenangkan, kok. Cuma ... sangat normal. Nggak seperti yang kukira."Air muka Devon meredup. Terlihat jelas kalau kejujuran Rosa mengusik pikirannya. Saat Devon kembali membuka mulut, dia terdengar seperti habis berpuasa seharian penuh—suaranya parau. "Emang yang kamu pikirkan itu seperti apa?"Berdasarkan sifat arogan Devon, Rosa sudah siap menerima penyangkalan Devon atau pembenaran bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi, Devon malah langsung masuk ke poin utamanya. Rosa yang tak menyangka akan ditanya balik itu, seketika membisu.[Aku juga nggak tau kayak gimana. Aku belum pernah pacaran!]Wajah mungil Rosa terlipat bimbang. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengerucut ke atas. “Um, seharian bersama?” Secara, mereka baru keluar nonton sebentar, belanja kilat, lalu makan. Dan bahkan, makan malam mereka

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 69 - Dinner

    "Setiap hari yang terlewat akan kukenakan denda karena terlambat."Devon memicingkan mata dan menyudutkan Rosa. "Sekarang sudah lebih dari dua hari."Rosa mengerjap. [Kamu hitung?]Walaupun Rosa terkesima dengan sifat perhitungan Devon dan merasa bersalah, dia tetap tak terima bila harus didenda. "Nggak usah pakai denda, kan, bisa," keluh Rosa."Kalau gitu, kamu harus kasih malam ini." Devon berkompromi, tetapi setengah memaksa. Alisnya bertaut seakan mendesak Rosa.[Segitu pengennya dikasih hadiah? Padahal dia udah dapat banyak kemarin.]"Bisa?" tanya Devon dengan penuh penekanan. Mau tak mau, Rosa mengangguk pasrah. "Okay."[Barang yang kubeli nggak seberapa, itupun juga pakai uangnya. Mungkin masih bagusan hadiah dari tamu yang lain.]Setelah merasa puas dengan jawaban Rosa, Devon menegakkan badan dan membelakangi mereka. Terdengar suaranya sayup-sayup berkata, "Hadiah dari kamu berbeda.""Apa?" tanya Rosa dengan nada meninggi karena tidak dengar. Rama yang berada di sebelah Dev

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status